Konten Media Partner

Petinggi BUMN Tak Berstatus Penyelenggara Negara - Bagaimana Menindak Bos BUMN yang Korupsi?

13 Mei 2025 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Petinggi BUMN Tak Berstatus Penyelenggara Negara - Bagaimana Menindak Bos BUMN yang Korupsi?

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 BUMN dinilai bakal menambah halangan bagi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak petinggi BUMN yang terlibat korupsi.
Padahal, menurut Gita Atikah dari Transparency International Indonesia, KPK sudah terkungkung dalam aturan yang "hanya dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau menyangkut kerugian negara minimal satu miliar rupiah."
Aturan baru soal petinggi BUMN tak berstatus penyelenggara negara mencuat di tengah terungkapnya kasus-kasus korupsi di lingkungan BUMN yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliunan rupiah.
Kejaksaan Agung, pada Februari 2025 lalu tengah menyelidiki dugaan korupsi pada tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT PERTAMINA, sub-holding dan kontraktor kontrak kerja sama pada periode 2018-2023.
Kejaksaan Agung menciduk petinggi sejumlah anak perusahaan Pertamina, dalam kasus terkait dugaan pengoplosan bahan pakar Pertamax dengan Pertalite tersebut, seperti diberitakan Detik.com.
Kerugian negara sementara menurut perkiraan Kejaksaan Agung, untuk di tahun 2023 saja, sekitar Rp193 triliun.
Presiden Prabowo Subianto pun sempat mengomentari kasus tersebut. "Lagi diurus itu semua, ya. Lagi diurus semua. Kami akan bersihkan, kami akan tegakkan. Kami akan membela kepentingan rakyat," kata Prabowo, Rabu (26/02).
Sementara, Senin (05/05), Pengadilan Negeri Pangkalpinang juga baru saja memvonis penjara anggota direksi PT Timah, yang terlibat dalam korupsi Izin Usaha Pertambangan. Kerugian negara yang disebabkan kasus ini mencapai Rp300 triliun.
Lalu, apakah ada celah bagi penegak hukum menindak petinggi BUMN yang terlibat kasus korupsi?

'Petinggi BUMN bukan lagi penyelenggara negara'

Isu ini mencuat setelah terbitnya UU BUMN terbaru yang merupakan perubahan ketiga dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
UU ini disahkan pada Rapat Paripurna DPR, 4 Februari 2025. Beleid ini melandasi pendirian Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara, yang bertugas mengelola BUMN, dan juga aset-asetnya demi menarik investasi.
Pasal 9G beleid itu berbunyi "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."
Pengamat BUMN, Toto Pranoto, menilai munculnya ketentuan baru ini lantaran petinggi BUMN selama ini merasa dibatasi regulasi yang ketat dalam pengambilan keputusan. Toto mengungkap kerap kali para petinggi BUMN merasa waspada akan permasalahan hukum dari keputusan yang dibuat.
"Yang diharapkan pengelola BUMN itu bisa menjadi lebih lincah dalam melakukan berbagai macam manuver, corporate action, dan lain-lain," kata Toto.

Apa dampak perubahan status hukum petinggi BUMN?

Pakar hukum pidana UI, Eva Achjani, menjelaskan hilangnya status hukum penyelenggara negara untuk petinggi BUMN pada beleid terbaru ini mengubah ketentuan yang selama ini berlaku.
Eva menjabarkan sebelum UU BUMN ini ada, ketentuan soal petinggi BUMN termasuk dalam penyelenggara negara diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ketentuan ini diatur dalam Bab II pasal 2 beleid tersebut.
Eva menyebut dampaknya undang-undang ini memberi kekhususan bagi petinggi BUMN. Hal ini berimplikasi pada mekanisme penanganan kasus pidana di lingkungan perusahaan pelat merah.
"Memang tidak melalui mekanisme tipikor, karena ketentuan undang-undang tadi kan mau tidak mau itu kan sudah diputus oleh anggota dewan kita," kata Eva.

Mengapa ketentuan baru soal status hukum petinggi BUMN dinilai bermasalah?

Gita Atikah dari Transparency International Indonesia menilai lepasnya status penyelenggara negara bagi para bos BUMN ini berdampak pada "mengaburkan posisi pejabat BUMN dari status sebagai pejabat publik".
Hal ini menurutnya melemahkan pengawasan lembaga penegak hukum, seperti KPK yang selama ini bertugas menindak korupsi, termasuk dalam kasus-kasus yang melibatkan petinggi BUMN.
Padahal, KPK, menurut Gita sudah dibatasi kewenangannya dalam UU KPK Tahun 2019.
"Pasal 11 ayat (1) UU KPK No. 19 Tahun 2019 hanya dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau menyangkut kerugian negara minimal satu miliar rupiah," ujar Gita.
"Ruang lingkup intervensi KPK menjadi terbatas, kecuali dalam kasus-kasus kerugian besar," tambahnya Gita.

Bagaimana petinggi BUMN yang diduga terlibat kasus korupsi bisa dijerat hukum pidana?

Meski direksi dan komisaris BUMN tak lagi menyandang status penyelenggara negara, namun celah masih terbuka bagi penegak hukum untuk menindak mereka yang diduga melakukan pelanggaran tindak pidana.
Pakar hukum pidana UI Eva Achjani mencontohkan bahwa salah satu landasan hukum yang bisa dipakai para penegak hukum adalah perihal tindak pidana penggelapan dalam jabatan, yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana lama. Pada KUHP lama, hal ini diatur pada pasal 374.
Penggelapan dalam jabatan merujuk pada kondisi di saat seseorang yang karena jabatannya memiliki akses terhadap uang atau barang milik pihak lain dan melakukan penyalahgunaan atas barang atau uang tersebut untuk kepentingan pribadi.
Dalam UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023, yang baru akan berlaku pada 2026, hal ini diatur pada pasal 488, yang termasuk dalam bab pelanggaran tindak pidana penggelapan.
Karena perkara ada di ranah pidana umum, menurut Eva penegak hukum lain, seperti KPK, tetap bisa melakukan pengawasan bekerja sama dengan institusi penegak hukum lain yang memiliki kewenangan di ranah tersebut.
"Mungkin koordinasi ya antara KPK dengan Mabes Polri, untuk kemudian bahwa dengan perubahan ini, mau tidak mau strategi untuk penindakannya lebih mengarah kepada fungsi kepolisian," kata Eva.

Apa kata pemerintah dan penegak hukum soal ketentuan baru ini?

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengeklaim ketentuan baru ini tak membuat para bos BUMN menjadi kebal hukum.
"Kalau yang namanya korupsi ya siapapun yang terlibat ya pasti dilakukan [tindakan hukum], apalagi kalau dilakukan atas itikad buruk," kata Andi kepada media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (05/05).
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir juga sempat berkunjung ke KPK akhir April 2025 lalu, guna membahas penegakan hukum setelah terbitnya beleid BUMN baru.
"Bersinkronisasi dan sehingga nanti ada kesepakatan yang efektif sesuai dengan perubahan yang adanya kita lihat sekarang ini UU BUMN sekarang ini dan tentu Kementerian BUMN sendiri ada perubahan daripada yang penugasannya, pola kerjanya," ujar Erick di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (29/04), seperti dikutip dari Detik.com.
Salah satu pimpinan KPK, Johanis Tanak, sempat menyatakan pandangan pribadinya. DIa mengatakan bahwa direksi BUMN tetap dapat ditindak melalui mekanisme hukum tindak pidana korupsi, tergantung konteks perbuatannya.
"Masyarakat non-pegawai penyelenggara negara pun dapat diproses menurut ketentuan UU tipikor sepanjang perbuatannya memenuhi unsur perbuatan Tipikor," kata Johanis, di gedung KPK, Selasa (06/05).
Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan masih mengkaji aturan baru ini.
Meski begitu, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar menilai penindakan tindak pidana korupsi dilakukan selama ada unsur penipuan dalam kebijakan yang diambil aktor dalam BUMN.
"Menurut kita sepanjang disana ada fraud misalnya, sepanjang ada fraud, katakan ada persekongkolan, permufakatan jahat, tipu muslihat yang dimana katakan korporasi atau BUMN itu mendapat aliran dana dari negara, saya kira itu masih memenuhi terhadap unsur-unsur daripada tindak pidana korupsi," jelas Harli, Senin (05/05).

Sederet kasus korupsi yang melibatkan bos BUMN

PT Timah
Pengadilan Negeri Pangkal Pinang menjatuhi hukuman penjara selama 10 tahun kepada bekas Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Alwin Albar, Senin (05/05).
Vonis ini dijatuhkan pengadilan yang menilai Alwin terlibat dalam korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun anggaran 2015-2022. Tindakan Alwin dinilai menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp300 triliun.
Kasus ini juga melibatkan petinggi PT Timah lainnya, seperti eks dirut Mochtar Riza Pahlevi, yang divonis penjara oleh pengadilan.
Jiwasraya
Sejumlah petinggi Jiwasraya diadili dalam kasus suap pada 2020 lalu. Jaksa menyebut para bos perusahaan itu menerima suap dari PT Hanson International. Suap ini terkait kerjasama investasi yang tak akuntabel.
Jaksa kala itu menilai akibat persengkongkolan ini menyebabkan negara merugi Rp16 triliun.
Asabri
Para bos perusahaan asuransi Asabri, divonis penjara oleh pengadilan 2022 lalu. Kasus ini terkait korupsi pengelolaan keuangan dan investasi.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan akibat tindak pidana korupsi tersebut, negara mengalami kerugian Rp22,78 triliun.
Pertamina
Bekas direktur utama Pertamina, Karen Agustiawan terjerat kasus korupsi pengadaan gas alam cair, atau liquefied natural gas (LNG). KPK menilai kebijakan Karen agar Pertamina membeli LNG dari perusahaan Amerika Serikat Corpus Christi Liquefaction pada periode 2011-2021, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp2,1 triliun.
Perkara ini awalnya digarap Kejaksaan Agung, namun di kemudian hari diambil alih KPK.
Pada 2024 lalu, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi memvonis hukuman penjara sama sembilan tahun. Kemudian, kasus ini naik sampai Mahkamah Agung. Pada Februari 2025 lalu, MA memperberat hukuman dengan memperpanjang masa penjara Karen menjadi 13 tahun.