Konten Media Partner

Pemuda Skizofrenia Divonis 16 Tahun Penjara atas Pembunuhan di Jakarta Barat - Apakah ODGJ Dapat Dipidana?

18 Juli 2024 8:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Pemuda Skizofrenia Divonis 16 Tahun Penjara atas Pembunuhan di Jakarta Barat - Apakah ODGJ Dapat Dipidana?

Vonis hukuman penjara 16 tahun terhadap seorang pemuda dengan skizofrenia atas kasus pembunuhan menuai pertanyaan apakah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat dipidana? Apakah pemenjaraan adalah solusi yang tepat?
Andi Andoyo, pemuda 18 tahun yang didiagnosis mengidap skizofrenia paranoid, dinyatakan bersalah dan divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Senin (08/07) dalam kasus pembunuhan di apartemen Central Park pada 2023 silam.
Kuasa hukumnya, Parluhutan Simanjuntak, menuding hakim "tidak mempertimbangkan" kondisi kejiwaan Andi dalam memutus perkara ini.
Dia kemudian mengajukan banding atas putusan tersebut dan melaporkan hakim yang menangani perkara ini ke Badan Pengawas Mahkaham Agung.
"Hakim dalam putusannya malah seolah meragukan visum kejiwaan itu," kata Parluhutan kepada BBC News Indonesia.
Dalam salinan putusan yang diterima BBC News Indonesia, hakim berpendapat bahwa Andi melakukan pembunuhan tersebut dalam kondisi "sadar".
Majelis hakim juga berpandangan bahwa Andi mengalami gangguan jiwa tersebut sejak dia membunuh korban dan kondisi kejiwaan itu "tidak bersifat permanen".
Ketika dimintai tanggapan, juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Iwa Wardhana, mengatakan bahwa hakim telah mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum memutuskan perkara. Namun dia enggan berkomentar lebih jauh menyangkut materi perkara.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan, apakah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat dipidana?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang mengatur soal pemaafan terhadap orang yang tidak bisa mempertanggungjawabkan tindakannya karena kondisi gangguan jiwa.
Namun, sejumlah ahli hukum pidana dan psikologi forensik mengatakan bahwa seseorang dengan skizofrenia tidak serta merta bisa dibebaskan atas perbuatan pidananya.
Kemudian timbul pertanyaan selanjutnya: Kalaupun seseorang dengan gangguan jiwa berat dinilai dapat mempertanggungjawabkan tindak pidananya seperti dalam kasus Andi, apakah pemenjaraan adalah solusi yang tepat?
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, mengatakan bahwa idealnya hakim dapat merekomendasikan agar yang bersangkutan menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
Namun, KUHP yang masih berlaku sampai saat ini belum mengatur sedetail itu. Menurut Iftitah, KUHP masih sangat "hitam-putih" dalam memandang perkara seperti ini.

Bagaimana kronologi kasusnya?

Berdasarkan fakta-fakta yang mengemuka dalam persidangan, Andi berangkat dari rumahnya di Tangerang menggunakan sepeda motor menuju tempat tinggal Fresa Danella Handuran di apartemen Central Park, Jakarta Barat, pada Selasa, 26 September 2023, pagi.
Andi disebut membawa pisau yang sebelumnya dia beli di lokapasar.
Setelah sampai dan memarkirkan motornya, Andi disebut menunggu korban lewat di dekat salah satu lobi mal selama kurang lebih satu jam.
Begitu dia melihat korban lewat, Andi disebut mengikuti Fresa sejauh 20 meter, lalu membekap dan membunuh Fresa.
Andi sempat mencoba melarikan diri, namun dia dicegat oleh sejumlah saksi, menurut fakta dalam persidangan.
Dalam pemeriksaan setelahnya, alasan Andi membunuh Fresa mulai terungkap.
Kepada polisi, Andi mengaku melakukan hal itu karena mendapat bisikan gaib yang mendorongnya datang ke lokasi kejadian.
Selama beberapa bulan terakhir sebelum kejadian, Andi mengaku merasa ada butiran pasir yang selalu mengenai matanya. Dia merasa diguna-guna.
Andi, menurut fakta dalam persidangan, mengetahui bahwa Fresa merupakan pengurus Saksi-Saksi Yehuwa, sehingga Andi mencoba meminta bantuan kepada korban.
Berdasarkan fakta persidangan pula, Andi diketahui sudah empat kali menemui korban dan berupaya meminta tolong, namun korban tidak menghiraukannya karena merasa tidak mengenal Andi.
Hal itu disebut membuat Andi merasa "sakit hati" sehingga "berniat" membunuh korban.
Pasca-pembunuhan tersebut, Andi sempat menjalani pemeriksaan kejiwaan di Rumah Sakit Bhayangkara pada 29 September hingga 6 Oktober 2023.
Dokter Renny Riana SpKJ, yang memeriksa Andi, kemudian menyimpulkan bahwa Andi mengidap skizofrenia paranoid.
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang membuat pengidapnya kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Gejala utamanya antara lain berupa halusinasi hingga delusi atau waham.
Menurut kuasa hukum Andi, Parluhutan Simanjuntak, ada tiga kesimpulan yang didapat dari visum kejiwaan tersebut.
“Pertama, terperiksa [Andi] mengalami gangguan jiwa berat skizofrenia paranoid. Kedua, perbuatan yang dilakukan Andi diyakini akibat gangguan kejiwaannya. Ketiga, agar dilakukan perawatan untuk mencegah hal yang membahayakan diri dan lingkungannya,” kata Parluhutan kepada BBC News Indonesia.
Kondisi kejiwaan Andi inilah yang menjadi dasar kuasa hukumnya agar Andi dapat dibebaskan dari tuntutan pidana.
Andi juga sempat dirawat di Rumah Sakit dr Soeharto Heerdjan, Jakarta Barat, pada 1-20 Desember 2023.
“Itu jelas disimpulkan memang yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa, skizofrenia paranoid. Diberikan obat, diberikan dalam jangka waktu sebulan. Kalau di rumah sakit dia bisa bicara dengan baik, karena ada obat, ada terapi,” ujar Parluhutan.
Sebelum terjerat kasus ini, Parluhutan mengatakan Andi enggan berobat secara medis. Keluarganya pernah membawa Andi menjalani pengobatan tradisional ke Kalimantan.

Apa pertimbangan hakim memvonis Andi bersalah?

Berdasarkan salinan putusan yang diterima BBC News Indonesia, majelis hakim menganggap Andi dapat dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan ini karena dia melakukannya "dalam keadaan jiwa yang normal".
Hakim sepakat dengan jaksa penuntut umum yang berpendapat bahwa unsur-unsur pembunuhan berencana telah terpenuhi dalam perkara ini.
Pendapat itu bersandar pada cara Andi menyerang korban menggunakan pisau yang telah dia siapkan sebelum kejadian. Selain itu, ada motif "sakit hati" yang disebut melatari tindakan Andi.
Hakim juga mendasarkan pertimbangannya pada keterangan saksi ahli yang memeriksa kejiwaan Andi di RS Bhayangkara dan psikiater yang menanganinya saat dirawat di RS dr Soeharto Heerdjan.
Keterangan saksi ahli itu antara lain menyebut bahwa fungsi kognitif atau kesadaran Andi tidak terganggu meski mengalami skizofrenia paranoid.
Andi juga disebut masih sadar dan ingat dengan apa yang dilakukannya.
Atas dasar itu, hakim kemudian berpendapat bahwa Andi dengan sengaja melakukan pembunuhan itu, bahkan merencanakannya lebih dulu.
Gangguan kejiwaan yang dialami oleh Andi juga disebut parsial sehingga tidak dapat diprediksi kapan dia akan kambuh.
“Majelis berpendapat bahwa terdakwa mengalami gangguan jiwa tersebut sejak dia melakukan perbuatan menghabisi korban dan kejiwaan terdakwa tersebut tidak bersifat permanen,” bunyi putusan tersebut.
“..karena perbuatan itu dilakukan terdakwa bermotif kecewa kepada korban karena keinginannya tidak dipenuhi korban.”
Hakim menyebut waham yang dialami oleh Andi beberapa bulan sebelumnya sebagai "pernyataan sepihak yang kebenarannya perlu dibuktikan lebih lanjut".
Dalam putusannya pun, majelis hakim sama sekali tidak menyinggung rekomendasi agar Andi menjalani perawatan medis atas kondisi kejiwaannya.
Putusan hakim tersebut senapas dengan tuntutan jaksa penuntut umum, meski vonis yang dijatuhkan lebih ringan dua tahun dari tuntutan.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Lingga Nuarie, mengatakan bahwa Andi menyadari perbuatan yang dilakukannya, dapat membedakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta dapat mengingat secara jelas perbuatannya.
Keyakinan jaksa itu menguat setelah ibu dan adiknya bersaksi bahwa Andi sehari-hari dapat beraktivitas seperti biasa. Dia juga bisa mengenyam pendidikan hingga kuliah.
Jaksa juga berargumen bahwa Andi telah mempersiapkan tindakannya dengan cara membawa pisau yang dia beli secara daring di salah satu aplikasi lokapasar.
“Jaksa penuntut umum menuntut dia dengan pembunuhan berencana karena dia sudah punya niat untuk itu,” kata Lingga ketika dihubungi.

Apa tanggapan kuasa hukum Andi?

Parluhutan Simanjuntak selaku kuasa hukum Andi, menyayangkan putusan hakim yang dia sebut "seolah meragukan hasil visum kejiwaan" Andi.
Padahal dokter-dokter jiwa yang menangani Andi telah dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi ahli.
Parluhutan juga mempertanyakan bagaimana jaksa dapat membedakan bahwa Andi melakukan perbuatannya dalam kondisi sadar, sementara hasil pemeriksaan dokter jiwa menduga bahwa tindakan Andi adalah bagian dari gejala gangguan jiwanya.
“Saya berpegang pada hasil pemeriksaan kejiwaan. Kapan jaksa pernah meneliti dia dalam kondisi sadar? Bahwa dia datang ke TKP, betul, tapi itu waham. Kembalikan ke pemeriksaan kejiwaan,” kata Luhut.
Dia juga menyoroti sejumlah hal yang dianggap tidak adil sepanjang proses persidangan. Salah satunya, keputusan hakim untuk menggelar sidang secara daring.
“Bagaimana orang yang mengalami gangguan kejiwaan [menjalani] sidang secara online? Bagaimana majelis bisa melihat kondisi kejiwaan terdakwa?” tutur Luhut.
Andi akhirnya dihadirkan dalam pemeriksaan saksi-saksi setelah kuasa hukum memprotes kebijakan hakim itu.
Ilustrasi kasus pembunuhan
Ahli hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, turut menyesalkan pendapat hakim yang menganggap Andi baru mengalami gangguan jiwa setelah kejadian itu, tanpa menggali lebih lanjut kondisi sebelum kejadian.
"Apakah wajar pembunuhan hanya disebabkan korban menolak membantu mengatasi persoalan ada pasir-pasir yang mengganggu. Kalau ini dipertimbangkan, maka memperlihatkan terdakwa ada gangguan kejiwaan," ujar Agustinus.
Dia menilai hal ini menunjukkan kurangnya sensitivitas hakim dalam menangani perkara yang melibatkan terdakwa yang mengalami gangguan jiwa.
Sementara itu, peneliti ICJR, Iftitah Sari, mempertanyakan mengapa kondisi kejiwaan Andi sebelum dan saat kejadian tidak digali lebih lanjut.
"Memang tidak secara jelas ada penjelasan mengenai kapan Andi terkena skizofrenia, lalu bagaimana analisisnya pada saat hari kejadian?" kata Iftitah.
"Ada satu keterangan keluarganya bahwa beberapa bulan terakhir dia mengalami bisikan, tapi hanya itu saja dan disambungkannya dengan keterangan keluarga, bukan berdasarkan keahlian ahli kejiwaannya," sambungnya.
Menurutnya, poin ini penting untuk digali lebih lanjut untuk memastikan hakim dapat memberikan penilaian yang berimbang.
Pihak Andi pun tidak menghadirkan saksi ahli yang meringankan. Namun, menurut Iftitah, kondisi itu bisa dipahami mengingat butuh sumber daya yang tidak sedikit untuk menghadirkan saksi ahli.

Apakah pengidap gangguan jiwa bisa dipidana?

Berdasarkan pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama yang masih berlaku sampai saat ini, tertulis bahwa:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Namun, menurut ahli hukum pidana dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi, pemaafan tersebut tidak serta merta bisa berlaku terhadap semua ODGJ yang terjerat kasus pidana.
“Ketika dia memahami apa yang dia lakukan, apalagi kalau dia punya alasan seperti ada rasa dendam, kalau dia punya motif itu, secara sadar dia berpikir ingin melakukan tindak pidana, dasar pemaaf itu tidak bisa dikenakan,” kata Fajri.
“Jadi tidak bisa dalam kondisi bahwa semua yang punya riwayat kejiwaan bisa diberlakukan dasar pemaaf itu,” sambung Fajri.
Namun kalau tindakan itu dilakukan atas dorongan yang tidak bisa dia kuasai, Fajri mengatakan pemaafan terhadap tindakan pidananya bisa berlaku. Hal ini pun, kata dia, perlu diperkuat oleh pembuktian berlapis.
Hal senada juga diutarakan oleh psikolog forensik dari UGM, Lucia Peppy. Meskipun orang dengan skizofrenia bisa mengalami realitas berbeda, tindakannya bisa saja dilakukan secara sadar.
"Seseorang dengan skizofrenia sering kali juga melakukan tindakan secara sadar, jadi itu yang perlu dipastikan. Ketika dia sadar, tidak sedang mengalami gejala, maka di hadapan hukum, dia ada pada kondisi yang sama dengan warga negara lain," ujar Lucia.
Oleh sebab itu, menurutnya, aparat penegak hukum harus betul-betul jeli dan berhati-hati dalam memutuskan apakah perbuatan pidana itu dilakukan saat orang tersebut dalam kondisi sadar atau tidak.
"Dalam konteks orang dengan skizofrenia melakukan tindak pidana, itu harus betul-betul dikaji bagaimana kondisinya saat dan sebelum kejadian," kata Lucia.
Dalam hal ini, menurut Lucia, penegak hukum harus bisa memahami apa motif pelaku hingga bagaimana perencanaan tindakannya dalam kondisi dia memiliki skizofrenia.

Apakah pemenjaraan adalah pertanggungjawaban yang tepat?

Pertanyaan yang timbul selanjutnya ketika orang dengan gangguan jiwa berat dianggap dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya adalah: apakah pemenjaraan adalah bentuk pertanggungjawaban yang tepat?
Para pengamat hukum dan psikolog forensik sama-sama menyatakan bahwa penjara bukanlah solusi yang ideal untuk tujuan rehabilitasi.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, termasuk yang menyayangkan vonis penjara terhadap Andi tanpa disertai rekomendasi untuk menjalani perawatan kejiwaan.
Kalaupun unsur kesengajaan dalam kasus ini terpenuhi, Agustinus mengatakan kondisi kejiwaan Andi semestinya hakim tetap mempertimbangkan kondisi kejiwaan Andi.
Tanpa pertimbangan itu, dia menilai proses hukum yang berjalan lebih berat pada pembalasan perbuatan semata, bukan pada upaya rehabilitasi.
“Kalaupun dia dipenjara, apa itu bisa membuatnya jera dan sembuh? Apakah negara akan memfasilitasi psikolog yang rutin setiap minggu? Apakah ada ruangan terpisah? Atau justru bisa membahayakan narapidana yang lain?” kata Agustinus.
“Kalau pola pikir mempidananya untuk rehabilitasi, seharusnya itu semua dipertimbangkan,” ujar dia.
ICJR juga menyoroti hal yang sama.
"Secara ideal, kalau pun hakim sudah mengakui bahwa terdakwa menderita skizofrenia, maka seharusnya bukan pidana penjara yang dijatuhkan, tapi perawatan dulu sampai sembuh baru kemudian terdakwa menjalankan pidananya," kata Iftitah.
Namun, menurut Iftitah, kerangka hukum yang ada saat ini memang belum memberikan keleluasaan bagi hakim untuk merekomendasikan rehabilitasi semacam itu.
KUHP yang masih berlaku saat ini, kata dia, hanya memandang pertanggungjawaban hukum ODGJ dalam dua hal.
Pertama, kalau terdakwa dianggap bisa bertanggung jawab, maka dia bisa dipidana penjara. Kedua, kalau terdakwa dianggap tidak bisa bertanggung jawab, maka hakim bisa merekomendasikan perawatan.
"Pilihannya cuma iya atau tidak, untuk kondisi di tengah-tengah, instrumen hukum kita tidak mengatur itu," ujar Iftitah.
Dia mencontohkan, tidak ada aturan yang merinci apakah masa perawatan adalah bagian dari penghukuman atau tidak. Padahal negara pun semestinya bertanggung jawab atas hak kesehatan terpidana.
Meski demikian, Iftitah mengatakan ada perubahan pada KUHP yang baru berlaku pada 2026 nanti. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban hukum dalam kasus-kasus seperti ini nantinya bisa fokus pada tujuan rehabilitasi, bukan semata pembalasan.