Polemik Metode Kloning Hewan dan Upaya Membangkitkan Gajah Mamut dari Kepunahan

Konten Media Partner
19 April 2022 15:31 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang peneliti di Sooam Biotech Research Foundation, Seoul, Korea Selatan menggendong seekor anjing hasil kloning. Perusahaan ini telah mengkloning banyak binatang untuk keperluan riset, peternakan, dan hewan peliharaan.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang peneliti di Sooam Biotech Research Foundation, Seoul, Korea Selatan menggendong seekor anjing hasil kloning. Perusahaan ini telah mengkloning banyak binatang untuk keperluan riset, peternakan, dan hewan peliharaan.
Proses kloning telah mengalami kemajuan pesat sejak pertama kali dilakukan kepada seekor domba bernama Dolly. Hewan peliharaan hingga yang terancam punah dapat diduplikasi, dan bahkan kini muncul upaya untuk "menghidupkan kembali" gajah mamut kuno yang telah punah.
Pada 5 Juli 1996, lahir seekor domba yang kelak menginspirasi seluruh industri, dan memberikan landasan bagi para ilmuwan untuk menemukan cara baru membantu melestarikan spesies yang terancam punah.
Bahkan, domba ini mengubah ilmu pengetahuan medis dengan cara yang sebelumnya tak dapat dilakukan.
Ini bukan domba biasa. Kemunculannya ke dunia adalah sebuah terobosan - dia adalah hasil kloning dari sebuah sel yang diambil dari kelenjar susu domba lain, sebagai bagian dari percobaan yang dilakukan oleh Institut Roslin di Midlothian, Skotlandia.
Para peneliti menamainya Dolly, seperti nama penyanyi Amerika, Dolly Parton.
Di titik itu, para ilmuwan telah beberapa kali melakukan percobaan dengan kloning - sebuah proses menciptakan salinan identik secara genetik dari makhluk hidup lain - sejak 1950-an, ketika seorang ahli biologi Inggris John Gurdon menemukan cara untuk mengkloning katak Afrika.
Namun meski telah berusaha berkali-kali, mengulangi proses ini pada mamalia yang lebih besar telah terbukti menjadi tugas yang sangat sulit - bahkan bisa dikatakan mustahil.
Tetapi seperti banyak terobosan ilmiah lain, eksperimen yang melahirkan Dolly ini adalah sebuah kebetulan.
Para ilmuwan di Institut Roslin telah mencoba untuk mengkloning seekor domba menggunakan proses kompleks yang diberi nama transfer nuklir. Menggunakan daya listrik, mereka memindahkan inti sel kelenjar susu domba ke dalam sel telur dari domba kedua.
Sel telur ini kemudian mengandung semua DNA dari ibu Dolly, dan sel itu tumbuh dan berkembang menjadi embrio di dalam lab.
Tapi, ini seharusnya tidak terjadi. Pada saat itu, tidak ada yang berfikir bahwa DNA dari sel dewasa dapat mengembangkan sebuah embrio baru. Seluruh eksperimen ini dimaksudkan untuk menguji teknologi ini, sebelum tim Institut Roslin melakukannya dengan sel embrionik.
"Kloning domba Dolly menunjukkan kepada dunia bahwa sangat mungkin memprogram seluruh DNA di dalam inti dari sel dewasa, dan sel itu akan berlaku seperti sel embrionik lagi, yang mampu memunculkan binatang baru," kata Robin Lovell-Badge, yang mengepalai Lab Biologi Sel Punca dan Genetika Perkembangan di Institut Francis Crick di London.
Setelah secara tak terduga menciptakan sebuah embrio, para ilmuwan di Institut Roslin menempatkannya di dalam domba ketiga, yang akhirnya melahirkan Dolly. Kejadian ini mengejutkan dan membingungkan masyarakat umum dan sebagian besar media dunia.
Dolly menghabiskan seluruh hidupnya di Roslin Institute di Skotlandia. Dia mati saat baru berusia enam setengah tahun, karena penyakit paru-paru dan radang sendi.
Banyak orang kemudian membuat prediksi tak menyenangkan, sebagian besar berfokus pada kemungkinan suram kloning manusia. Beberapa bahkan menyarankan bahwa kloning dapat menggantikan anak-anak yang meninggal dunia untuk orang tua yang berduka.
Sementara majalah TIME menyambut kedatangan Dolly dengan judul sampul yang provokatif, "Apakah Akan Ada Kamu yang Lain?"
Di belahan dunia yang lain, seorang ahli biologi sel punca Jepang sedang mengamati peristiwa di Skotlandia dengan penuh minat.

Munculnya obat regeneratif

Pada 1996, Shinyi Yamanaka merasa kariernya sedang tak tentu arah. Sebagai ahli bedah, teman-temannya menjulukinya 'Jamanaka', sebuah permainan kata dari Jepang yang berarti 'hambatan', karena dia menghabiskan waktu terlalu lama di ruang operasi.
Di tengah pekerjaan yang membosankan di Sekolah Kedokteran Universitas Kota Osaka - menghabiskan sebagian besar waktunya merawat tikus-tikus di lab - Yamanaka membaca artikel bahwa para ilmuwan telah berhasil mengkloning seekor domba.
Dia kemudian terpesona oleh fakta bahwa sel dewasa dapat diprogram ulang dengan cara ini, dan mulai bertanya-tanya apakah menambahkan faktor transkripsi - protein yang mengikat DNA dan mengaktifkan atau menonaktifkan gen tertentu - dapat memprogram ulang setiap sel dewasa untuk kembali ke keadaan seperti embrio.
Garlic, kucing kloning pertama di Sinogene, sebuah perusahaan China. Foto dokumentasi 2019.
Setelah satu dekade fokus pada eksperimen ini, Yamanaka mencapai tujuannya, pertama dengan tikus dan kemudian di sel manusia.
Teknologi yang dikembangkannya memungkinkan sel-sel kulit atau darah diprogram ulang ke keadaan pluripoten - yang berarti bahwa mereka dapat diubah menjadi semua jenis sel dalam tubuh - dengan menambahkan campuran empat faktor transkripsi.
Temuan Yamanaka ini dinilai sebagai terobosan, dan kemudian dianugerahi Penghargaan Nobel 2012 untuk Fisiologi dan Kedokteran.
Alasan mengapa hasil kerja Yamanaka mendapat perhatian besar adalah, teknologinya memungkinkan para ilmuwan untuk mengambil sampel darah dari pasien dan membuat organoid - versi kecil organ, seukuran kacang polong - yang berperilaku identik dengan sel-sel di dalam tubuh mereka sendiri.
Ini dapat digunakan untuk menguji obat baru, vaksin, atau untuk sekadar memahami beberapa proses dasar dalam tubuh manusia.
Para ilmuwan juga bersemangat tentang potensi teknologi ini dalam aplikasi medis untuk pasien dengan penyakit genetik.
Sooam Biotech Research Foundation di Korea Selatan mengkloning anjing untuk pemilik hewan peliharaan, dan untuk organisasi yang mencari pengganti anjing pekerja terbaik mereka.
"Ini memungkinkan Anda untuk mengambil sel dari pasien, memperbaiki cacat genetik, dan kemudian menggunakan sel-sel itu untuk memperbaiki jaringan yang rusak pada pasien itu," kata Lovell-Badge. "Jadi ini jelas merupakan temuan yang sangat penting."
Teknologi di balik kloning juga memiliki beberapa aplikasi medis secara langsung. Para ilmuwan di Oregon Health and Science University Center for Embrionic Cell and Gene Therapy telah menggunakan beberapa langkah seperti yang dilakukan dalam proses kloning Dolly untuk membantu mencegah penyakit mitokondria langka yang diturunkan dari pasien perempuan kepada anak-anak mereka.
Dengan mentransfer inti sel telur ibu ke sel telur sehat perempuan lain, sebagian besar atau semua mitokondria yang rusak dan turunan dapat tertinggal. Teknik ini sejak itu dijuluki sebagai "bayi tiga orang".

Kloning hewan peliharaan

Bagi para ilmuwan yang menciptakan Dolly, warisan yang dapat dirasakan secara langsung adalah keberlangsungan pusat penelitian mereka.
Pada tahun 1996, Institut Roslin berada dalam posisi keuangan yang genting dan menghadapi pemotongan anggaran pemerintah.
Dolly terbukti menjadi penyelamat. Kehebohan ilmiah dan media yang mengikutinya menarik perhatian perusahaan ViaGen yang berbasis di Texas, AS, yang kemudian membeli hak intelektual untuk teknologi kloning mereka pada 1998.
Ini menyediakan cukup uang bagi institut untuk bertahan sampai mereka memperoleh pendanaan baru.
Bernann McKinney dari Hollywood, California, tersenyum sambil memegang hasil kloning anjing pitbul terrier miliknya yang telah mati di Seoul National University, Korea Selatan, Agustus 2008.
Awalnya, tujuan utama ViaGen menggunakan kloning adalah untuk meningkatkan kualitas pembiakan ternak, sebuah proses yang masih berlangsung sampai sekarang, terutama untuk ternak bernilai tinggi seperti sapi jantan.
Kloning juga digunakan untuk menghindari lotere genetik dari proses reproduksi normal dan mentransfer sifat genetik yang diinginkan dari generasi ke generasi.
Beberapa peneliti juga melakukan kombinasi kloning dan pengeditan genom untuk menciptakan hewan yang tahan terhadap beberapa penyakit umum, seperti infeksi bakteri tuberkulosis dan salmonellosis.
Namun, sejak enam tahun terakhir sebuah industri baru telah muncul - menawarkan jasa kloning hewan peliharaan. Pada 2015, ViaGen mulai menawarkan layanannya kepada pemilik hewan peliharaan yang ingin mengkloning kucing atau anjing kesayangan mereka.
Mereka mematok harga tidak murah - sebesar USD$35.000 (Rp502 juta) untuk mengkloning kucing, dan USD$50.000 (Rp717 juta) untuk seekor anjing. Walaupun mahal, permintaan dan pasar atas jasa itu ada.
ViaGen tidak mengungkap dengan pasti berapa hewan peliharaan yang telah mereka kloning sejauh ini. Melain Rodriguez, manajer layanan klien ViaGen mengatakan, jumlahnya mencapai ratusan.
"Layanan ini telah berkembang pesat sejak kami pertama kali memulainya, dan setiap tahun jumlah hewan peliharaan yang kami kloning terus bertambah," kata Rodriguez.
"Ada anak anjing yang lahir setiap minggu. Kami tidak membuat banyak iklan, kebanyakan mengetahui layanan ini dari mulut ke mulut."
Karena besarnya biaya layanan kloning ini, Rodriguez menjelaskan, 90% klien mereka hanya memilih untuk menyimpan atau mengawetkan sel hewan peliharaan - dengan biaya USD$1.600 (Rp21,5juta) - kalau-kalau suatu saat nanti mereka punya uang untuk melakukan kloning.
Di Qatar, permintaan akan kloning onta meningkat karena adanya perlombaan kecantikan onta.
Biaya yang sangat tinggi ini disebabkan oleh teknologi kloning masih sangat kompleks. Untuk mengkloning seekor anjing, seluruh prosesnya memakan waktu delapan bulan dan untuk kucing membutuhkan waktu satu tahun.
"Orang-orang bertanya kepada saya, 'Mengapa begitu mahal?' dan saya memberi tahu mereka karena ada begitu banyak langkah rumit yang terlibat dalam keseluruhan proses," kata Rodriguez.
"Bagi para pemilik hewan peliharaan, melakukan kloning karena alasan emosional. Mereka ingin dapat meneruskan ikatan emosional kuat yang mereka miliki dengan hewan peliharaan tersebut."
Industri ini juga telah berkembang di tempat lain di dunia. Sooam Biotech di Korea Selatan menawarkan layanan kloning anjing, begitu pun Sinogene di China.
Namun, banyak ilmuwan tetap merasa tidak nyaman dengan premis ini. Lovell-Badge berpendapat bahwa "tidak ada pembenaran" untuk kloning hewan peliharaan karena meskipun hewan yang dihasilkan akan identik secara genetik, mereka tidak akan memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang sama, karena semua makhluk adalah produk dari gen dan lingkungannya.
"Orang-orang sangat menginginkan hewan peliharaan yang telah mengenal mereka dan mengetahui trik tertentu dan sebagainya," kata George Church, profesor genetika di Harvard Medical School. "Kalau dilihat dari sisi itu, kloning seakan mengambil keuntungan dari kesedihan orang."

Menghidupkan kembali spesies yang punah

Di tahun-tahun pertama setelah kloning Dolly, pertanyaan utama yang berkembang adalah apakah para ilmuwan akan memperluas teknologi itu ke manusia. Dan bila iya, maka ada banyak masalah moral dan etika yang akan muncul.
Embrio manusia telah berhasil dikloning pada tahun 2013, namun proses menciptakan manusia secara utuh belum pernah dicoba karena kemungkinan besar mendapat protes publik.
Ilmuwan China memang berhasil mengkloning primata pertama pada Januari 2018, kera ekor panjang bernama Zhong Zhong dan Hua Hua, tetapi saat ini tidak ada indikasi bahwa percobaan ini akan berlanjut ke spesies primata lebih lanjut.
Sebaliknya, sebagian besar dana dicurahkan untuk menggunakan teknologi kloning guna menghidupkan kembali hewan-hewan yang berada di ambang kepunahan.
Saat ini upaya sedang dilakukan untuk mengkloning panda raksasa dan badak putih utara - spesies yang hanya tersisa dua hewan di planet ini - sementara dalam dua tahun terakhir, ViaGen telah mengkloning musang kaki hitam dan kuda Przewalski, keduanya terancam punah.
Sedangkan George Church memimpin proyek paling ambisius, sebuah pencarian untuk menghidupkan kembali mamut berbulu, spesies yang terakhir hidup sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Perusahaan Church bernama Colossal telah mengumpulkan dana sebesar USD$14,5 juta untuk mendukung upaya tersebut.
Proses itu akan melibatkan pembuatan hibrida gajah-mamut melalui pengambilan sel kulit dari gajah Asia dan menggunakan teknologi kloning untuk memprogram ulang mereka dengan DNA mamut.
Church menggambarkannya lebih sebagai "gajah Arktik", yang dapat berperan dalam membantu merevitalisasi tundra di ujung utara.
"Saya bisa memikirkan alasan yang sangat bagus mengapa kita ingin membuat gajah Arktik, spesies yang memiliki fitur-fitur terbaik dari gajah dan mamut modern," katanya.
"Dan ini akan sangat berguna untuk perubahan iklim dan merestorasi padang rumput Arktik."
Akan selalu ada perdebatan tentang etika dalam teknologi kloning.
Namun ada sejumlah tantangan. Proyek ini akan melibatkan pengeditan sel kulit gajah Asia sehingga mereka dapat membawa gen mamut, serta menemukan ibu gajah pengganti untuk mengandung dan melahirkan embrio yang dihasilkan.
"Sebagai inang, gajah dan mamut sangat berbeda," kata Lovell-Badge.
"Apa yang terjadi setelah bayi itu lahir? Apakah gajah betina akan berpikir, 'Apa yang telah saya hasilkan?' Bagaimana bayi mamut akan berinteraksi dengan gajah?"
Pertanyaan lain yang juga muncul, apakah pantas menghidupkan kembali hewan yang telah punah, mengingat spesies yang ada saat ini menghadapi begitu banyak tantangan untuk bertahan hidup.
Mamut terakhir kali ada di planet ini pada saat iklim dan ekosistem Bumi sangat berbeda dengan iklim dan ekosistem abad ke-21.
Lovell-Badge menekankan bahwa menciptakan lingkungan di mana mamut dapat hidup, sekaligus memastikan persediaan makanan yang sesuai dengan mereka, dapat menjadi tantangan.
"Kedengarannya sangat mulia untuk berkata 'Bagus, bukan, bila mamut bisa dihidupkan kembali?', tapi benarkah begitu? Apakah ini hal yang bagus untuk mamut?" kata dia.

Apa yang ada di masa depan

Tetapi kloning mungkin juga dapat menjadi aplikatif dalam beberapa dekade mendatang.
Pada Januari tahun ini, ahli bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland mentransplantasikan jantung babi ke seorang pria dengan penyakit jantung kronis.
Jantung babi itu memiliki 10 modifikasi genetik manusia yang diharapkan akan mengurangi kemungkinan penolakan organ.
Meskipun pasien itu sayangnya hanya bertahan hidup selama dua bulan pasca-transplantasi, operasi ini menarik perhatian dokter di seluruh dunia, yang menganggapnya sebagai cara potensial untuk mengatasi kekurangan organ untuk transplantasi di dunia.
Di Jerman - negara yang memiliki salah satu tingkat donasi organ terendah di Eropa - Eckhard Wolf, kepala Pusat Model Medis Inovatif di Munich, mencoba mengkloning dan membiakkan sejumlah babi yang identik secara genetik.
Idenya adalah untuk memiliki populasi yang sesuai dari mana organ dapat segera diambil dan digunakan untuk apa yang disebut xenotransplantasi ke manusia.
Menurut Yayasan Transplantasi Organ, saat ini ada sekitar 8.500 orang di Jerman yang didiagnosis gagal organ, dan tidak memiliki pilihan pengobatan lain.
Wolf mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk tindakan drastis. "Situasinya sangat mendesak," katanya.
"Misalnya, hanya sekitar setengah dari pasien yang berada dalam daftar tunggu aktif untuk jantung dapat menerima transplantasi. Babi memiliki sejumlah keunggulan sebagai donor karena ukuran dan fungsi organ relatif cocok untuk manusia, rekayasa genetika telah mapan pada babi, dan penggunaan babi lebih dapat diterima secara etis daripada primata non-manusia."
Tujuan Wolf menggunakan kloning adalah untuk membuat sejumlah perubahan genetik pada sel di bawah kondisi laboratorium, mencoba meminimalkan risiko penolakan organ dan infeksi, sebelum membuat generasi klon embrio babi.
Jika semuanya berjalan lancar, ia berniat untuk memulai uji klinis dalam waktu tiga tahun.
Namun, tidak semua orang begitu positif tentang penggunaan hewan untuk tujuan transplantasi. Aktivis hak-hak binatang di Jerman berpendapat bahwa itu pada dasarnya menurunkan status babi menjadi pabrik organ, sementara Asosiasi Kesejahteraan Hewan Jerman menggambarkan proyek itu secara etis dipertanyakan.
Lebih dari 25 tahun sejak eksperimen yang memicu imajinasi dunia, kloning saat ini masih menjadi topik yang relevan dan kontroversial, sama seperti saat Dolly lahir.
--
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini dengan judul The people cloning their pets di BBC Future.