Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pemerintah Jokowi Segera Atur Regulasi Kratom – Apa Dampaknya bagi Petani dan Khalayak Luas?
23 Juni 2024 3:25 WIB
Pemerintah Jokowi Segera Atur Regulasi Kratom – Apa Dampaknya bagi Petani dan Khalayak Luas?
Kelompok petani kratom di Kalimantan menyambut baik rencana Presiden Joko Widodo yang akan mengatur regulasi terkait budidaya kratom, di tengah upaya Badan Narkotika Nasional (BNN) memasukkan tanaman yang memiliki efek sedatif itu ke Golongan I Narkotika.
Di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat, daun kratom sudah lama digunakan sebagai obat tradisional. Di Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, warga setempat memanfaatkan kratom sebagai sajian seperti teh.
“Pada saat Covid-19 tahun 2020, masyarakat Kapuas Hulu sangat-sangat terbantu dengan adanya Kratom,” kata seorang pegiat kratom lokal, Evi Saptinawati.
Beberapa penelitian menyebutkan penggunaan kratom di dosis rendah berefek stimulan, tetapi pada dosis tinggi mengakibatkan depresi dan withdrawal (gejala putus obat).
Di sisi lain, langkah ini menimbulkan reaksi mengingat legalitas tanaman endemik Asia Tenggara itu dipertanyakan – khususnya oleh BNN.
“Bisa jadi banyak langsung beli, langsung pakai. Kita enggak tahulah, bulan-bulan depan berikutnya. Apakah akan ada banjir pemakaian atau makin banyak orang yang direhab di tempat-tempat kita," kata Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Sulistyo Pudjo Hartono.
Pada Kamis, (20/6), Jokowi memimpin rapat terbatas dengan beberapa menteri guna membahas tanaman kratom di Indonesia. Setelah rapat terbatas, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dalam keterangannya mengatakan pemerintah akan segera mengatur regulasi terkait budidaya kratom di Indonesia.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan Presiden Jokowi memberikan instruksi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menelaah lebih lanjut manfaat tanaman kratom.
Moeldoko mengakui ada unsur ketergantungan dari tanaman tersebut – namun menurutnya jumlahnya “cukup rendah”. Dia pun menyebut Kemenkes sudah mengatakan bahwa kratom tidak termasuk narkotika.
“Sedative-nya ada tapi dalam jumlah tertentu. Maka kita kejar lagi supaya BRIN melakukan langkah riset lanjutan untuk mengetahui seberapa besar sesungguhnya ini berbahaya,” ujar Moeldoko dalam konferensi pers usai rapat terbatas pada Kamis (20/6).
“Harapan saya ke BRIN pada Agustus ini selesai.”
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor kratom selalu mengalami pertumbuhan dengan tren sebesar 15,92% per tahun, sejak tahun 2019 hingga tahun 2022.
Salah satu negara tujuan ekspor utama kratom Indonesia adalah Amerika Serikat. Pada periode Januari-Mei 2023, porsi AS mencapai US$4,86 juta (sekitar Rp80 miliar) atau 66,30% dari total ekspor kratom Indonesia.
Di sisi lain, BNN memperingatkan senyawa kratom dapat mengakibatkan kecanduan. Bahkan, sejak tahun lalu sampai bulan ini, BNN menyebut ada 133 orang yang menjalani rehabilitasi karena ketergantungan kratom.
Apa sebetulnya dampak kratom bagi petani dan masyarakat luas?
Apa kata para petani kratom?
Pada 2019, BBC News Indonesia bertandang ke Sintang, Kalimantan Barat, untuk mendalami tanaman kratom ini. Kala itu, petani kratom mengaku bisa mendapat Rp600.000 per hari.
Setelah pengumuman rapat terbatas Jokowi membahas legalitas tanaman kratom ini, BBC News Indonesia menghubungi kembali para petani kratom di Kampung Tembak, Desa Gurung Mali di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang pada Jumat (21/6).
Agung Bedura, kepala desa setempat, menginformasikan bahwa masyarakat setempat justru sudah tidak banyak yang menanam kratom. Salah satu alasannya adalah ketidakjelasan dari legalitas tanaman tersebut.
“Karena kemarin [masyarakat] menganggap [kratom] belum jelas soal pasarnya, jadi masyarakat lebih meminati sawit dan komoditi lain,” ujarnya dengan ekspresi kecewa.
Walau mengakui adanya ketakutan masyarakat atas legalitas tanaman kratom, Agung menyoroti turunnya harga kratom secara tiba-tiba sebagai faktor pendorong beralihnya masyarakat.
Agung mengatakan petani kratom sebelumnya bisa menjual remahan kratom seharga Rp60.000-Rp70.000 per kilogram langsung ke luar negeri.
“Sekarang hanya beberapa belas ribu [harganya per kilogram],” tutur Agung.
Salah seorang warga Desa Gurung Mali, Paskalis, 43 tahun, mengaku baru mulai mencari lagi kratom pada tahun lalu. Dia menyebut bahwa sejak tahun 2019 (saat BBC News Indonesia mengunjungi kampungnya) sempat berhenti membudidayakan kratom selama tiga tahun.
“Dulu saya bisa dapat Rp9 juta-Rp10 juta kotor sekali jualan, kadang-kadang empat bulan sekali jualan pas ada yang beli,” ujar Paskalis, yang sehari-harinya bekerja serabutan.
“Dulu di tingkat petani sebelum harga terjun payung, daun remahan bisa Rp70.000-Rp80.000 per kilogram. Sekarang di kisaran harga Rp10.000-Rp20.000 per kilogram.”
Paskalis menjelaskan semua petani sekarang mengeluhkan masalah harga. Menurut dia, harga kratom menjadi murah karena adanya persaingan yang tidak sehat.
Selain ada banyak orang yang membanting harga supaya kratomnya cepat laku, Paskalis menyebut sejak sekitar 2018-2019, banyak orang asing yang ikut terjun menjual kratom ke luar negeri.
“Banyak pemain yang jual asal laku. [Ada juga] bule [orang asing] dari luar langsung datang ke Indonesia, sehingga rantai pasokan direbut bule-bule pemain besar yang kirim pake kontainer, akhirnya pemain kecil tidak mampu bersaing,” jelas Paskalis.
Persaingan yang tidak sehat ini, tutur Paskalis, diakibatkan belum adanya regulasi pemerintah mengenai tanaman kratom.
“Saya ini pemain kecil, cuma karena saya ekspor langsung, kesulitannya itu mencari pembeli. Karena persaingan tidak sehat, pembeli tentu mencari yang murah. Kalau pemain kecil tidak bisa jual murah karena biaya kirim juga mahal,” ujar Paskalis.
Kepala Desa Gurung Mali, Agung menyebut bisa saja warga di daerahnya kembali melirik kratom apabila muncul legalitas yang jelas menyusul instruksi Presiden Jokowi kepada jajarannya pada Kamis (20/6).
“Tapi apakah status legalnya juga akan mengubah harga? Ketika [kratom] menjadi legal, kemudian harganya lebih baik, nah, itu mungkin akan memicu minat masyarakat untuk bertani kratom,” terang Agung.
Namun, bukan berarti pamor tanaman kratom di Kalimantan Barat hilang begitu saja. Agung menyebut tanaman kratom masih banyak dibudidayakan di Kabupaten Kapuas Hulu.
Wakil Bupati Kapuas Hulu Wahyu Hidayat menyebut kratom merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat khususnya petani di Kapuas Hulu.
“Untuk sebaran paling besar di Kecamatan Bunut Hilir dengan jumlah petani sebanyak 2.517 orang dengan luas lahan 3.200,40 hektare dan jumlah pohon sebanyak 14.222.557,40 batang," ujar Wahyu kepada wartawan Taufik Hidayat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Kalimantan Barat.
"Kemudian di Kecamatan Embaloh Hilir jumlah petani sebanyak 1.866 orang dengan luas lahan 1.547 hektare dan banyak pohon sebanyak 6.874.868 batang,” tambah Wahyu.
“Saya mendukung penuh dan tetap memonitor apa yang menjadi kebijakan pusat agar disosialisasikan kepada masyarakat kami dan disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dalam pemakaian kratom di daerah kami.”
Salah seorang pegiat kratom lokal, Evi Saptinawati, yang juga mantan Ketua Koperasi Produsen Anugerah Bumi Hijau (Koprabuh) mengatakan jumlah petani kratom di Kapuas Hulu mencapai 28.000 orang.
“Pada saat Covid-19 tahun 2020, masyarakat Kapuas Hulu sangat-sangat terbantu dengan adanya Kratom,” tutur Evi.
Evi menyebut masyarakat Kapuas Hulu yang tidak memiliki ijazah mendapatkan lahan pekerjaan sebagai pemetik daun kratom dan dibayar Rp2.000 per kilogram oleh pemilik lahan untuk setiap hasil daun yang mereka petik.
“Rata-rata mereka bisa menghasilkan Rp2 juta - Rp3 juta per bulannya. Bahkan bisa lebih, tergantung dari orderan dari para bayar yang ada di Amerika,” ujar Evi.
Wakil Bupati Kapuas Hulu, Wahyu Hidayat, mengatakan masyarakat di daerahnya sejak dulu biasa mengonsumsi kratom untuk meredakan rasa sakit hingga mengatasi kelelahan.
“Sampai saat ini saya belum pernah mendengarkan ada yang meninggal setelah mengonsumsi kratom,” ujarnya.
Namun, Wahyu mengakui memang harus ada aturan yang membatasi pemakaian secara berlebihan.
“Agar mengurangi pergerakan orang-orang yang memiliki niat menyalahgunakan kandungan di dalam kratom tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pengusaha Hortikultura Indonesia (PPHI), Suhaeri, menyebut pihaknya mengapresiasi rencana pemerintah untuk membuat regulasi yang mengatur terkait perdagangan kratom ke luar negeri.
Suhaeri mengatakan permasalahan ekspor kratom selalu timbul di negara tujuan atau negara transit.
"Selama negara tujuan tidak membuka kran impor kratom, dan tidak ada kesepahaman di tingkat pemerintah stakeholder terkait, maka tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap bisnis kratom seperti sekarang," ujarnya.
"Akan lebih baik pemerintah melakukan pengendalian dan penertiban peredaran dan ekspor khusus komoditi kratom."
Apakah kratom menyebabkan kecanduan?
Beberapa lembaga pemerintahan memberikan pernyataan yang berbeda mengenai apakah tanaman kratom menimbul efek kecanduan.
Badan Narkotika Nasional (BNN) – sampai sekarang – masih berupaya memproses supaya kratom dimasukkan ke Golongan I narkotika.
“Ini tahun kelima,” ujar Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Sulistyo Pudjo Hartono, kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Jumat (21/6).
“Di dunia, banyak sekali negara yang menyatakan [kratom] adalah narkotik yang dilarang. Itu real.”
Sulistyo menyebut tanaman kratom mengandung 9-Hydroxymitragynine dan mitragynine yang memiliki efek sedatif. Dia mencontohkan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura yang sudah melarang kratom.
Sulistyo menyatakan data BNN menunjukkan sejak 2023 hingga bulan Juni ini, sudah ada 133 orang yang menjalankan proses rehabilitasi karena ketergantungan kratom di fasilitas-fasilitas BNN di Indonesia.
Jumlah ini, sambung Sulistyo, baru mencakup rehab-rehab BNN saja.
“Kita belum cek rehab-rehab swasta yang [jumlahnya] 900 lebih itu. Di BNN [saja] sudah 133 [orang]. Ini artinya orang memakai teh kratom itu bisa kecanduan. Kemudian, jika dimurnikan, itu bisa menjadi sangat berbahaya.”
“Pak Moeldoko kan melihatnya mungkin dari sisi ekonomi. BNN melihatnya dari [sisi] mengamankan masyarakat. Sekarang saja udah banyak yang kecanduan,” tutur Sulistyo.
Baca juga:
Sulistyo mengatakan pemberitaan teranyar tentang kratom ini bisa memicu peningkatan minat atas tanaman kratom ini.
“Bisa jadi banyak langsung beli, langsung pakai. Kita enggak tahulah, Pak, bulan-bulan depan berikutnya. Apakah akan ada banjir pemakaian atau makin banyak orang yang direhab di tempat-tempat kita.”
Menanggapi instruksi Presiden Jokowi usai rapat terbatas pada Kamis (20/6), Sulistyo mengatakan pihaknya tidak bisa berbicara banyak.
“Enggak bisa bilang kalau ekonomi. Agak berat kita bicara, karena menteri satu bicara ini, kan kita berbeda lagi.”
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan bahwa Kemenkes belum membuat regulasi mengenai kratom.
Pada 2019, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kemenkes menerbitkan laporan “Kratom, Prospek Kesehatan dan Sosial Ekonomi” yang membahas tentang tumbuhan kratom termasuk kandungan, pemanfaatan dalam kesehatan; tinjauan aspek sosial dan ekonomi; regulasi dan pengaturan; serta prospek pemanfaatannya.
“Dengan harapan dapat menjadi pertimbangan dalam pengaturan kratom di Indonesia,” tutur Nadia pada Jumat (21/6).
“Tapi kita sendiri kan bukan unit yang menggolongkan suatu zat itu psikotropika atau narkotika. Jadi, Kemenkes sendiri belum ada regulasinya,” jelasnya.
Meski begitu, Nadia menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan mengikuti early warning advisory (peringatan dini) yang dikeluarkan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengenai apa saja zat yang digolongkan psikoaktif dalam kratom pada tahun 2013.
Nadia menyebut peringatan UNODC menjadi dasar WHO melakukan evaluasi terhadap kratom.
“Dikatakan [WHO] bahwa, dalam bentuk murni, [kratom] termasuk kandidat yang perlu dievaluasi terhadap dampak kesehatannya. Jadi kratom itu sebenarnya suatu substansi yang baru yang memang harus dilakukan evaluasi pada 2013,” ungkap Nadia.
“Pada 2021, komite pakar WHO dalam bidang ketergantungan obat [CDD] sudah melakukan kajian kratom dan di situ disimpulkan tidak ada cukup bukti untuk melakukan critical review lagi. Jadi memang masih posisinya dikatakan bahwa kratom bukan termasuk zat yang digolong narkotika.”
Meskipun begitu, Nadia tidak menampik bahwa Rapat Terbatas pada Kamis (20/6) juga menyebut ada orang-orang yang kecanduan terhadap kratom seperti diutarakan BNN.
“Jadi, kita masih menunggu lagi sesuai dengan hasil rapat. Untuk melakukan kajian lebih lanjut sebelum memastikan atau menggolongkan kratom itu masuk ke dalam kelompok zat adiktif atau narkotika.”
Sementara itu, Elvi Rusmiyanto, dosen biologi Universitas Tanjungpura Pontianak, mengatakan yang sebetulnya dibutuhkan adalah kebijakan dan payung hukum legalitas untuk kejelasan dari produk kratom itu sendiri.
“Sehingga masyarakat, pemerintah dan pihak lain yang terlibat dalam tata niaga memiliki kepastian hukum yang jelas,” ujarnya.
Selain itu, Elvi mengatakan pemerintah juga harus menyiapkan standar baku bagi produk kratom yang berkualitas tinggi, mulai dari budidaya sampai ke produk yang siap ekspor, seperti penyediaan laboratorium dan fasilitas untuk penelitian kratom untuk menelaah efek yang ditimbulkan kratom.
“Sangat disayangkan jika potensi ekonomi dan potensi farmakologi kratom tidak bisa dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab,” pungkasnya.