'Namanya Saja KUA, Bukan KUI' - Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama

Konten Media Partner
6 Maret 2024 9:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

'Namanya Saja KUA, Bukan KUI' - Polemik KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama

Foto ilustrasi. Calon pengantin wanita bersiap melakukan akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/2/2024).
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi. Calon pengantin wanita bersiap melakukan akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/2/2024).
Inisiatif Kementerian Agama yang ingin menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat pelayanan keagamaan bagi seluruh umat beragama termasuk tempat perkawinan menuai kontroversi.
Beberapa pemuka agama mendukung, tapi ada juga yang menolak dengan alasan perkawinan sebagai urusan privat - sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan idealnya KUA memang untuk seluruh agama. Namun, agar tak muncul resistensi, dia menekankan pemerintah agar tidak mengintervensi terlalu dalam soal ajaran keagamaan yang berkenaan dengan perkawinan.
Lantas, seperti apa tanggapan masyarakat?

KUA menjadi tempat pernikahan semua agama?

Polemik wacana Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pernikahan dan pencatatan bagi semua umat beragama terus bergulir.
Gagasan itu pertama kali diungkapkan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam pada Jumat (23/02) lalu.
Di situ, dia memaparkan idenya untuk menjadikan KUA sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama.
"Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama," ucapnya.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Tak cuma untuk tempat pernikahan, KUA juga akan mencatatkan pernikahan seluruh agama.
"Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu harusnya menjadi urusan Kementerian Agama," paparnya.
Dengan mengembangkan fungsi KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam, Menag berharap data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik.
Diharapkan aula-aula yang ada di KUA bisa dimanfaatkan sebagai tempat ibadah sementara bagi umat lain yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Mereduksi kesakralan pernikahan?

Tapi beberapa pemeluk agama Kristen tak begitu setuju dengan rencana itu, seperti yang diungkapkan Seftianicha Windri Pandia.
Warga Medan, Sumatra Utara, ini menikah dengan suaminya, Yosua Samuel Sitepu, di Gereja Jemaat Allah Indonesia (GJAI) pada pertengahan tahun lalu.
Baginya, inisiatif Menag menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan semua agama berpotensi mereduksi kesakralan perkawinan.
Sebab, sebagai penganut agama Kristen, pemberkatan harus dilakukan di gereja.
"Menurut saya jadi kurang sakral, karena penganut agama Kristen memang harus diberkati di gereja. Walaupun di KUA bisa, yang memberkati juga harus pendeta. Jadi saya kurang mendukung," tutur Seftianicha kepada BBC News Indonesia.
Seorang pendeta Kristen (kanan) berbicara dengan seorang calon pengantin perempuan sebelum dia menikah di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 4 Oktober 2009.
Jepri Zebua, warga Medan, juga berpikiran sama. Kata dia, rencana Menteri Agama agar melangsungkan pernikahan di KUA justru berpotensi menimbulkan gejolak dan membuka celah baru pungutan liar.
Tapi selama KUA hanya menyangkut administrasi pencatatan, Jepri setuju.
Meski menurutnya yang lebih penting ketimbang mengurusi KUA, Menag sebaiknya fokus membenahi masalah izin pendirian rumah ibadah yang sulit diperoleh.
"Itu lebih prinsipil. Karena selama ini penerbitan izin rumah ibadah sangat panjang birokrasinya," ujar pria yang menikah di Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Medan.

Memudahkan pengurusan administrasi pernikahan?

Suara berbeda datang dari Marthasya Novriska Tambunan.
Warga Riau yang melangsungkan pernikahan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Cikampek pada Agustus tahun lalu ini menyatakan mendukung ide Menag.
"Lebih bagus malah, biar lebih mudah lagi untuk yang akan menikah sehingga bagi yang beragama Kristen juga akan ada buku nikahnya," kata istri Aprianto Sibuea ini.
Pengantin Maria Delsa Visianika (tengah) dan pengantin pria Gideon Hermantoko (kedua dari kiri) melepas merpati saat upacara pernikahan mereka di Gereja Kristen Epivani Java di Parakan, Jawa Tengah, pada 16 Desember 2023.
Master Sitinjak juga sepandangan. Menurutnya, menikah di KUA bakal memudahkan semua penganut agama serta bisa membenahi persoalan yang selama ini dialami banyak orang saat mengurus administrasi perkawinan.
"Bagus karena memudahkan non-muslim untuk mengurus catatan sipil dan membantu warga yang tinggal di pelosok.
Untuk diketahui ribuan kantor KUA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia berada di tingkat paling bawah yakni kecamatan. Sementara kantor catatan sipil mayoritas ada di kabupaten/kota.
Cerita tentang ribetnya mengurus surat-surat pernikahan dialami Nay Simbolon yang menikah pada Desember tahun 2023. Saat prosesi pemberkatan tidak ada kendala apa-apa, tapi ketika hendak mendaftarkan pernikahannya ke dinas catatan sipil baru muncul.
"Yang disayangkan saat proses pendaftaran ke dinas catatan sipil. Susah karena Sabtu mereka libur, padahal kita tahu pernikahan itu kebanyakan pada akhir pekan," ucapnya.
Sepasang calon pengantin yang mengenakan pakaian adat Bali mengikuti upacara pernikahan massal antaragama yang disponsori oleh penyelenggara dan pemerintah Jakarta di Jakarta pada 19 Juli 2011.
Seorang warga Bali asal Karangasem, juga merasakannya. Penganut agama Hindu dan bapak dua anak ini mengaku tidak mengalami kesulitan berarti dalam menjalani proses pernikahannya.
"Dari kepala dusun lalu kepala adat, ke kecamatan dan kemudian kabupaten, dalam hal mengurus akta perkawinan," ujarnya saat ditanyai di Kuta, Bali.
Akan tetapi untuk mengurus surat-surat pernikahan harus dengan bantuan kepala dusun. Ia bersama istri mesti mengisi data-data yang ada dalam formulir atau blanko.
Ia tak ingat betul berapa uang yang dikeluarkan untuk mengurus administrasi perkawinan. Namun katanya, tak terlalu besar jika dibandingkan dengan biaya prosesi perkawinan adat.

Bagaimana perdebatan antara pemuka agama?

Hingga saat ini belum ada kesamaan pandangan antara pemuka agama terkait rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tersebut.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian di Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Pdt. Henrek Lokra, misalnya, meminta agar gagasan itu dipertimbangkan matang-matang.
Ia menjelaskan, ajaran Kristen menyebutkan perkawinan dianggap sah jika pemberkatannya dilakukan di gereja sesuai dan diberkati oleh pendeta.
Adapun legalitasnya berupa pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Kalau di kemudian hari pemberkatan dan pencatatan permikahan dilakukan di KUA, katanya, maka itu menyalahi dua peraturan sekaligus: UU Perkawinan dan UU Adminduk.
"Jadi kita jangan dibuat bingung. Kalau dicatatkan di Kemenag, apakah perkawinan itu menjadi urusan sipil atau bagaimana?" ucap Pdt. Henrek Lokra kepada BBC News Indonesia.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian di Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Pdt. Henrek Lokra.
"Kalau alasannya untuk mengintegrasikan data, tidak terlalu urgen, kan bisa koordinasi lintas lembaga atau kementerian saja."
"Harus jelas mana bagian negara dan gereja, enggak bisa dicampuraduk karena ada namanya wilayah teologis dan aturannya yang tidak patut dicampuri oleh negara."
Untuk diketahui Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Kemudian ayat 2 berbunyi, perkawinan sah apabila dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perundang-undangan yang dimaksudkan itu merujuk pada pasal 3 angka 17 UU Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa setiap penduduk wajib melaporkan perkawinan kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Artinya, perkawinan bagi umat muslim wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan untuk pasangan non-muslim di Kantor Catatan Sipil.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kuta Alam Erman Jaya (kanan) membimbing pasangan pengantin sebelum melaksanakan akad nikah di KUA Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, Jumat (1/3/2024).
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, juga meminta Kemenag mengkaji idenya agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah umat dan masyarakat.
Kata dia, bersandar pada aturan yang ada hingga saat ini KUA masih berada di bawah Dirjen Bimas Islam yang mana direktorat yang mengurus bagian perislaman.
Jika aturannya tak diubah, maka pelaksanaannya nanti yang menikahkan pasangan agama Kristen, Buddha, atau Hindu adalah penghulu.
"Yang namanya KUA bukan di bawah Dirjen Agama Katolik, Kristen, atau Hindu, Buddha," ucapnya.
Selain itu ia mengatakan banyak kantor KUA memakai tanah wakaf yang peruntukannya sudah jelas untuk masalah-masalah yang terkait dengan umat Islam.
Kalau kemudian KUA digunakan untuk agama lain, dia khawatir akan menimbulkan masalah.
"Saya dengar banyak dari kantor-kantor KUA tanahnya banyak menggunakan tanah wakaf yang peruntukannya tentu sudah jelas untuk masalah-masalah yang terkait dengan umat Islam."
Upacara pemberkatan nikah di vihara.
Berbeda dengan keduanya, Wakil Ketua Bidang Kebudayaan di Persatuan Hindu Dharma Indonesia, Mangku Dhanu Way Sudarma, mendukung rencana Menteri Yaqut.
Jika KUA -yang ada di tingkat kecamatan- bisa dijadikan tempat pencatatan pernikahan, maka umat Hindu yang tinggal di desa-desa tak perlu repot-repot lagi mengurus administrasi perkawinan mereka ke kantor catatan sipil.
"Rata-rata yang menikah itu tinggal di desa, sementara kantor catatan sipil itu biasanya di kabupaten atau kota. Jaraknya sangat jauh," imbuhnya.
"Makanya ada perkawinan yang secara agama saja atau adat saja."
Kantor KUA juga, sambungnya, bisa difungsikan untuk pelayanan bimbingan calon pengantin, kesehatan reproduksi, penurunan stunting.
Atau pembinaan bagi keluarga yang bermasalah, KDRT, rujuk dan perceraian.
"Dan pelayanan agama lainnya seperti pengurusan izin pendirian rumah ibadah, kehidupan beragama."
Soal prosesi pernikahan, di ajaran Hindu pelaksanaan upacara perkawinan tidak dilakukan di rumah ibadah atau pura. Tapi di rumah atau gedung serbaguna sepanjang perangkat agama seperti pendeta, pihak adat, dan majelisnya terpenuhi.
Pelaksana Harian DPP Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), Eric Fernando.
Pelaksana Harian DPP Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), Eric Fernando, juga setuju sepanjang KUA difungsikan sebagai tempat pencatatan pernikahan semua agama.
Dengan begitu, para calon pengantin semakin mudah mengurus pencatatan pernikahannya.
Karenanya Kementerian Agama diminta menyiapkan regulasi yang bisa mengkoordinasikan antar-lembaga dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ke KUA.
"Selain itu Kemenag juga perlu melakukan rekrutmen sumber daya manusia agar nantinya kebijakan ini bisa terlaksana dengan lancar," kata Eric.
"Misalnya merekrut penghulu ASN maupun penghulu non-ASN di masing-masing agama."
Di ajaran Buddha, upacara pernikahan bisa dilakukan di rumah ibadah atau gedung asalkan diperkenankan untuk melakukan dekorasi dan ada rupang Buddha.
Adapun untuk mengurus surat surat keterangan perkawinan bisa memakan waktu dua munggu setelah dukcapil menerima laporan surat keterangan perkawinan.

Jubir Menag: Pernikahannya tidak harus di KUA

Juru bicara Kemenag, Anna Hasbie, memahami keresahan para pemuka agama dan masyarakat.
Ia bercerita, alasan mengapa wacana ini mengemuka karena KUA adalah satuan kerja yang paling dekat dengan masyarakat yang keberadaannya ada di tingkat kecamatan.
Data Kementerian Agama sampai tahun 2022 mencatat ada 5.913 unit KUA yang tersebar di seluruh wilayah tingkat kecamatan di Indonesia. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 5.901 unit.
Adapun fungsi KUA paling besar selama ini untuk pelaksanaan pernikahan, pencatatan, rujuk, wakaf, zakat, dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan.
Juru bicara Kemenag, Anna Hasbie.
Namun, dalam beberapa kasus di daerah-daerah yang mayoritas Kristen, Katolik atau Hindu, kata Anna Hasbie, peran KUA jadi minim lantaran pelayanan kepada umat Islam sedikit.
Padahal, menurutnya, KUA semestinya bisa turut melayani kebutuhan umat agama lain yang kesulitan mengakses tempat ibadah atau kantor catatan sipil -karena biasanya berada di kabupaten/kota.
"Kalau KUA untuk Islam saja, kerjanya sedikit dong. Sementara ada orang yang membutuhkan layanan itu, makanya kita ingin maksimalkan fungsi KUA sebagai layanan unit keagamaan," imbuh Anna Hasbie kepada BBC News Indonesia.
"Misalnya ada wilayah yang 100 persen Kristen atau Hindu, kalau KUA hanya untuk Islam saja enggak ada fungsinya, kan sayang. Jadi hanya melayani sedikit, padahal bisa banyak yang dilakukan."
Berpijak dari persoalan tersebut, Kementerian Agama ingin menjadikan KUA sebagai etalase kerja Kemenag dengan memberikan pelayanan keagamaan untuk seluruh agama.
Bentuknya bisa berupa bimbingan perkawinan bagi calon pengantin.
Praktik ini, klaimnya, sudah berjalan di Kabupaten Bangli, Bali, pada tahun lalu.
Anna bercerita petugas KUA di sana memberikan bimbingan perkawinan dan juga mencatatkan perkawinannya yang nantinya terkoneksi dengan Dinas Catatan Sipil.
"Dan ini diapresiasi masyarakat karena merasa terbantu," sebutnya.
"Bangka Belitung juga sama, di sana mayoritas Konghucu maka KUA di sana memberikan bimbingan perkawinan bagi umat Konghucu."
Petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Kuta Alam melayani calon pengantin perempuan yang akan melaksanakan akad nikah di KUA Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, Jumat (1/3/2024).
Ide tersebut, sambungnya, kian menguat ketika situasinya tidak semua wilayah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) punya tempat ibadah untuk menggelar pemberkatan pernikahan. Termasuk juga kantor catatan sipil.
Jika situasinya demikian maka aula atau balai di KUA bisa digunakan untuk tempat ibadah sekaligus upacara pernikahan.
"Di daerah 3T mau ke gereja terdekat harus jalan berjam-jam atau menyeberang dengan perahu. Ini kan ada biaya. Kalau ada bimbingan perkawinan atau mengurus pencatatan juga tidak sekali jadi. Jika layanan itu diadakan di KUA bisa tidak? Bisa saja..."
"Didatangkan saja pendetanya, pastornya, sehingga masyarakat lebih gampang dan enggak perlu pergi jauh-jauh."
"Jadi jangan dibayangkan kayak Jakarta ya yang semuanya serba ada."
Intinya, kata Anna, prosesi pernikahan tidak harus dilangsungkan di KUA. Upacara perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada calon pengantin sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Itu mengapa Kemenag akan menyamakan persepsi dalam pertemuan dengan pemuka lintas agama. Termasuk menyinkronkan peraturan yang ada sekarang.

'Pemerintah jangan intervensi terlalu dalam'

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mendukung sepenuhnya jika rencana ini betul-betul terealisasi. Sebab idealnya memang KUA untuk seluruh agama.
"Namanya aja KUA, Kantor Urusan Agama. Bukan KUI tapi faktanya KUA hanya mengurus Islam saja, jelas tidak ideal."
Namun untuk mewujudkan itu, Kementerian Agama tak boleh masuk terlalu dalam atau mengintervensi ajaran internal masing-masing agama, termasuk dalam hal pernikahan.
Kalau ikut campur soal upacara pernikahan, katanya, pasti akan ada penolakan.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan.
Pemerintah menurut Halili cukup memfasilitasi apa-apa saja yang dibutuhkan masyarakat seperti soal pencatatan perkawinan.
"Kalau misalnya umat Islam kan, ijab kabul tidak harus di rumah ibadah. Tapi Kristen atau Katolik pemberkatannya harus di gereja, bagian-bagian itu negara jangan masuk terlalu dalam."
Dalam perkembangan terbaru, Kementerian Agama tengah menyiapkan transformasi KUA menjadi pusat layanan lintas agama.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Zainal Mustamin, mengatakan Kemenag telah memetakan 40 layanan keagamaan yang potensial disediakan di KUA:
1. Layanan pendaftaran perkawinan
2. Layanan pencatatan perkawinan
3. Layanan penerbitan surat rekomendasi perkawinan
4. Layanan penerimaan data perkawinan
5. Perbaikan dan perubahan data perkawinan
6. Penerbitan surat Keterangan status belum menikah/janda/duda
7. Pencatatan Laporan Nikah di Luar Negeri
8. Pencatatan penetapan perkawinan
9. Pencatatan perjanjian perkawinan
10. Bimbingan Perkawinan Pra Nikah (Calon Pengantin)
11. Bimbingan Perkawinan Masa Nikah (Relasi Sehat Pasutri)
12. Bimbingan pengelolaan keuangan keluarga
13. Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN)
14. Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS)
15. Bimbingan konseling dan mediasi keluarga
16. Pendampingan dan advokasi keluarga
17. Konsultasi keluarga hitasukhaya, keluarga sakinah, keluarga kristiani, keluarga bahagia katolik.
18. Layanan pemanfaatan data keagamaan
19. Penerbitan ID Rumah Ibadah
20. Penerbitan Surat Rekomendasi Bantuan Rumah Ibadah
21. Bimbingan tata kelola rumah ibadah
22. Layanan konsultasi keagamaan
23. Layanan penerbitan Surat Rekomendasi Penerima Bantuan Lembaga Keagamaan
24. Layanan penerbitan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kajian Keagamaan
25. Layanan penerbitan Surat Rekomendasi Penerima Bantuan Kajian Keagamaan
26. Layanan penerbitan Rekomendasi/Izin Penyelenggaraan Siaran Keagamaan Tingkat Kecamatan
27. Layanan penerbitan Rekomendasi/Izin Penyelenggaraan Hari Besar Keagamaan tingkat kecamatan
28. Bimbingan penyiaran keagamaan berperspektif moderat
29. Bimbingan penguatan literasi seni keagamaan
30. Bimbingan penguatan dan pengembangan budaya keagamaan
31. Layanan penyuluhan keagamaan di bidang konsultatif
32. Layanan penyuluhan keagamaan di bidang advokatif
33. Layanan penyuluhan keagamaan di bidang edukatif
34. Layanan penyuluhan keagamaan di bidang informatif
35. Layanan pemberdayaan ekonomi umat
36. Layanan rekomendasi penerima bantuan pemberdayaan ekonomi umat
37. Layanan mediasi konflik paham keagamaan
38. Layanan konsultasi paham keagamaan
39. Layanan konsultasi pencegahan konflik sosial berdimensi keagamaan
40. Layanan mediasi penanganan konflik sosial berdimensi keagamaan
Wartawan Nanda Fahriza Batubara di Medan, Sumatra Utara; dan Rai Rahman Indra di Bali turut berkontribusi pada liputan ini.