Konten Media Partner

Polemik PPKM: Penjual Bubur Didenda Rp 5 Juta, Pengelola Mal Didenda Rp 500 Ribu

8 Februari 2022 7:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik PPKM: Penjual Bubur Didenda Rp 5 Juta, Pengelola Mal Didenda Rp 500 Ribu
zoom-in-whitePerbesar
Kasus penjual bubur ayam di Tasikmalaya didenda Rp5 juta, sementara pemilik sebuah mal di Bandung didenda Rp500 ribu karena sama-sama melanggar PPKM, tidak akan terjadi apabila aturannya dibuat lebih rinci, kata ahli hukum tata negara.
Sebuah mal di Bandung didenda Rp500 ribu dan ditutup selama tiga hari karena melanggar aturan kerumunan terkait pandemi Covid-19, Jumat (04/02) lalu.
Besaran denda itu membuat masyarakat di Bandung bertanya-tanya dan kemudian membandingkan dengan denda Rp5 juta kepada penjual bubur di Tasikmalaya, Jabar, Juli 2021 silam.
Sebagian warga di kota itu menganggap perbedaan besaran denda itu menyalahi rasa keadilan, seolah-olah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Menanggapi reaksi seperti itu, seorang pejabat terkait di Bandung menyatakan besaran denda itu merujuk pada aturan hukum, yaitu peraturan wali kota.
Adapun kasus tukang bubur di Kota Tasikmalaya, yang dijatuhi denda Rp5 juta, dilaporkan menggunakan aturan yang berbeda.
BBC News Indonesia telah menghubungi Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal ZA melalui pesan tertulis, Senin (07/02), namun tidak mendapatkan tanggapan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, sebelumnya, mengatakan perbedaan besaran denda administrasi itu tergantung pada kebijakan yang diambil di daerah masing-masing.
Hal itu ditegaskan Tito ketika timbul polemik di masyarakat terkait pemberian denda sebesar Rp5 juta kepada penjual bubur di Tasikmalaya, Jabar.
"Denda hingga Rp5 juta tergantung penerapan aturan di daerah masing-masing. Ada yang menerapkan batas lima juta, ada yang kurang dari itu. Namun Perda-nya dibuat DPRD dan disepakati sesuai dengan local wisdom," katanya, awal Juli 2021.

Pakar hukum tata negara: 'Kok terasa tidak adil'

Namun menurut ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, kasus seperti ini tidak perlu terjadi apabila peraturannya dibuat lebih rinci, baik di tingkat undang-undang atau peraturan daerah.
Bivitri menjelaskan, rinciannya itu misalnya mengatur tentang dampak negatif dari pelanggaran kerumunan.
"Dari segi dampak, jelas kalau pelanggarannya dilakukan oleh pengusaha mal, kemungkinan yang terkena dampak [tertular covid-19] bisa ratusan ribu orang," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (07/02).
"Sementara seorang tukang bubur, paling-paling berapa orang yang akan membeli bubur itu ya, mungkin 20 orang, atau maksimal 50 orang," tambahnya.
Belum lagi dari segi pendapatan ekonomi dari kedua subyek hukum itu, kata Bivitri. Pemilik mal adalah pengusaha besar, sementara penjual bubur adalah pengusaha kecil.
"Jadi saya kira menghitung dua hal itu saja, kita sudah menimbulkan pemikiran di kepala kita 'kok terasa sekali tidak adil' dari sudut kemampuannya tadi," tegas Bivitri.
Bivitri mengusulkan perincian itu dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada peraturan daerah atau undang-undang di atasnya.

Bagaimana reaksi warga kota Bandung?

Mal Festival Citylink Bandung dikenai denda administrasi Rp500 ribu dan ditutup selama tiga hari, karena menggelar atraksi barongsai yang menimbulkan kerumunan, Selasa (01/02).
Sanksi itu diberikan tidak lama setelah potongan video dari atraksi itu menyebar di media sosial.
Sebagian warga Bandung menilai sanksi itu terlalu ringan dan tidak bakal menimbulkan efek jera.
Apalagi jika dibandingkan dengan denda yang dijatuhkan terhadap seorang tukang bubur di Tasikmalaya yang harus membayar sebesar Rp5 juta.
Jafar, warga Kota Bandung, menilai perbedaan nominal denda menggambarkan apa yang disebutnya sebagai ketidakadilan.
"Jika dibandingkan dengan kasus pelanggaran prokes yang juga dilakukan tukang bubur di Tasikmalaya yang akhirnya terkena denda Rp5 juta , ini buat saya adalah sebuah ketidakadilan," katanya.
"Apalagi kalau melihat pelanggaran di mal yang melibatkan banyak orang rasanya konsekuensi yang diberikan sangat tidak sepadan," tambahnya kepada wartawan di Bandung, Yulia Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Justru buat saya ini tidak akan menimbulkan efek jera. Kalaupun terulang, pasti pihak-pihak pelanggar prokes melihatnya hanya sebatas denda seadanya," ujar Jafar.
Dia berharap, pemerintah bisa menerapkan hukum yang bisa memberikan rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat. "Hukum tidak tajam ke bawah, tumpul ke atas," katanya.
Pendapat serupa disampaikan Ugie Prasetyo, warga Kabupaten Bandung yang memiliki kedai burger di Kota Bandung.
Ugie membandingkan sanksi denda yang pernah dijatuhkan sebelumnya yang nominalnya mencapai jutaan rupiah. Ia meminta pemerintah mengkaji kembali rasa keadilan dan nuraninya.
"Adil dalam artian ketika tukang bubur diberikan sanksi denda Rp5 juta yang notabene dia usahanya buat perutnya sendiri.
"Tapi pemerintah menjatuhkan sanksi denda kepada mal besar yang mengundang banyak hingga ratusan orang berkumpul, malah dendanya hanya Rp 500 ribu saja," ujarnya.

Apa tanggapan Satpol PP Kota Bandung?

Menanggapi reaksi seperti itu, Rasdian Setiadi, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandung menolak tuduhan pihaknya tidak berlaku adil.
Dia mengatakan, selain didenda Rp 500 ribu, mal itu juga dilarang beraktivitas selama tiga hari, yang secara tidak langsung akan merugikan mereka.
"Sanksi yang kedua, penghentian kegiatan sementara selama tiga hari. Coba bayangkan kalau tiga hari saja, mal tidak beroperasi, itu kerugiannya berapa.
"Bukan hanya Rp5 juta, mungkin sampai miliaran rupiah," kata Rasian kepada wartawan di Bandung, Yulia Saputra, Senin (07/02), untuk BBC News Indonesia.
"Itu yang perlu dipahami oleh masyarakat bahwa kita selain denda Rp 500 ribu, juga ada penghentian kegiatan sementara selama tiga hari," ungkap Rasdian.
Adapun denda administrasi sebesar itu, menurutnya, karena pihaknya menggunakan peraturan Wali kota Bandung Nomor 103 tahun 2021 tentang PPKM Level 2.
Sementara, penjual bubur di Kota Tasikmalaya dihukum dengan menggunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat nomor 5 tahun 2021.
Ditanya Satpol PP Kota Bandung tidak menggunakan peraturan Gubernur Jawa Barat, Rasdian memberikan jawaban sebagai berikut:
"Kita mempunyai satpol sendiri, yaitu Kota Bandung. Jadi [kita] tidak menggunakan pergub itu," jelasnya.
Kendati demikian, Rasdian memahami kritik masyarakat yang menilai nominal denda masih terbilang kecil.
Karena itu, ia telah pula mengusulkan mengkaji ulang aturan tersebut yang diharapkan bisa masuk dalam perda penanganan kesehatan Covid-19 yang saat ini sedang digodok di Dinas Kesehatan Kota Bandung.
"Kami sudah usulkan, barangkali di perda bisa dinaikkan sanksinya atau dilipatgandakan, misalnya pelanggaran pertama Rp5 juta, kemudian melanggar lagi dikalikan jadi Rp 10 juta, seterusnya begitu," ujarnya.
---
Wartawan di Bandung, Yulia Saputra, berkontribusi untuk laporan ini.