Konten Media Partner

Papua: Kronologi Konflik Pilkada di Puncak Jaya, dari Saling Serang Panah hingga Pembakaran Rumah

30 November 2024 11:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Papua: Kronologi Konflik Pilkada di Puncak Jaya, dari Saling Serang Panah hingga Pembakaran Rumah

Kerusuhan terjadi di Puncak Jaya, Papua Tengah, pada hari pemilihan kepala daerah (pilkada), Rabu (27/11), sehingga menyebabkan 40 rumah terbakar dan 94 orang terluka karena serangan panah. Apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa sistem noken disebut jadi salah satu biang keladi?
Situasi telah panas sejak sehari sebelum pilkada, saat barisan pendukung calon bupati Miren Kogoya “merampas” surat suara untuk empat distrik berbeda, kata Marinus Wonda, ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puncak Jaya.
Barisan suporter Miren kembali disebut sebagai yang memulai serangan terhadap kelompok pendukung calon bupati Yuni Wonda di hari pilkada karena tak terima dengan kekalahan perolehan suara di Kampung Puncak Senyum, Distrik Irimuli.
Miren Kogoya membantah tuduhan ini.
Setelah kejadian tersebut, para calon bupati dan tim sukses masing-masing kubu meneken kesepakatan “untuk menghentikan peperangan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak dan kerugian material yang lebih besar”.
Kini, Polda Papua pun menyebut situasi di Puncak Jaya telah kondusif.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah perlu dilakukan pemungutan suara ulang di empat distrik di Puncak Jaya?
Mengapa tokoh masyarakat setempat menyerukan agar sistem noken atau ikat diganti dengan sistem pemilu nasional demi menghindari terjadinya kerusuhan lain di masa depan?

‘Perampasan’ surat suara empat distrik di Puncak Jaya

Pada Selasa (26/11), barisan pendukung Miren Kogoya, calon bupati Puncak Jaya nomor urut 2, telah datang sejak pagi ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Puncak Jaya di Distrik Mulia.
Menurut Marinus Wonda, ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puncak Jaya, awalnya barisan pendukung itu meminta KPU menyerahkan logistik pilkada—termasuk surat suara—untuk satu kelurahan di Distrik Mulia.
“Mereka langsung mau ambil di kantor KPU, tetapi kantor KPU tidak mau kasih karena prosedurnya [distribusi logistik] harus melalui penyelenggara tingkat bawah, PPD [Panitia Pemilihan Distrik],” kata Marinus kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/11).
“Nanti PPD punya tugas mendistribusikan ke masing-masing kampung.”
Namun, kata Marinus, massa pendukung Miren seharian menunggu di depan kantor KPU Puncak Jaya sembari membawa sejumlah senjata, termasuk parang dan panah.
Marinus mengeklaim aksi ini menghambat pengiriman logistik pilkada, tak hanya ke Distrik Mulia, tapi juga distrik-distrik lainnya di Puncak Jaya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Foto udara Distrik Mulia di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah, pada Maret 2022.
Kira-kira pukul 18.00 WIT, setelah berdiskusi dengan pihak-pihak terkait, KPU memutuskan untuk mengirimkan logistik untuk Distrik Lumo.
“Waktu mau kasih naik [logistiknya] ke mobil, tiba-tiba ada penyerangan di depan kantor KPU,” ujar Marinus.
“Ada perang. Di sela-sela itu, orang-orang tertentu [pendukung] calon Miren langsung masuk, ambil [logistiknya].”
Calon bupati Miren, yang hadir juga di sana, kemudian masuk ke kantor KPU dan meminta agar logistik segera dikeluarkan, kata Marinus.
Menurut Marinus, Miren dan para pendukungnya lantas mengambil logistik untuk lima kampung dan dua kelurahan di Distrik Mulia, dan membawanya ke kantor sekretariat mereka.
“Miren sendiri yang masuk ke dalam kantor KPU,” kata Marinus.
“Sekalipun itu ada keamanan, tetapi karena massanya banyak, bawa parang, panah, jadi keamanan juga takut. Mau halangi atau membatasi tidak bisa.”
Penyerangan di kantor KPU itu membuat sembilan orang terluka karena terkena anak panah, kata Marinus.
Tak semua logistik pilkada diambil oleh barisan pendukung Miren. Karena itu, kata Marinus, logistik untuk empat kampung di Distrik Mulia tetap berhasil didistribusikan dan, esoknya, pemungutan suara bisa berlangsung di sana.
Namun, masalah tak selesai di situ. Marinus bilang “perampasan” surat suara tak hanya terjadi di kantor KPU Puncak Jaya, tapi juga di berbagai tempat pemungutan suara (TPS) di Distrik Tingginambut pada Selasa malam (26/11) dan di Distrik Gurage pada Rabu pagi (27/11).
“Kalau di Tingginambut itu sebelum hari H [pilkada]. Malamnya diserang dan dirampas kotak suara,” kata Marinus, sembari menambahkan itu terjadi di seluruh TPS yang ada di Tingginambut.
Sementara itu, di Distrik Gurage, pendukung Miren disebut menyerang dan “merampas” surat suara sesaat sebelum dilakukan pemungutan.
“Akhirnya tidak jadi [pemungutan],” kata Marinus.
Akan tetapi, calon bupati Miren Kogoya menegaskan apa yang disampaikan Marinus “keliru”.
Menurutnya, distribusi logistik ke berbagai distrik di Puncak Jaya sudah dilakukan sesuai prosedur. Penyerahan logistik dari KPU ke PPD Mulia, misalnya, disaksikan langsung oleh Marinus, kata Miren.
“Proses itu sudah jalan semua. Jadi, dianggap bahwa perampasan dan lain-lain itu sebenarnya tidak benar,” kata Miren kepada wartawan Abeth You yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat pagi (29/11).
“Jadi pernyataan [soal perampasan] itu mungkin kita mengaitkan dengan ketidaknetralan dia terhadap pemilu ini.”

‘Perang besar’ pasca-pemungutan suara

Pemungutan suara untuk pemilihan bupati Puncak Jaya berlangsung lancar di Kampung Puncak Senyum, Distrik Irimuli, pada Rabu pagi (27/11).
Pukul 10.00 WIT, pemungutan telah rampung. Setelah dihitung, Yuni Wonda, calon bupati nomor urut 1, unggul dengan perolehan sekitar 5.000 suara. Miren Kogoya, lawannya yang bernomor urut 2, hanya mendapat 2.000an suara.
Ditemani kelompok pendukung Yuni, panitia pemilu kemudian membawa kotak suara ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Puncak Jaya di Distrik Mulia.
Namun, situasi memanas setelah kotak suara dibawa pergi.
Kelompok pendukung Miren diduga tidak terima dengan kekalahan calonnya.
“Jadi, yang pendukung nomor urut dua [Miren], mereka minta mau tambah [suaranya],” kata pendeta Telius Wonda, Ketua Klasis Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Distrik Mulia, kepada BBC News Indonesia.
Marinus Wonda, Ketua Bawaslu Puncak Jaya, bilang terjadi “salah paham”.
Kelompok pendukung Miren, katanya, menuding ada suara untuk Miren yang justru diberikan kepada Yuni.
“Mereka marah,” kata Marinus. “Padahal tidak ada [kecurangan],” tandasnya.
Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo selaku kepala bidang Humas Polda Papua, mengatakan saat itu terjadi “cekcok mulut” antara kelompok pendukung Yuni dan Miren.
“Massa kedua kubu yang bertemu di Distrik Irimuli saling melemparkan umpatan yang berujung saling serang fisik menggunakan alat perang berupa busur dan panah, serta parang,” kata Benny kepada BBC News Indonesia.
Kelompok pendukung Miren lantas mengejar panitia pemilu dan kelompok suporter Yuni yang tengah membawa kotak suara ke kantor KPU Puncak Jaya, kata pendeta Telius.
Kedua kubu bentrok, “saling serang” menggunakan panah di “perempatan kios Jimmy sampai menuju kompleks kuburan 7” di Distrik Mulia sejak sekitar pukul 12.40 WIT, menurut Benny dari Polda Papua.
“[Kelompok pendukung Yuni] dapat serang di jalan. Akhirnya, mereka balik serang. Baku serang, akhirnya jadi perang besar,” kata Marinus dari Bawaslu, yang menyebut konflik itu melibatkan ratusan orang.
Pendeta Telius mencatat “perang saudara” ini terjadi berjam-jam.
Kedua kubu disebut saling serang, sampai kira-kira pukul 15.00 WIT, kelompok pendukung Miren membakar rumah posko calon bupati Yuni.
Aksi itu kian menyulut kemarahan pendukung Yuni. Situasi semakin intens. Rumah-rumah lain pun kemudian ikut terbakar.
“Pemerintah bangun [rumah] bersambung-sambung. Jadi satu rumah ini yang dibakar, semua ikut habis,” ujar Telius, yang menyebut keributan baru usai sekitar pukul 17.00 WIT.
Menurut Benny dari Polda Papua, pasukan TNI-Polri langsung berusaha melerai kedua kubu setelah terjadi aksi saling serang, tapi kemudian muncul serangan susulan ke arah aparat gabungan.
“Aksi susulan kembali terjadi sehingga terjadi pembakaran rumah milik warga," kata Benny.
Menurut Polda Papua, total ada 40 rumah dan satu honai—rumah adat masyarakat Papua Tengah—yang terbakar, dan setidaknya 94 orang terluka karena serangan panah.
Sebanyak 14 orang dibawa ke RSUD Jayapura untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
Sementara itu, Kepala Polres Puncak Jaya AKBP Kuswara mengatakan ada sekitar 20-30 keluarga yang mengungsi ke Polres dan Kodim setempat karena rumahnya terbakar.
Malamnya, segera diadakan pertemuan antara KPU, Bawaslu, pemerintah setempat, perwakilan gereja dan TNI-Polri, serta masing-masing calon bupati dan wakil bupati Puncak Jaya.
Pada akhir pertemuan tersebut, kedua calon bupati dan wakil bupati serta ketua tim sukses masing-masing meneken surat kesepakatan bersama untuk “menghentikan peperangan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak dan kerugian material yang lebih besar”.
Kedua kubu pun setuju menarik mundur semua “pasukan”-nya dan mengendalikan mereka agar tidak saling serang.
Selain itu, mereka sepakat menyerahkan sepenuhnya penjemputan dan perhitungan suara kepada penyelenggara pemilu dan bersedia melanjutkan tahapan perhitungan suara di TPS, PPD, dan KPU.
“Apabila melanggar kesepakatan ini, kami bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku,” bunyi salah satu poin di surat kesepakatan tersebut yang salinannya diperoleh BBC News Indonesia.
Pada Kamis (28/11), Benny dari Polda Papua menegaskan bahwa “situasi sudah kondusif”.

Apakah akan dilakukan pemungutan suara ulang?

Ketua Bawaslu Puncak Jaya, Marinus Wonda bilang ia telah menemui perwakilan masyarakat Distrik Mulia, Lumo, Tingginambut, dan Gurage, yang surat suaranya disebut diambil oleh kelompok pendukung calon bupati Miren Kogoya.
Menurut Marinus, masyarakat ingin surat suara yang hilang itu dianggap hangus saja dan tidak perlu diadakan pemungutan suara ulang (PSU) karena khawatir kerusuhan akan terjadi kembali.
“Semua masyarakat yang datang menyatakan, ‘Kami tidak mau lagi ada korban nyawa karena perang,’” kata Marinus.
Marinus mengatakan ia perlu melakukan rapat dengan pihak-pihak terkait sebelum keluar keputusan resmi soal kelanjutan pilkada di Puncak Jaya. Namun, ia cenderung setuju untuk tidak melakukan PSU.
“Bahaya. Korban nyawa ini juga kami pikirkan [bila dilakukan PSU],” kata Marinus.
Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, tidak setuju dengan Marinus.
Menurutnya, pemerintah harus memenuhi hak setiap warga negara untuk memilih kepala daerahnya.
Undang-Undang No. 6/2020 soal pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pun menyebut pemilihan lanjutan bisa diadakan saat terjadi kerusuhan atau ganggunan keamanan yang membuat sebagian tahapan pemilu tidak bisa dilaksanakan.
Karena itu, kata Titi, pemerintah dan penegak hukum mesti memastikan situasi kondusif sebelum kemudian melaksanakan pemilihan lanjutan di empat distrik yang surat suaranya dicuri.
“Memang dalam situasi hari ini, jangan dipaksakan untuk menuntaskan seluruh tahapan pemilu dan mengesahkan hasil dengan mengabaikan empat distrik ini,” kata Titi.
“Namun, empat distrik ini suaranya jangan dihanguskan. Karena kalau suara di distrik ini dihanguskan, berarti kan kita menghilangkan hak konstitusional warga untuk menentukan pilihannya di pilkada.”
Terkait cekcok yang berujung kerusuhan terkait hasil perhitungan suara dari TPS di Distrik Irimuli, Titi mengatakan proses rekapitulasi suara pun mesti terus dilanjutkan setelah otoritas terkait berhasil memastikan situasi telah kembali aman dan stabil.
“Aparat keamanan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat harus turun mencari jalan keluar agar [seluruh tahapan] pemilihan tetap bisa berjalan,” ujar Titi.

Mempertanyakan sistem noken

Pendeta Telius Wonda, Ketua Klasis Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Distrik Mulia, menilai sistem noken yang diterapkan di sebagian daerah di Pulau Papua kerap memicu perdebatan yang berujung kekerasan saat pemilu.
Sistem noken, yang merujuk proses pemungutan suara menggunakan noken atau tas anyaman, diterapkan di 14 kabupaten dan kota yang tersebar di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah pada pilkada kali ini.
Ada dua sistem noken. Yang pertama, yang digunakan di Papua Pegunungan, menggunakan noken sebagai pengganti kotak suara yang sulit didistribusikan ke wilayah tertentu di sana.
Beda halnya dengan sistem noken yang diterapkan di Papua Tengah—termasuk di Puncak Jaya yang jadi lokasi konflik pada pilkada kali ini, yang disebut juga sistem ikat.
Di Papua Tengah, pengambilan keputusan untuk memilih kandidat tertentu dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin kepala suku. Pada praktiknya, kepala suku berpengaruh besar dalam menentukan pilihan politik masyarakat.
Menurut Telius, dengan sistem noken semacam ini, masyarakat biasanya sudah menyepakati pilihan kandidat sebelum hari pemungutan suara.
Namun, di hari pemungutan suara, katanya, ada saja orang yang menyuarakan penolakan atau mengeklaim bahwa kelompoknya memilih kandidat lain, sehingga timbul keributan.
“[Misalnya] banyak orang duduk, mereka belum lempar suara sekian dari desanya, tapi orang yang tidak bertanggung jawab, duduk jauh di belakang sana, dia sudah berdiri dan lempar [suara],” kata Telius.
“Orang yang duduk di depan bilang, ‘Kami maunya ini.’ Itu sudah mulai baku pukul, baku bunuh, baku panah.”
“Jadi, kami punya harapan di sini, agar masyarakat bisa aman, tidak konflik lagi, tidak kena panah, yang bagus itu yang sesuai dengan aturan nasional.”
Cahyo Pamungkas, peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan sistem noken atau ikat di Papua Tengah secara konsep sebenarnya ideal karena berbasis pada musyawarah.
Meski begitu, yang terjadi di lapangan menurutnya berbeda.
“Dalam realitasnya di masa kini, pemilu noken rawan dimanipulasi oleh elite politik dari luar suku atau kampung, yang mengakibatkan distorsi dari pemilu noken sehingga tidak sesuai dengan tradisi dan budaya,” kata Cahyo.
Karena itu, Cahyo bilang bila ingin tetap mempertahankan sistem noken, perlu ada evaluasi dan perbaikan untuk menghindari segala bentuk manipulasi.
Kepala suku harus bisa dijamin netralitasnya dalam pemilu, kata Cahyo. Selain itu, harus ada mekanisme untuk memastikan suara yang disepakati saat musyawarah tidak berubah di hari pemungutan suara atau saat direkapitulasi oleh KPU.
Sebaliknya, bila ingin beralih ke sistem pemilu nasional, ia menyebut pemerintah mesti membuat rencana penerapan yang jelas, dari yang terkait masa transisi hingga diseminasinya ke masyarakat.
Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, mengatakan Mahkamah Konstitusi memang telah memutuskan bahwa sistem noken atau ikat konstitusional, salah satunya karena ia menunjukkan keunikan budaya masyarakat Papua dalam menyelenggarakan pemilu.
Namun, Titi mengingatkan, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa pada satu titik seluruh masyarakat Papua harus bisa menyalurkan hak pilihnya secara langsung, sejalan dengan prinsip “satu orang, satu suara, satu nilai”.
Karena itu, Titi menyerukan agar pemerintah segera membuat peta jalan untuk secara bertahap mengubah sistem noken dengan sistem pemilu nasional.
“Itu tugas negara untuk menyiapkan infrastruktur politik sehingga semua pihak bisa menikmati demokrasi sesuai dengan pilihan bebasnya,” kata Titi.
Yang pasti, apa pun bentuk penyesuaian dalam sistem pemungutan suara di Papua mesti dikomunikasikan langsung dengan baik pada masyarakat Papua sendiri, tidak secara sepihak diputuskan oleh pemerintah, kata Adriana Elisabeth, peneliti Jaringan Damai Papua.
“Masyarakat Papua itu kan masyarakat yang sangat partisipatif ya, karena mereka punya sistem kolektif. Segala hal itu mereka bicarakan. Karena itu, masyarakat harus diundang dalam satu perbincangan,” kata Adriana.
“Kita kan kadang-kadang tidak melakukan itu ya. Biasanya sebuah keputusan, misalnya pemekaran daerah, ya sudah diputuskan di pusat, dikasih ke sana, masyarakat harus menerima.”
Pemerintah diharapkan bisa tetap mengakomodasi konsep-konsep tradisional Papua, termasuk dalam hal pemilu. Dan, itu bisa terjadi hanya bila pemerintah belajar untuk mendengarkan, kata Adriana.
“Menurut saya salah satu soft skill yang harus dibangun pemerintah adalah belajar mendengarkan, bukan mendengar,” katanya.
“Belajar mendengarkan dan juga bernegosiasi dengan orang-orang Papua. Karena itulah model demokrasi Papua.”
Wartawan Abeth You di Timika, Papua Tengah, berkontribusi untuk liputan ini.