Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Penantian 32 Tahun Korban Pemerkosaan Beramai-ramai di India Mencari Keadilan – 'Tangis Saya Pecah Bila Teringat Satu Momen yang Menghancurkan Hidup Saya Selamanya'
31 Agustus 2024 14:00 WIB
Penantian 32 Tahun Korban Pemerkosaan Beramai-ramai di India Mencari Keadilan – 'Tangis Saya Pecah Bila Teringat Satu Momen yang Menghancurkan Hidup Saya Selamanya'
Peringatan: Artikel ini mengandung detail yang mungkin mengganggu kenyamanan Anda.
“Sakit sekali hati ini rasanya. Sampai sekarang, tangis saya pecah bila teringat satu momen yang menghancurkan hidup saya selamanya.”
Pada tahun 1992, Sushma* yang baru berusia 18 tahun diajak seorang pria yang dikenalnya ke sebuah gudang kosong. Kenalannya itu mengajak Sushma untuk menonton video.
Kenyataannya? Sekitar enam atau hingga tujuh pria mengikat Sushma, memperkosanya, dan mengabadikan semua tindakan keji itu melalui lensa foto.
Para pelaku berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh di Ajmer, sebuah kota di negara bagian Rajasthan, India bagian barat.
“Setelah mereka memperkosa saya, salah seorang dari mereka memberi saya 200 rupee (sekitar Rp31.000) untuk membeli lipstik. Uang itu tidak saya ambil,” ujarnya.
Pekan lalu, genap 32 tahun berlalu sejak kejadian trauma itu menimpa Sushma. Pengadilan menghukum para pemerkosa Sushma dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap mereka.
“Sekarang usia saya 50 tahun. Baru akhirnya merasa seperti mendapatkan keadilan,” ucapnya.
“Tapi tetap saja tidak bisa mengembalikan segala hal yang hilang dari hidup saya."
Sushma mengaku mendapat fitnah dan ejekan dari masyarakat atas apa yang menimpanya selama bertahun-tahun. Dua pernikahannya berakhir dengan perceraian begitu pasangannya mengetahui masa lalunya.
Sushma adalah salah satu dari 16 penyintas—semuanya siswi dan mahasiswi—yang diperkosa dan diperas oleh sekelompok pria yang memiliki kekuasaan di sejumlah tempat di kota Ajmer.
Kasus yang terjadi selama beberapa bulan pada 1992 menjadi skandal besar dan memicu protes besar-besaran.
Pekan lalu, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap enam dari 18 terdakwa: Nafis Chishty, Iqbal Bhat, Saleem Chishty, Sayed Jamir Hussain, Naseem—juga dikenal sebagai Tarzan—dan Suhail Ghani.
Para lelaki ini belum mengakui tindak kejahatan yang mereka lakukan. Kuasa hukum keenamnya mengeklaim akan mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi.
Lantas bagaimana dengan 12 terdakwa lainnya?
Delapan di antaranya dihukum penjara seumur hidup pada 1998. Akan tetapi, pengadilan yang lebih tinggi membebaskan empat di antaranya. Sementara sisanya mengalami pengurangan hukuman menjadi 10 tahun penjara.
Satu terdakwa meninggal bunuh diri. Ada pula yang dihukum seumur hidup pada tahun 2007 tetapi dibebaskan enam tahun kemudian.
Satu dihukum dalam kasus kecil terkait tetapi kemudian dibebaskan. Satu orang terdakwa masih buron.
“Apa masih layak [putusan 20 Agustus] ini disebut sebagai keadilan? Sebuah putusan bukanlah keadilan,” tukas Santosh Gupta, jurnalis yang telah menulis tentang kasus tersebut dan hadir sebagai saksi untuk jaksa penuntut umum.
Pemikiran ini digaungkan pengacara Mahkamah Agung, Rebecca John, yang menyebut “keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak”.
“Ini menunjukkan suatu masalah yang melampaui sistem hukum. Masyarakat patriarki kita rusak. Yang kita butuhkan adalah perubahan pola pikir, tetapi berapa lama waktu yang dibutuhkan?”
Baca juga:
“Para terdakwa menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk menipu, mengancam, dan memikat korban mereka,” tutur jaksa penuntut umum, Virendra Singh Rathore.
Rathore menyebut para terdakwa mengambil foto dan video korban-korban dan menggunakannya sebagai ancaman supaya tutup mulut—atau bahkan mengajak korban-korban baru.
"Dalam satu insiden, para terdakwa mengundang seorang pria yang mereka kenal ke sebuah pesta dan membuatnya mabuk. Mereka mengambil fotonya dan mengancam akan mempublikasikannya kalau dia tidak membawa teman-teman perempuannya untuk bertemu dengan mereka,” katanya.
“Begitulah cara mereka terus mendapatkan korban.”
Para terdakwa juga memiliki koneksi politik dan sosial yang kuat. Beberapa dari mereka memiliki relasi dengan sebuah dargah—tempat ziarah keagamaan Muslim— terkenal di kota tersebut.
“Mereka berkeliaran dengan sepeda motor dan mobil di kota kecil,” kata Gupta.
“Beberapa orang segan, sebagian lain ingin bisa dekat dengan mereka, sebagian lagi ingin menjadi seperti mereka."
Gupta menambahkan kekuasaan dan koneksi para terdakwa membuat kasus ini tetap tertutup selama berbulan-bulan. Namun, beberapa individu—misalnya petugas cuci cetak foto atau polisi—mengetahui apa yang sedang terjadi.
Suatu hari, beberapa foto yang diambil para terdakwa sampai ke meja Gupta. Apa yang dilihatnya membuatnya ngeri.
“Sejumlah orang paling berkuasa di kota yang melakukan tindakan keji terhadap perempuan-perempuan muda yang tidak berdosa—dan ada buktinya. Namun, tidak ada reaksi besar dari polisi atau masyarakat,” ungkapnya.
Dia menulis beberapa artikel tentang kasus ini. Namun, tidak ada satu pun dari artikelnya yang berhasil membuka kasus itu secara luas.
Suatu hari, surat kabar tempat Gupta bekerja “membuat keputusan berani”.
Surat kabar itu menerbitkan sebuah foto yang menunjukkan seorang perempuan, telanjang dada, diapit dua pria yang sedang menggerayangi payudaranya.
Salah satu pria tersenyum ke arah kamera. Hanya wajah si perempuan yang disamarkan.
Baca juga:
Laporan itu memicu gelombang kejut di penjuru kota. Publik marah dan menutup kota dalam unjuk rasa yang berlangsung selama berhari-hari. Kemarahan menyebar melalui Rajasthan seperti api yang mengamuk.
“Akhirnya, ada beberapa tindakan konkret dari pemerintah. Polisi mendaftarkan kasus pemerkosaan dan pemerasan terhadap para terdakwa dan diserahkan kepada Departemen Investigasi Kriminal negara bagian [CID],” kata Rathore.
Rathore menjelaskan bahwa persidangan berlangsung belarut-larut sampai 32 tahun akibat beberapa faktor. Salah satunya adalah penangkapan terdakwa yang lamban.
Selain itu, ada pula taktik penundaan yang diduga dilakukan kuasa hukum pembela, penuntutan yang kekurangan dana, dan masalah sistemik dalam sistem peradilan.
Ketika polisi melaporkan tuntutan awal pada tahun 1992, enam terdakwa—yang baru saja dihukum pekan lalu—tidak termasuk di dalam berkas karena mereka melarikan diri.
Rathore meyakini ini adalah sebuah kesalahan. Ketika polisi akhirnya menuntut keenam orang tersebut pada tahun 2002, mereka masih buron.
Dua dari mereka ditangkap pada tahun 2003, satu lagi pada tahun 2005, dan dua lagi pada tahun 2012, sementara yang terakhir ditangkap pada tahun 2018.
Baca juga:
Setiap kali salah satu terdakwa ditangkap, persidangan akan dimulai kembali dari awal. Kuasa hukum pembela memanggil kembali para korban dan saksi yang dibawa oleh jaksa penuntut umum untuk memberikan kesaksian mereka.
“Menurut hukum, terdakwa memiliki hak untuk hadir di pengadilan ketika saksi sedang bersaksi dan pembela memiliki hak untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap mereka,” jelas Rathore.
Hal ini menempatkan para korban dalam posisi yang sangat trautmatis—mereka harus mengulang lagi trauma mereka berkali-kali.
Rathore mengenang betapa seringnya para korban, yang kini berusia 40-an dan 50-an, berteriak pada hakim. Mereka menanyakan mengapa mereka yang diseret ke pengadilan tahun demi tahun setelah pemerkosaan terjadi.
Seiring berjalannya waktu, polisi juga kesulitan dalam melacak saksi.
“Banyak yang tidak ingin dikaitkan dengan kasus itu lagi karena ingin melanjutkan hidup,” kata Rathore.
“Bahkan sekarang pun, salah satu terdakwa masih buron. Jika dia ditangkap, atau jika terdakwa lainnya mengajukan banding atas putusan di pengadilan yang lebih tinggi, para korban dan saksi akan dipanggil untuk bersaksi kembali.”
Sushma—yang merupakan satu dari tiga korban yang kesaksiannya memainkan peran kunci dalam menghukum enam terdakwa—menceritakan kejadian yang menimpanya kepada media tentang cobaannya demi mengungkapkan kebenaran.
“Saya tidak pernah mengubah cerita saya. Saya masih muda dan tidak bersalah ketika orang-orang ini melakukan itu. Mereka merampas segalanya dari saya. Tiada lagi yang bisa dirampas—saya bebas mengatakan kebenaran,” pungkasnya.
*Nama telah diubah. Undang-undang India tidak mengizinkan identitas korban perkosaan diungkapkan.