Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten Media Partner
'Muka Saya Rusak' – Enam Kasus Serangan Air Keras dalam Tiga Bulan Terakhir di Indonesia, Mengapa Terus Berulang?
1 Januari 2025 9:40 WIB
'Muka Saya Rusak' – Enam Kasus Serangan Air Keras dalam Tiga Bulan Terakhir di Indonesia, Mengapa Terus Berulang?
Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya ada enam kasus penyiraman air keras yang terlaporkan di media. Serangan air keras biasanya dilatari dendam atau sakit hati, kata kriminolog.
Baru-baru ini, seorang mahasiswi di Yogyakarta, Natasya Hutagalung, menjadi korban penyiraman air keras oleh orang suruhan mantan pacarnya.
Polisi menyebut pelaku melakukan tindakan itu karena sakit hati keinginannya untuk balikan ditolak oleh korban.
Para keluarga korban kejahatan penyiraman air keras mayoritas mendesak agar pengawasan dan penjualan bahan kimia berbahaya itu diperketat.
Keluarga juga minta para pelaku diancam hukuman pidana lebih berat dengan tambahan pembayaran denda yang besar kepada korban.
Sebab, dampak kerusakan akibat serangan air keras—hingga mengakibatkan catat—harus mereka alami seumur hidup.
Kriminolog mengatakan penggunaan air keras untuk tindakan kriminal sudah terjadi sejak lama di Indonesia dan termasuk dalam kejahatan copycat, yaitu kejahatan yang terinspirasi atau meniru dari kejahatan di masa lalu atau sebelumnya.
Kasus-kasus seperti ini, kata kriminolog, biasanya menimpa korban individu yang dilatari oleh dendam atau sakit hati.
'Muka saya rusak'
Seorang pria berusia 38 tahun di Bekasi, Jawa Barat, mengaku tak tahu akan seperti apa masa depannya pascainsiden mengerikan yang menimpanya akhir bulan lalu.
Hari itu, Sabtu, 30 November 2024 sekitar pukul 07.00 pagi.
VU, pria yang menghendaki diidentifikasi dengan inisialnya saja demi alasan keamanan, hendak pergi ke kantornya dengan mengendarai sepeda motor.
Mengenakan jaket, celana panjang, dan helm, dia berpamitan pada orang tua dan adiknya.
Dia lantas menancap gas melewati gang rumahnya di kawasan Medan Satria, Kota Bekasi.
Tapi tak sampai 200 meter, ia dikagetkan oleh aksi seorang pria bersepeda motor dan mengenakan atribut ojek online, tiba-tiba menyiramnya dengan cairan yang membuat beberapa bagian tubuhnya terasa panas.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Berdasarkan rekaman CCTV yang diperoleh keluarga, setelah aksi penyiraman itu VU sempat berhenti sebentar lalu mengusap wajahnya.
Ia kemudian merintih dengan suara kesakitan: "Aduh panas... tolong... maling... aduh ya Allah, aduh..."
VU lantas menggeber motornya untuk mengejar orang yang menyiramnya itu.
Adik VU, Tia—yang hanya diidentifikasi dengan nama panggilannya saja—bercerita karena mendengar sang kakak menjerit sambil mengendarai motor, ia pun ikut berteriak: "Maling... maling... maling..."
"Karena VU mengejar pelaku, saya juga ikut kejar sambil lari karena panik," ungkap Tia kepada BBC News Indonesia, Jumat (27/12).
"Saya akhirnya pinjam motor warga untuk cari kakak saya, ternyata sudah banyak orang berkerumun, tapi pelakunya enggak dapat [tertangkap]."
"Saya telepon terus kakak saya tapi enggak ketemu. Saya tanya, 'Kamu di mana?'. Dijawab oleh kakak saya, 'Tia, muka saya rusak...'".
Mendengar itu, Tia kehabisan kata-kata.
Ia cepat-cepat mengajak kakaknya yang sudah berada di rumah untuk segera ke rumah sakit.
"Saya juga kaget dia masih bisa kejar orang itu, saat itu dia pasti menahan sakitnya. Badannya melepuh, bajunya sudah robek-robek."
'Kakak saya sudah diintai dan diteror sejak lama'
Sehari sebelum insiden penyiraman air keras itu, Tia bercerita, seorang pria bersepeda motor dan mengenakan atribut ojek online—yang diduga sebagai pelaku—sudah memantau rumahnya, berdasarkan rekaman CCTV rumah mereka.
"Orang itu muterin rumah dari jam 05.30 pagi," ucap T yang mengaku masih trauma dan ketakutan.
Tapi jauh sebelum itu, yakni mulai akhir Juli sampai Oktober, keluarga ini mengalami setidaknya lima kali teror.
Teror pertama pada akhir Juli, orang tak dikenal menusuk keempat sisi ban mobil VU yang terparkir di lapangan masjid—lokasinya tak begitu jauh dari rumah.
Teror kedua dan ketiga pada Oktober, orang tak dikenal melempar mobil VU dengan batu hingga kaca kendaraan korban pecah serta memukul kaca belakang memakai palu.
Teror keempat kembali menyasar mobil VU dan terakhir pada 21 Oktober, orang tak dikenal melempar benda sejenis bom molotov hingga membakar interior mobil.
"Kejadian satu dan dua, kami tidak punya bukti, karena tidak ada kamera CCTV. Di kejadian ketiga sampai terakhir terekam CCTV," imbuh Tia.
"Di kejadian ketiga itu kami sudah membuat laporan ke Polsek Medan Satria."
Tia juga mengatakan pada teror pertama hingga ketiga, terjadi pada malam hari. Teror selanjutnya berlangsung di siang hari.
Pelaku teror ini, klaim Tia, selalu mengendarai motor, memakai helm, masker, dan pakaian yang berbeda-beda.
Baru di insiden terakhir penyiraman air keras itu, pelakunya mengenakan atribut ojek online.
Siapa pelakunya?
Hingga saat ini, kata Tia, polisi belum berhasil menangkap pelakunya. Padahal mereka sudah mengirimkan semua rekaman CCTV yang terkait dengan teror maupun peristiwa penyiraman air keras tersebut.
Selain itu sang kakak juga belum bisa memberikan keterangan secara utuh.
Sejak dilaporkan pada 30 November lalu, sambungnya, Tia selalu getol menanyakan kelanjutkan penyelidikan polisi terhadap kasus sang kakak.
Hanya saja, menurut dia, prosesnya terkesan lamban.
Begitu pula mengenai motif, Tia bilang tak mengetahui sama sekali. Sebab VU tak pernah menerima ancaman langsung maupun lewat pesan singkat.
'Kami sekeluarga trauma'
Merujuk pada keterangan dokter, VU mengalami luka bakar hingga 60% yang menyasar wajah sebelah kanan, leher, dada, tangan, dan paha.
"Karena pada waktu itu, dia duduk di motor, jadi tumpahannya kena ke paha," kata Tia.
Pada pekan lalu, lanjutnya, VU sudah menjalani operasi pencakokan kulit dan kini masih dalam tahap perawatan.
Dokter yang awal merawat bilang kepada keluarga bahwa proses penyembuhan akan memakan waktu cukup lama.
Namun yang dikhawatirkan Tia, kakaknya kemungkinan mengalami cacat di beberapa bagian tubuh.
Usai kejadian itu pula, keluarga ini menutup rapat-rapat segala informasi tentang VU. Mereka khawatir pelaku kembali mengincar korban.
Karenanya, untuk ke rumah sakit saja Tia harus sangat berhati-hati.
Sementara itu, untuk membiayai perawatan sang kakak, Tia berkata mereka harus menjual motor. Pasalnya total ongkos pengobatan sudah mencapai Rp10 juta.
"Oke lah biaya operasi di-cover BPJS, tapi biaya perawatan jalan bagaimana? Kakak saya lukanya sampai bernanah loh, masak enggak diobatin? Otomatis harus panggil perawat untuk bersihin lukanya."
"Makanan dia pun harus yang lunak, karena bibirnya kena [air keras] sedikit, jadi makannya dari [bibir] samping."
Kini Tia dan keluarganya berharap polisi bergerak lebih cepat menangkap pelaku. Di sisi lain, mereka meminta siapa pun yang terlibat penyiraman air keras dihukum seberat-beratnya dan mendesak adanya ganti rugi.
Sebab luka dan trauma yang ditimbulkan air keras itu akan dibawa kakaknya sepanjang hidupnya.
Hingga saat ini, kepolisian Polsek Medan Satria belum berhasil menangkap pelaku. Kanit Reskrim Iptu Ali Imron, bilang pihaknya masih melakukan pemantauan di lokasi termasuk mengidentifikasi ciri-ciri pelaku berdasarkan tangkapan kamera CCTV.
Adapun Kapolres Metro Bekasi, Dani Hamdani, mengaku kesulitan mengidentifikasi pelaku lantaran minimnya informasi tentang pelaku.
"Rekaman CCTV yang ada belum bisa mengidentifikasi wajah pelaku dan identitas kendaraan," katanya seperti dilansir kompas.com.
Sederet peristiwa penyiraman air keras
Dalam beberapa bulan terakhir, kasus-kasus penyiraman air keras cukup sering terjadi.
Salah satu insiden yang menggemparkan adalah penyiraman air keras Novel Baswedan , mantan penyidik KPK pada April 2017.
Kejadiannya berlangsung usai Novel melaksanakan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Akibat air keras itu, mata kiri Novel tidak berfungsi hingga cacat permanen.
Polisi baru berhasil menangkap pelaku dua tahun setelahnya atau Desember 2019.
Di persidangan, dua terdakwa mengaku melakukan aksinya karena dilandasi kebencian terhadap perilaku korban yang disebutnya tidak menghargai jiwa korsa.
Kemudian pada September 2024, viral di media sosial kasus penyiraman air keras yang menimpa Agus Salim.
Saat kejadian, dia hendak pulang dengan mengendarai sepeda motor di seputar Jalan Nusa Indah, Cengkareng, Jakarta Barat.
Hasil pemeriksaan polisi mengungkap pelakunya adalah rekan kerja Agus di sebuah kafe. Motifnya karena sakit hati dengan korban lantaran disebut kerap dimarahi saat bekerja.
Akibat aksi itu, Agus menderita luka bakar hingga 90%.
Pada akhir Oktober 2024, Meisya Chtalin, seorang remaja kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Lembata, Nusa Tenggara Timur, disiram air keras oleh Charles Arif yang berusia 45 tahun.
Tindakan itu dilakukan saat korban sedang berangkat sekolah.
Dari keterangan polisi, pelaku menganiaya korban atas dasar sakit hati yang disebutnya cuek dan mengabaikan perasaannya. Meisya mengalami luka parah di bagian mata, kedua pelipis, dan bibir.
Lalu pada awal Desember 2024, kasus penyiraman air keras kembali terjadi. Kali ini menimpa Farah Rizka, perempuan berusia 20 tahun di daerah Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi.
Menurut keluarga dan polisi, pelakunya bukan orang asing melainkan teman dari suami korban berinisial J.
Pelaku, kata polisi, sakit hati lantaran mengetahui korban dan mantan suaminya akan kembali rujuk.
Akibat air keras itu, Farah mengalami luka bakar hampir 60% pada bagian leher, punggung, paha hingga payudaranya.
Di Lhokseumawe, Aceh, seorang pria berinisial DM, berusia 49 tahun, ditangkap polisi atas tuduhan menyiram air keras terhadap dua anak tirinya yang berusia 13 dan 16 tahun.
Peristiwa itu menyebabkan satu korban meninggal, sementara korban lain mengalami luka berat.
Dari pemeriksaan polisi, pelaku menyasar kedua korban lantaran merasa sakit hati dan cemburu terhadap istrinya.
Terbaru, pada 24 Desember, seorang mahasiswi di Yogyakarta yaitu Natasya Hutagalung menjadi korban penyiraman air keras oleh orang suruhan mantan pacarnya.
Polisi menyebut peristiwa ini diinisiasi oleh pelaku Billy dengan membayar suruhan bernama Satim. Pelaku dan korban diketahui sudah berpacaran sejak 2021 dan putus pada Agustus 2024.
Billy, sambung polisi, terus mengajak korban balikan namun selalu ditolak.
Hingga akhirnya pelaku mengancam korban yang intinya jika mereka tidak bersama, maka keduanya akan sama-sama hancur.
Billy lantas mengunggah di akun Facebook miliknya seolah-olah mencari orang untuk diajak kerja sama apa pun.
Bertemu lah dia dengan Satim sebagai eksekutor dengan bayaran Rp7 juta yang akan dibayar setelah mengeksekusi korban.
Pelaku Billy menghubungi Satim pada Selasa (24/12) sekitar pukul 15.00 dan memberi informasi bahwa korban berada di indekosnya serta bersiap untuk ke gereja.
"Pelaku S datang jam 18.00 sampai di kos korban. Karena pintu kos agak terbuka, S langsung buka pintu dan melihat korban selesai mandi mengenakan handuk," ujar Kasat Reskrim Polresta Yogya, Satrio, seperti dilansir detik.com.
"Langsung itu disiramkan air keras kepada korban, terkena ke muka dan sekujur tubuhnya."
Kerabat korban, Tarida Hutagalung, menuturkan keponakannya itu belum bisa membuka mata kiri akibat luka serius.
Kendati begitu, kondisi Natasya sudah sadar tapi mengalami trauma berat dan rasa takut yang mendalam.
Mengapa kasus penyiraman air keras marak?
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan penggunaan air keras untuk tindakan kriminal sudah terjadi sejak lama di Indonesia dan termasuk dalam kejahatan copycat.
Kejahatan copycat adalah tindakan kriminal yang terinspirasi atau meniru dari kejahatan di masa lalu atau sebelumnya.
Kejahatan mode begini, menurut Adrianus, terus diulangi karena mudah dilakukan.
"Penyiraman air keras ini juga diyakini oleh pelakunya tidak akan mudah tertangkap, mengingat kasus-kasus terdahulu yang sulit terungkap, misalnya kasus Novel Baswedan," ujar Adrianus Meliala.
Kriminolog dari UI, Josias Simon, juga menjelaskan aksi menyiramkan air keras adalah cara atau modus yang dianggap lebih mudah ketimbang menggunakan senjata tajam yang gampang ketahuan jika terlihat orang bahkan polisi.
Pelaku, katanya, cukup membeli bahan kimia berbahaya itu dalam jumlah kecil yang bisa diperoleh secara legal maupun ilegal.
Dalam melakukan aksinya, pelaku juga tak perlu repot-repot karena tinggal melemparkan cairan berbahaya tersebut ke tubuh korbannya.
"Karena mendapatkannya mudah, pelaku beli dan membungkusnya tanpa mencolok perhatian," imbuh Josias.
"Aksinya pun berlangsung sangat cepat dan dekat."
Kasus-kasus seperti ini, sambungnya, biasanya menimpa korban individu yang dilatari oleh balas dendam atau sakit hati.
Tapi meskipun sifatnya tidak mematikan, namun bisa menyakitkan korban.
"Jadi pelaku menyimpan rasa kesal yang dalam dan ingin menyakiti dengan menggunakan air keras. Ingin merusak tujuannya."
Apa hukuman yang bisa bikin jera?
Menurut para kriminolog, kasus penyiraman air keras juga banyak ditemukan di negara-negara Asia Selatan termasuk Bangladesh, Pakistan, India, dan Afghanistan.
Di sana, kebanyakan korban adalah perempuan yang diserang oleh pacar, suami, atau atasan mereka.
Hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku terbilang tinggi.
Di India, pelaku diancam 10 tahun penjara dan bisa diperpanjang menjadi pidana seumur hidup.
Di Bangladesh, ada dua undang-undang terkait penyerangan memakai air keras di antaranya aturan untuk mencegah dan menanggulangi.
Jika menyebabkan luka berat, maka pelaku diancam penjara 7-14 tahun.
Sedangkan di Pakistan, pelaku penyerangan air keras bisa terancam 14 tahun kurungan dan denda 1 juta rupee atau setara Rp189 juta.
Di Indonesia, penerapan hukum pidana atas perbuatan penyiraman air keras pada seseorang masuk kategori penganiayaan.
Pasal yang dikenakan Pasal 351 hingga 358 tentang penganiayaan ringan hingga penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.
Maksimal ancaman hukumannya 12 tahun penjara, namun tak mengatur soal denda kerugian kepada korban.
Kriminolog Josias Simon menilai KUHP harusnya mengatur soal denda, sebab dampak yang dialami korban berlangsung sepanjang hidupnya.
"Terkait kerugian korban, dia [pelaku] harusnya menanggung karena hal begini risikonya ditanggung korban. Tapi ini enggak ada dalam aturan dan sudah semestinya masuk wacana [revisi UU KUHP] supaya mencegah orang melakukan."
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, juga menyebut pelaku yang menggunakan air keras untuk melakukan kejahatan menghendaki korbannya "menderita maksimal".
Karena itulah dia menilai perbuatan pelaku sudah termasuk dalam penganiayaan berat, bisa dikategorikan sebagai percobaan pembunuhan.
"Sehingga harusnya dihukum maksimal 15 atau 20 tahun, agar ada penjeraan" menurut Abdul Fickar.
Apakah korban air keras bisa kembali seperti semula?
Dokter spesialis kulit dan kelamin, Muhammad Nurul Kawakib, mengatakan orang yang terkena bahan kimia berbahaya seperti air keras akan merasakan kesakitan luar biasa, perih dan panas seperti terbakar.
Tapi seperti apa tingkat perlukaannya, tergantung pada luasnya luka dan sedalam apa mengenai jaringan tubuh.
Jika perlukaannya melebihi 50% maka sudah pasti tergolong berat dan bisa mengakibatkan kematian.
"Perlukaan sampai 50 persen lebih itu kalau lukanya luas, kulit melepuh, dan dalam mengenai jaringan kulit serta lemak," jelas dokter Kawakib kepada BBC News Indonesia.
Kawakib juga menjelaskan, luka akibat air keras bisa disebut ringan, jika efek yang ditumbulkan adalah merah pada kulit.
"[Luka] sedang itu kalau kulitnya sampai melepuh. [Luka] berat itu cairan di kulit seperti berwarna putih, kayak ada busa, ada juga sampai menghitam kulitnya," sambungnya.
"Apalagi kalau kena organ mata, bisa mengalami kebutaan total."
Ia juga bilang orang yang disiram air keras, biasanya akan menerima pencakokan kulit jika perlukaannya luas dan cukup parah.
Tapi itu pun, menurutnya, sulit untuk kembali seperti semula. Sebab kulit yang mengalami perlukaan, akan memicu scar atau bekas luka.
"Kalau luka cuma merah saja, masih bisa bagus lukanya. Kalau melepuh, hitam, apalagi kena lemak, pasti bekas luka pascapenyembuhan itu akan tetap ada."
"Bekas lukanya seperti keloid, bopeng, intinya kulit jadi tidak rata. Wajah seperti pakai topeng, tidak ada lekukan natural."
"Dan yang lama itu pemulihannya, butuh waktu dan biaya mahal."
Seperti apa aturan bahan kimia berbahaya?
Air keras adalah air yang mengandung zat kimia serupa hydrochloric yang terdiri dari beberapa jenis, antara lain asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCL), asam fosfat (H3PO4), dan asam nitrat (HNO3).
Asam sulfat digunakan untuk membuat pupuk buatan, aki, baterai, deterjen, dan bahan peledak.
Asam klorida dipakai untuk membersihkan permukaan logam sebelum disoldir, pembersih porselen, dan pembuatan plastik.
Asam fosfat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk, garam, dan komponen produk pembersih rumah.
Asam nitrat dipakai sebagai pereaksi di laboratorium, penguji logam mulia, dan bahan baku pembuatan bahan peledak.
Di lokapasar atau e-commerce, bahan kimia seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat dengan tingkat kadar rendah sampai tinggi dijual secara bebas dengan harga di bawah Rp50.000 per liter.
Kalau berpijak pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 75 Tahun 2014, empat jenis zat kimia itu termasuk dalam bahan berbahaya atau disebut B2. Penjualan dan peredarannya dibatasi oleh pemerintah.
Beleid itu menyebut produsen bahan berbahaya diharuskan memiliki izin usaha industri dari pihak berwenang.
Sementara Distributor Terdaftar Bahan Berbahaya (DT-B2) yang ditunjuk oleh Importir Produsen (IP-B2) dan Importir Terdaftar (IT-B2) harus mendapatkan izin dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kemendag untuk menyalurkan bahan berbahaya kepada Pengecer Terdaftar (PT-B2) atau Pengguna Akhir (PA-B2).
Pengecer Terdaftar juga harus mendapatkan izin usaha perdagangan khusus bahan berbahaya dari gubernur dalam hal ini kepala dinas provinsi untuk menjual bahan berbahaya kepada PA-B2.
Selain itu, distributor terdaftar dan pengecer terdaftar juga wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2).
Namun demikian, izin untuk pengecer terdaftar harus dilengkapi usaha perdagangan khusus bahan berbahaya yang dikeluarkan oleh gubernur dalam hal ini kepala dinas provinsi agar bisa menjual bahan berbahaya tersebut kepada pengguna akhir.
Adapun pengguna akhir di sini adalah harus berbentuk perusahaan industri yang menggunakan bahan berbahaya sebagai bahan baku yang diproses secara kimia fisika.
Bagi pihak-pihak yang melanggar bakal dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan pengakuan, perizinan, hingga SIUP.