Konten Media Partner

Polemik Nasi Padang Daging Babi: Bagaimana Baiknya Memandang Kuliner Lokal?

13 Juni 2022 20:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik Nasi Padang Daging Babi: Bagaimana Baiknya Memandang Kuliner Lokal?
zoom-in-whitePerbesar
Kemunculan makanan Padang non-halal yang menyajikan rendang berbahan daging babi memicu polemik karena dianggap menghina masyarakat dan budaya Minangkabau yang identik dengan agama Islam.
Itu mengapa sejumlah tokoh dan politisi asal Sumatera Barat mengecam pemilik restoran tersebut dan mendesak agar ditindak.
Tapi Kapolsek Kelapa Gading, Vokky Sagala, menilai tidak ada unsur pidana yang bisa menjerat pemilik restoran sehingga yang bersangkutan tak dikenakan sanksi hukum apapun.
Seorang koki spesialis masakan Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat, Dian Anugrah, menilai bahan masakan tidak memiliki agama. Karena itulah baginya tidak ada yang salah dengan rendang babi, terlebih pemilik restoran sudah menyebutnya sebagai non-halal.
Budayawan Minang dari Universitas Andalas, Profesor Gusti Asnan, mengatakan sikap reaktif orang Minang atas kemunculan makanan Padang non-halal yang menyajikan rendang berbahan daging babi merupakan suatu hal yang wajar.
Sebab hal itu artinya menghina budaya dan falsafah hidup orang Minang yang sangat lekat dengan ajaran agama Islam.
"Karena budaya Minang itu identik dengan Islam dan daging babi itu suatu yang haram dalam Islam," ujar Profesor Gusti Asnan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (13/6).
Keterikatan masakan Padang atau Minang dengan adat dan agama Islam itu tertuang dalam falsafah: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat bersandar pada syariat dan syariat bersandar pada nilai-nilai adat.
Falsafah itu, kata dia, mulai diberlakukan pada awal abad ke-19 atau ketika Islam mulai diperkenalkan kepada masyarakat Minangkabau. Dan diterapkan sebagai landasan dalam berinteraksi, berperilaku, termasuk membuat makanan yang sesuai syariat Islam.
Karena falsafah itu pula kebiasaan lama masyarakat Minangkabau mengonsumsi tikus, kalong, dan ular akhirnya ditinggalkan lantaran tak lagi sejalan dengan nilai-nilai adat dan syariat yang dipegang.
"Jangankan babi yang haram, makan tikus, kalong meskipun tidak diharamkan dalam Islam seiring munculnya falsafah ini makan kalong, tikus atau ular akhirnya ditiadakan."
"Tapi kalau pakai daging ayam untuk rendang selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam dan adat, ya tidak apa-apa."
Dia juga tidak setuju jika restoran atau rumah makan Padang dilabeli halal. Sebab selama ini orang Minangkabau "hakul yakin masakan Padang identik dengan Islam," katanya.

Restoran non-halal masakan Padang viral?

Polemik rendang berbahan daging babi viral di media sosial Twitter setelah diunggah oleh akun bercentang biru Hilmi Firdausi @Hilmi28.
Menurut dia menu yang disajikan restoran tersebut kontradiktif dengan kekhasan masakan Padang yang berasal dari Tanah Minang, yaitu kehalalannya.
Hingga Sabtu, cuitan itu telah disukai oleh 8.660 akun dan di-retweet 9.753 akun.
Politisi Partai Gerindra yang merupakan Ketua Umum Ikatan Keluarga Minang (IKM), Fadli Zon, turut berkomentar. Katanya, menjual makanan khas dengan unsur babi telah melukai perasaan orang Minang.
Ketua DPRD Kabupaten Solok, Dodi Hendra, juga berkata konsep restoran Babiambo tersebut menghina budaya masyarakat Minangkabau.
Gara-gara cuitan itu, kepolisian memanggil pemilik restoran, Sergio untuk diperiksa. Tapi Kapolsek Kelapa Gading, Vokky Sagala, mengatakan tidak ada unsur pidana yang bisa menjeratnya sehingga tak dikenakan sanksi hukum apapun.
Sementara itu, Sergio mengaku kaget usahanya viral di media sosial padahal warung itu sudah tak lagi beroperasi sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda pada awal tahun 2022.
"Saya juga kaget. Jadi memang tiga bulannya sekitaran itu (restoran tutup). Belum lockdown sepertinya," tutur Sergio.
Dia pun meminta maaf jika usahanya dianggap menyinggung warga Minang dan berjanji tidak akan mengulanginya.
"Karena keterbatasan pengetahuan kami, kalau ternyata ini akan menyinggung ke arah sana. Saya menyesal, kalau tahu dari awal bakal begini tidak akan dilakukan."

Bagaimana sejarah masakan Padang?

Sejarawan kuliner, Fadly Rahman, mengatakan rendang sedianya adalah teknik dan proses mengolah makanan untuk diawetkan. Bahan bakunya bisa menggunakan telur atau tempe.
Untuk daging, selain sapi biasa menggunakan kerbau, domba, ayam, dan babi.
"Yang paling sedikit digunakan adalah daging babi," imbuh Fadly Rahman.
Namun demikian, masakan Minang seperti rendang semestinya bukan cuma dilihat sebagai produk hasil mengolah makan semata tapi juga berkaitan dengan nilai-nilai tradisi Minangkabau yang sangat berkaitan dengan nilai-nilai ke-Islaman, salah satu unsurnya adalah kehalalan.
Padangan itu, kata Fadly, dimulai dari abad ke-17 atau masa ketika Islam diperkenalkan dan berkembang di Sumatera Barat.
"Memang di kalangan masyarakat Minangkabau yang saat itu pra-Islam atau sebelum Islam masuk, mereka mengonsumsi makanan non-halal seperti babi atau yang disembelih dengan cara-cara tidak sesuai syariat."
"Abad ke-17 ada Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, berusaha mengadabkan masyarakat pra-Islam dan islamisasi terjadi lalu kemudian muncul gerakan halalisasi."
Bagi Fadly, nilai-nilai tradisi yang dimiliki dan dipegang masyarakat Minangkabau sebaiknya dihargai sebagai kearifan lokal.
Begitu pula warga Muslim yang juga harus menghargai makanan berbahan daging babi dari Sumatera Utara atau Sulawesi Utara.
Sebab kuliner di Indonesia sejatinya tak lepas dari tradisi adat dan budaya.
"Di masa tahun 1960-an, ketika Sukarno menyusun buku resep Mustika Rasa, di situlah dipertebal lagi perkataan bahwa rasa saling menghargai antar-masyarakat melalui makanan lokal."
"Kalau di Manado atau Sumatera Barat atau Batak makan babi, memang berkaitan dengan tradisi mereka. Jadi kita hargai juga mereka."
"Inilah kompleksitasnya masyarakat kita yang sangat banyak dengan budaya dan kepercayaan."
Catatan Fadly, persoalan ketersinggungan terkait makanan sudah terjadi beberapa kali. Terakhir pada tahun 2021 ketika Presiden Jokowi mempromosikan kuliner tradisional Bipang di bulan Ramadhan.
Makanan itu ditanggapi beragam. Sebagian orang menduga Jokowi tidak tahu kalau Bipang Ambawang dari Kalimantan adalah kuliner khas Suku Dayak yang merupakan singkatan dari babi panggang.
"Bipang dari Kalimantan itu ada yang mencerna karena dianggap makanan haram. Tapi di masyarakat setempat kan tidak. Nah bagaimana kita bisa saling menghargai apa yang dikonsumsi."

Bahan makanan tidak punya agama

Tapi pembahasan soal masakan Padang dan Minang tak cuma dari satu arah yakni berupa kecaman. Beberapa akun menyatakan tidak setuju jika kuliner Padang dikaitkan dengan agama.
Seorang koki spesialis masakan Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat, Dian Anugrah, dalam unggahannya di Instagram dengan akun @udadiananugrah mengatakan rendang babi tidak bertentangan dengan hukum apalagi jika sudah mencantumkan label 'non-halal'.
Dia juga menilai meskipun nasi Padang identik dan terjaga kehalalannya, tapi bahan makanan tidak mempunyai agama.
"Memang mayoritas Muslim jika berkunjung ke daerah yang mayoritas non-Muslim akan mencari Nasi Padang, karena terjaga kehalalannya, inilah titik balik yang membuat orang mengkritisi."
"Walaupun seperti itu, sungguh kita tidak bisa mengkritisi secara serampangan, nasi, bawang, cara masak dan lainnya tidak mempunyai agama, mereka adalah rahmat dari Tuhan untuk semesta alam dan siapa pun bisa memanfaatkannya."
Karena itulah jika ada seseorang yang memasak dengan bahan non-halal, maka penjual harus menjelaskan bahwa produk yang mereka buat adalah non-halal.
"Sudah pasti jika Muslim tentu bukanlah pangsa pasar dari restoran tersebut. Yang jadi masalah adalah ketika sajian non-halal dijual ke komunitas Muslim," ujarnya.
"Bukan hanya 'Babiambo', banyak sebenarnya yang sudah menjual rendang berbahan dasar babi atau bahan non halal lainnya di beberapa wilayah."
Dian menyarankan kepada pemilik restoran yang menyediakan makanan Padang non-halal agar berhati-hati dan tidak menggunakan kata-kata Minang.
Dia juga meminta agar restoran seperti itu tidak memakai logo restoran seperti mendeskripsikan rumah gadang. Sebab rumah gadang memiliki falsafah tersendiri.
"Ini adalah imbauan saya sebagai adab kita bergaul sesama anak bangsa, secara hukum memang tidak masalah. Namun, secara adab saling bergaul yang baik maka ini bisa dipertimbangkan."
Namun begitu, dia menilai wajar jika masyarakat Minangkabau syok atau keberatan dengan narasi rendang berbahan daging babi. Sebab warga Minang kental dengan adat dan syariat Islam.