Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Penembakan Texas: Bagaimana Aksi Penembakan Membentuk Anak-anak Sekolah di AS
26 Mei 2022 18:50 WIB
·
waktu baca 5 menitPenembakan di sekolah Amerika Serikat (AS) secara tak mengenakkan terasa familiar, namun situasinya tak akan pernah kembali seperti semula begitu kehebohan media tentang insiden itu berakhir.
Dalam insiden terbaru, Salvador Ramos, remaja laki-laki berusia 18 tahun, melepaskan tembakan di sebuah sekolah dasar di Texas, menewaskan 19 anak dan dua guru.
Sekolah Dasar Robb mendidik anak-anak berusia antara tujuh dan 10 tahun.
Ramos secara membabi-buta melakukan serangan dengan bersenjata lengkap, beserta pistol, senapan otomatis dan magasin berkapasitas tinggi.
Remaja itu akhirnya ditembak mati oleh seorang petugas polisi perbatasan yang berada di sekitar lokasi pada saat insiden penembakan terjadi.
Namun, bagaimana aksi kekerasan seperti itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari para siswa di sekolah-sekolah AS - juga para guru dan orang tua?
Sekolah layaknya benteng berpenjaga
Pembantaian di sekolah dapat dipahami menuai kecaman publik dan desakan langkah-langkah untuk mengamankan sekolah.
Menyusul insiden di sekolah Robb di Texas, beberapa distrik sekolah mengatakan mereka akan meningkatkan penjagaan polisi di sekolah-sekolah pekan ini.
Hal serupa terjadi setelah insiden di sekolah menengah Columbine (1999), Universitas Virginia Tech (2007), sekolah dasar Sandy Hook (2012) dan sekolah menengah Parkland (2018).
Secara keseluruhan, insiden itu mengakibatkan terbunuhnya 88 orang tak bersalah.
"Setiap peristiwa besar telah memicu seruan untuk meningkatkan keamanan di sekolah masing-masing dan untuk mastikan individu di sekolah mereka bahwa anak-anak mereka tidak akan menjadi korban Columbine, Virginia Tech, atau Sandy Hook berikutnya," kata Cheryl Lero Jonson, seorang AS ahli penembakan di sekolah.
Menulis di jurnal Victims & Offenders , Jonson mengatakan bahwa, sebagai akibatnya, detektor logam, mesin X-ray, penjagaan dengan petugas bersenjata, dan staf yang diizinkan membawa senjata ke sekolah telah menjadi "hal yang umum".
Latihan yang 'traumatis'
Sekolah-sekolah AS juga telah terbiasa mempersiapkan diri terhadap aksi pembantaian.
Ini berarti mereka semakin banyak melakukan hal-hal seperti latihan penilaian ancaman, merancang rencana tanggap darurat, dan memiliki tim krisis dan rencana respons penembakan yang selalu dalam status siaga, kata Jonson.
Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah active shooter drill (latihan penyelamatan dari serangan senjata), yang sudah dilaksanakan di lebih dari 95% sekolah dasar AS, menurut organisasi Everytown for Gun Safety Support Fund.
Dalam beberapa kasus yang paling intens, "aksi penembakan palsu" itu melibatkan pria bertopeng yang membawa senjata mainan dan siswa yang berperan sebagai korban yang berlumuran darah palsu.
Dalam laporan tahun 2020 , Everytown mengatakan "tidak ada penelitian" untuk mendukung efektivitas latihan semacam itu.
Sementara itu, bukti menunjukkan bahwa latihan ini sebenarnya bisa berbahaya bagi kesehatan mental.
Laporan itu mengutip orang tua yang mengatakan: "Anak TK saya terjebak di kamar mandi, sendirian, selama latihan dan menghabiskan satu tahun dalam terapi untuk gangguan kecemasan ekstrem.
"Bahkan di sekolah baru, dia masih harus menggunakan kamar mandi di ruang perawat karena dia mengalami PTSD (gangguan stres pasca trauma) dari kejadian itu."
Pada tahun 2019, sebuah sekolah di Indiana dikritik karena membuat siswa trauma dan guru "memar" dan "ketakutan" setelah ditembak dengan pistol pelet.
"Banyak latihan itu sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa - profesional sekolah atau penegak hukum - untuk melihat bagaimana mereka bereaksi dalam situasi sebenarnya," David Schonfeld, dari National Centre for School Crisis and Bereavement, berkata kepada BBC saat itu.
"Anak-anak diminta berpose sebagai korban di lantai dengan berlumuran darah palsu tidak ada gunanya dan bisa menimbulkan trauma."
Dia menambahkan: "Saya prihatin bahwa latihan ini menyiratkan kepada anak-anak bahwa mereka dapat melakukan lebih dari yang mereka - atau siapa pun - sebenarnya mampu lakukan.
"Itu hanya menciptakan lebih banyak trauma bagi para penyintas penembakan."
Di luar gerbang sekolah
Penembakan di sekolah meninggalkan dampak kesehatan mental pada korban, menyebabkan kinerja pendidikan yang lebih buruk dan bahkan berdampak pada wilayah sekolah yang lebih luas, menurut beberapa penelitian.
Anak-anak yang selamat dari insiden penembakan seperti itu cenderung lebih sering absen masuk sekolah, ketimbang anak-anak di sekolah serupa yang tidak memiliki riwayat penembakan, menurut sebuah studi tahun 2021 oleh para ahli di Universitas Washington dan Universitas Pennsylvania.
Siswa-siswa itu juga cenderung putus sekolah dan mencari pekerjaan lebih awal dalam hidup mereka.
Ada juga efek untuk area yang lebih luas - misalnya, para ekonom mengatakan penembakan membawa dampak ekonomi karena banyak keluarga meninggalkan area tersebut.
Dan sebuah studi oleh Universitas Stanford menemukan bahwa penggunaan antidepresan oleh kaum muda (di bawah 20 tahun) naik 21% di komunitas di mana penembakan di sekolah pernah terjadi.
Maya Rossin-Slater, dari Stanford Institute for Economic Policy Research, mengatakan penembakan massal "terjadi begitu sering sehingga kita tidak peka terhadapnya".
"Mungkin bagi orang-orang yang selamat, mereka kembali ke kehidupan normal karena ini hanyalah kehidupan pada umumnya di Amerika. Tetapi apa yang ditunjukkan oleh penelitian kami, tampaknya tidak demikian.
"Ketika kita berpikir tentang kerugian dari penembakan di sekolah, itu sering diukur dalam hal biaya untuk individu yang meninggal atau terluka, dan keluarga mereka. Namun kenyataannya masih banyak lagi siswa yang terkena dampak penembakan di sekolah yang selamat," ujarnya.
‘Generasi penembakan massal’
Menurut penghitungan yang dilakukan oleh kelompok multi-platform khusus Education Week, ada 27 penembakan di sekolah dengan cedera atau kematian di AS, tahun ini saja.
Sedikitnya 67 orang terluka atau tewas.
Ada 119 penembakan sekolah di mana setidaknya satu orang terbunuh atau terluka sejak 2018, ketika kelompok itu mulai mengumpulkan data.
Jonson mengatakan generasi muda AS saat ini telah mendapatkan label "generasi penembakan massal ".
Tapi, kendati memiliki banyak dampak pada kehidupan orang-orang, penembakan belum mampu secara signifikan mempengaruhi opini publik tentang kontrol senjata, dengan politisi dan pendukung Partai Republik masih menyukai opsi kepemilikan senjata.
Ketua DPR dari Partai Demokrat Nancy Pelosi mengatakan pria bersenjata Texas telah "mencuri masa depan anak-anak".
Ia juga mengkritik beberapa anggota Kongres karena dianggap menawarkan "kata-kata kosong setelah penembakan sambil menentang semua upaya untuk menyelamatkan nyawa".
Senator Partai Republik Texas Ted Cruz mengatakan penembakan itu adalah "aksi kejahatan dan pembunuhan massal" tetapi bersikeras kebijakan pengendalian senjata tidak akan mencegah insiden seperti itu.