Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Nangka Berjasa Selamatkan Warga Sri Lanka dari Kelaparan akibat Krisis Ekonomi
10 Juli 2023 17:10 WIB
·
waktu baca 5 menit“Pohon nangka membuat ratusan ribu orang seperti kami tetap hidup. Pohon ini telah menyelamatkan kami dari kelaparan,” kata Karuppaiya Kumar, ayah tiga anak di Sri Lanka yang berprofesi sebagai buruh harian.
Nangka pernah diremehkan dan dijual seharga Rp14.500 untuk 15 kg, namun kini buah ini menjadi penyelamat.
“Sebelum krisis ekonomi, siapa pun bisa membeli nasi atau sepotong roti. Tapi sekarang, karena harga pangan naik, banyak orang memakan nangka hampir setiap hari,” sambung pria berusia 40 tahun itu.
Hampir sepertiga penduduk Sri Lanka kesulitan mengakses pangan. Setiap keluarga terpaksa menghabiskan lebih dari 70% pendapatan mereka untuk makanan.
"Kami telah mengurangi porsi makanan kami menjadi dua [kali sehari] dari sebelumnya tiga kali. Harga satu tabung gas untuk memasak 12kg adalah Rp76.000 hingga tahun lalu," kata Nadeeka Perera, 42, ibu dari tiga anak.
"Harga satu tabung gas naik lebih dari dua kali lipat sehingga satu-satunya pilihan yang tersisa adalah memasak secara tradisional," tambahnya sambil menyeka air mata, saat asap dari arang untuk memasak mengepul di sekelilingnya.
Pendapatan masyarakat menurun, sedangkan harga pangan melonjak sejak Sri Lanka lumpuh akibat krisis keuangan terburuk pada 2022.
Setelah berbulan-bulan listrik kerap padam dan negara itu kehabisan bahan bakar, orang-orang menggerebek kediaman resmi Presiden Gotabaya Rajapaska pada 9 Juli 2022. Presiden Rajapaksa berujung melarikan diri.
Sejak saat itu, pemerintah Sri Lanka berhasil merundingkan bantuan keuangan dari IMF. Namun tingkat kemiskinan meningkat dua kali lipat.
Nadeeka tinggal di sebuah rumah dengan dua kamar tidur di Kolombo bersama suami dan anak-anaknya.
Sebagai mantan juara dua di kejuaraan karambol nasional, dia mengalami kesulitan keuangan. Padahal, karambol adalah olahraga yang populer di Asia.
Nadeeka tidak lagi menghasilkan uang dari pekerjaannya sebagai wasit. Suaminya kini menjadi sopir taksi untuk mencari nafkah.
“Kami tidak mampu membeli daging atau telur lagi karena harganya melonjak enam kali lipat. Anak-anak juga sering bolos sekolah karena ongkos bus tidak terjangkau. Saya berdoa agar harga gas dan listrik akan turun suatu hari nanti,” kata Nadeeka.
Meskipun inflasi telah turun menjadi 12% pada Juni dari 54% pada Februari, pemerintah masih berjuang mengendalikan kenaikan harga-harga akibat pendapatan rumah tangga yang menyusut.
Kesulitan warga pedesaan
Sekitar 160km dari ibu kota Kolombo, terletak Kota Ratnapura yang berlokasi di antara perbukitan subur dan dikelilingi perkebunan karet dan teh.
Salah satu warga kota itu, Karuppaiya, memetik kelapa dari pohonnya demi mencari nafkah. Dia mengantongi 200 rupe (Rp9.900) setiap kali memanjat.
“Harga-harga sangat mahal. Saya juga harus membiayai pendidikan anak-anak saya. Jadi, uang yang tersisa untuk membeli makanan sangat sedikit,” katanya.
Istri Kumar bekerja sebagai penyadap karet, dengan cara memotong alur di kulit pohon karet agar cairan lateks bisa ditampung. Namun, pekerjaan ini terhenti akibat musim hujan.
“Bahkan ketika hujan, saya tidak bisa hanya diam di rumah dan tidak memanjat pohon kelapa. Saya harus menafkahi keluarga saya,” kata Kumar menyadari risiko pekerjaannya.
Di wilayah tetangga di selatan Ratnapura, terdapat klaster pedesaan yang disebut sebagai Palenda.
Sekitar 150 keluarga tinggal di wilayah ini, mayoritas adalah petani dan buruh.
Di sekolah-sekolah negeri setempat, kepala sekolah dan para guru menimbang dan mencatat berat badan murid-muridnya.
"Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan selama setahun terakhir. Jadi kami memberi makanan untuk mereka, yang sebelumnya mencakup dua butir telur per minggu,” kata kepala sekolah Wazeer Zahir.
“Tetapi karena harga-harga naik lagi, kami harus mengurangi jatah mereka menjadi satu butir telur mengingat kebutuhan protein sangat penting.”
Menurut Zahir, hampir setengah dari anak-anak di sekolahnya kekurangan berat badan atau kurang gizi.
Situasi ekonomi yang sulit selama lebih dari satu tahun juga telah merusak sistem kesehatan, yang semestinya gratis untuk 22 juta penduduk Sri Lanka.
Sri Lanka mengimpor sekitar 85% obat-obatannya sehingga ketika krisis ekonomi melanda dan cadangan mata uang anjlok, terjadi kekurangan obat-obatan esensial yang signifikan.
Profesor Moa De Zoysa, 75, seorang ilmuwan politik terkemuka dari stasiun bukit Kandy, terkena dampak langsung. Dia kesulitan mendapatkan obat dari India demi mengobati kondisi fibrosis paru-parunya sampai akhirnya meninggal sembilan bulan lalu.
“Dia frustasi karena terus-terusan tertunda mendapat obat, tapi dia terus menulis buku. Dia tahu bahwa dia akan meninggal karena kondisinya tidak mudah disembuhkan,” kata istrinya, Malini de Zoysa.
"Tapi pada bulan-bulan terakhir semestinya situasinya bisa jadi tidak terlalu membuat stres andai semuanya normal. Kami berjuang membayar utang yang sangat besar setelahnya.”
Kesulitan ini juga terlihat di dalam satu-satunya rumah sakit spesialis kanker di Kolombo.
Pasien kanker payudara berusia 48 tahun, Ramani Asoka dan suaminya khawatir soal sesi kedua kemoterapi yang dijadwalkan bulan depan.
“Bepergian ke sini saja sudah mahal, padahal selama ini kami diberi obat gratis oleh pihak rumah sakit. Sekarang kami harus membelinya di apotik dan stoknya tidak ada,” kata Ramani Asoka.
Menteri Kesehatan Sri Lanka, Keheliya Rambuwella, memperingatkan bahwa harga yang tinggi dan kelangkaan obat-obatan "tidak bisa segera diatasi sepenuhnya".
"Bayangkan kami memiliki pilihan sulit untuk memutuskan apa yang akan diimpor dari cadangan uang tunai yang sedikit -- makanan atau obat-obatan? Kami harus membawa makanan untuk menghindari krisis kelaparan yang membayangi. Situasinya sedikit mereda sekarang dan akan membaik secara bertahap," janjinya.
Orang-orang pun harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Nangka dulunya "dibiarkan membusuk" di tanah, kata Karuppaiya.
"Satu panci nangka kukus cukup untuk menghidupi kami berlima sepanjang hari," katanya.
Karuppaiya mendapatkannya melalui 'kesepakatan' yang unik dengan tetangganya karena dia tidak memiliki pohon nangka di lahannya.
“Saya tidak pernah meminta dibayar untuk memanjat pohon nangka dan memetik buahnya, bahkan jika orang lain bersedia membayar sekalipun. Saya lebih memilih membawa pulang salah satu nangka itu.”
Karuppaiya pun menaruh kepercayaannya pada alam, di tengah segala kekacuan politik dan ekonomi ini.
“Pohon nangka dan kelapa seperti ibu dan ayah bagi saya,” katanya.