Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mitos dan Stigma seputar Vasektomi di Indonesia: Benarkah ‘Hubungan Seks Jadi Hambar' hingga 'Berisiko Kanker Prostat’?
3 Juli 2024 14:35 WIB
Mitos dan Stigma seputar Vasektomi di Indonesia: Benarkah ‘Hubungan Seks Jadi Hambar' hingga 'Berisiko Kanker Prostat’?
“Kalau laki-laki yang KB kasihan, nanti enggak nyaman, apalagi vasektomi pengaruh ke kesehatannya”.
“Perempuan aja yang berkorban”.
“Nanti kalau berhubungan seks itu rasanya jadi hambar, lho”.
“Hati-hati nanti kena kanker prostat”.
“Kata ustad, vasektomi dan tubektomi enggak boleh”.
Itu adalah komentar yang dihadapi oleh pasangan suami-istri yang sama-sama berusia 32 tahun, Gita Hermanda dan Panji Depitra.
Komentar itu datang dari tenaga kesehatan, keluarga, hingga warganet setelah mereka mengutarakan rencana untuk vasektomi.
Komentar-komentar itu membuat Gita geram. Sebagai perempuan yang menggunakan kontrasepsi IUD, Gita kerap merasa sakit dan tak nyaman. Berulang kali alat kontrasepsi itu bergeser dari rahimnya.
Suaminya, Panji, mengaku punya tekad kuat untuk vasektomi. Mereka berdua juga sudah sepakat untuk tidak mau memiliki anak lagi setelah dikaruniai seorang putri.
“Itu sudah jadi keputusan dari diri saya sendiri, bukan sebatas karena kasihan sama Gita, tapi saya sendiri juga tidak mau punya anak lagi. Kalau laki-laki bisa punya andil [untuk KB], kenapa enggak? Di dalam rumah tangga kan bukan cuma istri yang harus berkorban,” tutur Panji kepada BBC News Indonesia.
Tetapi keputusan Panji atas dirinya sendiri ternyata menuai rasa “kasihan” hingga kekhawatiran dari orang lain yang menurut Gita dan Panji, tidak berdasar.
“Kenapa sih kalau perempuan yang merasa sakit karena KB itu diwajarkan, tapi kalau laki-laki enggak boleh sakit?” tanya Gita.
“Kenapa yang dipikirkan itu selalu kenikmatan laki-laki dulu? Memangnya KB untuk perempuan enggak berdampak ke kesehatan?”
Tetapi, Panji terpaksa menunda rencananya setelah ditolak saat mendaftar pada program vasektomi gratis dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sebab, BKKBN mensyaratkan peserta vasektomi melalui program gratis harus sudah berusia di atas 35 tahun dan memiliki minimal dua anak.
Petugas pada akhirnya menyarankan agar Gita saja yang menggunakan kontrasepsi IUD atau implan.
Berkaca dari pengalaman Gita dan Panji, beberapa pertanyaan mengemuka.
Apakah kekhawatiran soal dampak medis vasektomi berdasar? Mengapa vasektomi seolah tabu?
Artikel ini akan mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Apa itu vasektomi dan mengapa tidak populer?
Vasektomi adalah tindakan sterilisasi pada laki-laki dengan cara memotong atau menyumbat saluran spermatozoa dari testis ke penis.
Dengan demikian, air mani yang keluar ketika laki-laki mengalami ejakulasi tidak lagi mengandung sel sperma.
Dokter spesialis urologi, Nur Rasyid, mengatakan bahwa vasektomi bisa menjadi opsi yang paling minim risiko bagi pasangan yang sudah benar-benar mantap untuk tidak memiliki anak lagi.
Menurutnya, vasektomi telah terbukti 99% efektif dalam mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.
“Prosedurnya lebih ringan, lebih tanpa risiko, dan juga tidak akan mengganggu proses ereksi sama sekali,” kata Dokter Nur Rasyid kepada BBC News Indonesia.
Namun sejak diperkenalkan di Indonesia mulai tahun 1970-an, vasektomi masih menjadi opsi kontrasepsi yang paling tidak populer hingga saat ini.
Data World Contraceptive Use menunjukkan bahwa prevalensi vasektomi di Indonesia tidak pernah melebihi 1% sejak tahun 1973 hingga 2018.
Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga mengungkap bahwa hanya 0,2% pasangan yang memilih vasektomi.
Menurut Dokter Nur, salah satunya karena masih ada mitos “usang” serta kesalahpahaman soal vasektomi yang diyakini oleh sebagian orang.
Padahal, kata Dokter Nur, anggapan bahwa vasektomi "dapat meningkatkan kanker prostat, disfungsi ereksi hingga ejakulasi dini" adalah klaim-klaim yang "tidak berdasar".
Dokter Nur mengatakan ada faktor sosial-budaya juga yang mempengaruhi rendahnya angka vasektomi di Indonesia.
"Karena memang orang Indonesia umumnya paternalistik, jadi laki-laki mau menang sendiri. Lalu faktor pendidikan dan pemahaman soal ini yang juga masih kurang. 'Kalau bisa yang susah [pakai kontrasepsi] bukan saya, kenapa harus saya?'" kata Dokter Nur.
Kyai Haji Marzuki Wahid dari Institut Studi Islam Fahmina —lembaga pendidikan Islam yang berfokus pada kajian gender dan hak asasi manusia— sepakat soal adanya ketimpangan dalam urusan kontrasepsi.
"Asumsinya sering kali menganggap karena perempuan mereproduksi manusia, sehingga perempuan lah yang harus kontrasepsi. Mereka tidak sadar bahwa menghasilkan keturunan itu adalah buah dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan," kata Marzuki.
Selain itu Marzuki mengatakan perdebatan juga masih kerap muncul soal halal atau haramnya vasektomi, berdasar pada penafsiran keyakinan yang berbeda-beda.
Vasektomi pernah dianggap “haram” lewat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada era 1970-an.
Pada 2012, MUI mengubah fatwanya menjadi membolehkan vasektomi sepanjang “tujuannya sesuai syariat” dan “tidak memandulkan secara permanen”.
Marzuki sendiri berpandangan bahwa vasektomi (dan tubektomi) boleh dilakukan sepanjang bertujuan sebagai ikhtiar untuk mensejahterakan keluarga.
"Misalnya kalau saya vasektomi atau tubektomi itu kan bukan berarti membatasi, tapi saya ingin mengatur keturunan saya sesuai kesejahteraan dan kemaslahatan yang saya bayangkan. Jadi tidak bisa dianggap apakah itu membatasi secara dini," ujar Marzuki.
Namun perubahan fatwa MUI ternyata juga “belum signifikan” membuat lebih banyak laki-laki melirik vasektomi, kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo.
Hasto mengeklaim pihaknya sudah terus mensosialisasikan opsi ini melalui program vasektomi gratis dan pemberian insentif Rp300.000 untuk akseptornya. Tetapi dia juga mengakui bahwa mencari orang yang mau memilih vasektomi juga “tidak mudah”.
“Ada anggapan kalau divasektomi itu vitalitas laki-laki berkurang, kemudian apapun [alat kontrasepsi] yang pakai operasi itu angkanya memang rendah,” tutur Hasto.
Di lapangan, Hasto mengatakan BKKBN memiliki kelompok “KB Pria Perkasa” untuk memotivasi laki-laki agar mau divasektomi.
Meski demikian, data menunjukkan bahwa capaian KB laki-laki (vasektomi dan kondom) baru mencapai 2,2% dari target BKKBN sebesar 5,33% pada 2022 .
‘KB enggak melulu urusan perempuan’
Gabriel Yoga, 40, mengaku nyaris tidak merasakan perubahan apa pun setelah dia menjalani operasi vasektomi di salah satu rumah sakit di Yogyakarta, pada 202.
Yoga dan istrinya, Bunga Manggiasih, telah sepakat untuk memiliki satu anak saja atas sejumlah pertimbangan pribadi.
Seingat Yoga, proses operasinya berjalan tidak sampai setengah jam. Tindakan medisnya tergolong sebagai operasi kecil dengan bius lokal.
“Setelah itu saya langsung pulang, saya bisa nyetir mobil seperti biasa, bisa jalan kaki,” kata Yoga ketika menceritakan pengalamannya kepada BBC News Indonesia.
Bahkan kalau dibandingkan dengan sunat, Yoga mengatakan “jauh lebih sakit sunat dibanding vasektomi”.
“Sunat itu lukanya lebih besar, luka terbuka, paling tidak tiga hari baru mulai mengering. Tapi kalau vasektomi, saya sudah bisa langsung beraktivitas,” tuturnya.
Dia juga merasa vasektomi sebagai pilihan yang “lebih aman” meski masih menyisakan risiko sebesar 1%.
“Setidaknya risikonya sudah dibuat seminimal mungkin,” kata dia.
Lagipula vasektomi juga dirasa Yoga lebih nyaman bagi dirinya dan istrinya karena tidak invasif seperti semua pilihan kontrasepsi untuk perempuan. Sebelum Yoga divasektomi, istrinya yang berperan menggunakan kontrasepsi IUD.
“Itu kalau bergeser kan berarti harus diperbaiki, dan memperbaikinya invasif lagi, sangat tidak nyaman pasti. Belum lagi pengaruhnya kepada hormon perempuan, sementara vasektomi [saya merasa] nyaris enggak ada [efek samping],” kata dia.
Yoga berharap pengalamannya ini dapat menepis anggapan seolah kontrasepsi adalah urusan perempuan semata.
“Lagi-lagi pandangannya sangat patriarki. Banyak laki-laki yang merasa tersinggung harus vasektomi, padahal aman-aman saja,” kata Yoga.
“Sebetulnya urusan KB itu enggak melulu [urusan] perempuan tapi selama ini lebih banyak ditimpakan ke perempuan,” sambungnya.
Bagaimana cara kerja vasektomi?
Dokter Nur Rasyid mengatakan bahwa vasektomi dilakukan dengan cara memotong atau menyumbat vas deferens, yakni saluran yang membawa spermatozoa dari testis menuju penis.
Spermatozoa itu lah yang akan membuahi sel telur dan dapat menyebabkan proses pembuahan di rahim perempuan.
“Pada vasektomi yang ditutup adalah jalur keluarnya spermatozoa. Airnya sama, volumenya sama, baunya sama, warnanya sama, sehingga dokter sekali pun tidak bisa membedakan apakah orang ini divasektomi atau tidak, kecuali pakai mikroskop,” jelas Dokter Nur Rasyid.
Dokter akan membuat sayatan kecil di skrotum (kantong kulit yang menggantung di bawah pangkal penis) untuk memotong vas deferens.
Ada juga opsi vasektomi yang bisa dilakukan tanpa pisau bedah dengan cara membuat lubang tusukan kecil di skrotum.
Apa kelebihan dan kekurangannya?
Menurut Dokter Rasyid, kelebihan utama vasektomi adalah sifatnya yang tidak invasif seperti opsi kontrasepsi untuk perempuan lainnya.
Tindakan medisnya juga tergolong “lebih ringan” dan “lebih tanpa risiko” kalau dibandingkan dengan tindakan sterilisasi pada perempuan, tubektomi.
Vasektomi memiliki efektivitas lebih dari 99% dan jarang menimbulkan efek kesehatan jangka panjang.
Lalu apa kekurangannya?
Dokter Nur mengingatkan bahwa vasektomi adalah “KB mantap”, sehingga sebaiknya dilakukan dengan keyakinan penuh untuk tidak memiliki anak lagi.
“Harus ditanamkan di kedua pasangan bahwa mereka sudah yakin tidak menginginkan anak lagi. Karena sebenarnya bisa [dikembalikan dengan] tindakan rekanalisasi. Tetapi prosesnya relatif sulit karena nyambungnya harus pakai mikroskop dan biayanya lumayan mahal,” jelasnya.
Vasektomi juga tidak langsung efektif setelah tindakan medis dilakukan, sehingga penerimanya tetap perlu menggunakan kondom sampai air maninya dipastikan sudah bebas sperma berdasarkan pengecekan di lab.
Ada juga peluang vasektomi memicu komplikasi berupa hematoma (pengumpulan darah di skrotum), granuloma sperma (benjolan yang disebabkan oleh kebocoran sperma), infeksi, serta nyeri testis jangka panjang.
Bagaimana cara mendapatkan vasektomi dan mengapa ada syarat khusus dari BKKBN?
Salah satu opsi untuk mengakses layanan vasektomi adalah melalui program gratis yang diselenggarakan BKKBN.
Namun, seperti yang dialami oleh Panji dan Gita, BKKBN mensyaratkan akseptor vasektomi berusia di atas 35 tahun dan sudah memiliki minimal dua anak.
Perihal syarat itu dan apa yang mendasarinya, Hasto beralasan: “Di Indonesia itu, kan angka kematian balita juga masih cukup tinggi. Banyak sekali orang enggak menyadari itu”.
“Kalau di negara yang sangat maju, mungkin balita itu jarang mati, tapi kalau kita ini kan di bawah lima tahun. Hati-hati lho, punya anak di bawah lima tahun itu belum tentu selamat karena angka kematiannya masih terlalu tinggi,” sambung Hasto.
“Kemudian akhirnya dia kalau anaknya mati atau kalau enggak mati pun cerai, terus minta dikembalikan lagi vasektominya, minta direkanalisasi itu kan kejadian banyak hal-hal seperti itu.”
“Sehingga kami sering memberikan konseling juga karena ini kontrasepsi yang sifatnya mantap, tidak boleh menyesal,” tutur Hasto.
Opsi lainnya adalah menjalani vasektomi di fasilitas kesehatan dengan biaya sendiri berkisar mulai Rp11 juta. Persyaratannya pun tidak seketat program dari BKKBN.
“Sepanjang dua-duanya sepakat dan mengerti bahwa vasektomi itu sesuatu hal yang mereka butuhkan karena mereka sudah tidak mau lagi punya anak,” kata Dokter Nur Rasyid.
Apakah vasektomi akan mempengaruhi gairah dan performa seks?
Jawabannya adalah tidak.
“Nafsu itu dipengaruhi oleh kadar testosteron. Testosteron memang dibuat di testis, tapi dialirkan melalui pembuluh darah, bukan melalui vas deferens,” jelas Dokter Nur.
“Jadi meskipun vas deferensnya ditutup, hormon testosteronnya akan tetap normal. Dan bagi orang yang sudah divasektomi, tidak akan mengubah sensasi apapun pada saat berhubungan seksual atau ejakulasi,” tuturnya.
“Bayangannya seperti ini, kalau orang divasektomi itu [ibarat] saluran air di lantai kita ditutup. Sementara aliran saraf, aliran darah, adanya di langit-langit kamar kita. Jadi tidak akan membuat masalah gangguan ereksi.”
Lalu setelah vas deferens dipotong, laki-laki tetap bisa mengalami ejakulasi.
Ketika laki-laki ejakulasi, cairan yang keluar terdiri dari dua yakni air mani dan spermatozoa. Air mani diproduksi di sebuah area bernama seminal vesicle.
Walaupun vas deferens dipotong atau disumbat, air mani akan tetap diproduksi. Artinya ketika laki-laki yang telah divasektomi mengalami ejakulasi, air maninya tidak mengandung spermatozoa.
“Kalau orang sudah divasektomi, maka cairan spermanya ada, semua proses ejakulasi dan sensasi rasanya tetap normal, tapi kalau diperiksa lewat mikroskop itu bibit anak atau spermatozoanya tidak ada,” kata dia.
“Jadi orang yang sudah divasektomi, maka ketika berhubungan suami istri tidak harus pakai kondom. Istrinya juga tidak harus menggunakan KB,” sambung Dokter Nur.
Selain itu, tindakan vasektomi juga tidak menyebabkan disfungsi ereksi. Menurut Dokter Nur gangguan ereksi saat berhubungan seksual lebih berkaitan dengan faktor psikologis.
Benarkah vasektomi meningkatkan risiko kanker prostat?
Menurut Dokter Nur Rasyid, itu adalah “gosip yang sudah usang”.
Pada era 1980-an hingga 1990-an, pernah muncul beberapa penelitian yang menunjukkan sedikit hubungan antara vasektomi dan risiko kanker prostat.
Akan tetapi, meta-analisis yang diterbitkan JAMA Internal Medicine menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko kanker prostat pada laki-laki yang melakukan vasektomi .
Meta-analisis itu mengamati hampir tiga juta orang yang divasektomi. Ini diklaim sebagai studi terbesar yang pernah dilakukan mengenai keterkaitan antara vasektomi dan kanker prostat.
Lalu apakah spermatozoa yang tidak dikeluarkan lewat proses ejakulasi akan berdampak pada tubuh?
Dokter Nur menjelaskan bahwa spermatozoa yang ditutup jalurnya itu akan rusak dengan sendirinya dan diserap oleh tubuh.
“Apakah ada risiko? Jawabannya terhadap kesuburan, iya, karena bisa timbul reaksi antigen antibodi,” tuturnya.
“Spermatozoa yang mati itu karena tidak dikeluarkan oleh tubuh kita, dianggap sebagai benda asing sehingga tubuh membentuk antibodi terhadap itu. Itu berpengaruh terhadap derajat kesuburan setelah orang divasektomi, kalau menginginkan anak lagi,” papar Dokter Nur.
Berapa lama pemulihannya?
Lantaran vasektomi adalah operasi kecil, Dokter Nur mengatakan penerimanya bisa beraktivitas seperti biasa setelah menjalani tindakan medis.
Namun, memang disarankan untuk tidak beraktivitas berat selama tujuh hari setelah operasi.
Apakah bisa langsung berhubungan seksual setelah vasektomi?
Dokter menyarankan penerima vasektomi menunggu satu minggu untuk berhubungan seksual kembali. Itu pun dengan menggunakan kontrasepsi selama sekitar tiga bulan.
Pasalnya menurut Dokter Nur, masih ada sisa-sisa cairan spermatozoa yang sudah mengalir dari vas deferens ke fisikula seminalis sejak sebelum tindakan vasektomi dilakukan.
Untuk memastikan bahwa air mani sudah tidak mengandung sperma, perlu dilakukan pengecekan melalui lab. Kalau hasil lab menunjukkan bahwa sudah tidak ada kandungan sperma di dalam air mani, barulah hubungan seksual dapat dilakukan tanpa kontrasepsi lain.
“Jadi setelah vasektomi, tidak aman kalau berhubungan langsung tanpa KB. Kalau mau aman, harus pakai kondom dulu,” ujar Dokter Nur.
Namun perlu dicatat, bahwa vasektomi tidak akan mengurangi risiko penularan penyakit seksual.
Bagaimana jika berubah pikiran dan ingin punya anak lagi?
Menurut Dokter Nur, seseorang yang sudah divasektomi masih bisa memiliki anak lagi setelah menjalani prosedur rekanalisasi.
Ini adalah prosedur di mana saluran spermatozoa (vas deferens) yang tadinya dipotong atau disumbat, kembali disambungkan agar bisa mengalirkan sel sperma.
“Di Indonesia, prosedur ini dari dulu sudah bisa dilakukan,” kata Dokter Nur.
Tetapi dia mengatakan bahwa prosesnya lebih rumit karena dia harus menggunakan mikroskop untuk menyambungkan kembali titik-titik penghubung salurannya. Selain itu, biayanya juga lebih mahal.
Sebagai gambaran, prosedur rekanalisasi atau yang juga disebut sebagai tindakan vasovasostomi di salah satu rumah sakit di Jakarta berkisar Rp25 juta.
Namun, Nur juga menjelaskan bahwa ketersediaan prosedur rekanalisasi ini pula yang akhirnya membuat MUI mau mengubah fatwanya pada 2012.
“MUI menyetujui karena saya bisa presentasikan ini. Jadi bisa saya perlihatkan bahwa orang yang sudah divasektomi, bisa disambung lagi sehingga secara syariat Islam, itu boleh,” tutur Dokter Nur.