Pasukan Israel Tembak Mati Anak Palestina Berusia 12 Tahun yang Nyalakan Kembang Api Saat Berbuka Puasa

Konten Media Partner
16 Maret 2024 9:50 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Pasukan Israel Tembak Mati Anak Palestina Berusia 12 Tahun yang Nyalakan Kembang Api Saat Berbuka Puasa

Rami Hamdan Al-Halhouli (12 tahun) memegang kembang api beberapa saat sebelum ditembak oleh polisi Israel.
zoom-in-whitePerbesar
Rami Hamdan Al-Halhouli (12 tahun) memegang kembang api beberapa saat sebelum ditembak oleh polisi Israel.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada detik-detik terakhir hidupnya, Rami Hamdan Al-Halhouli menyalakan kembang api dan mengangkatnya di atas kepalanya. Lalu ada tiga suaran letusan kencang: yang pertama adalah peluru petugas polisi, yang kedua kembang api yang lepas dari tangan Rami, dan yang ketiga adalah suara kembang api yang meledak di atas tubuh Rami dalam pancaran cahaya merah dan emas.
Rami al-Halhouli adalah seorang anak laki-laki Palestina berusia 12 tahun. Dia lahir dan besar di Shuafat, sebuah kamp pengungsi di Yerusalem Timur yang diduduki Israel. Kamp itu menampung sekitar 16.000 orang.
Pada Selasa (12/03) malam, Rami sedang bermain dengan saudara laki-laki dan teman-temannya di depan rumah keluarganya. Ketika itu, mereka mendesak Rami untuk menyalakan kembang api.
Rami lantas menyalakan dan mengarahkan kembang api itu menjauh darinya. Dia mengangkatnya ke arah ke langit, tapi dia dituduh juga mengarahkan kembang api itu ke beberapa polisi perbatasan Israel.
Berdasarkan video kejadian tersebut, bahkan sebelum kembang api menyala, Rami terkena peluru yang ditembakkan oleh polisi perbatasan Israel yang berada agak jauh darinya.
Dalam sebuah pernyataan, Israel membuat klaim bahwa satu tembakan dilepaskan ke arah Rami yang mereka sebut sebagai "pelaku yang membahayakan pasukan karena menembakkan kembang api".
Keolisian belum melepas jenazah Rami kepada pihak keluarga. Mereka juga tidak menjawab pertanyaan spesifik mengenai penembakan tersebut. Keluarganya berkata kepada BBC pada Rabu (13/03) bahwa peluru tersebut mengenai jantung Rami.
“Tidak ada harapan,” kata kakak laki-lakinya, Mahmoud, berusia 19 tahun, yang bergegas menemui Rami saat dia ditembak.
"Dia sudah meninggal saat itu," tuturnya.
Kakak laki-laki Rami, Mahmoud (19 tahun), dipotret di tempat di mana Rami tewas ditembak pasukan Israel pada 12 Maret lalu.
Ibu Rami yang bernama Rawia, 50 tahun, sedang berada di dalam rumah keluarga ketika dia mendengar suara tembakan. Malam itu, ketika dia mendengar seseorang meneriakkan namanya, dia langsung berlari keluar.
“Saya tidak berpikir terlalu buruk pada awalnya karena tidak ada bentrokan dengan polisi atau demonstrasi apa pun di sekitar rumah, tidak ada suara tembakan atau granat,” katanya.
“Kemudian saya melihat tubuh Rami tergeletak di tanah dan saya pikir dia terjatuh dari permainan yang dimainkan anak-anak.
“Saat mereka membalikkan tubuhnya, saya melihat lubang di dadanya. Pelurunya ada di jantungnya. Lalu saya berteriak," kata Rawia.
Rami adalah satu dari enam warga Palestina yang ditembak mati oleh pasukan keamanan Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat pada 12 Maret lalu. Itu adalah awal yang suram untuk bulan suci Ramadan yang berlangsung dalam suasana yang sudah kelam karena konflik bersenjata di Jalur Gaza.
Pada konferensi pers 13 Maret lalu, Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir, memuji petugas yang menembak Rami sebagai "pahlawan dan pejuang".
Dia berkata, petugas itu telah melakukan "pekerjaan yang patut dicontoh" dan akan menerima dukungan penuh dari pemerintah.
Ben-Gvir menuduh Rami al-Halhouli, anak berusia 12 tahun itu, sebagai "teroris".
Ibu Rami, Rawia, memegang foto putranya. "Pelurunya ada di jantungnya," katanya.
Tidak jauh dari kantor polisi tempat menteri berbicara, pada Rabu (13/03), Rawia al-Halhouli sedang duduk di ruang tamunya dikelilingi oleh teman, kerabat, dan pelayat yang menangis datang satu per satu untuk memberikan penghormatan.
Di luar halaman, ayah Rami yang bernama Ali (60 tahun), sedang duduk bersama keluarga dan teman-temannya. Dia tidak mampu menahan air matanya selama lebih dari beberapa menit.
“Saya bertanya kepada Anda, seorang anak berusia 12 tahun, bagaimana dia bisa menjadi teroris?” kata Ali.
"Dia sedang berpuasa dan berbuka, lalu keluar rumah dan bermain dengan anak-anak lain. Ini bulan Ramadhan, mereka pantas menyalakan kembang api. Mereka sedang bermain," ujar Ali.
Ali berkata, Rami adalah anak yang baik. “Dia pandai di sekolah, dia pintar, dia membantu tetangga kami. Ini adalah lingkungannya dan dia tidak pernah pergi lebih jauh. Dia bukan pembuat onar.”
Menurutnya, pasukan Israel yang membunuh Rami “hanya orang yang mengikuti perintah.
“Itu semua benar-benar perintah yang berasal dari Ben-Gvir,” kata Ali.
“Dia tidak akan membiarkan warga Palestina merasakan perdamaian.”
Ayah Rami, Ali, menyeka air mata saat dia menggambarkan putranya. “Dia bukan pembuat onar,” katanya.
BBC meminta polisi Israel untuk memberikan bukti apa pun yang menunjukkan kekerasan, kerusuhan, atau insiden lain yang menimbulkan kekhawatiran di wilayah tersebut pada hari atau jam menjelang penembakan, atau bukti apa pun yang memberatkan Rami al-Halhouli. Namun mereka tidak memberikannya.
Kepolisian Israel malah merujuk pada pernyataan tertulis polisi yang diterbitkan pada Selasa (12/03) lalu, yang menggambarkan “gangguan kekerasan terjadi di kamp Shuafat, termasuk pelemparan bom molotov dan pelemparan kembang api langsung ke arah pasukan keamanan”.
Dalam selebaran yang ditulis dalam bahasa Arab dan didistribusikan oleh polisi Israel di kamp Shuafat tertulis bahwa 15 hingga 20 pemuda berencana untuk pergi salat pada malam hari “dengan tujuan melanggar aturan, meluncurkan kembang api, dan melempar bom molotov".
“Polisi tidak akan pernah menoleransi tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun dan akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang melakukan kekerasan atau berupaya menyakiti mereka,” demikian isi selebaran tersebut.
Polisi Perbatasan Israel mengumumkan pada Rabu (13/03) malam bahwa seorang petugas telah dibebaskan bersyarat dari tahanan setelah diinterogasi sehubungan dengan penembakan di kamp Shuafat.
Di Tepi Barat yang diduduki Israel telah terjadi peningkatan kekerasan sejak awal perang di Gaza. Setidaknya 418 warga Palestina, termasuk anggota kelompok bersenjata dan warga sipil telah tewas dibunuh pasukan Israel, menurut PBB.
Pada periode yang sama, 15 warga Israel, termasuk empat personel pasukan keamanan, tewas.
Menurut angka terkini dari organisasi hak asasi manusia Israel B'Tselem, 519 anak dibunuh oleh Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat antara tahun 2000 dan awal Oktober 2023.
“Israel mempunyai kebijakan untuk tidak terlalu mengambil tindakan ketika berurusan dengan warga Palestina,” kata Dror Sadot, juru bicara B’Tselem.
“Kami telah mendokumentasikan lusinan kasus seperti ini selama bertahun-tahun. Kami belum menyelidiki kasus spesifik ini di Shuafat, tapi tampaknya anak tersebut tidak menimbulkan bahaya bagi polisi,” ujar Sadot.
Salim Anati, seorang dokter yang tinggal dan bekerja di kamp Shuafat sejak kamp tersebut dibangun pada tahun 1965, berkata bahwa dia telah merawat setidaknya 20 anak selama bertahun-tahun.
Anak-anak itu, kata dia, kehilangan satu atau kedua mata mereka karena terkena peluru karet. Dia mengingat, sedikitnya 10 anak juga tewas terbunuh pasukan Israel.
“Anak-anak banyak yang terluka, banyak yang dipenjara, kalau tidak dipenjara tidak boleh keluar rumah,” kata Anati.
“Ini adalah kehidupan yang sangat sulit bagi seorang anak di sini.”
“Rami bahkan tidak cukup beruntung untuk bisa melarikan diri dari kamp. Seluruh masa kecilnya berada di bawah pendudukan," ujarnya.
Pada hari terakhir hidupnya, Rami tidur sampai tengah hari, kata ibunya, Rawia. Dia kemudian bermain di dalam rumah sampai dia menyuruh Rami membantunya mempersiapkan hidangan berbuka puasa.
Usai makan sekeluarga, Rami berangkat ke masjid untuk salat, lalu pulang dan meminta uang jajan kepada orangtuanya untuk pergi ke toko. Ayahnya tidak mengabulkan permintaan itu karena dia ingin Rami tinggal di rumah.
“Tetapi saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya dengan tenang, saya akan memberimu sejumlah uang saku jika kamu langsung pergi ke toko dan kembali ke rumah,” kata Rawia.
"Dalam waktu lima menit setelah meninggalkan rumah, dia pergi untuk selama-lamanya," ujar Rawia.
Muath al-Khatib berkontribusi pada laporan ini. Foto oleh Joel Gunter.