Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Pemerintah dan Pejabat Tak Boleh Laporkan Pencemaran Nama Baik – Apakah Putusan MK Ini Bisa Mengakhiri Praktik Kriminalisasi UU ITE?
2 Mei 2025 7:10 WIB
Pemerintah dan Pejabat Tak Boleh Laporkan Pencemaran Nama Baik – Apakah Putusan MK Ini Bisa Mengakhiri Praktik Kriminalisasi UU ITE?

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal "menyerang kehormatan atau nama baik" dalam UU ITE tak bisa lagi digunakan lembaga pemerintah hingga korporasi untuk menjerat seseorang ke ranah pidana. Namun pengamat ragu putusan tersebut bisa betul-betul menghentikan praktik kriminalisasi.
MK dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, korban kriminalisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sekaligus aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali).
Dalam amar putusannya, MK melarang lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik.
Pertimbangan MK karena kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana penyeimbang atau salah satu kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis.
Kepolisian menyebut "akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK".
Namun demikian, Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum ragu putusan tersebut bisa betul-betul menghentikan praktik kriminalisasi.
"Enggak berpengaruh sih pada kriminalisasi, karena yang paling banyak melaporkan pencemaran nama baik itu bukan instansi pemerintah, tapi individu pejabat," ujar Nenden.
"Jadi jangan terlalu terlena."
Pasal apa saja yang digugat oleh Daniel Frits?
Daniel Frits Tangkilisan menggugat empat pasal dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal-pasal itu diuji karena dianggap sangat merugikan lantaran kerap dipakai oleh orang-orang yang disebutnya memiliki kekuasaan untuk menjerat suara kritis masyarakat, pembela hak asasi manusia, lingkungan, perempuan, buruh, dan termasuk dirinya.
Ia sempat divonis tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Jepara pada April 2024, gara-gara disangkakan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) ini diseret ke meja hijau atas komentarnya di media sosial terkait kerusakan lingkungan di Karimunjawa, Jawa Tengah.
Dia berharap dengan menguji ke MK, orang-orang yang merasa punya kekuasaan tak bisa lagi memakai pasal 'karet' ini untuk membungkam kritik.
Keempat pasal yang diuji itu di antaranya:
Pasal 27A UU ITE 2024:
"Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik."
Pasal 45 ayat 4 UU ITE 2024:
"Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.
Pasal 28 ayat 2 UU ITE 2024:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik."
Pasal 45A ayat 2 UU ITE 2024:
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar."
Frits menguji beberapa frasa di dalam pasal tersebut, antara lain:
Di Pasal 27A terdapat frasa "orang lain" yang merujuk pada korban pencemaran nama baik, namun tidak diberikan arahan apalagi batasan yang jelas.
Sehingga, klaimnya, sangat rentan untuk disalahgunakan oleh korban dari pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Sementara di Pasal 433 ayat 1 KUHP yang baru, telah dengan jelas memberikan arahan dan batasan mengenai siapa yang bisa dan tidak bisa menjadi korban dari pencemaran nama baik.
Pertama disebutkan, yang bisa menjadi korban hanyalah orang perseorangan yang tunggal dan bukan korporasi.
Baca juga:
Kedua, yang tidak bisa menjadi korban adalah kelompok perorangan dan juga lembaga pemerintah.
Dalam permohonannya, Frits dan kuasa hukum meminta agar frasa "orang lain" yang termuat dalam UU ITE diperluas demi memenuhi kewajiban negara dalam melindungi, memajukan, menegakkan serta memenuhi hak asasi manusia.
Perluasan itu adalah dengan menambahkan: pejabat publik dan/atau figur publik—selain tentu saja korporasi, kelompok perorangan, dan lembaga pemerintah seperti yang tertera di KUHP baru.
Alasan pejabat publik atau figur publik tidak bisa melaporkan adanya pencemaran nama baik, karena mereka dengan sengaja melakukan aktivitas yang berkenaan dengan publik dan menyangkut kepentingan publik.
"Oleh karena itu pejabat publik maupun figur publik tidaklah sama dengan orang perorangan biasa, maka sudah pasti terhadap mereka perlu ada perlakuan yang berbeda," demikian permohonan Frits dan kuasa hukumnya.
Baca juga:
Kemudian dalam Pasal 45 ayat 4 terdapat frasa "suatu hal" yang merujuk pada informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat pencemaran nama baik.
Frasa tersebut juga dipersoalkan gara-gara tidak memiliki kejelasan penafsiran sehingga menimbulkan multitafsir.
Itu mengapa, menurut Frits dan pengacaranya, perlu untuk melakukan penafsiran agar pasal pencemaran nama baik melalui media elektronik ini tidak menjadi "keranjang sampah".
Sebab dalam praktiknya, kasus-kasus yang dianggap sebagai penghinaan juga ditindak oleh aparat penegak hukum.
"Dan hal ini merupakan ketidakadilan karena dalam konteks KUHP 1946, penghinaan merupakan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih rendah dibandingkan dengan pencemaran nama baik," sebut Frits dan pengacaranya dalam salinan permohonan.
Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat 2 terdapat frasa "tanpa hak" yang merujuk pada bagian dari unsur melawan hukum dalam tindak pidana hasutan kebencian melalui media elektronik.
Keberadaan frasa ini, menurut Frits dan pengacaranya, dianggap memberikan ruang terjadinya hasutan kebencian secara sah terhadap kelompok rentan dan minoritas.
"Jika kemudian terjadi impunitas karena adanya pihak yang dianggap berhak untuk menebar hasutan kebencian melalui media elektronik, sudah barang tentu ketidakberdayaan korban akan berlipat ganda," jelasnya.
Itu sebabnya penggugat meminta agar pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional selama tidak dimaknai sebagai: "Setiap orang dengan sengaja mendistribusikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang merupakan hasutan kebencian untuk melakukan diskriminasi permusuhan atau kekerasan atas dasar ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik."
Apa putusan Mahkamah Konstitusi?
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Daniel Frits melalui amar putusan yang dibacakan pada Selasa (29/04).
Pertama, frasa "orang lain" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat 4 UU ITE, menurut MK hanya bisa ditujukan kepada orang perseorangan.
Itu artinya, lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan tidak bisa melaporkan dugaan pencemaran nama baik.
Alasan mengapa lembaga pemerintah dilarang mengajukan laporan dugaan pencemaran nama baik, menurut MK dalam putusannya, sebab dalam negara demokrasi kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Selain itu, kritik terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana penyeimbang atau salah satu kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis, papar MK dalam amar pertimbangannya.
"Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaran pemerintah."
Dalam putusannya, MK juga mengatakan bahwa pasal tersebut merupakan tindak pidana atau delik aduan yang hanya bisa dituntut oleh pengaduan korban atau orang-orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya.
Baca juga:
Sementara berkaitan dengan frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat 4 UU ITE, MK mengakui memang berpotensi menimbulkan multitafsir apabila tidak diberikan batasan normatif yang tegas.
Penggunaan frasa "suatu hal" dalam konteks delik pencemaran nama baik juga dapat menimbulkan kerancuan antara perbuatan pencemaran nama baik dan penghinaan biasa.
Padahal, kata MK, secara doktrinal keduanya merupakan dua bentuk delik yang berbeda.
Oleh karena itu demi menciptakan kepastian hukum, MK menyatakan frasa tersebut harus dimaknai sebagai "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang".
Baca juga:
Selanjutnya mengenai frasa "tanpa hak" dalam Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 2 UU ITE, menurut MK, masih dibutuhkan atau dipertahankan untuk melindungi orang-orang yang memiliki kepentingan umum yang sah untuk mendistribusikan atau mentransmisikan konten informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Misalnya pers, peneliti, dan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan aktivitas profesinya.
"Oleh karena itu, frasa 'tanpa hak' tersebut harus dibaca sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan sehingga yang dimaksud tanpa hak ini adalah dalam konteks siapa yang berhak dan tidak berhak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dokumen elektronik..."
"Bukan dalam konteks siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak untuk melakukan tindakan hasutan kebencian sebagaimana didalilkan pemohon."
"Apabila unsur 'tanpa hak' dihilangkan atau dihapus justru dapat digunakan untuk mengkriminalisasi profesi-profesi tertentu yang dilindungi oleh undang-undang."
Adapun terkait frasa "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu" yang termuat dalam Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45A ayat 2, MK berpandangan perlu adanya batasan yang ketat agar tidak digunakan secara eksesif atau berlebihan terhadap bentuk-bentuk ekspresi yang sah dalam masyarakat yang demokratis.
Ketiadaan batasan substansi terhadap isi informasi yang dilarang, kata MK, dapat menyebabkan penegakan hukum yang bersifat subjektif dan tidak terukur.
Dan bisa menjerat orang-orang yang tidak memiliki niat jahat atau yang sekadar mengunggah ulang kutipan dari sumber lain.
Atas dasar itulah, MK menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD sepanjang tidak dimaknai "hanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan".
'Putusan MK kemenangan kecil yang patut diperhitungkan'
Meskipun MK hanya mengabulkan sebagian permohonan uji materinya, Daniel Frits Tangkilisan mengatakan putusan tersebut adalah kemenangan kecil yang patut diperhitungkan.
"Kalau ditanya apakah cukup puas? Iya, ini ibarat kemenangan di sebuah perang besar yang membungkam suara kritis masyarakat dan hal itu perlu disyukuri," ucapnya kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/04).
"Ini satu langkah maju dalam demokrasi Indonesia, di tengah kondisi untuk bersuara saja semakin susah," sambungnya.
Namun demikian, dia juga sedikit pesimistis bahwa keputusan MK ini bisa betul-betul menghentikan praktik kriminalisasi terhadap pegiat kemanusiaan dan lingkungan di Indonesia.
Sebab berkaca pada kasusnya sendiri, sudah ada UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melindungi para aktivis lingkungan agar tidak bisa dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Tapi kenyataannya, kata Frits, polisi dan hakim yang mengadilinya tidak mengindahkan aturan tersebut.
"Saya cuma bisa berharap memang [putusan MK] ini bisa menghentikan kriminalisasi."
"Hanya saja menurut pengalaman saya, orang-orang yang mau jahatin orang yang bersuara demi alam, demi rakyat, bisa punya macam-macam cara."
Karenanya dia sangat berharap aparat penegak hukum yang menerima laporan dugaan pencemaran nama baik agar memerhatikan betul seluruh peraturan yang ada, termasuk putusan MK tersebut.
Baca juga:
Salah satu tim pengacara Frits, Damian Agata Yuvens, juga menyebut putusan ini suatu kemajuan untuk perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Hanya saja catatannya, "kemajuan itu belum sejauh yang diharapkan".
"Apa sih yang kami harapkan? Kami berharap bukan cuma lembaga pemerintah, korporasi, kelompok perorangan, dan pejabat yang tidak bisa menjadi korban dari pencemaran nama baik..."
"Tapi kami juga menginginkan sebetulnya publik figur tidak bisa melapor."
Alasannya menurut Damian, karena mereka berbicara dan bertindak di tengah masyarakat yang sepatutnya menerima kritik.
"Namun MK berpandangan berbeda dan memandang bagaimana UU ITE ini harus menjadi jembatan yang mulus sampai berlakunya KUHP yang baru pada 2026 nanti."
Kepolisian Indonesia mengaku siap beradaptasi dengan putusan MK yang mengoreksi beberapa pasal dalam UU ITE, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko.
"Tentu Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK," kata Brigjen Trunoyudo, kepada Kompas.com, Selasa (29/04).
"Itu merupakan aturan yang berlaku untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat," ujarnya kemudian.
Apakah putusan MK bisa mengakhiri praktik kriminalisasi?
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, berkata tidak.
Putusan ini, ungkapnya, memang memberikan tafsir yang lebih kuat tentang apa-apa saja perbuatan yang termasuk dalam konteks pencemaran nama baik.
Begitu juga dengan siapa-siapa saja yang boleh dan tidak boleh melaporkan dugaan pencemaran nama baik.
Tetapi, kata Nenden, masih ada celah untuk mengkriminalisasi para pegiat demokrasi, lingkungan, dan kemanusiaan dengan UU ITE.
"Bahwa individu masih bisa melaporkan dugaan pencemaran nama baik secara pidana, otomatis peluang kriminalisasi tetap ada," ujar Nenden kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/04).
Berpegang pada data lembaganya, yang paling banyak melaporkan tuduhan pencemaran nama baik ke polisi adalah individu pejabat, bukan institusi pemerintah.
"Misalnya dalam kasus [teman-teman aktivis mendobrak ruang rapat RUU TNI] di Hotel Fairmont, kan yang melaporkan satpamnya. Bukan pihak pengelola hotelnya. Jadi dari situ sebenarnya masih bisa kan?"
"Kasus Luhut Panjaitan juga sama, dia melaporkan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar sebagai personal, bukan sebagai menteri. Tapi kan dia sebagai pribadi dan jabatan enggak bisa dilepaskan."
"Jadi kemungkinan kriminalisasi dengan memakai orang lain atau pakai individu tetap terbuka peluangnya."
Itu mengapa, idealnya menurut Nenden, pasal-pasal 'karet' UU ITE tidak perlu ada.
"Dorongan kami dari dulu, pencemaran nama baik itu sudah enggak pantas dipidana. Kalau mau perdata dan harus dibuktikan kerugiannya apa. Itu lebih masuk akal," jelasnya.
"Tapi kalau harus masuk penjara, itu kan sesuatu yang enggak banget. Di negara-negara maju, sudah enggak ada pasal kriminalisasi pencemaran nama baik dipidana."
Baca juga:
Berdasarkan catatan SAFEnet sepanjang 2013-2022, setidaknya ada 500 orang dilaporkan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE.
Mayoritas pelapor adalah pejabat publik dan pihak yang merasa mewakili institusi atau organisasi yang membuat laporan adanya dugaan pelanggaran UU ITE seperti pencemaran nama atau ujaran kebencian yang dilakukan oleh warganet.
Kemudian pada 2023, sebanyak 124 orang dikriminalisasi memakai pasal 'karet' dalam UU ITE. Terlapor yang terjerat pasal UU ITE ini masih didominasi masyarakat sipil yang memiliki ketimpangan relasi kuasa dengan pelapornya.
Selanjutnya pada 2024 atau satu tahun setelah UU ITE direvisi, SAFEnet mencatat beleid ini masih menjadi momok bagi kebebasan berekspresi.
Tercatat, terdapat 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital dengan jumlah terlapor atau korban sebanyak 170 orang.
Dilihat dari latar belakang pelapor, terlapor, dan motif pelaporannya, UU ITE masih sering digunakan sebagai alat untuk melakukan strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau gugatan/laporan oleh pihak lebih kuat untuk menghentikan partisipasi publik.
Hal ini menyebabkan berbagai dampak berbahaya bagi korban, mulai dari swasensor, beban ekonomi, hingga pemidanaan.