Konten Media Partner

Pemerintah Berencana Mewajibkan Asuransi Kendaraan Pihak Ketiga Alias TPL – Seberapa Realistis Program Ini?

22 Juli 2024 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Pemerintah Berencana Mewajibkan Asuransi Kendaraan Pihak Ketiga Alias TPL – Seberapa Realistis Program Ini?

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengamat dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan rencana pemerintah mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL). Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan masih menunggu peraturan pemerintah sebagai payung hukum.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengatakan pemerintah harus melakukan kajian terlebih dahulu sebelum melaksanakan program asuransi wajib untuk kendaraan – terutama dalam konteks siapa wajib pajaknya.
Trubus merujuk ke Pasal 39A, ayat (2), di UU P2SK yang menyatakan pemerintah “dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib”.
“Masyarakat tertentu itu [di sini] siapa? Kan harus jelas,” ujar Trubus pada Minggu (21/07).
Trubus menilai asuransi TPL sebaiknya dibuat opsional alias sukarela ketimbang diwajibkan.
“Masyarakat selama ini sudah ada asuransi kecelakaan yaitu [asuransi Jasa Raharja]. Terus mau nambah asuransi, asuransi apa lagi? Masyarakat sudah membayar kewajiban yang lain seperti iuran BPJS, iuran Jamsostek, pajak, dan lain-lain,” ujarnya.
Trubus menekankan bahwa pemerintah perlu menjelaskan apa manfaat yang benar-benar bisa diperoleh masyarakat dari program asuransi wajib kendaraan.
Adapun pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Sujatno, menilai pemerintah perlu menggunakan prinsip kehati-hatian dalam perencanaan Program Asuransi Wajib – terutama perlu ada kajian kebermanfaatan dan kemampuan masyarakat.
“Akan lebih fair jika asuransi menjadi sebuah opsi atau pilihan, bukan menjadi kewajiban yang membebani masyarakat. Apabila pemerintah memaksakan, maka opsi yang adil adalah memberlakukan kewajiban asuransi pada jenis mobil-mobil mewah dan sepeda motor dengan CC besar – populer dengan sebutan motor gede alias moge,” tandasnya.
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, mengatakan di antara negara-negara yang tergabung dalam ASEAN Insurance Council (AIC) – organisasi di bawah naungan ASEAN yang fokus terhadap asuransi – hanya Indonesia yang belum mewajibkan asuransi TPL untuk kerusakan properti.
“Hanya negara kita yang belum mewajibkan [asuransi] TPL untuk property damage [kerusakan properti] melengkapi [asuransi] TPL bodily injury [cedera tubuh] – yang sebagian sudah dijamin oleh Jasa Raharja,” ujarnya.
Irvan menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan asuransi Jasa Raharja ketimbang menggunakan skema asuransi baru dan menggunakan kelembagaan baru.

Apa yang dimaksud dengan third party liability atau TPL dan mengapa pemerintah ingin mewajibkannya?

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menjabarkan bahwa asuransi pihak ketiga alias third party liability (TPL) adalah asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Skema ini menanggung risiko tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga apabila kendaraan menyebabkan kerugian terhadap orang lain.
“Misalnya, kendaraan menabrak kendaraan atau harta benda dan orang lain sehingga menimbulkan tuntutan hukum. Tuntutan ini ditanggung asuransi,” ujar Irvan pada Minggu (21/07).
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menyatakan bahwa pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan, dimana salah satu contohnya adalah asuransi kendaraan berbentuk TPL terkait kecelakaan lalu lintas.
“Saat ini, asuransi kendaraan masih bersifat sukarela, jadi apabila terjadi kecelakaan, maka masyarakat yang tidak memiliki asuransi TPL akan menanggung sendiri kerugian yang ditimbulkan,” ujar Ogi kepada Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Minggu (21/07).

Baca juga:

Ogi merujuk ke Pasal 234 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di mana pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
“Jika melihat perbandingan dengan beberapa negara di ASEAN, penerapan Asuransi Wajib terkait TPL ini sudah diterapkan, seperti contoh negara Malaysia melalui Road Transport Act 1987, yang menyatakan bahwa setiap kendaraan bermotor yang digunakan di jalan raya harus diasuransikan terhadap tanggung jawab pihak ketiga,” papar Ogi.
Ogi menjelaskan kebijakan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan finansial yang lebih baik kepada masyarakat karena akan mengurangi beban finansial yang harus ditanggung oleh pemilik kendaraan jika terjadi kecelakaan.
“Dengan adanya asuransi tersebut, diharapkan masyarakat akan lebih terlindungi dan merasa aman, serta secara lebih makro akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” imbuh dia.

Kapan asuransi TPL wajib diterapkan di Indonesia dan seperti apa mekanismenya?

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menekankan bahwa saat ini OJK masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai payung hukum pelaksanaan Program Asuransi Wajib yang nantinya perlu mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu.
“Termasuk di antaranya terkait ruang lingkup dan waktu efektif penyelenggaraan program,” ujar Ogi dalam keterangan resmi.
“Dalam persiapannya, tentu diperlukan kajian mendalam terlebih dahulu mengenai Program Asuransi Wajib yang dibutuhkan.”
Ogi menjelaskan bahwa UU P2SK menyatakan bahwa setiap amanat UU P2SK diikuti dengan penyusunan peraturan pelaksanaan yang penetapannya paling lama dua tahun sejak UU P2SK diundangkan.
Merujuk ke situs OJK, UU P2SK disahkan pada pada 12 Januari 2023 lalu.
“Setelah PP diterbitkan, OJK akan menyusun peraturan implementasi terhadap Program Asuransi Wajib tersebut,” ujar Ogi.

Bagaimana penerapan kewajiban asuransi kendaraan TPL yang efektif di Indonesia?

Foto ilustrasi kecelakaan lalu lintas di Jakarta.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai urgensi dari kebijakan ini adalah untuk melindungi masyarakat dari kerugian finansial dari kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat dari tahun ke tahun akibat terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.
“Hingga kini [jumlah kendaraan bermotor] telah mencapai 150 juta dengan jumlah terbesar (90%) kendaraan roda dua yang notabene golongan menengah ke bawah,” ujar Irvan.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, pemerintah harus melakukan kajian terlebih dahulu sebelum melaksanakan program asuransi wajib untuk kendaraan – terutama dalam konteks siapa wajib pajaknya.
Trubus merujuk ke Pasal 39A, ayat (2), di UU P2SK yang menyatakan pemerintah “dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib”.
“Masyarakat tertentu itu [di sini] siapa? Kan harus jelas,” ujar Trubus pada Minggu (21/07).
“Kalau pemilik mobil yang CC-nya 1500 berarti berapa preminya? Kemudian yang CC-nya 1000 berapa? Terus untuk pemilik motor, yang CC-nya 250 itu [preminya] berapa? Misalnya yang CC-nya 100 itu free, enggak usah bayar alias subsidi.”
Trubus menekankan masyarakat selama ini sudah membayar asuransi kecelakaan untuk kendaraan bermotor setiap tahunnya melalui asuransi Jasa Raharja.
“[Jasa Raharja] saja yang diperkuat, seharusnya. Jadi enggak perlu ada asuransi lain,” ujar Trubus.

Baca juga:

Senada dengan Trubus, pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan mengoptimalkan Jasa Raharja ketimbang menggunakan skema asuransi baru dan menggunakan kelembagaan baru.
Irvan mengingatkan bahwa Jasa Raharja selama ini berperan sebagai pelaksana asuransi wajib berdasarkan UU No. 33 Tahun 1964 untuk pertanggungan wajib kecelakaan penumpang kendaraan umum alias asuransi kecelakaan pribadi dan untuk cedera badan.
Menurut Irvan, di antara negara-negara yang tergabung dalam ASEAN Insurance Council (AIC) – organisasi di bawah naungan ASEAN yang fokus terhadap asuransi – hanya Indonesia yang belum mewajibkan asuransi TPL untuk kerusakan properti.
“Hanya negara kita yang belum mewajibkan [asuransi] TPL untuk property damage [kerusakan properti] melengkapi [asuransi] TPL bodily injury [cedera tubuh] – yang sebagian sudah dijamin oleh Jasa Raharja,” ujarnya.
Dari segi pengawasan, Irvan menyarankan pengawasan yang pas adalah yang selama ini dilakukan Jasa Raharja yakni dilekatkan bersamaan dengan perpanjangan SIM dan STNK.
“Bagi yang klaimnya terus meningkat atau track record-nya buruk agar dicabut SIM-nya,” ujar Irvan.
Irvan menyarankan Program Asuransi Wajib kendaraan ini bisa dimulai dengan tahap pertama diberlakukan terhadap kendaraan niaga dan roda empat sedang.
“Lalu untuk roda dua diberikan subsidi silang premi dari premi roda empat dan kendaraan niaga yang lebih tinggi,” ujarnya.
Irvan menyarankan premi asuransi Rp50.000 per tahun untuk limit ganti rugi Rp5 juta per kejadian sampai Rp100.000 per tahun untuk limit ganti Rp10 juta per kejadian adalah angka yang ideal.

Bagaimana dampak asuransi TPL kepada masyarakat luas apabila diwajibkan?

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai asuransi TPL sebaiknya dibuat opsional alias sukarela ketimbang diwajibkan sebab, apabila diterapkan, maka masyarakat “otomatis akan terbebani secara luar biasa”.
“Apabila diwajibkan [maka akan] membebani masyarakat. Masyarakat selama ini sudah ada asuransi kecelakaan yaitu [asuransi Jasa Raharja]. Terus mau nambah asuransi, asuransi apa lagi? Masyarakat sudah membayar kewajiban yang lain seperti iuran BPJS, iuran Jamsostek, pajak, dan lain-lain,” ujarnya.
Apabila benar asuransi TPL akan diwajibkan, Trubus menekankan pemerintah perlu memberikan edukasi terhadap masyarakat terhadap pentingnya asuransi mengingat produk keuangan ini kurang menarik di mata publik karena dua hal: tidak ada manfaat yang jelas kecuali ketika kecelakaan terjadi serta kesulitan dalam pencairan klaim.
Trubus menekankan masyarakat selama ini sudah membayar asuransi kecelakaan untuk kendaraan bermotor setiap tahunnya melalui asuransi Jasa Raharja – tetapi tidak mendapat manfaatnya.
“Hanya membayar-bayar terus, tapi enggak pernah dikasih benefit-nya apa. Belum soal klaim-nya,” ujar Trubus.
“Biasanya asuransi-asuransi itu suka bohongin awalnya, itu. Muluk-muluk. Ketika masyarakat mau klaim, dipersulit. Ujung-ujungnya masyarakat kesulitan untuk mencairkan.”
Sementara itu, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Sujatno, mengatakan pemerintah perlu menjelaskan kepada publik apa urgensi dan kebermanfaatan dari kebijakan ini.
“Masih minimnya literasi terhadap kebijakan ini justru akan menimbulkan dampak sosiologis di masyarakat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit,” ujar Agus.
Menurut Agus, lebih dari 30% pemilik kendaraan bermotor – terutama sepeda motor – belum melunasi pajak kendaraannya.
“Hal ini yang harusnya ditata terlebih dulu sebelum mewajibkan asuransi bagi kendaraan,” ujarnya.
Pemerintah, sambung dia, perlu menggunakan prinsip kehati-hatian dalam memberlakukan kebijakan ini selain melakukan kajian mengenai manfaatnya serta menimbang kemampuan masyarakat.
“Akan lebih fair jika asuransi menjadi sebuah opsi atau pilihan, bukan menjadi kewajiban yang membebani masyarakat,” ujar Agus.
“Apabila pemerintah memaksakan, maka opsi yang adil adalah memberlakukan kewajiban asuransi [terhadap] jenis mobil-mobil mewah dan sepeda motor dengan CC besar (moge).”