Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Penangkapan Direktur Pemberitaan JAK TV Menuai Polemik – Mengapa Produk Jurnalistik Harus Dipisahkan dari Pidana?
24 April 2025 7:10 WIB
Penangkapan Direktur Pemberitaan JAK TV Menuai Polemik – Mengapa Produk Jurnalistik Harus Dipisahkan dari Pidana?
Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar ditahan Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan tuduhan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dalam sejumlah perkara dugaan korupsi, seperti tata niaga timah, impor gula, dan vonis lepas ekspor CPO.
Kejagung membuat klaim Tian Bahtiar melakukan permufakatan jahat menggiring opini publik dengan pemberitaan yang dianggap menyudutkan institusinya.
Tian juga dituduh menerima uang Rp478,5 juta dari dua tersangka lainnya untuk melancarkan permufakatan itu, yaitu Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saebih (JS). Keduanya berprofesi sebagai pengacara dari pihak yang sedang berperkara di Kejagung.
Saat dibawa petugas Kejagung, Tian sempat membantah tuduhan itu. "Enggak ada, enggak ada," katanya singkat kepada wartawan, Selasa (22/04).
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Kohar, melaporkan beberapa barang bukti dalam kasus ini, di antaranya "rekapitulasi berita-berita negatif tentang kejaksaan di 24 media online".
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendukung pengusutan korupsi, tapi keberatan ketika produk jurnalistik dijadikan alat bukti perintangan penyidikan. Penilaian produk jurnalistik, menurut mereka, harus dilakukan oleh Dewan Pers.
Kasus aparat hukum mempermasalahkan produk pemberitaan yang dikaitkan dengan perintangan penyidikan diyakini baru pertama kali terjadi di Indonesia, menurut sejumlah kalangan.
Mereka khawatir langkah hukum ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers dalam memberitakan penyidikan perkara tertentu.
Apa fakta terbaru kasus JAK TV di Kejaksaan Agung?
Kejagung akan menyerahkan pemberitaan yang diklaim bernarasi negatif terhadap institusinya kepada Dewan Pers.
"Nanti akan kami sampaikan ke Dewan Pers untuk diteliti kerja jurnalistiknya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, seperti dikutip Kompas, Rabu (23/4/2025).
Berita-berita yang dituduh menyudutkan Kejagung ini sudah tidak bisa diakses publik.
Harli mengatakan perkara utama kasus yang melibatkan Tian, Marcella, dan Junaedi adalah pemufakatan jahat.
"Yang dikerjakan oleh mereka-mereka ini kan misalnya dalam bagian social engineering. Itu dia [para tersangka] menggunakan media sebagai alat. Dia menggunakan massa juga sebagai alat," katanya.
Pemufakatan ini diduga terjadi karena ada sejumlah biaya yang dikeluarkan para tersangka untuk membentuk opini publik, katanya.
Tapi Harli mengatakan lembaganya tidak antikritik, termasuk kritik yang disampaikan melalui produk jurnalistik. "Kami tidak pernah antikritik terhadap produk jurnalistik. Itu yang harus dipahami," kata dia.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Saat diminta konfirmasi apakah Dewan Pers sudah menerima berkas berita-berita tersebut, Ninik Rahayu selaku ketua Dewan Pers menjawab singkat, "Belum".
Sehari sebelumnya, terjadi pertemuan pihak Kejagung dengan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.
Dalam keterangan kepada awak media, Ninik mengatakan kedua lembaga menyepakati untuk saling menghormati batas kewenangan masing-masing.
Kejaksaan melanjutkan proses hukum dugaan tindak pidana, sedangkan Dewan Pers mengkaji dari sisi etika jurnalistik.
"Dewan Pers tentu tidak ingin cawe-cawe dalam proses hukum," kata Ninik.
"Namun, untuk menentukan apakah sebuah produk media merupakan karya jurnalistik atau bukan, itu adalah kewenangan etik Dewan Pers sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," kata tambahnya.
Ninik menambahkan, Dewan Pers akan menilai dua aspek dalam kasus ini, yakni apakah pemberitaan yang diproduksi memenuhi standar kode etik jurnalistik dan apakah ada pelanggaran perilaku jurnalis dalam prosesnya.
"Pers dituntut bekerja profesional, mengedepankan standar moral tinggi, tidak mencampurkan opini dengan fakta, dan tidak terlibat praktik tidak etis seperti suap atau permintaan imbalan," jelasnya.
Mengapa kasus JAK TV menimbulkan polemik?
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mempersoalkan publikasi pemberitaan JAK TV yang diduga dijadikan alat bukti Kejagung sebagai upaya merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice).
Menurut komite dari gabungan 10 organisasi sipil termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), delik obstruction of justice terhadap produk jurnalistik bisa menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya.
"Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Obstruction of justice)," kata Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/04).
Menurut Nani, tidak ada hubungan antara pemberitaan media dan penilaian masyarakat terhadap konsentrasi penyidik dalam menangani sebuah perkara.
Baca Juga:
"Pasal 21 UU Tipikor harus digunakan secara hati-hati karena berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum pada kasus tindak pidana korupsi," tambah Nani yang meyakini kasus ini baru pertama terjadi di Indonesia.
KKJ, kata dia, tetap mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi, namun mendorong agar proses hukum dilakukan secara akuntabel dan proporsional, tanpa melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers.
Mengapa media boleh memberitakan penyidikan suatu perkara?
"(Produk) berita bukan tindak pidana, karena proses jurnalistik merupakan ruang ekspresi yang sah," kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong.
Ia berpendapat media sah-sah saja memberitakan kritik terhadap proses penyidikan perkara tertentu selama menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik yang diatur Dewan Pers. Misalnya dengan menemukan dan menguji bukti yang ditemukan.
Dalam beberapa kasus, media menyoroti dugaan rekayasa kasus proses penyidikan yang berakhir dramatis.
Misalnya, kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan mantan pejabat polisi Ferdy Sambo. Awalnya, kasus ini dikonstruksi polisi sebagai saling tembak, tapi fakta persidangan menunjukkan sebaliknya.
Lainnya, kasus kematian siswa SMK di Semarang oleh anggota polisi yang semula dikonstruksi sebagai tawuran berakhir sebagai penembakan.
KontraS pernah melaporkan periode 2019-2022 terdapat 27 dugaan rekayasa kasus yang dilakukan kepolisian di 15 provinsi Indonesia.
Selain perkara kriminalitas, media juga ikut menyoroti kasus dugaan rekayasa vonis perkara korupsi minyak goreng baru-baru ini.
Mustafa khawatir pemberitaan JAK TV yang dijadikan alat bukti perintangan penyidikan oleh Kejaksaan Agung bakal menjadi preseden buruk secara umum bagi kebebasan pers.
"Jika logika yang dipakai Kejaksaan Agung itu dibenarkan, bisa jadi saya dan media-media lain juga bisa dituduh demikian karena mengritik dan tidak sama pandangan dengan penyidik," lanjutnya.
Bagaimana mendudukkan polemik ini?
"Harus dibedakan antara karya jurnalistik dengan pidana suapnya," kata Mustafa.
Oleh karena itu, jika terdapat kekeliruan dalam proses dan produk pemberitaan perlu adanya keterlibatan Dewan Pers dalam penilaiannya.
Peran Dewan Pers menetapkan dan mengawasi pelaksaan kode etik jurnalistik, termasuk memberi pertimbangan serta penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus sengketa pemberitaan.
Dewan Pers juga sudah memiliki nota kesepahaman dengan lembaga hukum seperti kepolisian, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Kejaksaan Agung. Pada prinsipnya, nota kesepahaman menegaskan tiap perkara menyangkut delik pers perlu melibatkan ahli dan Dewan Pers.
Sebagaimana tertuang dalam nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kejaksaan Agung yang diteken 2019 lalu. Dalam sejumlah pasal menjelaskan kedua pihak berkoordinasi mendukung penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers.
Kerjasama kedua lembaga ini meliputi koordinasi, komunikasi serta pemberian keterangan ahli dari Dewan Pers.
"Ketentuan MoU tersebut memandatkan institusi Kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice," kata Mustafa.
Lebih lanjut, kata dia, Dewan Pers akan mengeluarkan penilaian terhadap muatan keseluruhan konten artikel pemberitaan tersebut, dan dapat memberikan petunjuk kepada aparat penegak hukum perihal indikasi pelanggaran etik atau pelanggaran pidananya.
Apakah suatu pemberitaan bisa disebut produk jurnalistik ketika wartawannya menerima suap?
"Sebagai produk jurnalistik, saya kira itu tetap menjadi sebuah produk jurnalistik. Tapi persoalannya adalah apakah produk jurnalistik ini ada menyalahi etika atau tidak, itu yang perlu diperiksa lebih jauh," kata Ignatius Haryanto.
Peneliti media sekaligus dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini mengatakan penilaian tersebut harus dikembalikan ke Dewan Pers.
"Nantinya memutuskan apakah ini produk jurnalistik yang bermasalah atau tidak, itu biar dari Dewan Pers yang melakukan," katanya.
Ia kembali mendorong agar Kejagung tidak menggunakan "senjatanya untuk menghukum pemberitaan-pemberitaan" yang dianggap merugikan institusinya.
"Akan repot ke depannya misalnya kalau nanti ada media-media yang lain mengritik kebijakan dari kejaksaan. Dan kemudian kalau itu tidak disukai, lalu kemudian akan dilakukan hukuman oleh kejaksaan itu sendiri," katanya.
Ignatius juga menyinggung sertifikasi wartawan yang sempat dilontarkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam kasus direktur pemberitaan JAK TV.
Dalam konferensi pers, Ninik mengatakan bahwa posisi Tian Bahtiar "mensyaratkan yang bersangkutan harus memiliki kartu (sertifikat) utama".
Dewan Pers, kata Ninik akan menelusuri hal tersebut termasuk keanggotaan Tian sebagai anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Namun, menurut Ignatius, Dewan Pers perlu berhati-hati dalam penyampaian hal tersebut, karena sertifikat wartawan bisa menimbulkan kesan "diskriminatif" terhadap jurnalis yang belum memilikinya. Bisa jadi jurnalis yang tidak memiliki sertifikat belum punya waktu mengikuti uji kompetensi.
"Jangan kemudian mereka yang tidak memiliki sertifikasi ini tidak dianggap sebagai wartawan. Wartawan atau tidak, media atau tidak, saya kira patokannya adalah melihat dari apa yang dihasilkan, yang diproduksi ya," lanjut Ignatius.
JAK TV masuk di sekitar 1.800 media yang sudah terverifikasi Dewan Pers. Tapi lembaga ini memperkirakan masih terdapat puluhan ribu media yang tidak terverifikasi. Syarat verifikasi di antaranya perusahaan media wajib berbadan hukum PT, dan mampu menggaji pekerjanya minimal sesuai UMP.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia punya banyak media alternatif, tapi belum memperoleh verifikasi dari Dewan Pers. Sebuah penelitian menunjukkan meskipun sejumlah media alternatif mengangkat isu penting publik, perlindungan hukum terhadap mereka masih minim dan rawan dikriminalisasi. Pekerjanya juga belum tentu memiliki sertifikat wartawan.
"Kalau itu (standar jurnalistik) dilakukan, saya kira kita tetap bisa menyebut mereka seorang jurnalis media, walaupun mungkin secara administratif belum memiliki sertifikat, atau belum masuk dalam pengakuan Dewan Pers," tambah Ignatius.