Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Pemkab Kuningan Larang Pertemuan Tahunan Ahmadiyah – 'Seolah Kami Maling atau Teroris sampai Satu Desa Dikepung Polisi'
7 Desember 2024 7:40 WIB
Pemkab Kuningan Larang Pertemuan Tahunan Ahmadiyah – 'Seolah Kami Maling atau Teroris sampai Satu Desa Dikepung Polisi'
Sejumlah pegiat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengecam tindakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan, Jawa Barat, yang melarang kegiatan tahunan jemaah Ahmadiyah.
Direktur LSM Setara Institute, Halili Hasan, menilai pelarangan itu merupakan "ekspresi terbuka pelanggaran atas konstitusi negara" dan "bentuk ketundukan terhadap tekanan kelompok intoleran".
Penjabat Bupati Kuningan, Agus Toyib, mengeklaim keputusan melarang demi menjaga keamanan dan kondusifitas di wilayahnya.
Dia juga menguatkan pelarangan tersebut atas dasar Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.
Seperti apa peristiwa terjadinya pelarangan itu?
Desa Manislor diblokade, 'seolah kami maling atau teroris'
Seorang warga Ahmadiyah, Firdaus Mubarik, menuturkan dia bersama keluarganya yang berjumlah lima orang berangkat dari Bogor, Jawa Barat pada Kamis (05/12) pagi dan tiba di Manislor, Kuningan siang sekitar pukul 14:00 WIB.
Waktu itu, situasi sekitar desa biasa-biasa saja. Firdaus sempat mengajak keluarganya jalan-jalan di daerah setempat.
Tapi begitu kembali kira-kira jam 17:00 WIB, kata Firdaus, sudah banyak polisi di luar jalan menuju Desa Manislor. Mereka terlihat mengadang sekelompok orang yang menolak kegiatan Jalsah Salanah.
Acara pertemuan tahunan jemaah Ahmadiyah seluruh Indonesia itu sedianya akan digelar pada Jumat-Minggu.
"Yang menolak ini saya lihat tidak sampai 20 orang, lebih banyak polisinya," ujar Firdaus kepada BBC News Indonesia, Jumat (06/12).
Hanya saja tak sampai satu jam, tiba-tiba Firdaus menerima banyak pesan masuk. Isinya polisi mulai memblokade jalan-jalan menuju Desa Manislor.
Karena penasaran, ia keluar desa dengan jalan kaki.
Betul saja, ia menyaksikan seluruh akses jalan masuk dan keluar desa ditutupi pembatas jalan berwarna oranye.
"Jadi ada empat pintu akses utama diblokade dan jalan-jalan kecil dijaga polisi. Polisi juga merazia orang-orang yang keluar masuk desa. Orang yang tidak ber-KTP Manislor dilarang masuk ke desa," klaimnya.
"Saat saya jalan, ditanya polisi mau ke mana? Saya jawab mau ke Manislor, ada teman."
"Saya ditanya-tanya soal KTP, saya bilang saya warga negara Indonesia berhak mengunjungi rumah teman. Saya juga jelaskan, kalau saya peserta Jalsah Salanah."
Firdaus kemudian diboyong ke balai desa.
Di sana dia lagi-lagi menjelaskan soal keberadaanya di Manislor dan bersikukuh untuk masuk ke desa.
"Polisi bilang 'Anda takut banyak ancaman?'. Ya saya jawab 'Anda polisi tugas Anda menjaga warga'."
"Saya tidak melakukan kesalahan, tapi seperti diintimidasi, seolah kami maling atau teroris sampai satu desa dikepung polisi."
Lantaran terus ngeyel, kata Firduas, dia akhirnya dilepaskan oleh polisi dan oleh seorang di balai desa diantara masuk ke dalam.
Namun tak berselang lama beberapa rekannya menghubungi gara-gara tak diperbolehkan polisi masuk ke dalam desa. Mereka, katanya, tak tahu harus berbuat apa dan ke mana.
Pasalnya para peserta yang datang berasal dari berbagai daerah luar Pulau Jawa.
Selama beberapa saat, ujar Firdaus, mereka terlantar di pinggir jalan menuju desa. "Apalagi malam itu sedang hujan," imbuhnya.
Oleh beberapa panitia acara, lanjutnya, beberapa peserta diinapkan di sejumlah tempat penginapan.
Adapun situasi di dalam Desa Manislor, ujar Firdaus, aman-aman saja.
"Cuma tadi pagi Satpol PP dan polisi memaksa membongkar tenda yang sudah dipasang."
Apakah kami tidak punya hak sebagai warga negara?
Juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana, mengatakan kegiatan tahunan Jalsah Salanah ini rencananya dihadiri 1.000 peserta.
Persiapan untuk acara ini pun sudah dilakukan jauh-jauh hari.
Tiga bulan sebelumnya, mereka telah mengirim surat pemberitahuan ke pemerintah kabupaten, pemerintah desa, dan kepolisian setempat.
Oleh Kepala Desa Manislor, Rusdi Sriwijaya, kegiatan itu diizinkan berlangsung di tempatnya. Surat itu diketahui tertanggal 21 November 2024.
Namun dua hari sebelum acara dilangsungkan atau Rabu (04/12), Pemkab Kuningan bersama unsur Forkopimda Kabupaten Kuningan mengundang perwakilan JAI.
Di situ, menurut Yendra, Pemkab dan forkopimda secara sepihak memutuskan melarang kegiatan Jalsah Salanah.
Dasar pelarangan itu, menyitir alasan Pemkab dan forkopimda, demi alasan kondusifitas.
"Tapi harusnya pemda dan polisi memastikan semua hak warga terpenuhi, kalau ada yang menolak apakah mesti diakomodir? Apakah itu artinya hanya warga yang menolak yang diakui hak-haknya?" ucap Yendra.
Apa alasan pemkab melarang kegiatan Ahmadiyah?
Di situs Pemerintah Kabupaten Kuningan diberitakan pelarangan acara Jalsah Salanah diklaim demi menjaga keamanan dan kondusifitas wilayahnya.
Penjabat Bupati Kuningan, Agus Toyib, menyebut:
"Setelah melakukan rapat koordinasi dan dengar pendapat bersama seluruh Forkopimda, hadir juga perwakilan dari organisasi keagamaan dan tokoh masyarakat, dengan alasan keamanan dan kondusifitas wilayah Kabupaten Kuningan..."
"Dengan ini secara resmi kami Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak mengizinkan dan melarang kegiatan Jalsah Salanah yang diselenggarakan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, baik secara internal [lokal] maupun dari wilayah lain di Iuar Kuningan," ucap Toyib seperti dilansir kuningankab.go.id
Dia juga bilang pelarangan tersebut didasarkan pada Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.
Dalam bab 3 yang menerangkan larangan aktivitas jemaah Ahmadiyah di pasal 3 ayat 1 disebutkan penganut anggota dan atau anggota pengurus jamaah Ahmadiyah dilarang melakukan aktivitas dan atau kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran, penafsiran dan aktivitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.
Pernyataan serupa disampaikan Kapolres Kuningan, Willy Andrian.
"Kami berupaya untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan kondusifitas wilayah Kabupaten Kuningan..."
"Dengan ditolaknya kegiatan ini diharapkan perselisihan tidak pernah terjadi lagi di Manislor. Nanti kami akan sisir dan tinjau proses pembongkaran sejumlah venue yang akan dipergunakan pada Jalsah Salanah," katanya.
Akur dengan polisi, Ketua DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy, mengeklaim penolakan ini bukan dimaksudkan sebagai penolakan terhadap keyakinan.
Tetapi, sambungnya, penolakan terhadap bentuk kegiatan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan perselisihan.
Pelanggaran atas konstitusi
Direktur LSM Setara Institute, Halili Hasan, menilai pelarangan oleh pemkab dan forkopimda Kabupaten Kuningan merupakan "ekspresi terbuka pelanggaran atas konstitusi negara".
Selain itu pelarangan Jalsah Salanah oleh pemkab "nyata-nyata sebagai bentuk ketundukan terhadap tekanan kelompok intoleran," sambung Halili.
Dan sikap tunduk itu, sebutnya, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran atas hak beragama bagi jemaah Ahmadiyah Indonesia selama ini, khususnya di Jawa Barat.
Berdasarkan pengamatan Setara, kelompok yang menolak acara tersebut mengatasnamakan diri sebagai Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan, yang terdiri dari sempalan Front Pembela Islam, Persada 212, dan beberapa kelompok kecil lainnya.
Halili menegaskan Pasal 28E ayat 1 dan Pasal ayat 2 UUD menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan.
Karena itu, menurut dia, Jalsah Salanah semestinya dipandang sebagai bentuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi.
Jika merujuk pada data Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang dikeluarkan oleh Setara Institute sejak 2007 disebutkan bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu korban terbesar dalam aneka peristiwa pelanggaran hak atas KBB di Jawa Barat.
Total setidaknya ada 48 peristiwa pelanggaran serupa.
Itu kenapa Halili meminta Kemendagri dan Kemenag untuk mengoreksi tindakan pemkab Kuningan.
BBC News Indonesia sudah menghubungi pejabat di Kemendagri dan Kemenag, tapi hingga berita ini ditulis belum ada tanggapan.
Sementara itu, YLBHI, Formassi, LBH Bandung, dan Jakatarub juga menilai, adanya dugaan penolakan warga atas Jalsah Salanah tidak bisa jadi alasan untuk melarang kegiatan itu.
Pemda seharusnya menjadi penengah dan tetap menjamin hak asasi manusia komunitas Ahmadiyah.
"Penolakan kegiatan Jalsah Salanah menambah kegagalan negara dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak asasi warga Ahmadiyah dari perlakuan intoleran," ujar Ketua Umum Pengurus YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan pers bersama lembaga lainnya.