Konten Media Partner

Pakar dan Aktivis Mempertanyakan Rencana Pemblokiran X Terkait Konten Pornografi - Solusi Ideal seperti Apa yang Dibutuhkan?

23 Juni 2024 3:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Pakar dan Aktivis Mempertanyakan Rencana Pemblokiran X Terkait Konten Pornografi - Solusi Ideal seperti Apa yang Dibutuhkan?

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rencana pemerintah Indonesia memblokir akses ke media sosial X untuk menghentikan penyebaran konten pornografi disebut tidak tepat karena tidak menyelesaikan akar masalah dan justru akan membungkam suara kritis publik. Lantas, langkah apa yang seharusnya diambil pemerintah?
Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana memblokir akses masyarakat Indonesia ke X setelah media sosial yang dulu bernama Twitter itu mengizinkan peredaran konten seksual dengan sejumlah syarat tertentu.
Para pakar dan aktivis sepakat bahwa pemblokiran bukan solusi yang tepat, karena distribusi konten pornografi bisa dengan mudah berpindah ke media sosial lain bila akses ke X benar diblokir.
Selain tidak menyelesaikan masalah penyebaran konten pornografi, pemblokiran X disebut akan menutup ruang bagi publik untuk bersuara secara kritis, membangun gerakan sosial, dan mengangkat berbagai kasus kekerasan seksual.
Pemerintah diharapkan mendorong platform seperti X untuk menyediakan mekanisme lebih baik untuk melaporkan dan menindaklanjuti kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), termasuk penyebaran foto dan video intim non-konsensual.
Peningkatan literasi digital dengan perspektif gender serta bimbingan orang tua sejak dini juga disebut penting untuk melindungi anak dari paparan konten pornografi di media sosial dan menjaga agar mereka tidak menjadi korban KBGO.

Bagaimana detail kebijakan baru X?

Pada 3 Juni 2024, X mengumumkan kebijakan baru yang secara formal mengizinkan peredaran konten seksual sebagai "bentuk ekspresi seni yang sah" dengan syarat-syarat tertentu, termasuk tidak menampilkannya sebagai foto profil atau banner.
"Anda dapat membagikan konten ketelanjangan atau perilaku seksual orang dewasa yang dibuat dan didistribusikan atas dasar kesepakatan bersama, asalkan diberi label dengan benar dan tidak ditampilkan secara jelas," kata X di halaman kebijakan di situsnya.
"Kami mendukung kebebasan orang dewasa untuk menikmati dan menciptakan konten yang menunjukkan keyakinan, keinginan, dan pengalaman mereka sendiri, termasuk yang berkaitan dengan seksualitas."
Sebelumnya, X tidak pernah secara eksplisit mengizinkan distribusi konten dewasa, meski media sosial milik konglomerat Elon Musk itu memang kerap menjadi tempat penyebaran foto dan video porno.
Sekitar 13% unggahan di X berisi konten dewasa pada 2022, merujuk laporan Reuters yang mengutip dokumen internal perusahaan.
Kini, pengguna X mesti memberikan label pada konten dewasa yang ia bagikan, entah "Ketelanjangan Dewasa" atau "Perilaku Seksual", serta menampilkan peringatan sehingga pengguna lain punya opsi untuk tidak melihat konten tersebut.
Ilustrasi pembatasan kebebasan berekspresi.
Pengguna berusia di bawah 18 tahun atau yang tidak menyertakan tanggal lahir di profilnya tidak dapat membuka dan melihat konten yang ditandai dengan peringatan itu.
X dapat menghapus konten atau menangguhkan sebuah akun bila konten yang dibagikan menunjukkan tubuh telanjang tanpa persetujuan, mempromosikan atau meminta layanan seksual, menampilkan eksploitasi seks anak di bawah umur, perilaku seksual dengan kekerasan, objektifikasi grafis yang tidak diinginkan, serta bestialitas dan nekrofilia.
Pengguna X mesti menampilkan peringatan untuk konten dewasa yang ia bagikan sehingga pengguna lain punya opsi untuk tidak melihat konten tersebut.

Seperti apa respons pemerintah Indonesia?

Dalam rapat kerja Komisi I DPR pada 10 Juni 2024, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini sempat bertanya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi soal tindakan yang akan diambil pemerintah untuk merespons kebijakan baru X terkait konten dewasa.
Budi bilang ia telah mengirim surat kepada X soal isu ini.
"Kalau X tetap memperbolehkan pornografi di Indonesia, akan kita tutup, kita block," tegasnya.
Tiga hari berselang, Budi menyampaikan hal serupa di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Tak hanya soal konten dewasa di X, ia juga menyoroti banyaknya laporan masyarakat terkait aplikasi pesan singkat Telegram, yang disebut memfasilitasi transaksi judi online dan distribusi konten pornografi.
"Kalau [Telegram dan X] masih begitu di Indonesia, ya mohon maaf, good bye," kata Budi.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, menegaskan bahwa seluruh platform media sosial, termasuk X, wajib mematuhi aturan yang ada di Indonesia.
"Internet kan tersambung dengan seluruh jaringan yang ada di dunia dan tiap-tiap negara yurisdiksinya kan punya aturan sendiri-sendiri. Nah, mereka harus comply dengan aturan lokal," kata Semuel dalam keterangan tertulis pada 14 Juni.
Bila X lebih mengutamakan kebebasan berekspresi, tidak masalah, kata Semuel, tapi pemerintah akan tegas memutus akses ke platform tersebut.
"Berarti kan karena mereka memang lebih mementingkan kebebasan berbicara yang tanpa batas, daripada mereka ingin menggarap market Indonesia," katanya.
"Ya tidak apa-apa juga."
Ilustrasi pengguna X.
Merujuk laporan We are Social per Oktober 2023, ada sekitar 27 juta pengguna X di Indonesia. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara dengan pengguna X terbesar keempat di dunia.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki pengguna X terbanyak dengan jumlah 108,5 juta.

'Pemblokiran bukan solusi'

Selama 10 tahun terakhir pemerintah telah memblokir akses ke sejumlah media sosial, tapi toh penyebaran konten pornografi di dunia maya tetap marak, kata Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Misal, pemerintah menutup akses ke platform berbagi video Vimeo pada 2014 dan forum daring Reddit pada 2015 karena keduanya tidak bersedia memoderasi konten-konten berbau pornografi yang beredar di sana. Dan kini, hal yang sama akan diterapkan ke X.
Masalahnya, kata Nenden, X hanyalah satu dari sekian banyak media sosial yang bisa digunakan sebagai tempat penyebaran konten pornografi. Bila akses ke X diblokir, para "distributor" tinggal beralih menggunakan platform lain.
"Kalau kita lihat, misalnya dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, blokir-memblokir website ataupun platform itu kan tidak pernah menjadi solusi," kata Nenden.
"Sekarang platform apa pun bisa jadi tempat untuk menyebarkan konten-konten pornografi. Jadi, apa yang dilakukan pemerintah ini memang tidak akan efektif."
Ilustrasi seseorang mengonsumsi konten pornografi.
Jadinya, kata Nenden, pemerintah seakan cari mudahnya saja dengan melakukan pemblokiran di hilir tanpa benar-benar menyelesaikan masalah di hulu, misalnya dengan membongkar tuntas sindikat pelaku sekstorsi (pemerasan dengan ancaman penyebaran konten seksual) dan meningkatkan literasi digital publik.
Sementara itu Alia Yofira, peneliti isu gender dan teknologi di PurpleCode Collective, mengingatkan bahwa Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No. 12/2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Pasal 19 dari ICCPR mengatur bahwa pembatasan akan kebebasan berekspresi hanya bisa dilakukan bila memenuhi tiga syarat: pembatasan itu diatur dalam undang-undang, memiliki tujuan yang sah, dan benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat yang demokratis.
Terkait syarat ketiga, kata "dibutuhkan" berarti harus ada kebutuhan sosial yang mendesak untuk menjustifikasi pembatasan tersebut, dan pembatasan mesti dilakukan secara proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai.
"Dari dulu, blanket censorship atau memblokir satu website keseluruhan, satu platform media sosial keseluruhan, atau melakukan internet shutdown itu enggak pernah dibenarkan karena tidak proporsional, karena berlebihan," kata Alia, yang juga tergabung dalam TaskForce KBGO sebagai pendamping.
Sepanjang 2023, praktik doksing serta penyebaran foto dan video intim non-konsensual paling banyak terjadi di media sosial Instagram dan X, menurut data yang diolah TaskForce KBGO dari laporan korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) pada tahun tersebut.
Dari sana, bisa dikatakan memang ada tujuan yang sah untuk melakukan pembatasan kebebasan berekspresi di X. Masalahnya, kata Alia, adalah di bentuk pembatasannya, yaitu pemblokiran akses secara menyeluruh.
Dengan pemblokiran menyeluruh terhadap X, Alia bilang pemerintah juga otomatis menutup akses ke platform yang telah menjadi ruang tumbuhnya berbagai gerakan sosial, pun tempat banyak korban atau penyintas kekerasan seksual berani bersuara.
Ilustrasi penyintas kekerasan seksual.
Senada, Nenden dari SAFEnet bilang X telah menjadi wadah bagi suara-suara kritis yang sering kali efektif untuk meramaikan dan mempercepat penanganan sebuah kasus atau bahkan mengubah kebijakan – meski kebijakan berbasis viralitas juga tidak melulu baik.
"Karena [akses ke] platformnya, wadahnya ditutup, ruang sipil juga semakin menyempit dan orang-orang jadi kehilangan platform yang selama ini merupakan tempat buat mereka bisa berekspresi, menyampaikan opini atau pendapat," kata Nenden.
"Jadi [pemblokiran ini] seperti mau mencari tikus di lumbung padi, tapi satu lumbungnya dibakar."

Apa solusi yang ideal?

Alih-alih langsung memblokir akses ke X, lebih baik pemerintah mendorong platform itu agar menyediakan mekanisme pelaporan konten yang lebih memadai, kata Alia Yofira dari TaskForce KBGO.
Selama ini, saat TaskForce KBGO menemukan penyebaran foto dan video intim non-konsensual di X, langkah yang diambil adalah melakukan pelaporan massal.
Dengan ramai-ramai melaporkan, diharapkan X dapat lebih cepat mengambil tindakan, entah menurunkan konten terkait atau menangguhkan akun penyebarnya.
Bila tidak begitu, kata Alia, proses penanganan kasusnya cenderung lama dan, ujung-ujungnya, X pun kerap menolak laporannya.
Menurut Alia, Indonesia bisa mencontoh Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, yang mengatur kebijakan soal "trusted flaggers" atau "pelapor terpercaya".
Pelapor terpercaya di sini adalah pakar yang bertugas mendeteksi peredaran konten ilegal daring dan melaporkannya kepada platform terkait.
Platform digital harus memprioritaskan penanganan laporan dari pelapor terpercaya, yang diharapkan lebih akurat dibanding laporan dari pengguna biasa.
Ilustrasi "pelapor terpercaya" melaporkan konten ilegal daring ke platform digital.
"Itu bisa kita mirror di Indonesia," kata Alia.
"Misalnya, laporan lembaga pengada layanan yang mendampingi korban KBGO bisa diberikan secara langsung ke platform biar cepat ditanggapi dan kontennya segera di-take down."
Apalagi, kata Alia, sulit untuk mengandalkan polisi untuk menangani kasus KBGO, entah karena minimnya perspektif gender atau masih kentalnya budaya menyalahkan korban di antara para penegak hukum di Indonesia.
"Lapor polisi itu ibaratnya jalur terakhir," ujar Alia.
Di sisi lain, Nenden Sekar Arum dari SAFEnet mendorong aparat penegak hukum untuk menggencarkan upaya membongkar dan menindak sindikat pelaku kekerasan seksual, termasuk yang kerap melakukan sekstorsi atau pemerasan dengan ancaman penyebaran konten seksual.
Sepanjang 2023, Komnas Perempuan mencatat 1.697 pengaduan kasus KBGO. Dari angka itu, 821 kasus di antaranya masuk ranah personal, dan 549 dilakukan oleh mantan pacar korban.
"Sekstorsi atau pemerasan seks, revenge porn atau penyebaran materi bermuatan seksual sebagai balas dendam, dan penyebaran materi tanpa izin adalah jenis tindakan yang sering dilaporkan, selain juga terkait dengan pinjaman online," kata Komnas Perempuan.
Nenden dan Alia sepakat perlu ada upaya lebih dari pemerintah untuk meningkatkan literasi digital dan memperkenalkan perspektif gender sejak dini, termasuk di sistem pendidikan formal Indonesia.
Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat lebih bijak memilih konten daring yang akan dikonsumsi serta memahami konsep consent atau persetujuan sebelum merekam dan menyebarkan sesuatu.
Di sisi lain, orang tua memainkan peran penting untuk mencegah anak-anak terpapar konten dewasa sebelum waktunya dan melindungi mereka agar tidak menjadi korban kekerasan seksual, termasuk KBGO, kata Seto Mulyadi, psikolog sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Pertama-tama, kata Seto, orang tua jangan terburu-buru memberikan gawai seperti ponsel pintar kepada anaknya.
"Paling cepat itu tujuh tahun menurut saya," kata Seto.
Di usia tujuh tahun, saat anak baru masuk SD, logika dan kecerdasan emosinya disebut mulai berkembang sehingga sudah bisa menahan diri atau mempertimbangkan mana yang baik dan buruk.
Sejak dini, orang tua pun diharapkan membangun komunikasi yang baik dengan anaknya. Ini bisa dimulai dengan aktivitas rutin sederhana seperti mendongeng, yang disampaikan dengan menarik dan kreatif, kata Seto.
Sedari anak TK, orang tua pun bisa mulai mengalokasikan waktu, misalnya setiap akhir pekan, untuk sesi "rapat keluarga".
Orang tua disarankan mengalokasikan waktu, misalnya setiap akhir pekan, untuk sesi "rapat keluarga" yang memberi ruang bagi anak menyampaikan keluh kesahnya.
Saat itu, anak dibiasakan menyampaikan keluh kesahnya, sementara orang tua belajar untuk mendengarkan sembari membahas bersama penyelesaian untuk berbagai masalah sehari-hari.
Ketika komunikasi telah terbangun dengan baik, akan lebih mudah bagi orang tua untuk membahas isu-isu penting saat anak beranjak remaja dan dewasa, entah yang terkait pubertas, paparan konten pornografi, ataupun strategi bermedia sosial yang bijak.
Tak hanya itu, melalui LPAI, Seto juga mendorong pembentukan Seksi Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga (Sparta) di dalam kepengurusan RT.
Sejak 2014, ada lima kabupaten/kota di Indonesia yang telah membentuk Sparta, yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota Banyuwangi, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bitung.
Sparta diharapkan dapat memfasilitasi pertemuan rutin para orang tua di satu lingkup RT untuk mengecek keadaan anak-anak di sana serta saling mengingatkan dan berbagi soal langkah perlindungan yang tepat, kata Seto.
"Itu untuk mengontrol juga supaya anak terlindungi, baik supaya tidak ikut geng motor, seks bebas, atau narkoba, dan termasuk juga bahaya dari media sosial," ujar Seto.
"Jadi artinya itu pemerintah bertindak, iya, tapi jangan sampai masyarakat tidak digerakkan."