Pelecehan Seksual Saat Haji dan Umrah Semakin Banyak Terungkap

Konten Media Partner
27 Januari 2023 16:10 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelecehan Seksual Saat Haji dan Umrah Semakin Banyak Terungkap
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan: Artikel ini memuat penuturan kekerasan seksual yang dapat mengganggu kenyamanan Anda.
Berita soal WNI yang dihukum penjara di Arab Saudi karena melakukan pelecehan seksual turut menguak kejadian-kejadian lainnya di Tanah Suci, yang pernah dialami para WNI dan tidak pernah diungkap sebelumnya. BBC News Indonesia mewawancarai beberapa di antaranya.
Dini dan ibunya terjebak di dalam kerumunan laki-laki yang badannya jauh lebih besar dari mereka, ketika keduanya ingin menyentuh hajar aswad di Ka’bah pada suatu malam.
Mereka terpisah dari ayah dan adik laki-lakinya yang sebenarnya saat itu berangkat bersama.
Sesungguhnya, rangkaian umrah mereka hari itu sudah selesai, tapi Dini dan ibunya ingin sekali mencapai batu yang dalam kisah para nabi disebut berasal dari surga.
"Saat kami tetap berusaha untuk mendekati [batu hajar aswad], tanpa kami tahu apakah cuma kami perempuan yang ada di sana, tiba-tiba saya merasakan ada jari yang masuk ke daerah privat saya," kata Dini, yang meminta identitasnya disamarkan.
"Beberapa detik saya berpikir, ini cacing, atau ular, atau apa, tapi lama-lama sangat tidak nyaman."
Kemudian, Dini langsung memberi tahu ibunya. Setelah sang ibu melihat dan memelototi si pelaku, pelaku lantas menghentikan aksinya.
Menurut penuturan ibundanya, pelaku pelecehan terhadap anaknya itu adalah seorang laki-laki tua.
Dan pascakejadian, laki-laki itu "masih tetap berusaha mendekati".
"Orang-orang sekitar, laki-laki, ngomong sama kami berdua pakai bahasa mereka masing-masing, yang kayaknya intinya, 'Kamu enggak bisa di sini, nanti saja deh. Kalian harus pergi dari sini, sudah tidak nyaman. Kalian satu-satunya perempuan di sini, yang lain laki-laki'," cerita Dini.
Akhirnya, ibunya mengajak Dini pergi dari tempat itu, pergi dari depan Ka’bah, tanpa berhasil mencapai hajar aswad.
Kejadian itu tentu membuat Dini “kaget“ dan bahkan “sedikit trauma“, sampai-sampai dia tidak mau kembali lagi tawaf—salah satu rukun haji atau umrah dengan mengelilingi Ka'bah selama tujuh kali.
Bagaimana tidak, waktu itu Dini mengaku sedang sangat terpukau dan bahagia bisa berada di Masjidil Haram dan berdiri di depan Ka’bah, tapi malah mendapatkan perlakuan yang tidak pantas.
Pengalaman buruk itu hanya diceritakan kepada ayah dan adiknya, dan sang ibu berkata kepada Dini, “tetaplah jadi rahasia kita saja“.
Perjalanan umrah itu berlangsung pada 2010 lalu. Itu adalah ibadah umrah pertamanya, “hadiah dari orang tua“ setelah dia menjalani wisuda sarjananya.
Sebenarnya waktu itu Dini mengaku tidak tahu kalau apa yang dia alami adalah pelecehan seksual.
Delapan tahun setelahnya, tagar #MosqueMeToo di media sosial mengungkap pelecehan seksual yang menimpa para jemaah perempuan dari berbagai negara saat melakukan ibadah haji atau umrah.
"Waktu kejadian, saya bilang ke mama itu bukan karena saya ngeh itu pelecehan seksual, tapi saya lapor ke ibu saya karena itu tidak nyaman," ujar perempuan yang sedang menjalani studi S3-nya di Selandia Baru.

Takut disalahkan

Pelecehan seksual di Mekah juga pernah dialami Syarifah Olvah Alhamid, Puteri Indonesia Intelegensia 2015.
Kepada BBC News Indonesia dia mengaku mengalami kejadian itu ketika sedang berjalan-jalan di pertokoan, yang berada di antara tempat dia menginap dan kompleks Masjidil Haram, sambil mengisi waktu menunggu azan ashar.
Olvah tidak sendiri. Dia bersama teman sekamarnya, yang bernama Hajar Enzo, mampir di sebuah toko emas.
Dia meminta penjaga toko mengambilkan emas yang menarik perhatiannya di lemari kaca.
“Sambil dia keluarin emas yang mau saya lihat, dia juga mengeluarkan alat kelaminnya,” kata Olvah menceritakan pengalaman umrah pertamanya yang berlangsung pada 2020 lalu.
Keduanya terkejut sambil mengucap istigfar—ucapan untuk memohon ampun kepada Allah—berulang kali.
Penjaga toko yang lain tidak ada yang melihat kejadian itu karena sedang melayani para pelanggan.
Dalam hati Olvah berkata: “Ya Tuhan, ini bagaimana ya? Saya mau lapor ke siapa? Kalau saya laporin akan dibela atau tidak karena saya bukan warga negara situ?”
Tanpa melakukan apapun, hanya beristigfar, Olvah dan rekannya meninggalkan tempat itu dengan badan yang masih “gemetar”.
Dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Masjidil Haram dan mendirikan salat ashar, sambil menenangkan diri.
“Saya gemetar dan syok banget. Mungkin selama satu jam saya sempat diam, tidak melakukan apa-apa, astagfirullah, astagfirullah, kayak gitu,” ujarnya.
Saat kembali ke hotelnya, Olvah menceritakan pengalaman buruknya kepada seorang ustad.
“Setahu saya dia menegurnya karena dia bisa Bahasa Arab… tapi saya tidak tanya lagi karena saya syok. Intinya saya cuma ingin menghilangkan itu dari pikiran saya.”

'Bisa apa kita di sana?'

Suasana salah satu pasar di Madinah yang dipenuhi para jemaah haji.
Berbeda dengan Dini dan Olvah yang mengalami langsung, Tribudi Astuti menceritakan pelecehan seksual yang dialami ibunya pada 2007 lalu, ketika sedang menjalankan ibadah haji.
Ibu Tuti, panggilan akrab Tribudi Astuti, dilecehkan di pasar ketika sedang belanja oleh-oleh bersama rombongannya.
“Ada laki-laki tinggi besar, kata dia, di belakangnya sengaja banget mepet-mepet nempelin alat kelaminnya ke punggung,” dia bercerita kepada BBC News Indonesia
Setelah merasakan ada yang tidak beres, ibunda Tuti, yang pada waktu itu berusia 53 tahun, langsung meninggalkan tempat tersebut.
Untungnya, kata Tuti, sang ibu bisa ”mengendalikan emosinya” sehingga tidak mengalami trauma, meskipun waktu kejadian itu ibunya mengaku “takut, risih, dan jijik”.
Pengalaman buruk yang dialami oleh ibunya itu, diakui Tuti, bukan satu-satunya cerita soal pelecehan seksual yang terjadi di Tanah Suci.
“Tapi bisa apa kita di sana? Harus seperti apa kita membela diri di sana?” tuturnya.
Pengalaman-pengalaman yang dia dengar itu hanya bisa dijadikan pelajaran untuk lebih waspada ketika dirinya berkesempatan menjalankan ibadah haji atau umrah suatu hari nanti.
Namun, dia berharap pemerintah setidaknya bisa “memberikan bekal“ tentang bagaimana “menghadapi serangan pelecehan seksual bagi para calon jemaah” sebelum mereka berangkat.
"Seharusnya sih sudah kedengeran sampai ke telinga pemerintah, harusnya sih. Cuma karena mungkin dianggap tidak serius, tidak mengancam, enggak sampai keterlaluan, mungkin ya dianggapnya begitu saja mungkin ya.
"Tapi kan kita tidak tahu ada yang lebih parahkah, disembunyikan, kita kan enggak tahu," ujar Tuti.

Pengakuan perempuan dari berbagai negara

#MosqueMeToo mengungkap pelecehan seksual yang dialami para jemaah perempuan ketika beribadah di Arab Saudi.
Maraknya pelecehan seksual yang terjadi saat ibadah haji maupun umrah sebenarnya sempat menghebohkan dunia pada Februari 2018 lalu.
Anggi Angguni pernah menceritakan perlakuan tidak senonoh yang pernah dia dapatkan saat menjalani ibadah haji pada 2010 lalu.
Tagar #MosqueMeToo yang viral hampir lima tahun lalu membangkitkan lagi “kenangan mengerikan” yang pernah dia alami di sebuah supermarket, tak jauh dari Masjidil Haram.
Anggi pun turut menceritakan kisahnya dengan menggunakan tagar itu.
“Laki-laki itu mulai memegang dan meremas bokong saya,” kata Anggi dalam wawancara video kepada BBC.
“Saya terlalu takut untuk berteriak.“
Adiknya, yang menunaikkan ibadah haji bersama Anggi dan ibunya, juga mengalami pelecehan seksual oleh penjaga masjid.
“Apa yang Anda lakukan? Anda tidak boleh menyentuh adik perempuan saya,” teriak Anggi.
“Penjaga itu hanya tertawa ketika saya menegurnya.”
#MosqueMeToo berawal dari pengakuan perempuan Pakistan bernama Sabica Khan. Dia mengaku telah mengalami pelecehan seksual sebanyak tiga kali ketika melakukan tawaf setelah salat isya.
"Sangat menyedihkan, ketika Anda tidak merasa aman bahkan ketika berada di tempat suci. Saya telah dilecehkan. Tidak satu kali, bukan dua kali, tapi tiga kali. Seluruh pengalaman saya selama berada di tempat suci dibayangi dengan kejadian yang mengerikan."
Kemarahan itu membuat Sabica mengungkap kisahnya.
Unggahan Sabica itu membuat seorang feminis Amerika-Mesir, yang juga seorang wartawan, Mona Eltahawy pertama kali menggunakan tagar #MosqueMeToo untuk mendukung Sabica.
Dalam wawancara dengan BBC dalam program Impact, Mona Eltahawy mengatakan penggunaan tagar itu bertujuan agar masalah pelecehan di tempat suci itu menjadi 'percakapan global'.
Mona yang sudah menjalankan ibadah haji selama empat kali dan beberapa kali mengunjungi Tanah Suci, juga mengaku pertama kali mengalami pelecehan ketika melaksanakan ibadah haji bersama keluarganya pada usia 15 tahun.
Tidak semua orang mendukung tagar #MosqueMeToo. Bahkan Mona Eltahawy mendapatkan sejumlah kritik karena mengangkat topik ini di media sosial.
Namun, Mona mengatakan: "Saya ingin agar saudara perempuan saya sesama muslim juga mewaspadai masalah ini".

Bagaimana pemerintah merespons isu ini?

Para jemaah berdesakan saat berusaha mencapai hajar aswad yang berada di Ka'bah.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief mengatakan pihaknya “menyayangkan” pelecehan seksual yang menimpa para korban.
Hilman mengaku belum mendapatkan banyak “laporan resmi” yang masuk terkait kasus tersebut. Laporan resmi yang dimaksud berupa surat pengaduan.
Namun, kata dia pihaknya “sudah mengambil langkah antisipatif, bahkan untuk pelaksanaan haji tahun ini”.
“Pertama, kita memperbanyak petugas perempuan, yang kedua kita juga memperbanyak pembimbing perempuan, kita optimalkan,” kata Hilman kepada BBC News Indonesia.
Hal itu dilakukan, kata Hilman, karena masalah yang dihadapi perempuan bermacam-macam, baik pada saat beribadah maupun saat berada di Saudi secara keseluruhan.
Lebih lanjut, Kementerian Agama sudah menyampaikan “aspirasi ini” kepada pemerintah Arab Saudi agar “layanan perempuan—salah satunya penyediaan toilet— juga mendapatkan perhatian khusus” karena jumlah jemaah perempuan dari Indonesia bisa mencapai 50% lebih dari total jemaah.
“Secara khusus proteksi perempuan pada saat melaksanakan ibadah, khususnya di Tanah Suci, masih diformulasikan, kira-kira model perlindungannya seperti apa. Apalagi pada situasi padat kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, bisa betul, bisa tidak, bisa sengaja, bisa tidak, itu sangat bisa terjadi,” ujar Hilman.
Untuk umrah, upaya proteksi para jemaah perempuan, menurut Hilman, pengaturannya sudah dilakukan dengan baik oleh para agen perjalanan—dengan menggunakan tali dan formasi tertentu yang membuat perempuan lebih aman dan jemaah pun tidak terpisah.
Meskipun, dalam situasi tertentu upaya itu tidak berjalan dengan baik karena kepadatan jemaah.
Sementara itu, dari sisi pelaporan dan pengaduan, Hilman mengatakan kementeriannya sudah merevitalisasi dan mengaktifkan kembali advokasi haji, yang sebelumnya tidak memiliki regulasi yang kuat.
“Nanti kami akan sampaikan ke publik, bagaimana konsultasi, pengaduan-pengaduan, bisa diberikan. Sebentar lagi akan kita launching,” tuturnya.
Pengaduan-pengaduan yang masuk nantinya juga dijadikan acuan untuk mengetahui “peta masalahnya”.
Terkait pelecehan seksual yang terjadi di luar ibadah haji dan umrah, Hilman mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendiskusikan perlindungan-perlindungan seperti apa yang bisa dilakukan terhadap para jemaah.
“Kita bangun awareness-nya kepada kepala-kepala rombongan biar nanti jemaah juga tidak sendiri saat ke pasar misalnya, karena mereka di negeri orang dan situasinya tidak semudah di negara sendiri,” kata Hilman.