Konten Media Partner

Nadiem Temui Korban Pelecehan Seksual UNRI: Kita Pastikan Dapat Perlindungan

15 April 2022 9:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mahasiswi korban dugaan pelecehan seksual oleh seorang dekan di Universitas Riau (UNRI) meminta keadilan kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makariem.
Mahasiswi itu, yang disebut berinisial L, datang ke Jakarta pada hari Kamis untuk secara langsung menemui Menteri Nadiem serta sejumlah pejabat Kemendikbudristek. Ia didampingi oleh Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unri.
Pendamping dari Komahi, yang tidak ingin namanya disebut karena alasan keamanan, mengatakan korban menagih implementasi Permendikbudristek no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Kunjungan ini dilakukan setelah terdakwa pelaku kekerasan seksual, Syafri Harto, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan alasan tidak cukup bukti. Vonis tersebut telah menuai gelombang protes dari kalangan mahasiswa dan perempuan di Riau.
Menteri Nadiem mengatakan pihaknya akan "memproses" rekomendasi dari satuan tugas yang dibentuk oleh UNRI, yaitu supaya pelaku diberikan sanksi administratif.
"Kita meminta Pak Rektor untuk memastikan hak-hak korban dapat terpenuhi dan mendapatkan perlindungan dari stigma dan tekanan, mengingat putusan pengadian belum berkekuatan hukum tetap sampai saat ini," Nadiem menambahkan dalam pernyataan pers yang dikirim setelah pertemuan.
Kedatangan ke Kemendikbudristek merupakan upaya korban untuk mencari keadilan lewat jalur administratif. Adapun di jalur hukum, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus korban mengatakan akan mengajukan kasasi sebagai bentuk penolakan vonis bebas yang diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Kronologi pelecehan seksual

Kasus ini menjadi viral setelah Komahi mengunggah video pengakuan korban di akun Instagramnya pada tanggal 4 November 2021. Video berdurasi 13 menit itu sampai saat ini telah ditonton hampir dua juta kali.
Dalam video tersebut, si mahasiswi menceritakan pelecehan terjadi pada tanggal 27 November 2021 ketika ia menemui Syafri Harto di ruangan dekan FISIP UNRI untuk melakukan bimbingan proposal skripsi. Saat itu, tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan tersebut selain mereka berdua.
Selama sesi bimbingan, kata si mahasiswi, Syafri mengatakan kata-kata yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Seperti ia mengatakan kata-kata 'i love you' yang membuat saya sangat terkejut dan sangat-sangat tidak menerima perlakuan Bapak tersebut."
Kemudian saat si mahasiswi hendak pamit, ia melanjutkan, Syafri menggenggam badannya lalu mencium pipi dan keningnya.
"Saya sangat merasa ketakutan dan saya langsung menundukkan kepala saya. Namun Bapak Syafri Harto segera mendongakkan kepala saya dan ia berkata 'mana bibir, mana bibir', yang membuat saya merasa terhina," ujarnya.
"Badan saya terasa lemas, saya ketakutan. Namun setelah saya mendorong Bapak Syafri Harto ia mengatakan 'ya sudah kalau enggak mau'" ia menambahkan.
Sebelum mengunggah video tersebut, Komahi mengatakan si mahasiswi telah mengadukan kejadian yang ia alami kepada fakultas dan rektor namun tidak direspons dengan baik.

Cari keadilan lewat jalur hukum

Pada 5 November, si mahasiswi akhirnya melaporkan pelecehan seksual yang ia alami ke Polresta Pekanbaru.
Syafri Harto membantah tuduhan pelecehan yang ditudingkan terhadapnya. Menurutnya, tuduhan itu berkaitan dengan kabar bahwa dirinya akan maju pada pemilihan rektor UNRI tahun depan.
Syafri bahkan mengancam akan menuntut si mahasiswi sebanyak 10 miliar atas pencemaran nama baik.
Pada 18 November, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau menetapkan Syafri sebagai tersangka.
Meski berstatus tersangka, ia belum dipecat dari jabatannya di UNRI. Setelah didemo berkali-kali oleh mahasiswa UNRI, Syafri resmi dinonaktifkan sementara pada 21 November.
Proses hukum terus berjalan hingga pada 17 Januari 2022, Syafri ditahan oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru.
Proses persidangan berlangsung hingga berbulan-bulan. Selama itu, Syafri membantah semua kesaksian korban tentang pelecehan seksual. Pada 30 Maret, majelis hakim menyatakan Syafri tidak bersalah dan menolak semua tuntutan.
Majelis yang terdiri dari tiga hakim pria itu menilai tidak ada cukup bukti dan tidak ada saksi selain korban yang dapat membuktikan terjadi pelecehan seksual.
"Keterangan saksi saja tidak cukup, menurut KUHAP saksi adalah orang yang melihat, mendengar langsung perkara pidana yang dialami sendiri," kata majelis, seperti dikutip detikcom.
Padahal, dalam persidangan saksi ahli pidana mengatakan bahwa dalam kasus pencabulan atau pelecehan seksual umumnya tidak ada saksi lain kecuali korban dan terdakwa; dan bahwa tidak ada saksi tidak berarti tidak ada unsur pidana.
Saksi ahli kejiwaan dari RS Bhayangkara juga menjelaskan baik korban maupun terdakwa tidak mengalami halusinasi.

Sanksi administratif

Sementara itu, UNRI membentuk Satuan Tugas yang melakukan penyelidikan sejak bulan Desember sampai Februari. Satgas merekomendasikan sanksi administratif terhadap pelaku. Rekomendasi itu telah dikirim ke Kemendikbudristek selaku lembaga pembina PTN untuk ditindaklanjuti.
Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengungkapkan pihaknya aktif berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNRI.
"Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, Satgas PPKS UNRI telah merekomendasikan sanksi administratif. Hal ini sedang diproses oleh Kemendikbudristek," kata Chatarina dalam pernyataan pers yang diterima BBC News Indonesia.
Komahi berharap proses Kemendikbudristek dapat berujung pada pemecatan Syafri dari Unri. Menurut mereka, sampai saat ini pihak universitas belum memberi pernyataan tentang status terdakwa sebagai tenaga pengajar atau dekan.
"Tapi sejauh ini belum kembali mengajar. Rumor bahwa ia akan kembali mengajar sudah ada," kata mereka.
Sambil mendampingi korban mencari keadilan lewat jalur hukum, Komahi mengatakan akan terus mengangkat kasus ini di media sosial dengan tagar #percumaadapengadilan.

Kampus 'masih belum mumpuni'

Menurut Komahi, mengingat kasus ini terjadi tidak lama setelah Permendikbudristek no. 30 tahun 2021 disahkan, pihak Unri "masih meraba-raba" dalam menanganinya serta takut mengambil keputusan yang konkret.
Aktivis Perempuan sudah lama mengatakan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia tidak terungkap karena kuatnya relasi kuasa para pelaku serta ketiadaan payung hukum.
"Mungkin kalau kasus ini diselesaikan secara prosedur dengan baik dari sekretaris jurusan sampai ketua jurusan itu bisa selesai di awal... Universitas masih belum mumpuni dan siap sehingga masih harus melibatkan pihak-pihak luar untuk menekan," kata Komahi.
Aktivis Perempuan sudah lama mengatakan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia tidak terungkap karena kuatnya relasi kuasa para pelaku serta ketiadaan payung hukum.
Pengesahan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 pada 3 September 2021 telah menjadi pijakan untuk mengadvokasi para korban dan penyintas yang selama ini tak berani bicara.
Dalam beleid baru itu, kampus wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.