Konten Media Partner

Polemik Kerja Paruh waktu Beasiswa Keringanan UKT ITB – Mengapa Dikritik dan Apa Akar Masalahnya?

29 September 2024 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Polemik Kerja Paruh waktu Beasiswa Keringanan UKT ITB – Mengapa Dikritik dan Apa Akar Masalahnya?

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) mengaku masih waswas kendati kebijakan kerja paruh waktu bagi penerima beasiswa keringanan uang kuliah tunggal (UKT) kini diklaim bersifat opsional dan sukarela. Sementara pengamat pendidikan memandang kebijakan mewajibkan mahasiswa bekerja di kampus, sebagai “komersialisasi” kampus dan “perbudakan modern”.
Rektorat ITB tidak lagi mewajibkan mahasiswa calon dan penerima beasiswa keringanan UKT untuk bekerja paruh waktu di lingkungan kampus setelah mendapat penolakan keras dari mahasiswa.
Kendati begitu, Direktur Kemahasiswaan ITB, G. Prasetyo Adhitama, mengatakan program kerja paruh waktu akan tetap dijalankan "seperti yang sudah terjadi selama ini". Namun Prasetyo memastikan kegiatan itu tidak akan dikaitkan dengan keringanan UKT.
Sebelumnya, ratusan mahasiswa ITB berunjuk rasa selama tiga hari berturut-turut hingga Kamis (26/09), menuntut kebijakan kewajiban kerja paruh waktu bagi penerima keringanan UKT dicabut karena dianggap ada unsur pemaksaan dan dianggap sebagai bentuk imbalan dari keringanan UKT.
Padahal, menurut mereka, keringanan UKT adalah hak mahasiswa seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud Nomor 2 tahun 2024 tentang aturan UKT.
Kebijakan kerja paruh waktu yang diterapkan ITB, kata pengamat pendidikan Ubaid Matraji, kian memperjelas orientasi kampus yang mengarah ke komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Bagaimana polemik kewajiban kerja paruh waktu bermula?

Polemik kewajiban kerja paruh waktu itu bermula dari beredarnya surat elektronik pengumuman dari Direktorat Pendidikan ITB kepada mahasiswa penerima dan calon penerima pengurangan UKT.
“Mahasiswa sekalian, ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB,” begitu tertera di tangkapan layar dari surat elektronik tersebut di media sosial pada Selasa (24/09)—yang kemudian memicu kritik publik dan mahasiswa ITB.
Nivan adalah salah satu dari 5500 penerima keringanan UKT yang mendapat surat elektronik kewajiban bekerja paruh waktu di ITB. Ia mengaku kaget saat menerima surel pada 24 September 2024.
Alasan kebijakan itu adalah memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT untuk berkontribusi kepada ITB. Surat itu juga dilampiri tautan formulir pendaftaran yang wajib diisi oleh mahasiswa yang bersangkutan.
Dalam formulir tersebut dicantumkan pula jenis pekerjaan atau kegiatan yang bisa dipilih mahasiswa penerima keringanan UKT, disertai keterangan mahasiswa wajib memilih lebih dari satu mata kuliah.
Ada sekitar 10 kegiatan yang menjadi pilihan, antara lain pembuat konten materi matematika TPB, help desk Direktorat Pendidikan, serta administrasi dan surat menyurat Direktorat Pendidikan CCAR.
“Saya kaget sih karena itu kan namanya keringanan UKT dan bukan beasiswa dan mereka seolah-olah ingin minta imbalan dari keringanan UKT yang sebetulnya sudah hak kami," ujar Nivan kepada Yuli Saputra, wartawan di Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (26/09).
"Di universitas mana-mana kan dapat keringanan UKT, tapi kenapa kami mendapat pekerjaan yang seolah-olah, 'Kami (ITB) sudah ngasih kalian keringanan nih',” tutur Nivan yang mendapat keringanan UKT sekitar Rp4 juta.
Saat menerima surel tersebut, Nivan memutuskan tidak mengisinya sebab hanya dua opsi yang dia punya, yakni mengikuti kerja paruh waktu atau keringanan UKT dihentikan.
“Saya belum isi, karena kalau misalnya saya isi dan isinya itu tidak terima, maka UKT saya akan kembali ke Rp12,5 juta. Itu akan memberatkan orang tua saya. Jadi saya enggak isi,” akunya.
Nivan mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut karena padatnya kuliah dan kegiatan kemahasiswaan lainnya. Ia merasa kesulitan, jika ditambah beban pekerjaan baru.
Kalaupun harus bekerja, Nivan memilih bekerja di tempat lain yang menghasilkan uang dan bisa membantu meringankan biaya kuliah.
Nivan tak sendirian. Sebagai bentuk penolakan, ratusan mahasiswa ITB yang dikoordinasi Keluarga Mahasiswa (KM) ITB melakukan konsolidasi terbuka dan aksi unjuk rasa selama tiga hari berturut-turut.
Sekitar 170 orang Mahasiswa ITB melakukan konvoi dari Kampus ITB di Jalan Ganesa Kota Bandung ke Gedung Annex, Jalan Taman Sari Kota Bandung, sambil membawa spanduk yang bertuliskan kritik atas kebijakan kerja paruh waktu tersebut.
Poster-poster itu bertuliskan “Institut Ternak Budak” karena ITB terkesan melakukan perbudakan dengan dikeluarkannya kebijakan itu. Poster lainnya bertuliskan “Kerja Rodi di Kampus Reini” yang merujuk pada nama Rektor ITB Reini Wirahadikusumah.
Selain berdemo, mahasiswa ITB mengajukan kontrak politik yang ditujukan kepada Rektorat ITB.

Apa isi kontrak politik mahasiswa dan rektorat ITB?

Ada tiga poin yang dituntut mahasiswa dalam kontrak politik tersebut. Salah satunya, ITB sebagai institusi pendidikan berkewajiban untuk memberikan hak keringanan UKT kepada mahasiswa yang membutuhkan.
“Ini mengartikan bahwa tidak ada tuntutan dari ITB kepada mahasiswa supaya memberikan imbalan berupa kerja paruh waktu yang ramai diperbincangkan,” ujar Presiden Keluarga Mahasiswa ITB, Fidela Marwa Huwaida yang ditemui saat aksi unjuk rasa di Gedung Rektorat ITB, Jalan Taman Sari Kota Bandung, Kamis (26/09).
Dalam kontrak politik tersebut, mereka juga menuntut agar kerja paruh waktu yang dilakukan mahasiswa kepada ITB harus bersifat sukarela dan tidak ada kaitannya dengan hak pengurangan UKT yang dimiliki mahasiswa.
Selain itu, para mahasiswa menuntut agar ITB melibatkan mahasiswa dalam seluruh perumusan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan mahasiswa.
Setelah perwakilan mahasiswa bertemu dengan perwakilan rektorat selama kurang lebih satu jam, kontrak politik tersebut berhasil ditandatangani di atas materai oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Jaka Sembiring, yang mewakili Rektor ITB, Reini Wirahadikusuma yang sedang berada di Cina.
“Hari ini kami menang. Hari ini menjadi simbol kemenangan dari Keluarga Mahasiswa ITB karena tuntutan kami diterima oleh Rektor ITB, tapi menjadi tanggung jawab kita untuk mengawal bersama kesepakatan kontrak politik. Jangan sampai ini dilanggar karena ditandatangani di atas materai.”
“[Kontrak politik] ini menjadi bukti fisik bahwa ada kesepakatan antara Rektor ITB dengan Keluarga Mahasiswa ITB, maka kami akan terus mengawal, kemudian mengawasi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh ITB,” tegas Fidela.
Kendati demikian, kesepakatan itu tidak lantas membuat para mahasiswa ITB lega. Sejumlah mahasiswa mengaku tetap waswas.

Mengapa mahasiswa ITB waswas kendati kerja paruh waktu tak lagi wajib?

Nivan, mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, mengaku tetap waswas lantaran belum ada surat resmi yang dikeluarkan Rektorat ITB. Nivan menduga, kontrak politik itu ditanda tangan untuk meredam aksi mahasiswa.
“Setelah melihat surat [kontrak politik] itu, jujur masih waswas karena di atas surat itu tidak ada keterangan diatasnamakan atau [dikeluarkan] surat resmi dari rektor,” ujar Nivan.
“Jadi saya sekarang masih kawal terus sampai ada surat resmi dan untuk ke depan saya harap ditindaklanjuti secara resmi juga,” lanjutnya.
Mahasiswa ITB lainnya, Arya Riswa, juga mengaku masih waswas meski Rektorat ITB telah menandatangani kontrak politik tersebut. Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ini mendapat keringanan UKT yang cukup signifikan, dari Rp12,5 juta menjadi Rp5 juta.
“Menurut informasi yang kami dapat, surat kontrak ini tidak ditandatangani langsung oleh Bu Reini (Rektor ITB) melainkan diwakili oleh pihak rektorat. Tentu kami masih punya perasaan waswas. Ke depannya kami akan mengawal kebijakan ini sampai tuntas,” ujar Arya.
Kewajiban kerja paruh waktu itu, kata Arya, akan sangat memberatkan dirinya yang selama ini ikut berbagai kegiatan di kampus, kendati pihak rektorat menyampaikan kewajiban kerja paruh waktu itu maksimal dua jam per minggu.
“Dari informasi yang saya dapatkan, saya lihat kami harus mengambil lebih dari satu pekerjaan, maka tentu memberatkan. Walaupun pernyataan pers rilis kemarin [menyatakan] semaksimal-maksimalnya dua jam. Namun ini sangat tidak bisa diandalkan karena kami tidak punya kontrak kerja,” kata mahasiswa asal Sidoarjo ini.
Tidak hanya mahasiswa yang sudah mendapat keringanan UKT, mahasiswa baru yang akan mengajukan program tersebut juga merasa resah. Pasalnya, kebijakan kerja paruh waktu itu bisa saja dijadikan prasyarat awal untuk mendapat pengurangan UKT.
“Periode pengajuan keringanan UKT angkatan kami baru dibuka, artinya kalau misalnya kebijakan itu diterapkan sampai periode pengajuan berakhir tanggal 4 Oktober itu, angkatan kami pilihannya cuma dua, antara terima ikut kerja paruh waktu demi keringanan UKT atau ya menyuarakan aspirasi, opini, sebelum kebijakan itu diterapkan,” kata Dieni Tri Maharani, Mahasiswa Program Studi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB angkatan 2024.

Apa respons Rektorat ITB?

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB, Jaka Sembiring, mengatakan pihaknya telah mencabut surat berisi edaran kebijakan kerja paruh waktu dan formulir pendaftarannya.
Pengiriman surat edaran melalui surel, menurutnya, membuat persepsi yang diterima mahasiswa berbeda.
“Terkait dengan yang viral kemarin, itu kelihatan mungkin keterbatasan penjelasan, sehingga persepsi yang diterima berbeda,” kata Jaka seperti dikuti dari Detik.com, Kamis (28/09).
Di sisi lain, Direktur Kemahasiswaan ITB, G. Prasetyo Adhitama, mengatakan, program kerja paruh waktu akan tetap dijalankan seperti yang sudah terjadi selama ini. Namun Prasetyo memastikan kegiatan itu tidak akan dikaitkan dengan keringanan UKT.
“Kerja paruh waktu tetap ada seperti selama ini. Tidak dibatalkan. Kerja paruh waktu tidak dikaitkan dengan keringanan UKT,” kata Prasetya melalui pesan tertulis, Kamis (26/09).
Saat bertemu dengan perwakilan mahasiswa, Prasetyo menuturkan, pihak rektorat menjelaskan tentang konsep sistem bantuan keuangan ITB, salah satunya program kerja paruh waktu di ITB.
Dalam siaran pers ITB, disebutkan kebijakan tersebut dirancang untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT agar dapat berkontribusi pada pengembangan kampus, sekaligus mendapatkan pengalaman kerja yang relevan.
Sistem bantuan keuangan (Financial Aids System) ini bertujuan untuk menyatukan berbagai sumber daya dan program bantuan keuangan yang sudah ada di ITB, antara lain: UKT, hibah, program kerja paruh waktu, dan bantuan keuangan lainnya.

Baca juga:

Sistem ini diklaim sejalan dengan tujuan pendidikan ITB, yaitu mendidik mahasiswa yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki karakter kuat, memiliki daya juang, adaptif, berintegritas, dan rendah hati.
“Tadi dijelaskan konsep sistem financial aid ITB ke mahasiswa, dan setelah penjelasan lengkap tersebut mereka setuju dan akan berkolaborasi bersama,” terang Prasetya usai penandatanganan kontrak politik.
“Soal keresahan mahasiswa juga dijelaskan dan mereka tidak perlu khawatir akan dirugikan,” lanjutnya.
Kepada Tempo, Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, menyebutkan kerja paruh waktu akan dilanjutkan karena dinilai bagus dan bersifat pilihan.
“Kerja itu sebenarnya opsi, tawaran, yang enggak mau ikut juga enggak apa-apa,” ujarnya, Kamis (26/09).

Apa tanggapan pengamat pendidikan?

Pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, menyatakan keraguan kebijakan kewajiban kerja paruh waktu tersebut akan betul-betul dicabut ITB.
“Saya kok enggak yakin itu benar-benar bisa dijalankan lalu tidak mengintimidasi mahasiswa yang mendapatkan haknya karena ini kejadian bukan kali pertama. Kalau kita lihat soal kasus pinjol, kampus tidak mundur selangkah pun. Ini kan satu sama lain saling terkait, yaitu soal bagaimana komersialisasi pendidikan,” ujar Ubaid.
Pada awal 2024, Institut Teknologi Bandung (ITB) menyediakan skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) berupa cicilan plus bunga melalui platform pinjaman online (pinjol) Danacita yang oleh Ubaid merupakan bentuk "pemerasan".
Menurut pria yang menjabat sebagai Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini skema ini berpotensi menjerat mahasiswa dalam lilitan utang yang ketika gagal bayar dapat berujung pada praktik intimidasi.
Lebih lanjut, Ubaid mengungkapkan sistem bantuan keuangan ITB yang bertujuan membentuk karakter positif mahasiswa semestinya tidak diiringi dengan kewajiban bekerja di kampus.
Menurutnya, kebijakan kerja paruh waktu sebaiknya tidak hanya dibatasi di kampus untuk pengembangan keilmuannya, namun juga turun langsung ke lapangan sebagai penggerak masyarakat.
“Mereka yang sudah punya komunitas menggerakkan masyarakat, lalu harus meninggalkan semuanya, kemudian dia harus bekerja di kampus paruh waktu, gimana dia akan membagi waktunya?"
"Bukan keterampilan baru yang dia dapat, tapi justru tercerabut dari komunitas yang dia selama ini geluti. Karena itu jangan dibatasi,” katanya.
Ubaid mensinyalir kebijakan kerja paruh waktu di kampus untuk mendatangkan profit lebih dengan memanfaatkan mahasiswa sama dengan logika-logika komersialisasi dalam perbudakan modern.
Merujuk data JPPI, kata Ubaid, pihaknya memiliki “catatan yang sangat serius” soal skema-skema bekerja tanpa upah di kampus, seperti praktik magang misalnya.
“Nyatanya, ternyata ada banyak kasus yang berkedok magang, tetapi yang terjadi adalah perbudakan,” kata Ubaid.

Baca juga:

“Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai pekerja, tapi dia tidak mendapat upah yang layak. Ada semacam legalisasi perbudakan dengan memanfaatkan mahasiswa. Karena itu kita jelas menolak kebijakan ini,” tegasnya.
Pengurus Serikat Pekerja Kampus, Ardianto Satriawan, menilai ada pelanggaran ketenagakerjaan dalam kebijakan ITB soal kerja paruh waktu dan beasiswa keringanan UKT.
Dua aturan yang dilanggar, menurut Ardianto, adalah Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Pengurangan UKT itu harusnya bukan beasiswa, tapi itu adalah amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi tahun 2012. Itu ada level-levelnya dan menurut undang-undang diberikan dengan tanpa timbal balik untuk program S1.”
“Kalau ini beasiswa, seharusnya mahasiswa dikasih tahu dari awal syarat dan ketentuannya, kontraknya seperti apa, perjanjiannya seperti apa, apa yang bisa mereka berikan untuk timbal balik. Tapi ini enggak,” kata Ardianto yang juga alumnus ITB ini.
Terkait pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan, Ardianto menyoroti masalah kontrak yang tidak jelas dan upah rendah.
Ilustrasi. Mahasiswa tengah beraktivitas di perpustakaan
Kebijakan kerja paruh waktu di ITB, menurut Ardianto, tidak memiliki kontrak yang jelas. Selain itu, kebijakan tersebut disodorkan di tengah dan bukan di awal program.
“Kerja paruh waktunya juga enggak jelas. Ini seminggu berapa jam kewajiban mereka. Bahkan ada di formulirnya itu semakin banyak semakin baik. Jadi sebenarnya kewajibannya berapa seminggu, 10 jam kah, 20 jam kah atau berapa,” tanya Ardianto.
Masalah upah rendah, Ardianto berhitung, jika mahasiswa mendapat keringanan misalnya dari kewajiban UKT sebesar Rp12,5 juta menjadi Rp10 juta per semester, artinya dia mendapat potongan sebesar Rp2,5 juta per semester.
Jika dibagi enam bulan, si mahasiswa hanya mendapat upah sebesar Rp400 ribu per bulan.
Underpaid per jamnya dan tidak sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan," tegasnya.
"Selama ini, mahasiswa tidak diperlakukan sebagai tenaga kerja. Makanya ada program magang segala macam yang memanfaatkan mahasiswa sebagai tenaga kerja,” ungkap Ardianto.
Bila dibandingkan dengan program kerja paruh waktu di kampus luar negeri, menurut Ardianto, pekerjaannya tidak terkait dengan potongan UKT yang diamanatkan undang-undang, tapi pihak kampus memberikan kesempatan kerja, misalnya sebagai asisten dosen.
Mahasiswa yang membutuhkan, lanjutnya, bisa melamar dan setelah diterima akan disodori kontrak yang perjanjian, hak, dan kewajibannya jelas.
“Jadi bayangkan itu seperti bekerja dengan kontrak hukum yang jelas, sementara yang ini adalah amanat undang-undang dan kedua kontraknya tidak jelas, Jadi permasalahan terbesarnya ada di dua hal itu,” ungkap dosen yang tinggal di Korea Selatan ini.
Ketika isu kerja paruh waktu di ITB ini mencuat, Ardianto melalui Serikat Pekerja Kampus membuka layanan konsultasi hukum bagi mahasiswa ITB yang membutuhkan. Informasi tersebut diunggah di akun X miliknya dan mendapat respons cukup baik dari warga net, termasuk mahasiswa ITB yang terdampak.

Apa akar masalahnya?

Bukan sekali ITB membuat polemik dalam masalah UKT ini. Sebelumnya, kebijakan ITB yang mendorong mahasiswanya berutang ke aplikasi pinjaman online untuk membayar UKT juga memicu kritik. Sampai sekarang, menurut pengamat pendidikan Ubaid Matraji, kasus itu tidak jelas penyelesaiannya.
Kebijakan kerja paruh waktu, menurut koordinator nasional JPPI itu, kian memperjelas orientasi kampus yang mengarah ke komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Lalu apa penyebabnya?
“Akar masalahnya kan jelas, pemerintah itu enggak memberikan subsidi yang cukup untuk kampus-kampus PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Jadi kampus-kampus PTN BH ini harus mikir sendiri, fund rising, cari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kampusnya karena enggak ada lagi subsidi dari pemerintah. Kalaupun ada, itu sangat minim sekali,” jelas Ubaid.
“Kampus berpikir bagaimana [mendapat] cuan, cuan, cuan untuk membiayai kampus, sehingga semua harus dijadikan peluang untuk fund rising, berbisnis, dan ngeruk uang. Untuk apa? Ya untuk membiayai PTN BH karena tidak lagi disubsidi oleh pemerintah,” tambahnya.

Baca juga:

Menurut Ubaid, kondisi ini mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, terutama dalam hal pembiayaan. Di tahun anggaran 2024, lanjut Ubaid, anggaran untuk perguruan tinggi negeri non-kedinasan sangat minim dibanding sekolah tinggi kedinasan.
“Anggaran untuk pendidikan tinggi kedinasan itu subsidinya sampai Rp32 triliun buat mahasiswa, tapi kenapa untuk perguruan tinggi negeri non-kedinasan cuma Rp7 triliun? Itu kan berarti tidak ada political will pemerintah atau komitmen anggaran pemerintah untuk memajukan perguruan tinggi, tapi justru mendorong sekolah-sekolah kedinasan. Kan ironi,” ucapnya.
Padahal anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari Rp665 triliun di 2024 menjadi Rp722 triliun di 2025.
Menurut Ubaid, kuliah tanpa dipungut biaya sangat mungkin dilakukan di perguruan tinggi negeri. Tapi kenyataannya, anggaran pendidikan dihabiskan salah satunya untuk sekolah kedinasan dan “hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan”.
Reportase oleh Yuli Saputra di Bandung