Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Penipuan Sertifikat Habib Palsu: Mengapa Ada yang Rela Membayar demi Menyandang Status ‘Habib’?
5 Maret 2024 7:50 WIB
Penipuan Sertifikat Habib Palsu: Mengapa Ada yang Rela Membayar demi Menyandang Status ‘Habib’?
Polda Metro Jaya mengungkap praktik penipuan sertifikat palsu sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, di mana para korbannya membayar Rp4 juta demi mendapat gelar habib.
Antropolog dari New York University, Ismail Fajrie, mengatakan kasus semacam ini bukanlah hal baru. Sejak masa lampau, gelar habib turut diincar oleh para penguasa sebagai “legitimasi kekuasaan”.
Sedangkan pada masa sekarang, Fajrie mengatakan masyarakat masih menganggap habib sebagai gelar yang bermartabat. Titel itu dianggap penting sebagai salah satu modal untuk mencapai kekuasaan religius seperti menjadi ulama.
Polisi menangkap tersangka berinisial JMW, 24, di Kalideres, Jakarta Barat pada Rabu (28/02). Dia diduga telah mencatut nama Rabithah Alawiyah, selaku organisasi yang menaungi dan mencatat para keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia.
Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan bahwa JMW menawarkan “jalur belakang” untuk mendaftarkan nama korban sebagai keturunan nabi di Rabithah Alawiyah.
Polisi menyebut setidaknya sudah enam orang menjadi korban penipuan.
“Total keuntungan yang didapat oleh tersangka lebih kurang Rp18,5 juta dari enam korban itu,” terang Ade dikutip dari Kompas.com .
Padahal menurut Ketua Departemen Hukum dan Legal Rabithah Alawiyah Ahmad Ramzy Ba'abud, JMW bukan pengurus organisasi dan blog buatannya tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan mereka.
“Mungkin pasarnya memang ada untuk orang-orang yang ingin status sosialnya dari blogspot saja. Pelaku sendiri pun tidak terdaftar di buku kami,” kata dia.
Bagaimana kasus ini terungkap?
Kasus ini bermula ketika ada orang yang menghubungi Rabithah Alawiyah terkait masalah nasab pada Desember 2023.
“Dia mengaku sudah membayar sejumlah uang kepada seseorang, yang nantinya orang tersebut menampilkan namanya ke blogspot. Ya kami sampaikan kalau kami tidak punya blogspot tersebut, kami punya website resmi ,” kata Ramzy ketika dihubungi BBC News Indonesia pada Senin (04/03).
Pelaku membuat blog menggunakan logo Rabithah Alawiyah . Pada profil yang tercantum di blog itu, dia mengaku sebagai Maktab Daimi (lembaga pencatat nasab/keturunan) di Rabithah Alawiyah.
JMW turut mengunggah informasi berupa nasab sejumlah nama yang disebut “sudah terdata”.
“Ingat tidak ada akun Rabithah pusat selain ini, jika ada link yang mengatasnamakan Rabithah Alawiyah pusat, silakan koordinasi ke pusat,” bunyi peringatan di salah satu unggahan di blog tersebut.
Padahal menurut Ramzy, Rabithah Alawiyah tidak pernah mempublikasikan informasi mengenai nasab untuk menghindari klaim-klaim sepihak sekaligus untuk menjaga “kemurnian”.
Beberapa nama yang tercantum di blog itu pun, menurut Ramzy, “tidak familiar”.
“Pelaku ini seperti sengaja mempertontonkan untuk orang bisa lebih percaya dengan apa yang dia buat. Sekarang kan era di mana ketika ada link [tautan] di internet seolah menjadi validasi. Makanya ketika dia masukkan di Blogspot itu, orang merasa itu penting untuk memvalidasi status mereka,” kata Ramzy.
Sayangnya menurut Ramzy, korban yang telah menyetor uang ke pelaku justru enggan melapor ke polisi dan sulit dihubungi kembali. Dia tidak mengetahui secara pasti alasan di balik keengganan itu.
“Kami juga kesulitan [memverifikasi] karena mereka tidak bisa dihubungi. Kalau dia benar, seharusnya dia kooperatif dan bilang, ‘Oh ternyata saya salah ya, yang benar ke mana ya? Setelah saya dirugikan, saya minta tolong ke organisasi yang benar untuk melaporkan pelaku’. Kan begitu,” jelasnya.
“Kami berharap masyarakat yang tertipu oleh pelaku untuk melapor, bahkan kami siap mendampingi kalau ada yang menjadi korban.”
Apa itu Habib dan siapa yang berhak mendapat status itu?
Tidak semua orang bisa menyandang status sebagai habib. Secara harfiah, kata “habib” --atau dalam jamaknya “habaib”-- berarti “yang dicintai”.
Gelar ini diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Husein bin Ali. Husein merupakan cucu Nabi Muhammad sekaligus anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra.
Sebutan resmi bagi keturunan Rasulullah ini sebetulnya adalah “sayyid” dan “sayyidah”. Sementara “habib” lebih merupakan panggilan akrab atau kekerabatan terhadap keturunan Nabi Muhammad.
Dikutip dari Republika , mendiang Habib Zein Umar bin Smith –yang pernah menjadi Ketua Umum Rabithah Alawiyah—pernah mengatakan bahwa tidak semua sayyid bisa dipanggil habib. Setiap habib harus sayyid, namun setiap sayyid belum tentu habib.
Habib Zein mengatakan bahwa pengakuan atas seseorang sebagai habib harus melalui komunitas. Seorang habib harus sudah matang, memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmunya, ikhlas, berhati-hati serta bertaqwa kepada Allah, dan memiliki akhlak yang baik.
Di Indonesia, pencatatan nasab ini dilakukan oleh Rabithah Alawiyah yang telah berdiri sejak 27 Desember 1928. Salah satu misinya adalah memperkuat tali persaudaraan antara golongan sayyid dan orang Arab Hadrami lainnya.
Rabithah Alawiyah juga memiliki mekanisme resmi untuk para keturunan Nabi Muhammad yang ingin mendaftar. Mereka menyediakan formulir yang dapat diunggah melalui situs resmi mereka dan dapat diserahkan kepada Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di berbagai kota di Indonesia.
Menurut Ramzy, orang yang mendaftar “tidak bisa asal klaim”. Mereka harus menyertakan informasi dan dokumen yang diperlukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), serta menyebutkan silsilah hingga kakek kelima.
Maktab Daimi akan memverifikasi informasi itu melalui buku induk nasab, yakni catatan garis keturunan yang telah mereka kumpulkan selama ini.
Ketika garis keturunan itu dapat dikonfirmasi, barulah orang tersebut menerima buku nasab yang juga berfungsi sebagai kartu identitas mereka.
Secara terpisah, Ismail Fajrie mengatakan nasab itu begitu dijaga dan informasi terkaitnya tidak bisa diakses secara terbuka.
“Buku-buku nasab itu disimpan di tempat terkunci dan hanya satu-dua orang yang bisa mengaksesnya, karena itu memang adalah hak dari pemilik nasab saja,” kata Fajrie.
Mengapa orang rela membayar demi status Habib?
Menurut Ismail Fajrie, pandangan terhadap sosok habib yang dianggap bermartabat telah muncul sejak masa lampau.
Banyak penguasa, raja, sultan yang bukan berasal dari trah Nabi Muhammad mencoba mereka-reka nasab mereka karena itu "penting bagi legitimasi mereka sebagai penguasa".
“Tidak heran dulu pun banyak sultan-sultan di Indonesia menikahkan putri-putri mereka dengan seorang habib untuk mendapatkan nasab itu,” jelas Fajrie.
Pada masa sekarang, nasab ini pun masih dianggap begitu bermartabat karena masih dianggap sebagai salah satu modal yang diperlukan untuk menggaet kekuasaan religius seperti membuka Majelis Ta’lim, menjadi ulama.
Meski dia mengatakan nasab bukan satu-satunya faktor mengingat “banyak yang punya nasab, tapi tidak semuanya berilmu.
“Itu adalah salah satu modal penting untuk membentuk otoritas religius, jadi tidak heran banyak orang ingin mendapatkan nasab itu, karena itu merupakan salah satu dari sekian banyak modal yang berguna untuk pembentukan otoritas religius di samping keilmuan dan sebagainya,” paparnya.
Titel habib pun sebetulnya tidak memiliki hak istimewa apapun. Namun pengakuan masyarakat yang membuat titel itu masih dipandang penting.
“Bagi masyarakat tradisional masih menganggap hal itu penting, tapi bagi masyarakat perkotaan kan hal itu kurang penting. Tapi memang di beberapa tradisi dan kultur di Indonesia itu dianggap sebagai sesuatu yang patut dihormati,” ujar dia.
Baca juga:
Penghormatan masyarakat Indonesia terhadap habib, kata Fajrie, berdasar pada kecintaan pada nabi. Itu dipupuk oleh ajaran kyai-kyai dan pemuka agama untuk mencintai nabi dan keluarganya.
“Tentu juga figur-figur para habaib yang dalam sejarahnya membina dan mengayomi umat, mengajarkan ajaran agama dan membina gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan seperti rumah yatim, pesantren,” jelas Fajrie.
Dalam tataran politik praktis pun, titel habib bisa menjadi semacam penarik suara bagi politisi.
“Di beberapa tempat seperti Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Aboe Bakar Al-Habsyi, dia sudah beberapa kali menjadi anggota DPR. Itu dia gunakan titel habibnya dan dalam konteks Kalimantan Selatan, itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting,” kata Fajrie, meski dia menggarisbawahi bahwa ini tidak otomatis berlaku di semua tempat.
Namun keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas nasab itu tidak cuma dilandasi oleh ambisi kekuasaan. Ada pula yang mencari nasab untuk kepentingan pernikahan.
“Di kalangan para habaib yang lebih konservatif atau tradisional, mereka tidak mengawinkan anak mereka dengan orang yang tidak memiliki nasab yang sama. Itu dulu sangat umum, tapi sekarang mungkin tidak semarak itu,” ujar Fajrie.
Di tengah perburuan titel habib itu, Fajrie mengatakan penting bagi orang-orang yang menjadi ahli nasab atau pemegang buku nasab adalah "yang betul-betul dipercaya dan disumpah".
"Istilahnya mereka sudah siap hidup miskin dan tidak tergiur dengan tawaran-tawaran seperti itu," tutur Fajrie.