Konten Media Partner

Polemik 'Gubernur Konten' Dedi Mulyadi – Wacana Kebijakan yang Bikin Gaduh atau 'Investasi Politik'?

3 Mei 2025 8:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Polemik 'Gubernur Konten' Dedi Mulyadi – Wacana Kebijakan yang Bikin Gaduh atau 'Investasi Politik'?

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dianggap kerap melontarkan wacana yang belum matang dan berakhir gaduh oleh peneliti media sosial. Sementara pengamat komunikasi menilai apa yang dilakukan Dedi Mulyadi sebagai "investasi politik".
Dedi Mulyadi dijuluki "gubernur konten" atas sejumlah kontroversinya, termasuk soal pengiriman "anak-anak nakal" ke barak militer dan kewajiban vasektomi bagi pria berkeluarga yang ingin mendapat bantuan sosial, yang memicu perdebatan di media sosial.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menyebut seringnya Dedi Mulyadi tampil di publik dan media sosial sebagai "investasi politik" demi membangun langkah-langkah politiknya ke depan.
Sementara pengamat kebijakan publik, Diding Bajuri, menganggap Dedi Mulyadi yang kerap muncul di media sosial membentuk citra kepemimpinan "one-man show".
Tapi Dedi Mulyadi berdalih upayanya hadir di media sosial bisa "menurunkan belanja rutin iklan" pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Adapun peneliti media sosial dan demokrasi dari Monash University Indonesia, Ika Idris, menyebut apa yang dilakukan Dedi dengan tampil di media sosial adalah "wajar", namun menurutnya wacana yang diutarakan gubernur tersebut kerap kali belum matang dan justru membuat gaduh.
"Jangan sampai kebijakan [yang] masih dalam tahapan ide, sudah disampaikan ke publik dengan pola komunikasi yang sangat telanjang," kata Ika.

Apa saja wacana kebijakan Dedi Mulyadi yang kontroversial?

Sejak pelantikannya pada 20 Februari lalu, Dedi kerap melontarkan wacana kabijakan yang memicu pro dan kontra.
Berikut sejumlah kebijakan kontroversial Dedi selama Maret hingga April 2025:
Menangis di Puncak
Dua pekan setelah resmi menjabat gubernur, Dedi terekam kamera menangis saat melakukan inspeksi mendadak ke tempat wisata di area Taman Nasional Gede Pangrango, Bogor, Jawa Tengah.
Dia disebut menangis saat menyaksikan kerusakan akibat alih fungsi lahan di Kawasan Puncak, Bogor.
Warganet merespons peristiwa itu dengan mengatakan tangisan Dedi hanya sekadar konten, namun di sisi lain menunjukkan transparansinya.
Pemberantasan premanisme
Pertengahan Maret, Dedi membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Preman, yang diklaim untuk "mengatasi gangguan yang membuat iklim investasi tidak sehat".
Ini kemudian dikritik oleh Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB) Jawa Barat, yang bilang satgas ini menyudutkan ormas.
Meski Dedi sudah minta maaf, polemik masih bergulir hingga April, saat Ketua GRIB, Rosario de Marshal alias Hercules, mengancam akan menggeruduk kantor gubernur jika Dedi masih bersikap memusuhi ormas.
Mengirimkan "anak-anak nakal" ke barak militer
Akhir April 2025, Dedi mengatakan akan mengirim "anak-anak nakal" ke barak militer untuk belajar disiplin. Rencana ini juga diperuntukkan bagi anak-anak yang kecanduan main gim online.
Namun, kebijakan ini dikritisi berbagai pihak, termasuk Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat, yang mempertanyakan pendekatan militerisme yang ditempuh Dedi.

Baca juga:

Wajib vasektomi bagi laki-laki berkeluarga untuk dapat bansos
Dedi mewacanakan kewajiban vasektomi bagi laki-laki berkeluarga dari kelompok miskin, yang berniat mendapat bantuan sosial dan akan memberikan insentif Rp500.000 bagi pria bersedia menjalani vasektomi.
Dedi menjelaskan prosedur ini dibutuhkan guna mengurangi laju kelahiran dari warga penduduk miskin.
"Saya harapkan suaminya atau ayahnya yang ber-KB [keluarga berencana], sebagai bentuk tanda tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan gitu loh," ujar Dedi.
Wacana ini memicu polemik, dengan sejumlah pihak mengatakan kebijakan ini "diskriminatif".

Apa reaksi Dedi Mulyadi dijuluki 'Gubernur Konten'?

Pada akhir April silam, Dedi Mulyadi disebut sebagai "gubernur konten" oleh Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud.
Dalam rapat kerja Bersama Komisi II antara DPR dan Kementerian Dalam Negeri serta kepala daerah sejumlah provinsi, Rudy secara khusus memberi salam kepada Dedi Mulyadi—yang turut hadir dalam rapat kerja tersebut.
"Terima kasih banyak Bu Wamen [Dalam Negeri] dan seluruh gubernur yang hadir hari ini. Kang Dedi, gubernur konten. Mantap nih Kang Dedi," ujar Rudy seperti dikutip dari Tempo.co.
Pada bagian penutup rapat, Dedi menimpali julukan "gubernur konten" yang diberikan Rudy.
"Alhamdulillah dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan. Biasanya iklan di Pemprov Jabar [dari] kerja sama dengan media Rp50 miliar. Sekarang cukup Rp3miliar tapi viral terus," ujar Dedi, masih dikutip dari Tempo.co.

Bagaimana respons warga Jabar terkait polemik Dedi Mulyadi?

Andi Daffa, warga Cimahi di Jawa Barat, mengaku konten-konten Dedi kerap bermunculan di media sosialnya, kendati dia tidak mengikuti gubernurnya tersebut.
Diakui Andi, kebijakan Dedi selalu memantik perbincangan, termasuk soal kerja sama dengan TNI Angkatan Darat terkait pelatihan bela negara, pencegahan kejahatan dan perbaikan rumah tak layak huni.
"Itu salah satu kebijakannya yang harus dikritisi," katanya.
Diakui Daffa, Dedi sangat responsif menanggapi isu-isu yang terjadi di wilayahnya. Namun, hal itu menunjukkan kesan Dedi "mengurusi hal-hal teknis" yang seharusnya bisa diurus oleh pejabat dinas.
"Harusnya bisa lebih memikirkan hal-hal yang lebih luas lagi."
Dini Dwi Astuti, warga Jawa Barat lainnya, punya pendapat berbeda.
Warga Kota Bandung ini meyakini aktivitas Dedi di media sosial sebagai upaya untuk memuluskan langkahnya sebagai presiden.
"Segala sesuatu itu harus dibangun karena sekarang zamannya seperti ini, membangun image saat ini melalui konten lebih efektif. Semua orang berhak menurut saya. Itu hak dia."
Ia menilai, ide-ide Dedi orisinal, meski kontroversial. Tapi menurutnya, di balik itu ada niat baik membangun Jawa Barat.
Dini mengaku menyambut baik kebijakan pelarangan wisuda dan study tour, pembatasan pemakaian telepon genggam, dan pendidikan ala militer bagi anak-anak yang dicap nakal.
"Ide yang keren banget. Itu sih yang paling saya suka dari beberapa ide yang lain karena anak-anak kita benar-benar harus dilindungi" ucap Dini antusias.
Kendati begitu, warga Jawa Barat lainnya, Novi Mulyani, menganggap kebijakan tersebut menghalangi siswa untuk punya kenangan dengan teman dan guru sekolah.
Di lain hal, Novi menyatakan kurang setuju dengan cara Dedi mengontenkan segala kegiatan sebagai gubernur di media sosial.
Menurutnya, Dedi cukup menunjukkan kerja nyatanya sebagai gubernur dan warga akan mengetahui dengan sendirinya.
"Yang saya mau, seorang pemimpin itu aktif, enggak usah di media sosial sih, tapi aktif langsung dengan rakyatnya."
"Tidak usah pencitraan lah," tegasnya.
Sama seperti Dini, Novi menduga aktivitas Dedi di media sosial sebagai caranya menuju jalan menjadi presiden pada tahun-tahun mendatang.
Dengan kontennya sebagai Gubernur Jawa Barat, Novi menilai, Dedi sedang membangun citranya sebagai tokoh yang baik.
"Pasti yang diperlihatkan bagusnya kan kalau di kontennya. Kalau menurut saya, ada ke situ (pilpres). Pasti dia ingin jadi RI1 suatu saat, enggak tahu kapan," ujar Novi.

Apa reaksi warganet soal konten Dedi Mulyadi di medsos?

Peneliti media sosial dan isu demokrasi Monash University Indonesia, Ika Idris, menganalisis kegiatan media sosial dan percakapan mengenai Dedi Mulyadi di berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Youtube, X, dan platform lain.
Di Instagram saja, sejak dilantik sebagai gubernur Jawa Barat pada 20 Februari 2025 hingga 1 Mei 2025, ada 165 unggahan di akun @DediMulyadi71.
Analisis yang dilakukan Monas University Indonesia mengungkap dalam sehari Dedi mengunggah tiga konten dengan engangement yang tinggi.
"Hingga ribuan komentar setiap hari," kata Ika.
Ika juga menganalisis percakapan seputar Dedi di media sosial, lewat kata kunci "Dedi Mulyadi" dengan beberapa kata kunci yang pernah terasosiasikan dengan dirinya pada beberapa isu, seperti "banjir", "vasektomi", "barak militer", dan "wisuda".
Dari arus percakapan yang tertangkap di beragam platform media sosial, Ika juga melihat reaksi emosi warganet mengenai topik-topik tersebut.
Reaksi tertinggi adalah muak atau disgust (27%), kemudian marah atau anger (25%), diikuti oleh senang atau joy (23%), serta sedih atau sadness (17%) dan terkejut atau surprise (3%)
"Reaksi anger utamanya reaksi karena akan mengirim siswa ke barak militer dan soal mewajibkan vasektomi," kata Ika.
"Untuk mengirim siswa bermasalah, meski di emosi anger ini banyak yang mengkritik, tapi banyak juga yang apresiasi utamanya soal kecanduan main gim," tambahnya.
Ika menyebut dua konten yang paling banyak menarik komentar di Instagram Dedi adalah soal pengeluaran siswa untuk wisuda, juga soal konten terkait dirinya disebut sebagai "gubernur konten".
"Dedi memang sangat aktif memanfaatkan Instagram sebagai sumber informasi tentang dia, program, dan rencana kebijakannya," kata Ika.
Akan tetapi, dalam pandangan Ika, Dedi kerap menyampaikan wacana kebijakan yang belum matang ke publik, yang kemudian justru memicu polemik.
"Pejabat publik itu kan ketika berkomunikasi, dia bisa menginspirasi yang lain, dan ucapannya juga punya konsekuensi pada perencanaan kebijakan ataupun implementasi kebijakan," ujar Ika.
Dia mencontohkan, ketika Dedi menyatakan pria penerima bansos harus divasektomi, bisa jadi ide di belakangnya adalah untuk mengurangi penduduk miskin.
Namun menurut Ika, wacana ini kemudian memicu polemik karena "masih dalam proses tapi sudah disampaikan ke publik".
"Jangan sampai kebijakan ini masih dalam tahapan ide, sudah disampaikan ke publik dengan pola komunikasi yang sangat telanjang," ujar Ika kemudian.
"Menurut saya itu sangat berbahaya, karena nanti bisa jadi serangan ke dia. Bisa juga di sisi lain menginspirasi yang lain."

'Investasi politik' dan 'one-man show'

Pengajar komunikasi dan pakar literasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menyebut seringnya Dedi Mulyadi tampil di publik dan media sosial sebagai "investasi politik" demi "membangun langkah-langkah politik".
"Tidak hanya ke Jabar 1 (gubernur Jawa Barat) periode kedua, tapi juga mungkin ke RI 1 (presiden) atau RI 2 (wakil presiden)," ujar Kunto.
Lebih jauh, Kunto menilai apa yang dilakukan Dedi menyerupai pendahulunya, Ridwan Kamil, yang dikenal aktif di media sosial semasa menjabat sebagai gubernur Jawa Barat.
Menurut Kunto, Dedi tak sekadar pemimpin daerah, melainkan juga "influencer atau idol", yang membentuk hubungan bukan sekadar pemimpin daerah dengan rakyat.
"Ini bukan lagi hubungan antara kepala daerah dengan rakyatnya, tapi hubungan antara idol dan fansnya," kata Kunto.
Sementara itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Majalengka, Diding Bajuri, menilai keberadaan Dedi di media sosial menunjukkan kesan "one-man show" dalam memimpin Jawa Barat.
"Padahal kan secara pemerintahan kan sudah secara struktural, secara hierarkis kan ada tahapannya," ujar Diding.
Ia menilai Dedi perlu mengajak segenap birokrasi pemerintah provinsi, pemerintahan daerah di bawahnya, dan parlemen setempat untuk bekerja melayani warga Jawa Barat.
Alih-alih berkutat dengan konten di media sosial, menurut Diding, ada seabrek permasalahan di Jawa Barat yang perlu dibenahi pemerintah daerah, salah satunya pengentasan kemiskinan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2024 mengungkap Jawa Barat merupakan provinsi kedua dengan penduduk miskin terbesar, sekitar 3,67 juta jiwa.
Masalah tata ruang juga disorot Diding, yang diklaim sebagai salah satu penyebab banjir di Jabodetabek pada Maret silam.
Selain itu, peluang kerja masih jadi persoalan di Jawa Barat karena muncul tren perpindahan pabrik dari Jawa Barat ke Jawa Tengah.
Diding juga menyebut beberapa hal lain seperti "pendidikan untuk semua jangan ada lagi anak usia sekolah tidak sekolah karena alasan ekonomi."
Demi membenahi ini semua, Diding menyebut Dedi harus bisa "padu serasi" dengan semua pihak.
"Supaya ada kesatupaduan baik secara politik, visi, inisi, dan sampai ke tindakannya," kata Diding.