Natal Memilukan di Betlehem: Tidak Ada Perayaan dan Sinterklas

Konten Media Partner
25 Desember 2023 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pohon Natal menyala di Manger Square di luar Gereja Kelahiran, di Bethlehem, di Tepi Barat yang diduduki Israel, Sabtu (3/12/222). Foto: Hazem Bader/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pohon Natal menyala di Manger Square di luar Gereja Kelahiran, di Bethlehem, di Tepi Barat yang diduduki Israel, Sabtu (3/12/222). Foto: Hazem Bader/AFP
Kota Betlehem di Tepi Barat, yang biasanya ramai pada saat-saat perayaan Natal, kini senyap ketika perang terus berkobar di Gaza.
Perayaan Natal telah dibatalkan tahun ini dan ribuan wisatawan serta peziarah yang biasanya memenuhi Manger Square, Betlehem, tak terlihat.
"Kota ini kosong dari kebahagiaan, kegembiraan, anak-anak, dan Sinterklas. Tidak ada perayaan tahun ini," kata Madeleine, seorang warga Betlehem, di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel.
Pohon Natal yang terkenal, biasanya berdiri di tengah alun-alun, sekarang tak ada. Tidak ada lagu-lagu Natal atau kios pasar Natal.
Sebaliknya, sebuah adegan kelahiran Yesus, yang memperlihatkan bayi Yesus yang baru lahir dikelilingi oleh batu-batu besar dan kawat berduri, telah dipasang sebagai penghormatan kepada anak-anak Gaza.
Di Gereja Kelahiran Yesus yang amat senyap, Pastor Eissa Thaldjiya mengatakan kepada saya bahwa kotanya terasa seperti bayangan dirinya sendiri.
"Saya sudah menjadi pendeta di gereja ini selama 12 tahun. Saya lahir di Bethlehem, dan saya belum pernah melihatnya seperti ini-bahkan selama pandemi Covid-19," ujarnya.
"Kami punya saudara-saudara di Gaza-inilah yang membuat sulit untuk merayakannya… Tapi alangkah baiknya jika kita bersatu dalam doa."
Jawdat Mikhael tinggal di Betlehem, namun keluarganya terjebak di Gaza Utara.
Orang tuanya, saudara laki-lakinya dan puluhan kerabat lainnya berlindung di Gereja Keluarga Kudus dekat Shejaiya di timur Kota Gaza-sebuah daerah yang hancur akibat pemboman Israel.
Saat Jawdat dan saya sedang berbicara, ada telepon dari ayahnya, Han'na Mikhael, masuk.
Jawdat Mikhael berbicara dengan ayahnya yang masih berada di Gaza.
Salurannya terputus-putus dan koneksinya tidak stabil-namun dia tetap bertahan untuk melihat ayahnya sekilas.
Han'na memberi tahu anaknya bahwa keluarganya baik-baik saja. Dia mengaku berhasil keluar dari gereja untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua pekan untuk mencoba mencari makanan.
Ia berkata bahwa yang tersisa di sekitar gereja hanyalah puing-puing dan semua toko dibakar. "Ini kehancuran total," katanya.
Dia berujar bahwa komunikasi terputus dan tidak ada air. Makanan juga langka - "cukup untuk membuat Anda tetap hidup-tidak untuk mengisi perut Anda," katanya.
Han'na menangis saat dia bercerita tentang betapa berbedanya situasinya saat ini dengan Natal tahun lalu.
"Pada hari-hari seperti ini, kami akan mendekorasi gereja. Akan ada lagu-lagu Natal. Orang-orang akan datang untuk membantu. Tapi sekarang kami hanya berdoa agar bisa keluar dari sini hidup-hidup."
Keluarganya telah menderita akibat kehilangan yang amat besar.
Seminggu lalu, nenek Jawdat, Naheda Khalil Anton-yang juga berlindung di gereja di Gaza-ditembak dua kali di bagian perut saat hendak menuju kamar mandi. Bibinya Samar Kamal Anton bergegas membantunya dan tertembak di kepala.
Jawdat menunjukkan kepada saya foto-foto setelah kejadian itu dan proses pemakamannya.
Jawdat mengatakan nenek dan bibinya dibunuh oleh penembak jitu Israel saat berlindung di sebuah gereja di Gaza - Israel mengeklaim tengah menyelidikinya
Keluarganya telah berlindung di Gereja Keluarga Kudus sejak awal perang. Kini, mereka telah menguburkan orang yang mereka sayangi di sana.
Keluarga tersebut menyalahkan penembak jitu Israel atas kematian mereka. Militer Israel (IDF) mengatakan akan melanjutkan penyelidikannya.
Sambil menangis, Han'na mengatakan bahwa kedua anggota keluarganya meninggal di depan matanya: "Sungguh mengejutkan... Sungguh tak tertahankan."
Dia meminta maaf kepada saya karena menangis, dan karena tidak dapat berbicara banyak: "Maaf, tapi ini sangat sulit. Kami telah menanggung begitu banyak hal."
Sebuah ledakan besar terdengar saat kami berbicara, sebelum Jawdat dengan enggan mengucapkan selamat tinggal kepada ayahnya.
Pagi ini di Betlehem, lonceng gereja berbunyi ketika beberapa penduduk setempat berkumpul di sekitar patung Yesus di reruntuhan bangunan dan lagu-lagu Arab diputar di pengeras suara, salah satunya menyerukan salam-perdamaian - untuk anak-anak.
Puluhan orang berada di tengah sambil memegang bendera besar Palestina dan mengibarkannya ke atas dan ke bawah.
Patriarkat Latin Yerusalem, Pierbattista Pizzaballa, berada di Betlehem untuk menyampaikan pidatonya. Dia mengenakan syal tradisional Palestina bermotif kotak-kotak dengan warna hitam putih.
Sebelum memasuki Gereja Kelahiran, dia mengatakan ini adalah "Natal yang sangat memilukan".
Patriarkat Latin Yerusalem berada di Betlehem untuk menyampaikan pidatonya.
"Kita berada dalam perang, perang yang mengerikan. Pikiran kita pertama-tama tertuju pada Gaza, pada rakyat kita di Gaza… Dua juta orang menderita," katanya.
Ia menambahkan bahwa "gencatan senjata saja tidak cukup".
"Kita harus menghentikan permusuhan ini dan membalikkan keadaan karena kekerasan hanya menghasilkan kekerasan."
Beberapa langkah dari Manger Square, toko-toko suvenir berjejer di Star Street di kedua sisi, namun tanpa hiruk pikuk jual beli dan tawar-menawar seperti biasanya. Syal jahitan Palestina yang terkenal, sarung bantal dan artefak digantung di luar toko, tapi tanpa pembeli.
Padahal hari-hari ini biasanya pasar dipenuhi pembeli. Namun tidak tahun ini.
"Kita tidak bisa merayakannya dengan banyaknya orang yang terbunuh di Gaza," kata Abood Subouh, seorang pemilik toko di pasar lokal dekat Manger Square.
Dia mengatakan kepada saya bahwa, walau sedih melihat kota dan bisnisnya seperti ini, merayakan Natal terasa aib di tahun ini: "Kami tidak bisa bahagia karena kami tidak berada di belahan dunia lain. Kami masih di Palestina."