Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten Media Partner
‘Mitos’ Biodiesel Ramah Lingkungan – Papua dan Kalimantan Berpotensi Jadi Sasaran Utama Penggundulan Hutan
5 Desember 2024 13:45 WIB
‘Mitos’ Biodiesel Ramah Lingkungan – Papua dan Kalimantan Berpotensi Jadi Sasaran Utama Penggundulan Hutan
Ekspansi perkebunan sawit diperkirakan bakal menyasar Papua dan Kalimantan di masa depan demi memuluskan program biodiesel pemerintah. Berbagai studi dan temuan lapangan menunjukkan program ini memperparah deforestasi dan ikut memicu hilangnya ruang hidup masyarakat adat setempat.
Pemerintah bersiap menerapkan program B40 atau pencampuran solar dengan biodiesel 40% pada 2025, sebelum kemudian meningkatkannya menjadi B50 pada 2026 dan B60 setahun berselang.
Program ini disebut pemerintah penting untuk mendorong Indonesia mewujudkan swasembada energi dan memangkas emisi gas rumah kaca.
Namun, studi Greenpeace Indonesia menunjukkan penerapan B50 berpotensi menambah luas perkebunan sawit sebanyak 5,36 juta hektare dan deforestasi seluas 1,5 juta hektare hingga 2042.
Ekspansi perkebunan sawit diperkirakan masih bisa terjadi meski Indonesia telah menghentikan penerbitan izin baru untuk membuka dan mengelola hutan sejak 2011.
Itu karena masih ada 3,4 juta hektare lahan hutan di seluruh area konsesi sawit yang belum digarap. Dari angka tersebut, 1,7 juta hektare ada di Papua dan 1,4 juta hektare terletak di Kalimantan.
Pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah akan ada perluasan kebun sawit untuk memenuhi kebutuhan CPO program biodiesel.
Namun, saat ditanya soal jutaan hektare lahan hutan di area konsesi sawit yang belum tersentuh, ia hanya membalas: “Bukan wilayah saya.”
Papua: ‘Kebun sawit terus dibangun, mau kasih pindah kami ke mana?’
Bagi masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, tanah adalah “mama” yang telah melahirkan dan membesarkan mereka.
Masyarakat adat Awyu menggantungkan hidupnya pada tanah dan hutan adat. Di sana mereka berburu dan meramu, mencari gaharu untuk dijual, mewariskan pengetahuan adat, pun menjalankan sejumlah ritual sakral.
Karena itulah, selama beberapa tahun terakhir, mereka berjuang mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
“Kekhawatiran paling utamanya adalah kalau hutan adat dipakai untuk sawit,” kata Hendrikus “Frengky” Woro, anggota kelompok marga Woro dari komunitas adat Awyu, Senin (02/12).
“Hak hidup kami itu akan hilang, sumber pangan kami itu akan hilang, mata pencarian kami itu akan hilang.”
Bagi kelompok marga Woro, ancaman itu kini terasa kian nyata.
PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang dimiliki dua firma Malaysia, telah mengantongi sejumlah izin untuk mengembangkan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit seluas 36.094,4 hektare di Distrik Mandobo dan Fofi, Boven Digoel. Area ini mencakup hutan adat kelompok marga Woro.
Bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Frengky mendaftarkan gugatan untuk membatalkan izin lingkungan PT IAL ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada Maret 2023.
Izin lingkungan itu, yang kemudian menjadi landasan penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) PT IAL, disebut tidak sah karena dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang ada cacat prosedur.
Baca juga:
Itu karena, menurut Frengky, tidak ada konsultasi publik yang memadai dalam penyusunan Amdal bersama seluruh masyarakat adat Awyu yang terdampak.
“Memang ada musyawarah yang dilakukan oleh pihak perusahaan, tapi dia hanya undang mereka-mereka yang mau terima itu, sedangkan kami yang benar-benar menolak ini belum pernah dilibatkan sampai dengan hari ini,” kata Frengky.
Belum lagi, masyarakat adat yang menolak proyek ini diklaim sempat mendapat ancaman dan kekerasan.
Namun, gugatan Frengky ditolak PTUN Jayapura pada November 2023. Bandingnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado dan kasasinya di Mahkamah Agung pun ditampik, masing-masing pada Februari dan November 2024.
Seperti tercatat di dokumen pengadilan, PT IAL membantah segala tuduhan yang ditujukan padanya.
Izin-izin yang ada, katanya, telah didapat sesuai prosedur. Kekhawatiran masyarakat adat Awyu akan hilangnya sumber penghidupan dan ruang-ruang sakral mereka pun disebut “berlebihan” dan “prematur” karena perusahaan belum memulai aktivitas perkebunannya.
Meski begitu, menurut Greenpeace Indonesia, hasil analisis citra satelit pada akhir 2020 mengindikasikan telah terjadi pembukaan hutan seluas empat hektare di pinggir Sungai Digoel, yang masuk area konsesi PT IAL.
Masyarakat setempat meyakini pembukaan hutan itu untuk pembangunan log pond, atau tempat penimbunan kayu di air. Bila benar begitu, kata Greenpeace Indonesia, ini bermasalah karena saat itu perusahaan belum mendapat izin lingkungan, IUP, ataupun izin pemanfaatan kayu.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Ekspansi perkebunan sawit tak hanya berlangsung di Distrik Mandobo dan Fofi. Menurut Frengky dari komunitas adat Awyu, sejumlah lahan hutan kini telah dibuka di beberapa titik di Distrik Jair, yang bersebelahan dengan kampungnya di Fofi.
Di samping PT IAL, Greenpeace Indonesia mencatat ada setidaknya lima perusahaan yang memegang konsesi sawit di Boven Digoel.
Lima konsesi itu mencakup area hutan primer yang dikeluarkan dari kawasan hutan pada periode 2012-2013 sehingga kini bisa digarap untuk perkebunan sawit.
Total, per 2022, ada 3,4 juta hektare lahan hutan yang berada di area konsesi sawit di seluruh Indonesia yang belum digarap jadi perkebunan sawit, dan sebanyak 1,7 juta hektare atau setengahnya ada di Papua.
Mengingat Indonesia telah menghentikan pemberian izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan gambut sejak 2011, ekspansi kebun kelapa sawit ke depan kemungkinan bakal menyasar wilayah 3,4 juta hektare itu yang tak memerlukan izin baru, kata Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Dan, sebagai pulau yang memiliki konsesi sawit dengan sisa hutan terluas yang belum digarap, Papua kini jadi tujuan utama pengembangan kebun sawit dan produk-produk turunannya.
Saat masih menjabat Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alam Syah sempat mengatakan pihaknya tengah menyusun konsep Papua sebagai “pulau energi terbarukan” di masa depan.
Baca juga:
Pemerintah menargetkan pembangunan perkebunan tebu dan kelapa sawit dengan luas masing-masing 1 juta hektare, yang hasilnya bakal diolah di 42 pabrik gula, 33 pabrik biodiesel, dan sembilan pabrik minyak goreng.
Dari pabrik-pabrik itu, pemerintah berharap dapat memproduksi 10 juta ton gula kristal putih atau 6 juta kiloliter bioetanol, 4,6 juta ton B100—biodiesel dari minyak kelapa sawit 100%, dan 1 juta minyak goreng.
“Produk hilirisasi yang dihasilkan untuk pemenuhan pangan rakyat Papua, substitusi BBM nasional dan ekspor,” kata Andi saat rapat koordinasi nasional terkait akselerasi peremajaan sawit rakyat di Jakarta, Maret 2024.
Maka, Frengky dari komunitas adat Awyu kini bersiap menghadapi yang terburuk dari “kepungan sawit” di kampungnya di Boven Digoel.
“Saya sendiri juga bingung,” kata Frengky.
“Kalau kebun sawit semua terus [dibangun], ketika digusur, habis, terus mau kasih pindah kami ke mana?”
Menggantungkan harapan pada biodiesel
Program biodiesel pertama dirumuskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai respons atas melonjaknya harga minyak dunia pada 2005.
SBY menerbitkan Peraturan Presiden No. 5/2006, yang menargetkan peningkatan porsi biofuel—termasuk biodiesel—di bauran energi nasional secara bertahap untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
Namun, belakangan biodiesel justru jadi salah satu program andalan yang berulang kali digaungkan pemerintah di tengah tekanan global agar Indonesia menjalankan transisi menuju energi bersih.
Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan Indonesia berkomitmen memulai program B40—pencampuran biodiesel dan solar dengan porsi masing-masing 40% dan 60%—mulai 1 Januari 2025 demi mewujudkan swasembada energi dan memangkas emisi gas rumah kaca.
Program B40 bakal diterapkan hanya kira-kira dua tahun setelah Indonesia menjalankan program B35 dengan bauran biodiesel 35%, yang diluncurkan pada 1 Februari 2023.
“Jadi dalam program B35, kita menghemat sekitar 32 juta ton CO2, dan kalau untuk B40 itu lebih dari 40 juta ton CO2,” kata Airlangga usai pertemuan tingkat menteri ke-12 yang diadakan Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) di Jakarta, Jumat (29/11).
“Ini adalah kontribusi konkret Indonesia dan CPO kepada seluruh dunia untuk mengurangi emisi karbon.”
Ketika menghadiri forum bisnis Indonesia-Brasil di Rio de Janeiro pada 17 November lalu, Presiden Prabowo Subianto bahkan menyatakan akan mengejar pelaksanaan B50 juga pada 2025—meski kemudian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bilang B50 baru bisa dijalankan pada 2026.
“[Program biodiesel] akan membuat kami mampu memproduksi sendiri [bahan bakar] diesel dan membuat kami sepenuhnya ‘hijau’, terbarukan,” kata Prabowo saat itu.
Pertanyaannya: apakah biodiesel benar-benar “hijau”?
Menyoal ‘mitos’ biodiesel ramah lingkungan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan kebutuhan CPO untuk program biodiesel akan naik dari 11,66 juta ton per tahun pada era implementasi B35 saat ini, menjadi 14 juta ton untuk B40 dan 17,5 juta ton untuk B50.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan peningkatan kebutuhan CPO itu kemungkinan bakal dipenuhi dengan mengambil alokasi ekspor, apalagi mengingat produksi minyak sawit domestik yang belakangan “stagnan”.
Merujuk data GAPKI, total produksi CPO dan minyak inti sawit (PKO) berkisar di 51 juta ton per tahun pada 2020-2022. Angkanya sempat naik ke 54,84 juta ton pada 2023, tapi diperkirakan turun lagi ke 52 juta hingga 53 juta ton tahun ini.
Dari sana, ekspor CPO dan PKO diproyeksikan merosot dari 30,61 juta ton pada 2023 di era B35 menjadi 28,27 juta ton setelah penerapan B40 dan 24,77 juta ton saat implementasi B50.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman pun telah mengatakan Indonesia perlu mengurangi ekspor CPO setidaknya 5,3 juta ton per tahun dan mengalihkan komoditas itu ke dalam negeri untuk penerapan program B50.
“Kita kurangi [ekspor] sesuai kebutuhan dalam negeri, kita prioritaskan dalam negeri,” kata Amran pada Oktober lalu.
Opsi mengambil alokasi ekspor sekilas lebih masuk akal karena perusahaan-perusahaan sawit tak lagi bisa meminta izin untuk membuka kebun sawit baru di kawasan hutan sejak 2011.
Sejak Mei 2011 hingga Juli 2019, pemerintah menerapkan moratorium pemberian izin baru untuk pengelolaan hutan primer dan lahan gambut. Pada Agustus 2019, kebijakan ini diubah jadi penghentian penerbitan izin permanen, tak lagi sekadar moratorium.
Pemerintah mendata kawasan hutan primer dan lahan gambut yang dilarang diutak-atik itu di Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), yang dimutakhirkan tiap enam bulan sekali.
Masalahnya, pada periode moratorium 2011-2019, luas wilayah hutan dan lahan gambut yang pemberian izinnya ditangguhkan justru menyusut 2,8 juta hektare, menurut perhitungan Pantau Gambut.
Baca juga:
Yayasan Madani Berkelanjutan menilai ini bisa terjadi karena pengawasan dan penegakan hukum yang lemah.
Mereka mencatat pemerintah setidaknya menerbitkan 19 surat keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan pada 2011-2019, yang sembilan di antaranya untuk perkebunan sawit.
“Berdasarkan data kami, yang terbesar ada di Papua. Saat ini ada 1,3 juta hektare hutan alam terancam akan digunduli untuk perkebunan sawit,” kata Teguh Surya dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Juli 2019 silam, saat masih menjabat direktur eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Sebagian SK itu terbit dengan alasan perusahaan terkait telah mendapat izin prinsip penggunaan kawasan hutan sebelum penerapan moratorium pada 2011, tapi sebagian lain justru baru mendapat izin prinsip setelahnya.
Selain itu, sejumlah proyek vital nasional pun disebut mendapat pengecualian, termasuk yang terkait ketahanan energi ataupun pangan.
Pada 2019-2023, di periode penghentian penerbitan izin hutan permanen, luas wilayah hutan dan lahan gambut di peta indikatif memang bertambah sekitar 605.000 hektare menjadi 66,6 juta hektare.
Namun, sejumlah perusahaan sawit kini tetap bisa membuka kebun baru karena masih ada 3,4 juta hektare lahan hutan di konsesi mereka yang belum tersentuh, yang izin pengelolaan hutannya telah keluar sebelum atau bahkan di tengah penerapan moratorium.
Karena itu, daripada harus mengorbankan ekspor yang bisa mendatangkan cuan lebih besar, para perusahaan sawit bakal cenderung memilih menggenjot produksi dengan membuka kebun-kebun baru di wilayah hutan yang belum tersentuh itu, ujar Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
“Memangnya perusahaan mau diturunkan alokasi ekspornya? Harganya kan beda,” kata Iqbal.
“Selain itu, kontrak ekspor kan jangka panjang. Perusahaan tidak bisa begitu saja memangkas ekspornya.”
Greenpeace Indonesia telah membuat studi yang menghitung kebutuhan perluasan perkebunan sawit dan tingkat deforestasi untuk memenuhi program biodiesel pemerintah.
Baca juga:
Di studi itu, salah satu skenario yang digunakan adalah penerapan program B40 pada 2024 dan B50 pada periode 2025-2042.
Dengan skenario tersebut, diperkirakan Indonesia butuh menambah luas perkebunan sawitnya dari 17,77 juta hektare hingga 23,13 juta hektare pada periode 2023-2042 untuk mencukupi permintaan minyak sawit domestik.
Pada saat yang sama, Greenpeace Indonesia menyebut bakal terjadi deforestasi seluas 1,5 juta hektare hingga 2042.
Pada kenyataannya, pemerintah memang baru akan menjalankan program B50 di 2026.
Namun, persentase biodieselnya akan terus ditambah secara bertahap hingga menyentuh 100%. Entah kapan itu terjadi. Yang pasti, pemerintah berniat memulai program B60 pada 2027 .
Karena itu, kebutuhan perluasan kebun sawit dan tingkat deforestasi bisa jadi lebih besar dari proyeksi Greenpeace Indonesia, apalagi bila program B100 benar terwujud.
Dan, menurut Iqbal, yang pertama akan dikorbankan untuk membuka kebun sawit baru adalah hutan-hutan di Papua dan Kalimantan.
Dari 3,4 juta hektare lahan hutan yang belum tersentuh di dalam area konsesi sawit Indonesia, 1,7 juta hektare ada di Papua dan 1,4 juta hektare terletak di Kalimantan.
“Papua menjadi daerah dengan ancaman deforestasi paling besar,” kata Iqbal.
“Jika hutan Papua habis, ini tidak hanya akan berdampak pada masyarakat yang ada di Papua dan indonesia, tapi juga secara global, karena hutan Papua dibutuhkan untuk menyerap emisi.”
Sementara itu, Iqbal bilang ekspansi sawit bakal memperparah kondisi lingkungan Kalimantan. Terlebih lagi, deforestasi telah lama melanda pulau tersebut seiring maraknya pertambangan, hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit di sana.
“Secara daya dukung lingkungan, Kalimantan sudah tidak bisa lagi mengalami deforestasi, terutama melihat banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan yang terjadi hampir tiap tahun,” ujar Iqbal.
Melihat situasi ini, Iqbal menegaskan pentingnya membongkar “mitos” biodiesel ramah lingkungan yang berulang kali disampaikan pemerintah.
Baca:
“Jadi sebenarnya upaya menaikkan bauran biodiesel ini tidak serta-merta menurunkan emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil,” kata Iqbal.
“Emisi yang dihasilkan juga tinggi karena dia akan membuka lahan-lahan hutan untuk perkebunan sawit baru.”
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membantah akan ada perluasan kebun sawit untuk memenuhi kebutuhan CPO program biodiesel.
Namun, saat ditanya soal jutaan hektare lahan hutan di area konsesi sawit yang belum tersentuh, ia hanya membalas: “Bukan wilayah saya.”
Kalimantan: ‘Hak kita dirampas perusahaan’
Masrani Tran kini hanya bisa mengenang getir kehidupannya di Kampung Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, sebelum perusahaan sawit datang.
Secara turun-temurun, ia dan sesama masyarakat adat Dayak Benuaq lainnya senantiasa berusaha menjaga tanah dan hutan adat mereka di Muara Tae, yang per 2011 tercatat memiliki luas 11.465 hektare.
Di hutan itu, dulu mereka berladang, berburu babi, mencari rotan, mengambil madu dan buah, meramu obat, pun menjalankan upacara adat.
“Hutan itu adalah sumber penghidupan bagi masyarakat kami,” kata Masrani, mantan Kepala Kampung Muara Tae, pada wartawan Muhibar Sobary Ardan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (3/12).
Namun, pada 2011, dua perusahaan sawit disebut merambah wilayah adat Dayak Benuaq dengan bantuan sejumlah oknum dari Kampung Muara Ponaq, yang terletak bersebelahan dengan Muara Tae.
Para oknum tersebut, kata Masrani, mengeklaim sejumlah lahan di Muara Tae milik mereka, terutama yang di sekitar perbatasan antarkampung.
Sengketa terjadi, hingga Pemerintah Kabupaten Kutai Barat turun tangan menengahi.
Tak disangka, pemerintah daerah justru mengakui klaim batas wilayah versi orang Muara Ponaq. Imbasnya, orang Muara Tae kehilangan sebagian lahannya, yang belakangan diketahui ternyata diserahkan ke perusahaan sawit.
“Tidak ada [ganti rugi] sama sekali, karena perusahaan menggusur lahan kami atas dasar penyerahan dari oknum warga Muara Ponaq. Jadi, warga Muara Ponaq yang terima ganti rugi lahan dan tanam tumbuh kami,” kata Masrani.
Masrani menuduh perusahaan terkait sengaja menggunakan orang kampung sebelah untuk mengambil lahan-lahan tersebut karena perusahaan tahu, warga Muara Tae tidak akan pernah mau menyerahkan tanahnya.
“Hak kita dirampas oleh pihak perusahaan, hak atas tanah kita,” katanya.
Kejadian itu jadi titik balik kehidupan warga Muara Tae.
Dari 11.465 hektare, luas wilayah adat mereka kini hanya tersisa sekitar 4.000 hektare.
Rotan, buah, ataupun madu yang dulu begitu berlimpah saat ini tak tersisa. Wilayah yang menyempit membuat orang Muara Tae sulit membuka kebun baru.
Limbah kebun sawit pun rutin terbawa aliran sungai terdekat, sehingga warga tak lagi berani meminum langsung air sungai itu.
“Sekarang, dimasak pun kita tidak berani minum [air sungainya] karena dia sudah berubah keruh,” kata Masrani, seraya menambahkan masyarakat terpaksa beli air galon untuk kebutuhan minum sehari-hari.
Terlebih lagi, banjir jadi kian sering menyapa. Hujan deras sedikit saja bisa menenggelamkan rumah-rumah warga. Padahal, kata Masrani, dulu banjir hanya mampir sekiranya lima tahun sekali.
Bisa dikatakan, masyarakat adat Dayak Benuaq kini berkawan dengan setumpuk masalah lingkungan.
Dan, semua terjadi demi minyak sawit yang “hijau” itu.
Wartawan Muhibar Sobary Ardan di Samarinda, Kalimantan Timur, berkontribusi untuk liputan ini.