Konten Media Partner

Pemerintah Klaim Kemiskinan Ekstrem akan 0% Akhir 2024, Tapi di Papua Bertahan Hidup ‘Harus Setengah Mati‘

4 September 2024 9:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Pemerintah Klaim Kemiskinan Ekstrem akan 0% Akhir 2024, Tapi di Papua Bertahan Hidup ‘Harus Setengah Mati‘

Pemerintah pusat membuat klaim bahwa kemiskinan ekstrem di Indonesia terus berkurang dan kini telah berada di angka 0,8%. Persentase ini diproyeksikan oleh pemerintah akan mencapai 0% pada akhir 2024.
Meski begitu, kemiskinan ekstrem di Papua masih tergolong tinggi. Tiga provinsi, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua, memiliki persentase di atas rata-rata nasional.
Pejabat pemerintah pusat menyebut upaya menghapus kemiskinan ekstrem di Papua menghadapi “tantangan sangat besar” sehingga membutuhkan “upaya yang luar biasa”.
BBC News Indonesia berbicara dengan warga di salah satu kantong kemiskinan ekstrem di Papua serta antropolog untuk melihat realitas sehari-hari yang terjadi.
BBC juga bertemu perempuan lansia miskin di kawasan Madura. Perempuan lansia merupakan salah satu kelompok orang yang paling merasakan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Adapun Madura merupakan daerah dengan angka kemiskinan ekstrem tertinggi di Jawa.

Cerita dari pinggir tambang emas terbesar

“Itu omong kosong.”
Pernyataan itu dikatakan Dominikus, pemuda di Pulau Karaka, Kampung Amamapare, Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Dia mengutarakan kalimat itu saat menanggapi klaim pemerintah bahwa kemiskinan ekstrem di Indonesia, termasuk Papua, terus berkurang dari tahun ke tahun, bahkan bisa benar-benar hilang pada akhir 2024.
Dominikus mengutarakan itu tak lama setelah pulang dari Distrik Agimuga, Kamis (28/08). Laki-laki dari Suku Kamoro itu baru saja mengantar 40 orang di atas perahu susun dari pelabuhan rakyat Poumaku menuju Agimuga. Dua wilayah ini berjarak sekitar 80 kilometer.
Karena orangtuanya tak sanggup membayar ongkos pendidikan, ijazah yang mampu diraih Dominikus hanya bertanda lulus sekolah dasar.
Sejak saat itu, kurang dari satu dekade lalu, Dominikus mulai membantu ayahnya mencari uang.
Seperti orang-orang Kamoro pada umumnya, keterampilan dasar sebagai orang pesisir membuat nelayan menjadi pekerjaan yang paling masuk akal baginya.
Namun belakangan ikan semakin sedikit, kata Dominikus. Hasil tangkapan ikannya di sekitar Sungai Ajkwa juga sulit laku di pasar. Karena lokasi pencarian ikan berada dekat tanggul limbah PT Freeport Indonesia, Dominikus menyebut banyak orang berpikir dua kali untuk membeli ikan dari nelayan.
Mengemudikan perahu penumpang kini menjadi satu-satunya sandaran Dominikus untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.
“Dari dulu kami sudah hidup susah. Sekarang untuk keluar dari muara sungai juga setengah mati,” tuturnya.
Masyarakat Agimuga dalam beberapa tahun terakhir semakin bergantung pada akses transportasi laut. Tak ada jalan darat yang menghubungkan delapan kampung di distrik itu dengan Timika—pusat pemerintahan dan perekonomian di Mimika.
Penerbangan dari bandara perintis Agimuga yang dibangun pada era kolonial Belanda di Kampung Aramsolki menuju Bandara Moses Kilangin di Timika hanya beroperasi sekali dalam sepekan. Tiket pesawat yang harus ditebus sekitar Rp500.000 per orang—nominal yang tidak murah bagi kebanyakan warga Agimuga.
Konsekuensinya, perjalanan menyusuri perairan Arafura di sisi selatan Mimika menjadi opsi yang paling sering diambil orang-orang yang hendak menuju atau keluar dari Agimuga. Namun bukan berarti Dominikus mendapat untung dari situasi ini.
Setiap tahun Badan Penanggulangan Bencana Daerah terus-menerus memperingatkan potensi gelombang tinggi di perairan bagian selatan Mimika, yang berbatasan dengan Laut Arafura. Kapal maupun perahu milik warga kerap terbalik, tenggelam, bahkan hilang di perairan itu.
Juli lalu, misalnya, kapal LCT Cita XX yang mengangkut 12 orang dan peralatan proyek penyediaan sinyal 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informasi hilang di Arafura.
Satu bulang berselang, sebuah perahu yang mengangkut warga lokal tenggelam di perairan Araraw, Distrik Mimika Barat Jauh. Tim SAR saat itu menyatakan, delapan orang meninggal dalam peristiwa tersebut. Satu penumpang lainnya tak kunjung ditemukan.
Situasi itulah yang membuat Dominikus emosional saat mendengar klaim kemiskinan ekstrem di Indonesia telah berada di bawah angka 1% alias nyaris hilang.
“Saya mencari uang sampai hampir mati,” ujar Dominikus.
Dengan risiko kehilangan nyawa dan meninggalkan dua anak serta istrinya saat mengantar warga Agimuga pekan lalu, Dominikus mengarungi laut demi mendapatkan penghasilan Rp1 juta. Upah itu, kata Dominikus, akan segera habis dalam beberapa hari—untuk makanan keluarga sekaligus membeli bahan bakar sebagai modal berlayar berikutnya.
Dominikus pun tidak pernah tahu kapan dia bisa berlayar lagi. Ombak tinggi kerap memaksa warga menunggu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Mereka enggan melintasi perairan Arafura dengan risiko kematian.
“Sampai sekarang untuk bisa bertahan hidup itu setengah mati,” kata Dominikus.

“Itu bantuan apa? Saya tidak pernah terima”

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, serta akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.
Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung kemiskinan ekstrem berdasarkan paritas daya beli sebesar US$1,9 atau sekitar Rp29.000 dengan kurs tanggal 2 September 2024.
BPS menyatakan, orang-orang yang masuk kategori miskin ekstrem adalah mereka yang pengeluaran hariannya tak sampai nominal tersebut.
Dominikus, keluarga intinya, serta saudara-saudari kandung dan ayah-ibunya yang hidup dalam satu rumah di Pulau Karaka, adalah manusia-manusia yang digolongkan sebagai orang miskin ekstrem dalam data statistik pemerintah.
Seperti seluruh rumah di Pulau Karaka, tempat tinggal mereka terbuat dari seng dan beralaskan papan kayu. Rumah mereka berdiri di atas kayu-kayu mangrove yang berfungsi sebagai tiang penyangga. Tiang-tiang rumah itu akan tergenang air pasang hingga setengah badan orang dewasa setiap sore.
Akses dari satu rumah ke rumah lainnya di Karaka tersambung oleh papan kayu yang disusun menyerupai jembatan. Papan itu licin akibat didera air hujan dan juga bolong di banyak sisinya.
Daratan di Pulau Karaka baru akan kering pada pagi hari. Saat itu, beragam sampah bekas makanan tersibak. Kondisi kering itu memungkinkan anak-anak turun ke atas tanah yang lunak seperti lumpur.
Sebagian dari anak-anak itu menghabiskan hari mereka dengan bermain sepak bola atau berenang ke bagian laut yang agak dangkal. Tanpa alas kaki. Tanpa baju.
Tidak ada fasilitas air bersih di Karaka. Keluarga Dominikus menampung air hujan ke dalam sejumlah ember untuk kebutuhan sehari-hari.
Tak ada pula toilet dan saluran pembuangan kotoran. Di ujung belakang rumah Dominikus terdapat sepetak ruang yang ditutup terpal. Itulah tempat mereka membuang air kecil dan air besar. Kotoran itu jatuh ke bawah rumah panggung mereka, lalu tersapu air pasang setiap petang.
Ikan adalah sumber protein utama Dominikus dan keluarganya. Mereka membutuhkan bahan bakar untuk menyalakan motor di perahu kecil mereka, lalu menyusuri sungai di sekitar Pulau Karaka.
Oktober 2023, PT. PLN (Persero) UP3 Timika meresmikan pembangkit listrik tenaga surya di Karaka. Namun listrik sampai saat ini belum menyala sepanjang hari.
Akhir Juli lalu misalnya, listrik padam sekitar pukul 22.00 WIT. Saat itu Karaka mendadak gelap gulita. Cahaya dari lampu-lampu Portsite Freeport membuat Karaka menjadi sedikit temaram.
Karaka dan lokasi pengapalan konsentrat milik Freeport itu terpisah jarak sekitar 200 meter. Merujuk data BPS, ekspor terbesar Papua berasal dari Portsite. Nilainya mencapai US$220,57 juta atau Rp3,4 triliun, hanya pada Januari 2022 saja.
Desember 2023, Penjabat Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk, membuat klaim pemerintah provinsinya menyalurkan bantuan tunai sebesar Rp31,65 miliar untuk mengatasi kemiskinan ekstrem.
Bantuan langsung itu ditujukan untuk 11.107 warga miskin ekstrem di seluruh Papua Tengah.
Kebanyakan warga miskin ekstrem tidak memiliki pendapatan tetap, kata Jul Eddy Way Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah Papua Tengah.
“Jadi ada waktu-waktu yang lama ketika mereka tidak punya uang. Untuk makan sehari-hari pun terbatas sekali,” tuturnya.
“Pemerintah ingin memastikan di tangan mereka tersedia uang sehingga pemenuhan kebutuhan dasar dapat mereka lakukan,” kata Jul via telepon, 28 Agustus lalu.
Pulau Karaka di Amamapare masuk wilayah administrasi Papua Tengah. Namun Dominikus berkata, hingga saat ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan uang itu.
“Bantuan tunai yang bagaimana?” kata Dominikus bertanya.
“Nama bantuan itu apa? Saya tidak tahu tentang dana itu,” ujarnya.
Yang diingat Dominikus belakangan adalah bantuan bahan makanan dan bantuan dari alokasi dana desa. Adapun bantuan bahan makanan, kata dia, baru-baru diberikan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Mimika.

Cerita ‘kemiskinan’ dari pegunungan

Oktavianus Wandegau adalah warga Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya. Hampir sepanjang kehidupannya, Oktavianus menghabiskan kesehariannya dengan berkebun. Seperti orang-orang asli Papua di perkampungan pada umumnya, dia dan keluarganya memiliki dan mengolah kebun.
Dari kebun itulah Oktavianus dan keluarganya mendapat sumber makanan seperti ubi, keladi, pisang, dan sayur-mayur.
“Kalau kami kerja (di kebun), bisa bisa dapat makan. Kalau tidak kerja, kami tidak bisa makan,” tuturnya, 31 Agustus lalu.
Jika hasil kebun melebihi kebutuhan makan harian, Oktavianus dan istrinya pergi ke pasar untuk berjualan. Namun aktivitas jual-beli di lokasi yang dia sebut pasar itu tak berlangsung setiap hari—paling banyak dua kali dalam sepekan.
Jika sedang beruntung, pada hari-hari pasar itu Oktavianus bisa membawa pulang uang sebesar Rp100.000. Tapi tidak jarang, seluruh dagangan mereka tak laku.
Hanya dari kebun, Oktavianus dan keluarganya bisa mendapatkan uang.
“Kalau ada berkat, ada uang, kami bisa beli pakaian, minyak goreng, garam,” ujarnya.
“Di Intan Jaya, harga barang-barang itu mahal. Jadi setiap bulan, hanya satu atau dua kali kami turun ke Paniai untuk belanja kebutuhan keluarga,” kata Oktavianus.
Intan Jaya adalah kabupaten dengan jumlah warga miskin terbanyak di Papua, menurut data BPS. Status itu telah melekat pada Intan Jaya selama beberapa tahun. Pada 2023, 40% warga Intan Jaya tergolong miskin.
Saya berulang kali bertanya kepada Oktavianus—apakah dia merasakan kehidupan yang serba susah atau barangkali justru sebaliknya.
Berulang kali pula, dalam tutur kata yang tenang, Oktavianus berkata bahwa keluarganya selalu merasa cukup dan bersyukur. Dia tidak menyalahkan siapapun atas situasi yang mereka hadapi.
“Orang-orang yang jadi pegawai atau PNS, mereka setiap bulan ada gaji. Kami, kalau kerja keras, baru bisa dapat uang dari jualan dan bisa menikmatinya bersama keluarga,” ujarnya.
“Kalau kami mengolah kebun, kami pasti bisa hidup. Itu sudah jadi kebiasaan kami,” kata Oktavianus.
Lima bulan lalu, laki-laki berumur 33 tahun itu memboyong keluarganya ke Nabire. Dengan modal sebesar Rp3 juta, mereka menempuh perjalanan demi proses penyembuhan mama dan anak pertamanya yang terjangkit tuberkulosis (TBC).
Dari Homeyo, mereka menumpang angkutan menuju Enarotali, Kabupaten Paniai. Dua wilayah ini terhubung sejak proyek jalan yang dibangun pemerintah selesai pada 2021. Dari Enarotali, mereka melanjutkan perjalanan menuju Nabire.
Di pusat provinsi Papua Tengah yang baru dimekarkan tahun 2022 itu, Oktavianus tinggal di rumah panggung berbahan kayu milik adik kandungnya. Di sana, mama dan anaknya harus menjalani pengobatan tuberkulosis secara terus-menerus, setidaknya hingga Maret tahun depan.
Walau Intan Jaya merupakan salah satu daerah dengan penderita tuberkulosis terbanyak, keduanya tak bisa mendapatkan obat dan pendampingan rutin untuk terbebas dari penyakit itu.
“Mantri memang ada, tapi jumlahnya kurang. Mereka tinggal di kota jadi tidak melayani secara betul,” kata Oktavianus.
“Jadi orang-orang yang sakit akhirnya, kalau ada uang, lari ke Nabire, Timika, atau Paniai,” ujarnya.
Dalam program “bantuan tunai untuk mengatasi kemiskinan ekstrem”, Pemprov Papua Tengah menyebut seribu warga Intan Jaya akan mendapat, masing-masing, Rp2,8 juta.
Oktavianus tak ingat pasti program bantuan yang dia terima. Namun selama lima bulan di Nabire, dia dua kali mendapatkan bantuan tunai, yang dia sebut isalurkan pemerintah Intan Jaya. Jumlahnya masing-masing Rp3,5 juta.

‘Kesejahteraan berputar di segelintir orang’

Tanah Papua memiliki sumber daya alam yang memungkinkan orang-orang asli yang hidup di atasnya berada jauh dari kemiskinan dalam konteks pangan. Ini dikatakan Hanro Yonathan Lekitoo, antropolog di Universitas Cenderawasih.
Hanro pada 2003 menulis tesis berjudul Kitorang Tra Maju-maju: Marginalisasi Orang Papua di Kampung Sendiri. Pada tahun-tahun setelahnya, dia terus melakukan riset antropologisnya di Papua.
“Orang asli Papua dan alamnya itu kaya. Dari pesisir sampai pegunungan, mereka punya sumber daya yang bisa mereka kelola,” kata Hanro, akhir Agustus lalu.
“Mereka bekerja sedikit, misalnya pergi untuk tokok sagu, pasti sagu bisa didapat. Atau masuk ke hutan, pasti dapat babi. Pergi ke sungai, pasti dapat ikan,” ujarnya.
Hal serupa, kata Hanro, juga berlaku untuk masyarakat asli di kawasan pegunungan. Mereka menerapkan pertanian berpindah-pindah untuk terus memiliki sumber pangan.
“Artinya, alam sebenarnya memungkinkan masyarakat asli Papua untuk bertahan hidup,“ tuturnya.
Namun persoalan besar terdapat pada berbagai aspek lain kehidupan orang Papua. Hanro berkata, urusan pendidikan, kesehatan, dan sarana-prasarana yang memungkinkan orang asli Papua hidup dalam batas-batas kesejahteraan selama ini “tidak berjalan baik”.
Merujuk data Menteri Keuangan Sri Mulyani, dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat, dari tahun 2002 hingga 2022, mencapai Rp138,65 triliun.
Nominal itu belum termasuk transfer keuangan dan dana desa yang sebesar Rp702,3 triliun sepanjang 2005-2021 dan belanja kementerian dan lembaga negara di Papua yang mencapai Rp251,29 triliun dalam periode yang sama.
Walau begitu, Hanro menyebut anggaran untuk membangun kesejahteraan orang asli Papua itu “tidak menetes sampai ke bawah”.
“Saya pernah berdiskusi dengan salah satu kepala bappeda tingkat kabupaten di Papua. Dia bilang, tidak terjadi distribusi. Akomodasi dikumpulkan ke mereka yang punya kekuasaan,” kata Hanro.
“Misalnya anggaran Rp100 juta bisa dibagi untuk 100 warga, tapi pada kenyataannya uang itu hanya tiba di 10 orang atau mungkin lima orang.
“Perputaran uang hanya berada pada skop tertentu—tidak mengalir ke masyarakat,” kata Hanro.

Apa yang sebenarnya dicanangkan pemerintah?

Pada 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi kepada 22 kementerian, enam lembaga, dan pemerintah daerah. Dalam Inpres 4/2022, Jokowi meminta pimpinan di berbagai instansi itu “mengambil langkah yang diperlukan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem”.
Merujuk data BPS, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia pada 2014 mencapai 6,18%. Setiap tahun, pemerintah menyebut angka itu terus menurun.
Pada 26 Agustus lalu, dalam acara yang digagas Kemenko PMK, BPS menyatakan kemiskinan ekstrem telah turun hingga 0,83% atau setara 2,3 juta orang per Maret 2024.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial, Kemenko PMK, Nunung Nuryartono menyebut pihaknya telah berkoordinasi “secara marathon” dengan pemerintah daerah agar bisa mencapai target yang diminta Jokowi: 0% kemiskinan ekstrem pada Desember 2024.
Nunung berkata, untuk mencapai target itu pemerintah berfokus pada tiga strategi yang ditujukan pada orang-orang miskins ekstrem: mengurangi beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi kantong kemiskinan.
“Kami berusaha sekuat tenaga dalam empat bulan ini, dengan berbagai program. Mudah-mudahan bisa tercapai,” tuturnya via telepon.
Bantuan Pangan non-Tunai, bantuan tunai lewat Program Keluarga Harapan, bantuan iuran kesehatan, dan beasiswa melalui Kartu Indonesia Pintar disebut Nunung sebagai solusi mengurangi beban pengeluaran kelompok miskin ekstrem.
Manfaat seluruh program itu, kata dia, semestinya telah dirasakan semua warga miskin ekstrem. Alasannya, pemerintah memiliki data akurat berisi orang-orang yang masuk kategori itu—klaim yang dibantah setidaknya oleh Dominikus di Mimika.
“Data kependudukan ini sangat dinamis, dari pusat disampaikan ke pemda untuk verifikasi dan validasi, lalu disempurnakan lagi oleh pemerintah pusat,” kata Nunung.
Walau begitu, secara khusus Nunung mengakui bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem di Papua tidak mudah. “Perlu kerja keras,” tuturnya. “Tantangannya luar biasa.”

Kelompok mana saja yang juga masuk kategori miskin ekstrem?

BPS menyebut 60% keluarga warga ekstrem tinggal di pedesaan. Secara keseluruhan, 47,9% orang miskin ekstrem bekerja di sektor pertanian—bekerja di lahan keluarga dan tak mendapat penghasilan.
Data lainnya menunjukkan, warga miskin ekstrem mayoritas merupakan perempuan berusia di atas 70 tahun.
Temuan BPS itu sejalan dengan perkataan pimpinan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, tiga bulan sebelumnya, bahwa “daerah miskin ekstrem selalu diwarnai janda tua dan fakir miskin”.
Tipah (77 tahun), warga Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, adalah perempuan lansia yang masuk kategori itu.
Suaminya meninggal enam tahun lalu, sementara anaknya sudah lebih dulu wafat. Tipah hidup sebatang kara.
Rumah beralaskan tanah yang dia bangun bersama suaminya kini sudah rusak. Tembok bagian depan rumahnya retak. Atap rumahnya pun bocor di berbagai sisi dan hampir roboh.
“Kalau hujan, saya hanya bisa berteriak ‘Ya Allah’,” kata Tipah.
Sisi samping rumahnya yang terbuat dari gedek. Kini bagian itu juga sudah rusak dan bolong.
Di dalam rumahnya, Tipah hanya berisi satu lemari—yang juga sudah rusak. Oleh karena itu, Tipah menggantung seluruh pakaiannya.
Tipah bekerja membersihkan rumput liar di ladang milik tetangganya. Dia juga memiliki domba.
Namun dengan semua aktivitas yang tidak rutin itu, Tipah tetap tidak memiliki uang untuk membeli makanan sehari-hari.
“Saya makan seadanya, namanya juga sudah tinggal sendiri. Saya nunggu belas kasihan tetangga,” tuturnya.
Belakangan, Tipah mendapatkan bantuan beras dan uang. Dia memakainya dengan sangat hemat.
“Biasanya saya beli tahu. Kadang tetangga bertanya, ‘kenapa dibeli tahu?’
“Saya bilang, ‘masak mau dihabiskan semua, kalau tidak punya uang, saya mau makan apa?’,” kata Tipah.
Laporan tambahan oleh Abeth You dan Mustopa