Konten Media Partner

Para Penduduk Kepulauan di Filipina yang Menenun Mimpi-Mimpi Mereka

29 April 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang perempuan menenun dengan alat tradisional.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang perempuan menenun dengan alat tradisional.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama lebih dari 300 tahun, para perempuan yang tinggal di sekitar danau biru kehijauan di Filipina telah menenun kain dari penglihatan yang ‘diberikan kepada mereka oleh seorang dewi’ dalam mimpi mereka.
"Di Mindanao, sejumlah perempuan menenun mimpi-mimpi mereka menjadi kain. Mereka adalah penenun mimpi," kata relawan di Museum Sejarah Ekonomi Filipina di Kota Iloilo, Filipina. 
Dia menunjuk ke gambar pola linier putih-merah yang ditenun dengan latar belakang hitam. 
Penasaran, saya bertanya lebih detail, tapi yang pria itu katakan hanyalah para perempuan ini tinggal di tepi Danau Sebu.
Mindanao, pulau terbesar kedua di Filipina ini, pernah menjadi destinasi yang menakutkan. Konflik bersenjata selama bertahun-tahun dalam satu dekade terakhir membuat pulau paling selatan negara itu tidak dilirik oleh sebagian besar wisatawan. 
Tetapi sejak berakhirnya darurat militer pada 2020, Mindanao dengan hati-hati membuka pintunya, memungkinkan wisatawan yang berani mengabaikan peringatan pemerintah untuk bertatap muka dengan salah satu tradisi Asia yang paling mempesona: menenun mimpi.
Selama setidaknya tiga abad, masyarakat adat T'boli telah mewariskan praktik menenun mimpi, atau T'nalak, di desa-desa sekitar Danau Sebu, sebuah danau biru kehijauan yang terletak di pegunungan subur Mindanao selatan. 
Helaian kain ini terbuat dari serat alami yang diambil dari batang tanaman abaca yang mirip pisang. 
Penduduk desa percaya bahwa seorang dewi, Fu Dalu (roh abacá), berkomunikasi dengan para perempuan dengan muncul dalam mimpi mereka sebagai hewan atau sosok manusia. 
Master penenun mimpi kemudian menafsirkan penglihatan ini ke dalam pola yang biasanya memakan waktu tiga hingga empat bulan untuk ditenun. 
Prosesnya dilakukan sepenuhnya dengan tangan dengan bahan-bahan alami, dan meskipun dipimpin oleh sang master penenun, ini adalah upaya kolektif masyarakat yang dianggap sebagai penghormatan suci kepada dewi.
Perempuan T'Bolis membuat tenunan kain dari penglihatan mereka dalam mimpi.
Pusat Tenun Lang Dulay T'nalak, terletak di rumah panjang kayu T'boli (Gono Bong) tiga kilometer sebelah timur danau di Desa T'Bong, dan merupakan salah satu pusat utama T'nalak. 
Nama pusat tenun tersebut menghormati mendiang master penenun Lang Dulay, putri T'boli dan salah satu penenun mimpi paling terkenal. 
Saat ini, master penenun petahana adalah Sebulan Dulay, menantu Lang, yang telah menenun selama lebih dari 60 tahun.
Ketika saya masuk, Sebulan berdiri dan menyapa saya dengan memainkan melodi pada deretan gong, sementara putranya, Charlie, menemaninya bermain drum. 
"Ini cara kami menyambut tamu," dia tersenyum. Saat Sebulan kembali menenun, Charlie, yang menjalankan pusat tenun tersebut, menjelaskan cara kerja menenun mimpi.
Kemampuan untuk mengubah mimpi menjadi pola dianggap sebagai keterampilan misterius dan khusus, jadi meski semua orang bermimpi, hanya beberapa perempuan terpilih yang bisa menjadi penenun mimpi. 
Menurut Charlie, keterampilan ini selalu diperoleh di bawah bimbingan Fu Dalu dan membutuhkan latihan bertahun-tahun.
Kebanyakan penenun muda hanya mempelajari dan menenun desain yang "dilihat" oleh penenun mimpi - terutama Lang Dulay. 
Mendiang master penenun itu meninggalkan sekitar 100 pola khas T'nalak, masing-masing dengan nama dan ceritanya sendiri, dari Gemayaw Logi, pangeran legendaris T'boli, hingga Sobobun, seekor katak kecil di Danau Sebu.
Hanya penenun senior, seperti Sebulan, yang bisa menenun mimpi-mimpinya sendiri. 
Saat saya datang, kreasi terbarunya baru saja dipesan oleh pelanggan Jepang. Kain yang dibuatnya menampilkan seekor burung putih (disebut Hafak Bull Blila) terbungkus dalam sangkar berbentuk berlian merah, dengan dua kepala persegi panjang simetris dan sepasang sayap terentang, seolah-olah sedang terbang. 
Selain pembeli dari luar negeri, karya-karya Sebulan juga dibeli oleh pegrosir dari Manila. Harga kain ini dapat mencapai hingga 1.500 peso Filipina (Rp400.000) per meter.
Meski proses desainnya penuh misteri, proses menenunnya lebih mudah dipahami. Mengubah batang abaca yang kasar menjadi benang tenun adalah kerja keras. 
Pertama-tama, bahan berdaging di dalam batang dipisahkan, dikeringkan, digosok, dan disisir untuk menghasilkan serat yang lembut dan kenyal. 
Charlie menunjukkan kepada saya seikat serat ini, masing-masing berukuran panjang sekitar 2m dan menyerupai rambut putih orang tua. 
Bungkusan itu berisi sekitar 1.400 helai, yang menghasilkan sekitar 6m meter T'nalak.
Setelah serat dikumpulkan, mereka ditenun dan diwarnai. 
Saya menyaksikan Sebulan melilitkan benang hitam di sekitar bundel serat abacá yang diluruskan dengan kecepatan dan presisi seperti mesin. 
T'nalak mengandung tiga warna: putih melambangkan kesucian, merah melambangkan darah dan hitam melambangkan tanah. 
Selain abacá putih, dua warna lainnya juga berasal dari tumbuhan asli. 
Warna merah berasal dari akar pohon loko yang berwarna merah kecoklatan, sedangkan warna hitam diperoleh dengan merebus daun hijau pohon knalum selama tujuh hari hingga menjadi gelap seperti tinta.
Saat Sebulan bekerja, seorang gadis remaja menyisir kumpulan serat abacá yang kusut untuk meningkatkan kelembutan dan daya tahannya serta mempersiapkannya untuk ditenun. 
Di sebelahnya, seorang perempuan lain memasukkan benang pakan ke dalam benang lungsin yang diwarnai pada alat tenun yang memperlihatkan pola tekstil yang rumit.
Penenun mimpi menggunakan serat tanaman abacá yang mirip pisang.
Praktik T'nalak mencakup beberapa pantangan yang ketat. Misalnya, sebagai bentuk penghormatan kepada Fu Dalu, para penenun perempuan dan suaminya dilarang berhubungan seks selama proses menenun yang ekstensif. 
Tapi meski hanya perempuan yang bisa menjadi penenun mimpi, kaum pria juga terlibat.
Laki-laki biasanya bertanggung jawab untuk menanam dan mengupas abacá, serta meratakan kain yang baru ditenun. 
Untuk melakukannya, mereka memasang cangkang cowrie ke salah satu ujung tiang batang abacá dan menghubungkan ujung lainnya ke atap sebagai engsel, mendorong tiang untuk memberi tekanan pada serat dengan cangkang.
Ada sekitar 70 keluarga di Desa T'Bong, dan Charlie memberi tahu saya bahwa ada sekitar 25 penenun terampil dan sekitar belasan pekerja lepas. 
Menurut Museum Sejarah Ekonomi Filipina, tenunan mimpi dulu tersebar luas di sekitar Danau Sebu. Namun setelah menjelajahi beberapa desa lain di sekitar danau, saya tidak menemukan satu keluarga pun yang masih menenun, yang menunjukkan bahwa tradisi yang berumur panjang ini mungkin akan memudar.
Saat Mindanao mulai dibuka kembali, resor-resor mulai bermunculan di sepanjang danau. Banyak yang dihiasi dengan dekorasi yang berhubungan dengan T'boli dan T'nalak, namun setelah bertanya kepada staf di tiga resor berbeda, tidak ada yang tahu cerita di baliknya. 
Di sebuah toko di tepi danau yang menjual T'nalak kepada turis, seorang perempuan lokal tidak bisa menjelaskan pola apa pun yang dia jual.
Namun, masih ada penduduk setempat yang berkomitmen untuk menjaga tradisi T'boli tetap hidup. 
Sejak tahun 1995, Maria Todi, seorang duta budaya T'boli, telah menjalankan Sekolah Tradisi Hidup Danau Sebu di sebuah rumah panjang di tepi danau. Selain menenun yang diajarkan oleh ahli penenun lainnya, dia juga mengajarkan musik dan tarian T'boli kepada anak-anak setempat.
Maria Todi juga telah mendokumentasikan berbagai tradisi budaya T'boli, termasuk T'nalak. 
Ketika kami berbincang di sekolahnya, dia menjelaskan bahwa tekstil berharga ini pernah digunakan sebagai mata uang, dan bahkan dapat menggantikan sapi atau kerbau sebagai mas kawin di pesta pernikahan. 
Dia mengatakan bahwa karena T'boli dengan cepat berasimilasi dengan masyarakat modern, T'nalak, seperti banyak tradisi mereka yang lain, kehilangan nilai praktisnya, surut menjadi simbol budaya murni yang terancam dilupakan.
“Alasan kami mendirikan School of Living Traditions [adalah] untuk membangkitkan, mendidik anak-anak agar mereka mengerti, ketika budaya kita mati, matilah keberadaan kita,” katanya.
Penari tradisional Filipina.
Menurut Maria Todi, budaya T'boli seharusnya tidak hanya disajikan kepada wisatawan, tetapi dipraktikkan di rumah. 
“Dulu mahasiswa saya terkadang manggung di resor demi uang, tapi sekarang sudah tidak saya izinkan lagi,” jelasnya.
"Wisatawan hanya melirik pertunjukan sambil makan, mereka tidak bisa belajar apa-apa dari itu."
Kekhawatiran ini juga meluas ke T'nalak. Bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya, itu tidak lebih dari selembar kain. 
Tetapi bagi mereka yang menyadari bagaimana para perempuan T'boli berabad-abad berusaha untuk merekam mimpi mereka yang cepat berlalu, kain ini berdiri sebagai bukti abadi budaya dan orang-orang yang melihat dunia kita dan dunia spiritual secara berbeda.
-
Versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The Filipino islanders who weave their dreams dapat Anda baca di BBC Travel.