Pembangunan Sekolah Kristen di Parepare Dihentikan Usai Mendapat Penolakan Warga

Konten Media Partner
13 Oktober 2023 8:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski telah menyetujui dan memberikan izin pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel, pemerintah daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan, melalui DPRD Parepare justru merekomendasikan penghentian pembangunan sekolah itu setelah mendapat penolakan dari sekelompok demonstran karena sekolah didirikan di tengah masyarakat berpenduduk masyoritas Muslim.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menyatakan insiden penolakan sekolah Kristen di Parepare tersebut menandakan bahwa level toleransi paling rendah sekalipun belum terpenuhi di wilayah itu dan semestinya tidak dibiarkan oleh pemerintah setempat.
Aksi demo penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare terjadi pada Jumat (06/10). Massa yang datang berdemo berasal dari sekelompok warga dan ormas Islam.
Ketua Yayasan Pendidikan Kristen Gamaliel, Djuanda Alfonsius, mengatakan bahwa pihaknya merasa heran dengan adanya aksi demo penolakan tersebut.
Sebab, pihak yayasan juga telah mengikuti semua aturan sehingga mendapatkan izin atau persetujuan bangunan gedung (PBG) sekolah tersebut.
“Tidak mungkin persetujuan bangunan gedung [PBG] terbit, kalau kami tidak memenuhi syarat. Cuma itu yang bisa kami sampaikan,” kata Djuanda kepada wartawan Muhammad Aidil di Makassar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/10).
Djuanda mengungkapkan izin pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare telah didapatkan dari Pemerintah Daerah Kota Parepare pada Juli 2023. Sementara, proses pembangunannya baru mulai dilakukan pada akhir September tahun ini.
Lahan untuk bangunan sekolah tersebut awalnya adalah milik gereja lalu kemudian diserahkan ke pihak yayasan untuk digunakan mendirikan bangunan sekolah. Dia pun telah menandatangani surat bermaterai yang menyatakan pembangunan bukan untuk rumah ibadah.
“Belum [rampung], baru pembersihan lahan, baru mau dipondasi terus ada demo penolakan ini,” ungkapnya.
“Dari pihak yang menolak mengatakan izin belum ada dan tidak ada sosialisasi ke warga sekitar. Sudah ada [izin], kita juga sudah pasang papan PBG-nya di depan lahan kami,” sambung Djuanda.
Saat ini pihak yayasan menunggu hasil keputusan dari pemerintah setempat terkait persoalan penolakan keberadaan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare tersebut.
“Kami menunggu arahan dari pemerintah selanjutnya,” kata dia.

Penolakan sekolah Kristen karena intoleran?

Salah satu pendemo, Muhammad Nashir, mengeklaim bahwa aksi demo tersebut dilakukan oleh sejumlah warga yang merasa terganggu dan tidak sepaham dengan keberadaan sekolah Kristen Gamaliel yang hendak dibangun di Kecamatan Soreang, Kota Parepare.
Nashir menolak jika pihaknya yang melakukan demonstrasi terkait penolakan pembangunan sekolah Kristen disebut karena intoleran.
“Bukan persoalan intoleran, tetapi memang saya melihat bahwa ini tidak memenuhi persyaratan dari segi dokumen yang harus disiapkan pihak Gamaliel,” kata dia.
“Pihak yayasan memang sudah mendapatkan izin dari pemerintah dalam hal ini PBG, tetapi setelah kita telusuri ternyata persyaratan PBG-nya itu tidak terpenuhi karena salah penafsiran dari pihak PUPR yang mengasistensi dokumen dari pihak Gamaliel,” tambah mantan Ketua Dewan Pendidikan Kota Parepare ini.
Namun, apakah penolakan semata-semata karena dokumen sebagaimana diklaim Muhammad Nasir?
Aksi demo penolakan pembangunan sekolah Kristen berlangsung di depan gedung DPRD Parepare, Jumat (6/10). Massa yang datang berdemo, kata Ketua DPRD Parepare, Kaharuddin Kadir, berasal dari sekelompok warga sekitar lokasi pembangunan sekolah dan massa dari ormas Islam.
“Sebenarnya bukan karena tidak setuju cuma menginginkan karena ini Yayasan Kristen, sebaiknya dicarikan lokasi lain yang masyarakat di sekitar tidak mayoritas Islam,” ungkap Kaharuddin.
“Di Parepare ini kan tidak pernah ada begitu-begitu [intoleran], semua saling menghormati. Cuma mungkin karena berada di tengah-tengah masyarakat Islam, kemudian ada pondok tahfidz sehingga masyarakat di sana, jangan sampai ke depan ini ada timbul itu,” katanya.
Dengan adanya aksi protes tersebut, proses pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare dihentikan. Kaharuddin beralasan hal ini dilakukan karena pihaknya khawatir terjadi konflik horisontal.
“Maka kami pimpinan memutuskan untuk Dinas PU menghentikan sementara [pembangunan],” kata Kaharuddin.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Parepare, Zainal Arifin, menerangkan pihaknya sendiri tidak mempersoalkan pendirian Sekolah Kristen Gamaliel tersebut yang berada di lingkungan masyarakat berpenduduk mayoritas Islam.
Selain itu, kata dia, juga harus menjaga masalah kerukunan umat beragama dan harus berdasarkan pada aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
“Kalau itu semua terpenuhi, saya kira FKUB tidak [masalah],” terang Zainal.

‘Masyarakat yang tolak, bukan pemerintah’

Ketua DPRD Parepare, Kaharuddin Kadir, mengeklaim selama ini pihaknya telah menjamin kelompok beragama minoritas di Parepare untuk mendapatkan hak yang sama dengan kelompok beragama mayoritas. Namun, dia sendiri telah merekomendasikan pencabutan izin pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel ke Pemerintah Daerah Kota Parepare.
“Selama ini kan dijamin, kan yang menolak pembangunan [Sekolah Kristen Gamaliel] warga bukan pemerintah. Pemerintah sebenarnya sudah keluarkan izin pembangunannya PBG-nya, sudah keluar. Masyarakat yang tolak,” jelas Kaharuddin.
Pj Sekretaris Daerah Kota Parepare, Muhammad Husni Syam, mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti hasil rekomendasi dari DPRD Parepare terkait perizinan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel yang diprotes itu.
“Kita akan lihat dan bahas sesuai dengan regulasi yang ada. Tentu kita menjaga kerukunan, menjaga persatuan dan kesatuan, itu intinya sebenarnya,” kata Husni.
Tetapi, Husni mengaku tidak dapat menjamin kelompok minoritas mendapatkan hak yang sama. “Saya tidak bisa terlalu masuk ke dalam hal itu [jaminan kelompok minoritas]. Intinya semua sama kita berikan,”

Gejala intoleran di Parepare

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan penolakan pembangunan sekolah Kristen di Parepare tidak beralasan. Sebab tidak ada regulasi yang mempersyaratkan keagamaan tertentu untuk mengurus perizinan.
Dia menyebut penolakan sebagai gejala intoleran yang tak diatasi secara maksimal oleh pemerintah setempat.
Apalagi, menurutnya, penegak hukum diam saja dan bisa ditekan kelompok intoleran. Padahal, kelompok minoritas sudah mematuhi proses hukum yang ada.
“Kalau tidak diatasi, intoleransi itu akan meningkat dan akan terus terjadi. Setara bisa memastikan bahwa kasus serupa pasti akan berulang,” terangnya.
Pemerintah daerah juga harus mengedukasi masyarakat Kota Parepare bahwa sekolah keagamaan minoritas dijamin oleh konstitusi dan Pancasila.
“Kalau ada fenomena ketidaktahuan dan pemerintah diam, saya kira pemerintah berkontribusi terjadinya iliterasi dan harus bertanggung jawab terhadap berkembangnya intoleran di kota itu,” terang Halili.
Untuk mengukur toleransi dan intoleransi, kata dia, sebenarnya ada beberapa tahap. Tahap yang paling rendah ialah apa yang disebut sebagai penerimaan.
“Saya kira apa yang terjadi di Parepare itu menunjukkan bahwa level toleransi di level paling rendah sekalipun, belum. Yang paling rendah itu penerimaan atas apa yang berbeda. Kalau tidak bisa menerima berarti memang belum toleran sama sekali dan mestinya pemerintah tidak membiarkan itu,” tegas Halili.