Penyekapan 19 Korban Prostitusi di Pasuruan, Aktivis: Puncak Eksploitasi Seksual

Konten Media Partner
22 November 2022 8:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyekapan 19 Korban Prostitusi di Pasuruan, Aktivis: Puncak Eksploitasi Seksual
zoom-in-whitePerbesar
Penyekapan 19 perempuan (15 dewasa dan empat anak) yang menjadi korban prostitusi di Pasuruan, Jawa Timur, menurut Komnas Perempuan, mengungkap tabir fenomena gunung es praktik perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual di Indonesia.
Praktik seperti ini, menurut Komnas Perempuan, terus berkembang pesat, apalagi perekrutannya kini menggunakan sosial media.
Penggunaan media sosial, menurut pengiat sosial dari Yayasan Embun Surabaya Joris Lato, jauh lebih berbahaya karena informasi perekrutan lebih cepat menyebar, dan korban mudah tergoda dengan permainaan kata-kata yang menggiurkan.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, medium anak yang menjadi korban eksploitasi seksual yaitu 60% menggunakan jejaring media sosial, dan 40% secara konvensional.
Baca juga:
Pekan lalu, Polda Jawa Timur menangkap lima orang tersangka di Gempol dan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur.
Mereka diduga melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 19 korban yang direkrut melalui media sosial dengan tawaran pekerjaan sebagai pemandu lagu dan iming-iming gaji puluhan juta per bulan.

Modus TPPO di Pasuruan : Tawaran gaji puluhan juta lewat media sosial

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto mengatakan, polisi telah mengamankan 19 orang perempuan di Pasuruan, Jawa Timur, yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO),
Mereka terdiri dari 15 dewasa dan empat anak-anak, yang berasal dari Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Dirmanto menjelaskan, modus operandi perekrutan - yang dilakukan dua tersangka utama yaitu DG dan RN - adalah dengan membuka lowongan pekerjaan sebagai pemandu lagu di media sosial, Facebook, dengan iming-iming imbalan gaji puluhan juta rupiah per bulan.
“Kemudian, setelah itu ada 19 korban tertarik sehingga terjadilah transaksi perdagangan orang tersebut,” kata Dirmanto dalam konferensi pers di Polda Jatim, Senin (21/11).
Dia melanjutkan, kronologi pengungkapan kasus adalah, pada Senin, 14 November 2022, sekitar Pukul 15:00 waktu setempat, polisi mendapatkan informasi dari masyarakat mengenai adanya perdagangan anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK).
“Kemudian tim mendatangi sebuah ruko di Gempol, dan mendapatkan delapan perempuan, tiga di antaranya di bawah umur. Di situ ada satu penjaga ruko. Lalu dikembangkan ke sebuah rumah di Prigen, Pasuruan, didapatkan 11 perempuan, satu di antaranya di bawah umur,” jelas Dirmanto.
Dalam operasi penegakan hukum tersebut, polisi menangkap lima orang tersangka. Mereka adalah DG dan RN sebagai tersangka utama, dan tiga orang lain sebagai penjaga ruko, dan kasir, yaitu CE, AG dan AD.  
Para tersangka dijerat dengan pasal tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana pencucian uang dengan ancaman paling lama 15 tahun yang dapat ditambah sepertiga karena korbannya adalah anak.
Sementara itu, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda Jawa Timur AKBP Hendra Eko Yulianto menambahkan, para tersangka telah beroperasi kurang lebih satu tahun.
“Jadi apabila yang berkunjung ke warkop [ruko] ada yang booking si korban, diajak ke wisma di atas. Dan untuk keuntungannya, satu orang tarifnya Rp500-800 ribu. Pelaku mendapatkan kurang lebih Rp300-400 ribu,” katanya.
Hendra mengatakan, empat korban yang di bawah umur masih berstatus pelajar dan kini telah dititipkan ke Dinas Sosial Provinsi Jatim. Para korban juga, katanya, mengaku bahwa setiap hari tidak boleh keluar rumah dan alat komunikasinya disita.
“HP diamankan, kalau keluar dikawal, ada yang jaga. Dan untuk penganiayaan sementara, ada, katanya.  

‘Fenomena gunung es’

Foto Ilustrasi. Kawasan lokalisasi di Surabaya yang dikenal sebagai Dolly.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani mengatakan, penyekapan 19 perempuan di Pasuruan merupakan fenomena gunung es dari praktik perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual.
“Ini menjadi fenomena gunung es karena sindikat menyasar kelompok perempuan dan anak yang merupakan kelompok rentan. Dengan segala tipu daya dan strategi, mereka merekrut dan menjebak korban,” kata Tiasri.
Tiasri memprediksi, hingga kini masih banyak perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO eksploitasi seksual yang belum terungkap. Hal ini disebabkan sindikat TPPO bekerja secara terorganisir dan memahami celah untuk manipulasi kelompok rentan tersebut.
Dia menambahkan, modus yang biasanya digunakan para pelaku, di antaranya adalah membangun relasi secara personal untuk mempengaruhi korban. Kemudian, pelaku juga menjanjikan pekerjaan yang mudah dan memiliki gaji yang tinggi.  
“Kami mendorong ketika ada kasus TPPO, aparat penega hukum tidak hanya berfokus pada penegakan hukum bagi pelaku, tapi juga memberikan ruang pemulihan bagi korban agar tidak mengalami trauma berkepanjangan dan tidak terjebak kembali,” katanya.
Foto ilustrasi: Seorang PSK (pekerja seks komersial) di lokalisasi Jarak, Surabaya, 9 Mei 2014.
Senada, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengatakan, modus TPPO eksploitasi seksual juga mengalami perkembangan yang pesat, dari dulu perekrutan langsung, hingga kini menggunakan sosial media.
“Modus terus berkembang dan bertambah. Dari tawaran gaji tinggi dengan pekerjaan di pabrik atau yang menarik, menggunakan prosedur tidak resmi, lalu ditempatkan ke tempat pijat, bar, dan tempat prostitusi lain,” ujarnya.
“Bahkan ada modus yang melalui sarana pendidikan seperti disekolahkan, dan event-event besar. Mereka kini merekut dengan sarana media sosial yang akhirnya menimbulkan lebih banyak korban,” kata Mike.
Untuk itu, Tiasri dan Mike meminta masyarakat untuk selalu waspada terhadap tawaran-tawaran yang mengiurkan dengan menggunakan cara-cara perekrutan yang tidak resmi baik secara langsung maupun melalui sosial medias.
“Lalu, untuk meminimalisir atau menghilangkan TPPO yang sindikatnya semakin massif dan pesat, dari sisi regulasi dan penegakan hukum, maka perlu evaluasi holistik dari kerangka pencegahan, kerja sama antar pihak, penegakan hukum hingga sosialisasi,” kata Mike.

Media sosial lebih berbahaya

Foto Ilustrasi. Seseorang menggunakan telepon genggam untuk membuka aplikasi sosial media.
Pegiat sosial yang   menjadi pendamping PSK saat lokalisasi di Gang Dolly dan Jarak, Surabaya ditutup 2014 silam, Joris Lato mengatakan, fenomena TPPO eksploitasi seksual saat ini telah berkembang pesat melalui media sosial.
“Sekarang melalui sosial media jauh lebih berbahaya karena begitu cepat info menyebar, orang mudah tergoda dan ditipu dengan permainan kata-kata di media ini. Apalagi dengan diiming-imingi kerja di sini dengan gaji besar, dan pengaruh Covid masih kuat memukul ekonomi masyarakat sehingga banyak yang terpengaruh,” katanya.
Selain itu, Joris juga mengatakan, TPPO prostitusi seperti balon. Joris mencontohkan kawasan Tretes, Pringen, Kabupaten Pasuruan yang menyimpan bisnis prostitusi yang terselubung.
“Penutupan lokalisasi itu seperti teori balon. Ketika kita tutup di sini, maka akan muncul di sana dan banyak tempat. Hal itu karena masih ada permintaan sehingga industri seks tetap berjalan. Bukan hanya di Tretes, tapi di mana-mana. Industri ini, yang memicu TPPO, seakan-akan tidak ada tapi memang ada,” kata Joris Lato.
Anda mungkin tertarik:
Selain itu, Joris menegaskan, jumlah korban TPPO prostitusi jauh lebih besar daripada yang terungkap ke publik dan melalui proses hukum.
“Kalau dulu fokus pada satu lokasi, kalau sekarang, saya misalnya, dengan lima orang cukup memperdagangkan orang sekian. Ini sekarang terpecah-pecah, jadi pengungkapan 19 orang ini adalah fenomena gunung es. Di luar sana masih banyak sebetulnya korban,” katanya kepada wartawan di Surabaya, Jawa Timur, Roni Fauzan yang melaporkan pada BBC News Indonesia.
Foto ilustrasi: Menutup wajahnya, seorang PSK di kawasan 'lampu merah' Dolly, Surabaya, 19 Juni 2014.
Untuk itu, menurutnya, salah satu upaya untuk mengurangi TPPO eksploitasi seksual adalah dengan cara menaikan posisi tawar perempuan, melalui jalur pendidikan dan keterampilan.
“Tidak ada satupun perempuan yang ikhlas memberikan tubuhnya kepada laki-laki yang tidak dicintai. Artinya mereka itu berada dalam ruang eksploitasi karena kompleksitas persoalan hidup. Akar ini yang harus diatasi,” katanya.
Menurut data sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari Januari hingga Juni 2020, terdapat 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 50 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, dari 234 anak yang menjadi korban TPPO dan eksploitasi dari Januari hingga April 2021, sekitar 83% adalah korban kasus prostitusi.
Dari jumlah itu, medium anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, 60% menggunakan jejaring media sosial, dan 40% secara konvensional (didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik). Dalam aksinya pelaku mucikari atau germo, memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga.
Tahun 2022, KPAI menerima pengaduaan kasus TPPO sebanyak 45 laporan. Salah satunya adalah kasus yang menimpa remaja perempuan NAT, 15 tahun, yang disekap di tiga apartemen berbeda di wilayah Tangerang, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Korban dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) sepanjang satu setengah tahun.