Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pembakaran Al-Quran di Swedia, Dikecam Negara Islam hingga Merembet ke NATO
23 Januari 2023 17:40 WIB
·
waktu baca 3 menitPembakaran Al-Qur’an dalam aksi demonstrasi di Swedia telah berbuntut panjang. Selain dikecam sejumlah negara Arab dan negara-negara Islam, pembakaran tersebut telah merembet ke urusan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pembakaran itu dilakukan politisi sayap kanan Swedia, Rasmus Paludan , ketika berdemonstrasi di luar Kedutaan Turki di Stockholm, Sabtu (21/01).
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menganggap pembakaran Al-Qur’an itu adalah "tindakan provokatif yang menargetkan umat Muslim dan menghina nilai-nilai suci kami."
Dewan Kerja Sama Teluk pun menyampaikan kritik.
Arab Saudi menekankan "pentingnya menyebarkan nilai-nilai dialog, toleransi, dan hidup rukun berdampingan, serta menolak kebencian dan ekstremisme."
Uni Emirat Arab juga menyampaikan penolakannya terhadap "semua praktik yang ditujukan untuk mengacaukan keamanan dan stabilitas, yang bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan dan moral."
Kuwait mendesak komunitas internasional untuk menghentikan "tindakan yang tidak dapat diterima seperti itu, meninggalkan segala bentuk kebencian dan ekstremisme, serta meminta pertanggungjawaban para pelaku."
Sementara itu, Turki mengutuk pembakaran Al-Qur’an dan menggambarkannya sebagai "tindakan keji".
Ankara juga mengatakan keputusan pemerintah Swedia untuk mengizinkan aksi protes itu "sama sekali tidak dapat diterima".
Apa pemicu aksi itu?
Peristiwa itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan diplomatik antara Turki dan Swedia.
Sebelum unjuk rasa berlangsung, Turki telah membatalkan kunjungan Menteri Pertahanan Swedia Pal Jonson dengan mengatakan perjalanan itu "kehilangan signifikansi dan maknanya".
Kunjungan itu diharapkan bisa meyakinkan Ankara untuk mendukung negara Skandinavia tersebut dalam bergabung dengan aliansi militer NATO.
Turki, sejauh ini, menangguhkan permintaan Swedia dan Finlandia untuk bergabung dengan NATO.
Bagaimana reaksi Turki dan Swedia?
Setelah kejadian pembakaran Al-Qu'ran, Turki bertambah berang. Apalagi, menurut Kementerian Luar Negeri Turki, pemerintah Swedia mengizinkan demonstrasi itu tetap berlangsung, meskipun sudah "berulang kali diperingatkan".
"Mengizinkan tindakan anti-Islam ini, yang menargetkan umat Islam dan menghina nilai-nilai suci kami, dengan kedok 'kebebasan berekspresi' sama sekali tidak dapat diterima," begitu bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki.
Kemenlu Turki menambahkan, pembakaran Al-Qur’an menjadi contoh bahwa Islamofobia, rasisme, dan diskriminasi telah mencapai Eropa pada taraf "mengkhawatirkan". Mereka lantas meminta pemerintah Swedia mengambil "langkah-langkah yang diperlukan".
Menteri Luar Negeri Swedia, Tobias Billstrom, menyebut tindakan itu "mengerikan".
"Swedia memiliki kebebasan berekspresi yang luas, tetapi tidak berarti pemerintah Swedia, atau saya sendiri, mendukung pendapat-pendapat yang telah disampaikan itu," tulisnya di Twitter.
Setelah Turki membatalkan kunjungannya, Menteri Pertahanan Swedia Pal Jonson mencuit: "Hubungan kami dengan Turki sangat penting bagi Swedia, dan kami berharap untuk melanjutkan dialog tentang masalah keamanan dan pertahanan bersama di kemudian hari."
Pekan lalu, para demonstran di Stockholm menggantung orang-orangan yang menyerupai Presiden Recep Tayyip Erdogan di tiang lampu.
Perdana Menteri Swedia menilai tindakan itu adalah upaya untuk menyabotase permintaan Swedia yang ingin bergabung bersama NATO.
Siapa Rasmus Paludan?
Rasmus Paludan adalah seorang pria Denmark-Swedia yang menggalang kelompok sayap kanan dan anti-Islam Denmark.
Pada 2022, keributan dan bentrokan pecah di beberapa kota Swedia setelah kelompok tersebut menggelar aksi pembakaran Al-Qur'an di beberapa kota.
Pada tahun 2019, ia membakar Al-Qur'an yang dibungkus dengan daging babi dan akunnya diblokir selama sebulan oleh Facebook setelah memuat postingan yang mengaitkan kebijakan imigrasi dan kriminalitas.
Pada 2017, pria 40 tahun itu mendirikan gerakan sayap kanan Denmark, Stram Kurs atau Garis Keras, yang menyuarakan agenda anti-imigran dan anti-Islam.