Konten Media Partner

Penerima Beasiswa Kemendikbud di Inggris Hadapi Masalah Finansial akibat Uang Beasiswa Terlambat – Buntut Peretasan Data atau Kesalahan Tata Kelola?

9 Agustus 2024 9:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Penerima Beasiswa Kemendikbud di Inggris Hadapi Masalah Finansial akibat Uang Beasiswa Terlambat – Buntut Peretasan Data atau Kesalahan Tata Kelola?

Ilustrasi mahasiswa yang sudah diwisuda.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa yang sudah diwisuda.
Sejumlah penerima beasiswa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) mengaku mengalami masalah finansial di Eropa akibat keterlambatan pencairan uang beasiswa.
Kemendikbud-Ristek mengeklaim semua ini disebabkan terhapusnya data peserta beasiswa pada peretasan Pusat Data Nasional (PDN). Namun, para penerima beasiswa menyebut keterlambatan pencairan uang beasiswa sudah sering terjadi sebelumnya.
Ariyo Dharma Pahla Irhamna sedang dilanda kebingungan.
Peneliti bidang ekonomi itu tengah menempuh tahun kedua program doktoral alias strata tiga di School of Global Development di Universitas East Anglia di Norwich, Inggris. Ariyo juga merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).
Tinggal di benua Eropa beserta istri dan kedua anaknya, Ariyo mengaku bergantung kepada dana beasiswa BPI untuk menunjang hidupnya dan keluarganya supaya dia bisa fokus terhadap studinya.
Kenyataannya?
“Sejak awal pengalaman saya di BPI memang selalu telat. Telatnya itu tidak sehari-dua hari. Bahkan berminggu-minggu. Rata-rata mungkin paling cepat itu dua minggu,” ujar Ariyo kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Rabu (07/08).
Seperti peserta BPI lainnya, Ariyo menerima dana hidup bulanan yang cair setiap tiga bulan sekali. Menurut Ariyo, sistem ini secara teori sebetulnya cukup baik sebab mahasiswa penerima beasiswa tidak perlu mengajukan setiap bulan.
Akan tetapi, Ariyo bilang keterlambatan yang terus menerus ini membuat dirinya dan keluarganya terpaksa menyesuaikan pengeluaran esensial dan menggunakan tabungan di Indonesia.
Nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Poundsterling yang melemah dalam beberapa bulan terakhir dan situasi Inggris yang belakangan tidak stabil turut mempengaruhi kondisi keuangan mereka.
“Saya sudah menukar tabungan Rupiah saya sekitar Rp60 juta akibat keterlambatan ini saja,” ujar Ariyo.
Ariyo tidak sendiri.
Sejumlah peserta beasiswa BPI mengeklaim merasakan hal yang sama.
BBC News Indonesia sudah melihat bukti keterlambatan transfer untuk tunjangan hidup (atau disebut living allowance) dari salah satu penerima beasiswa. BBC News Indonesia juga sudah melihat surat elektronik dari akun BPI yang memohon maaf atas lenyapnya data para mahasiswa yang berujung ke keterlambatan pencairan dana.
Program beasiswa BPI merupakan kerja sama antara Kemendikbud-Ristek dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.
Berbeda dengan LPDP yang ditujukan untuk studi lanjut pascasarjana, program BPI terbuka untuk semua jenjang pendidikan mulai D4, S1, S2, hingga jenjang S3 yang bisa ditempuh di luar negeri.
Penerima beasiswa BPI tidak diperkenankan mengambil pekerjaan sampingan. Keterlambatan pencairan dana hidup yang diklaim terjadi oleh para penerima beasiswa disebut mempengaruhi studi serta keluarga mereka – terlebih mereka yang membawa anak.
Bagaimana permasalahan ini bisa terjadi?

Data penerima beasiswa hilang dari server

Ilustrasi mahasiswa di Eropa.
Seorang penerima beasiswa BPI, Sofia (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di London, Inggris, mengaku awalnya berharap dana hidup bulanan untuk periode Mei-Juni-Juli bisa segera keluar mengingat dirinya sedang hamil besar.
Sofia mengeklaim telah mengajukan laporan perkembangan studi supaya dana hidupnya bisa cair pada tanggal 3 Juni. Dia mengaku berharap selambat-lambatnya dia bisa menerima tunjangan beasiswa pada akhir Juni.
Pada 20 Juni, Sofia mengatakan dirinya kaget mendengar kabar peretasan yang menyerang Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Sofia mengaku tidak bisa mengakses situs monitoring evaluasi beasiswa yang servernya ada di PDN-2 – dia juga mengaku data dasarnya seperti nomor rekening dan nama kampus hilang sehingga harus input dari awal.
“Sistemnya baru bisa kita akses lagi [sekitar] 18 Juli. Nah, pas kita sudah bisa akses ternyata belum sistemnya belum sepenuhnya pulih,” ujarnya ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Kamis (07/08).
Sofia – yang melahirkan akhir bulan lalu – mengatakan baru bisa memasukkan laporan ke sistem pada awal minggu ini. Hilangnya data penerima beasiswa, menurut Sofia, membuatnya telat mengajukan laporan perkembangan studi selama sekian bulan.
“Itu untuk biaya hidup tiga bulan. Jadi totalnya aku telat sekitar lima bulan. Sementara aku kemarin habis lahiran,” ujar Sofia.
Sofia mengeklaim, peretasan PDN membuat uang beasiswa untuk tunjangan hidup Mei-Juni-Juli tertahan yakni sebesar £5.700 (sekitar Rp 115.5 juta). Di sisi lain, ketika berita ini dibuat, Sofia mengaku belum bisa mengajukan dana hidup untuk periode Agustus-September-Oktober dengan jumlah sama karena sistem yang belum bisa diakses.

Baca juga:

“[Belum termasuk] family allowance [tunjangan keluarga] £2.850 [Rp57 juta]. Jadi totalnya £14.250 [sekitar Rp289 juta],” tutur Sofia.
Sofia dan pasangannya sekarang dikaruniai dua orang anak: anak sulung berumur lima tahun dan adiknya yang baru lahir.
Menurut Numbeo, situs web statistik biaya hidup, satu keluarga beranggotakan empat orang di London membutuhkan ongkos hidup sebesar £3.755.6 (Rp76 juta per bulan).
Angka itu belum termasuk sewa rumah bulanan.
Sofia mengaku sering telatnya pencairan hidup ini akan mempersulit penerima beasiswa yang hidup di kota seperti London yang tidak murah.
Dia mengeklaim meski mendapat living allowance (dana hidup) sebesar £1.900 (Rp38,6 juta), biaya sewa kamar flat satu tempat tidur untuk mahasiswa dengan anak dan suami bisa mencapai £1.400 (Rp28.4 juta).
“Ditambah enggak boleh kerja, jadi makin berat… apalagi harus sambil mikirin kuliah,” keluhnya.

‘Sudah sering telat’

Ilustrasi mahasiswa di London
Sofia menyebut permasalahan dana BPI ini terletak pada “mismanagement [kesalahan tata kelola], tidak adanya komunikasi yang jelas dan terbuka, tidak ada permintaan maaf, dan tidak ada jalur mitigasi”.
Awardee [penerima beasiswa] BPI semua mengalami ini, LPDP biasa yang di bawah Kementerian Keuangan enggak mengalami ini,” klaimnya
Sofia mengaku menyayangkan penanganan dari Kemendikbud-Ristek – dalam hal ini Balai Pembiayaan Pendidikan Tinggi (BPPT) selaku penanggung jawab beasiswa BPI – setelah peretasan data PDNS.
Sofia menyebut ada beberapa relawan yang menjadi penghubung antara penerima beasiswa dan Kemendikbud-Ristek yang bertanggung jawab per beberapa kota.
Orang-orang ini dijuluki ‘lurah’.
“Misalnya kalau di aku, ada ‘lurah’ London. Jadi kalau ada yang ngelapor baru dikerjain. Misalnya aku lapor ke ‘lurah’ London. Dia lapor lagi ke ‘lurah-lurah’ di UK [Inggris]. Jadi lambatlah penanganannya,” ujar Sofia.
Ariyo Irhamna di Norwich berpendapat sama. Menurut Ariyo, tidak ada sistem pengawasan yang memadai bagi para penerima beasiswa BPI untuk mengadukan permasalahan pencairan.
“Selama ini hanya ada nomor WhatsApp costumer service yang selalu sangat lama respons dan tanggapan kami tidak bisa dilacak setelah disampaikan,” paparnya.
“Yang lebih parah ada yang beberapa awardee [penerima beasiswa] yang tidak bisa mengakses fasilitas kampus akibat telat pembayaran tuition fee. Ini informasi saya terima awal tahun 2024,” sambungnya.

Baca juga:

BBC News Indonesia berhasil mengontak salah satu ‘lurah’ bernama Ilona (bukan nama sebenarnya).
Ilona mengaku tidak mendapatkan privilese apa-apa sekalipun menjadi penghubung antara para penerima beasiswa dan Kemendikbud-Ristek.
“Cuma ketiban pusing aja,” ujar Ilona kepada BBC News Indonesia seraya tergelak.
“Bagaimana, ya? BPI ini komunikasinya serba enggak jelas. Sebagian besar komunikasi itu dilakukan melalui pesan WhatsApp di grup ‘lurah’,” klaim Ilona.
Ilona menekankan alur penerima beasiswa BPI seharusnya adalah mengajukan laporan perkembangan studi setiap tanggal 1-10 pada bulan sebelum periode tiga bulan.
“Misalnya, dana hidup Januari-Maret, harus submit laporan pada tanggal 1-10 bulan Desember,” ujar Ilona.
Pada kenyataannya, sebut Ilona, dana hidup paling cepat cair pada tanggal 20-an pada bulan pertama periode– bahkan beberapa kali cair pada bulan berikutnya.
Ilona membandingkan ini dengan penerima beasiswa LPDP yang dana hidupnya bisa cair sebulan lebih awal.
“Jangan-jangan kalau menurut BPPT, ya ini normal. Enggak telat,” klaimnya.
Ariyo juga menyetujui pendapat bahwa pengelolaan di LPDP lebih baik.
“Di sisi lain, beasiswa LPDP tidak ada masalah baik sebelum kasus PDN bahkan hingga sekarang,” ujarnya.
Thomas Dedi, seorang penerima beasiswa LPDP yang tengah studi musik di Glasgow, Skotlandia, mengaku tidak pernah mengalami masalah dalam pencairan dana hidup.
“Kalau LPDP selalu on time [tepat waktu], bahkan in time [sebelum tenggat waktu],” ujar Thomas ketika dihubungi.

Bagaimana penjelasan Kemendikbud Ristek?

Ilustrasi mahasiswa di London
BBC News Indonesia mewawancarai Ketua Balai Pembiayaan Pendidikan Tinggi (BPPT) Kemendikbud Ristek, Anton Rahmadi, pada Kamis (08/08).
Menanggapi keluhan para penerima beasiswa BPI tentang pencairan dana hidup ini, Anton menyampaikan permohonan maafnya.
“[Pada] tanggal 19 Juni 2024, sistem monitoring perkembangan studi BPI terdampak akibat serangan ke Server Pusat Data Nasional (PDN) Kementerian Komunikasi dan Informatika [Kominfo), sehingga sistem kami tidak dapat diakses dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya,” ujar Anton kepada BBC News Indonesia.
Anton menyebut sistem pulih pada tanggal 8 Juli dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan internal BPPT dan mulai dapat diakses penerima beasiswa supaya mereka bisa melengkapi data yang kurang lengkap.
“Tanggal 15-25 Juli penerima beasiswa sudah dapat mengajukan laporan perkembangan studi sebagai dasar pencairan dana hidup bulanan. Kami berupaya penerima beasiswa segera menerima dana hidup bulanan secepatnya,” ujar Anton.
“Kami memulihkan sistem lebih cepat dari target yang diberikan Pemerintah sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab kepada masyarakat. Tentu saja proses pemulihan perlu melengkapi kembali data yang mismatch. Kami mengucapkan terima kasih kepada penerima beasiswa atas kerjasama dalam pemulihan data dimaksud.”

Baca juga:

Anton mengakui sistem yang digunakan BPPT sebagai server dan sistem pencairan keuangan LPDP berbeda. BPPT menempatkan servernya di PDNS sehingga terkena serangan siber. Adapun sistem pencairan keuangan di LPDP, sebut dia, tidak ikut terdampak serangan.
Anton menyebut BPI sudah mempunyai setidaknya 10.000 penerima beasiswa.
Menanggapi pertanyaan mengenai pengelolaan BPI, Anton mengatakan pihaknya “telah melakukan berbagai upaya agar dapat memberikan pelayanan maksimal”.
“Termasuk menambah pegawai, melakukan koordinasi yang rutin dengan LPDP, berkomunikasi dengan penerima beasiswa, dan melakukan standarisasi service level agreement pengelolaan beasiswa,” sebutnya.
Anton tidak menanggapi pertanyaan BBC News Indonesia mengenai klaim para penerima beasiswa BPI yang menyebut pencairan dana hidup sudah sering telat sebelum peretasan PDN.

Apakah BPI cukup efisien dalam pengelolaannya?

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, menyayangkan keluhan dari para peserta Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) yang dikelola Kemendikbud-Ristek.
Totok menyoroti BPI berbeda dengan LPDP yang menyediakan beasiswa untuk program pascasarjana. Menurut dia, jangkauan beasiswa BPI lebih luas cakupannya termasuk D4 dan S1 – sehingga lebih diperlukan untuk memperluas akses ke masyarakat.
“Perlu diperhatikan [bahwa] tujuan BPI ini sangat bagus. Bahkan guru honorer selama dia punya NUPTK [Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan] bisa mendapatkan beasiswa ini. Kalau LPDP tidak bisa,” ujar Totok kepada BBC News Indonesia pada Kamis (08/08).
Totok menduga cakupan kategori beasiswa BPI yang lebih luas ini membuat pengolahannya menjadi lebih kompleks. Selain itu, Totok mengeklaim kebanyakan penerima beasiswa berasal dari golongan menengah ke bawah.
“Kalau mereka enggak punya aset yang bisa dijual, bisa susah payah mereka menutup biayanya,” ujar Totok.

Baca juga:

Totok menyebut permasalahan keterlambatan dana hidup ini akan membuat orang-orang mempertanyakan pengelolaan dana BPI di bawah Kemendikbud-Ristek.
Totok menyarankan adanya evaluasi yang dilakukan secara obyektif untuk mengkaji pengelolaan dana beasiswa BPI yang dilakukan Kemendikbud-Ristek.
“Saya kira ini menunjukkan kepercayaan yang diberikan kepada Kemendikbud untuk mengelola BPI tidak bisa dilanjutkan kalau memang evaluasinya menunjukkan ada banyak kekurangan,” ujar Totok.
“Kalau memang bisa lebih baik pengelolaannya, ya, di bawah LPDP saja semua. Kita perkuat LPDP [sebagai] lembaga pemberi beasiswa di luar negeri yang lebih solid dan terintegrasi,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai apakah pengelolaan BPI akan lebih efisien dibawah LPDP, Kepala BPPT Anton Rahmadi menyebut BPI adalah “program Beasiswa Pemerintah Indonesia dengan target yang spesifik yakni amanat RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] khususnya peningkatan kualifikasi dosen, guru, pelaku budaya, dan mewujudkan SDM unggul berdaya saing internasional”.