Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten Media Partner
Pola Kekerasan Aparat terhadap Demonstran yang Menolak UU TNI Menuai Kecaman
28 Maret 2025 18:45 WIB
Pola Kekerasan Aparat terhadap Demonstran yang Menolak UU TNI Menuai Kecaman
Tindakan kekerasan yang berlebihan oleh polisi dalam menangani demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) TNI di sejumlah kota dikritik sejumlah kalangan. Sejumlah peserta demo dan relawan medis dilaporkan terluka akibat aksi aparat.
Di Jakarta, Jumat (28/03) sore, sekelompok perempuan yang menyebut diri mereka sebagai 'Suara Ibu Indonesia' (SIP) menolak tindakan kekerasan polisi terhadap mahasiswa dan warga dalam aksi menolak UU TNI.
Para perempuan yang terdiri dari dari beragam latar belakang, mulai dari akademisi, penulis, sampai buruh ini, menggelar unjuk rasa damai di depan Gedung Sarinah, Jakarta Pusat.
Mereka mengenakan baju berwarna putih dan mengangkat poster seraya berorasi secara bergantian.
"Stop kekerasan terhadap mahasiswa! Batalkan revisi Undang-Undang (UU) TNI," demikian cetus SIP dalam tuntutannya.
Mereka tidak hanya pakai seragam, mereka yang atas nama ormas pun digunakan untuk mengadang aksi mahasiswa," kata Ririn Sefsani, salah seorang dari gerakan tersebut, dalam orasinya.
"Mereka [aparat] sangat pongah. Mereka dapat gaji dari kami-kami yang bayar pajak, dari kalian yang bayar pajak. Mereka dipercaya pegang senjata, janganlah melakukan tindakan represif terhadap anak bangsa," tambahnya.
Dalam bagian lain orasinya, Ririn mengatakan kelompoknya menolak Undang-Undang (UU) TNI.
Mereka kemudian menuntut agar revisi UU TNI dibatalkan, seperti dilaporkan wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Mereka tidak hanya sebagai pertahanan keamanan, tapi merebut ruang yang harusnya diisi sipil," ujarnya.
Kasus kekerasan aparat di Kota Malang
Sikap serupa juga disuarakan sejumlah kelompok sipil lainnya. Mereka menyikapi aksi-aksi aparat dalam sepekan ini terhadap unjuk rasa anti-UU TNI.
Daniel Alexander Siagian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang mencontohkan apa yang disebutnya brutalitas saat merespons unjuk rasa di Kota Malang.
"Polanya [kekerasan aparat terhadap demo mahasiswa] masih sama, menggunakan pendekatan yang sifatnya eksesif. Kemudian melakukan intimidasi kepada massa aksi," kata Daniel Alexander kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (26/03).
Dalam demonstrasi anti-UU TNI di Malang, Jawa Timur, Minggu (23/3), sejumlah peserta aksi cedera akibat kekerasan aparat.
Tidak hanya peserta aksi, tetapi juga petugas medis serta jurnalis yang meliput, ungkap Daniel.
Dari temuan LBH Pos Malang, tindakan kekerasan itu juga dilakukan anggota TNI.
Daniel menyebut mereka melakukan "intimidasi, pelecehan seksual verbal" dan "ancaman pembunuhan" terhadap petugas medis di lapangan.
Dalam unjuk rasa menolak UU TNI di Kota Malang, setidaknya ada satu orang mengalami luka berat, ungkap LBH Pos Malang.
Mahasiswa itu dilaporkan mengalami tulang rahang patah dan gigi rontok.
Sementara tiga orang yang sempat disebut 'hilang kontak', sudah kembali bisa dihubungi dan dalam kondisi baik.
Temuan LBH Pos Malang juga menyebutkan setidaknya enam orang yang sempat ditangkap oleh polisi sudah dibebaskan.
Sementara, pada 25 Maret 2025, LBH Surabaya menyatakan 25 orang yang ditangkap sudah dibebaskan.
Unjuk rasa di kota-kota lainnya juga dilaporkan diwarnai tindak kekerasan oleh aparat.
Misalnya saja di Lumajang, Semarang dan Kupang (NTT).
Bagaimana pola kekerasan aparat?
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyorot perilaku dan metode penanganan aparat dalam menghadapi demonstran penolakan UU TNI.
Berikut temuan YLBHI terkait pola kekerasan aparat:
"Tidak pakai seragam dan mengenakan pakaian sipil, bebas. Dan mereka yang nangkepin dan mukulin anak-anak ini," kata Isnur.
Isnur mengatakan hal ini melanggar prosedur pengamanan aksi.
"Mereka melanggar SOP [Standar Operasional Prosedur]. SOP itu mereka pakai seragam," kata Isnur.
Masih terkait soal petugas medis, Isnur menyorot perihal kehadiran ambulans di Karawang yang sedianya digunakan untuk penanganan peserta aksi yang terluka, namun justru diarahkan untuk pergi ke Polres.
Temuan ini dibantah oleh kepolisian di Karawang.
"Kami justru mencari ambulans untuk memberikan pertolongan pertama, bukan untuk menangkap peserta aksi," kata Kapolres Karawang AKBP Edward Zulkarnain, seperti diberitakan Kompas.com.
Sementara Humas Polres Karawang, Ipda Solikhin mengatakan "jangan membuat pemberitaan yang tidak benar."
Selain itu, Isnur juga menyebut pengerahan personel Brimob saat terlibat mengamankan aksi di Jakarta.
Menurutnya, Brimob "tidak boleh ada dalam penjagaan demonstrasi".
Ia menyebut keterlibatan Brimob dimungkinkan saat sudah terjadi kekacauan.
"Ini enggak [mulai rusuh]. Brimob sejak awal terlibat bahkan dia melakukan tindakan represif ya, [peserta aksi] dikejar-kejar pakai motor," kata Isnur.
Upaya pendampingan hukum juga sempat dialami oleh lembaga bantuan hukum, kata Isnur.
"Lawyer itu di beberapa wilayah dihalangi untuk masuk ketemu [korban]. Ada penghalang-halangan untuk masuk ketemu dengan klien," kata Isnur.
Ia menyebut para pengacara baru bisa memberikan pendampingan hukum setelah mereka mendesak aparat.
Kesaksian pendemo di Kota Malang: 'Kepala saya dijahit tiga jahitan'
Rasa sakit di kepala Azuri (24), mahasiswa di Malang, Jawa Timur, masih terasa beberapa hari setelah kepalanya dikepruk polisi.
Azuri mengaku dipukul polisi saat unjuk rasa menolak UU TNI di depan gedung DPRD Malang, Minggu (23/03).
"Kemarin [kepala] dijahit sekitar tiga jahitan," kata mahasiswa sebuah kampus swasta ini kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dia mengaku dipukul saat mencoba melarikan diri setelah aksi protes memanas sekitar pukul 19.00 WIB.
Turaichan mencoba melarikan diri dari tempat aksi, menuju satu hotel tak jauh dari Gedung DPRD.
Di parkiran hotel, dia mengeklaim dikepung sejumlah orang berpakaian preman.
Dia mengeklaim dipukul di bagian di bagian kepala.
"Ada yang [pukul] pakai tangan, ada yang pakai tongkat pentungan," katanya.
Karena ingin melindungi diri, Azuri pun mencoba menelungkupkan diri dan melindungi kepalanya.
Meski sudah menelungkupkan diri, dia mengaku tetap dipukuli.
Tas ransel yang dikenakannya melindungi punggungnya.
Meski begitu, "Barang saya yang hancur yang ada di dalam tas termasuk laptop."
Selain luka pada kepala, dia mengaku kakinya juga terluka.
Azuri pun dibawa ke pos Satpol PP dalam kondisi tangan diborgol. Di sanalah dia mengaku mendapat 'tekanan'.
"Beberapa kali dilakukan intimidatif atau diinterogasi sama beberapa aparat di situ untuk melakukan, menanyakan identitas dan segala macam," kata Azuri.
Dia mengaku SIM dan KTP miliknya disita petugas.
Petugas medis sempat merekomendasikan agar Azuri dibawa ke rumah sakit. Namun, rekomendasi tersebut ditolak.
"Dari pihak kepala kepolisian itu ngomong 'Ini enggak usah dibawa ke rumah sakit ini langsung dibawa ke Polres saja'," kata Azuri, menirukan ucapan seorang anggota polisi.
Saat itu darah terus mengucur dari kepalanya walau sudah diperban.
Dia kemudian digelandang ke Polres Malang dengan kondisi masih terborgol menggunakan ambulans.
Dia kemudian dibawa ke ruang penyidik. Di situ ia menjalani pemeriksaan.
Azuri mengatakan dia dituduh melakukan tindakan kekerasan, seperti mencoba melempar molotov. Tuduhan ini dibantahnya.
Saat proses pemeriksaan itulah dia mengaku kembali dipukul di bagian kepala.
Sekitar pukul 23.30 WIB, tim pendamping LBH Pos Malang datang menemuinya di Polres.
LBH Pos Malang meminta agar dirinya diobati terlebih dahulu sebelum menjalani proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Tim dokter kemudian tiba dan luka di kepala Azuri diobati.
Azuri baru bisa keluar dari kantor Polres sekitar pukul 02.30 dini hari setelah menjalani proses BAP.
Dia kemudian dilarikan ke rumah sakit. Azuri mendapat tiga jahitan di kepalanya.
Azuri, yang tinggal menunggu wisuda, mengaku tindak kekerasan yang dialaminya tidak mengurangi sikapnya untuk tetap bersikap kritis.
"Kalau sudah benar-benar pulih mungkin ya bisa kembali [unjuk rasa]," tandasnya.
Apa tanggapan polisi dan TNI atas tuduhan melakukan kekerasan?
Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menyatakan meminta maaf apabila ada anggota TNI yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa.
"Kalau memang ada prajurit TNI yang bertindak di luar ketentuan yang seharusnya, atau misalnya melakukan kekerasan, yang pertama, kami mohon maaf atas perlakuan prajurit tersebut," kata Kristomei.
Dia mengatakan pihaknya mempersilakan para pihak yang memiliki bukti untuk melaporkan pelaku kekerasan ke polisi militer sehingga TNI "bisa memproses hukum yang bersangkutan".
BBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi pihak kepolisian untuk meminta tanggapan, namun sampai berita ini diturunkan pada Jumat (28/03) malam, belum ada tanggapan.
Dihubungi melalui telepon dan pesan singkat, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Polisi Sandi Nugroho, dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, tidak memberikan tanggapan.