Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Polemik Wacana Anggaran Pendidikan Berbasis Pendapatan Negara, Apa Saja yang Perlu Kita Ketahui?
9 September 2024 8:45 WIB
Polemik Wacana Anggaran Pendidikan Berbasis Pendapatan Negara, Apa Saja yang Perlu Kita Ketahui?
Kementerian Keuangan mewacanakan mengubah pengaloakasian anggaran pendidikan nantinya diambil dari pendapatan negara, bukan lagi masuk dalam belanja negara. Namun, sejumlah pihak mengatakan cara ini bisa menyusutkan anggaran untuk pendidikan sekitar Rp100-150 triliun.
Alih-alih mengubah skema pengalokasian anggaran, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyarankan pemerintah untuk lebih menyoroti efektivitas dari pengelolaan anggaran.
“Ditimbang-timbang dari sisi urgensi, sebetulnya lebih penting [adalah] mengevaluasi efektivitas penggunaan [anggaran] yang 20% ini. Harus benar-benar dievaluasi secara mendalam,” ujarnya. “
Adapun alokasi wajib minimal 20% dari total belanja di APBN untuk anggaran pendidikan diatur dalam Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Sementara, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyebut wacana yang dilemparkan Menkeu Sri Mulyani “lebih sebagai upaya membangun diskursus bersama”.
“Ini ide yang dimunculkan pemerintah dan DPR lebih untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan mendiskusikan dari berbagai aspek.” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, yang juga ketua panitia kerja (panja) pembiayaan pendidikan Komisi X menyebut pihaknya tengah menyusun rekomendasi pengalokasian anggaran yang nantinya akan disampaikan kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR pada Senin (09/09).
Mengapa wacana ini muncul?
Sri Mulyani mengangkat gagasan itu dalam rapat kerja pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada Rabu (04/09).
Menurut mantan managing director Bank Dunia itu, pihaknya sudah membahas bagaimana anggaran wajib atau mandatory spending pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% belanja negara cenderung membuat dana pendidikan menjadi berubah-ubah.
“Kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan. Ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, di mana 20% setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan,” ujar Sri Mulyani pada Rabu (04/09).
“Kalau 20% dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun gitu,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari kantor berita Antara.
Dilansir Tempo, Sri Mulyani mencontohkan bagaimana pada belanja negara pada APBN 2022 mengalami pelonjakan karena subsidi energi meningkat menjadi Rp200 triliun. Anggaran pendidikan pun turut naik.
Padahal, sambung Sri Mulyani, naiknya subsidi energi ini bukan disebabkan kenaikan pendapatan negara, melainkan harga minyak dunia yang melonjak.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan apa yang disampaikan Menkeu sebetulnya baru sekadar gagasan awal untuk “membangun diskursus bersama”.
“Ini sebenarnya masih upaya sangat awal untuk mencari titik optimal antara pentingnya [untuk] tetap memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan yang [berkesinambungan] dan efektif, menjaga sustainabilitas dan fleksibilitas APBN, dan mengantisipasi dinamika-dinamika masa mendatang,” ujarnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (08/09).
Prastowo menyebut ide yang dimunculkan pemerintah dan DPR ini adalah "untuk mengajak seluruh pemangku kepentingan mendiskusikan dari berbagai aspek".
Apa reaksi DPR soal wacana ini?
Dalam rapat kerja dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di DPR pada Jumat (06/09), Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan pihaknya menolak “usulan utak-atik” anggaran 20% dari Menkeu.
“Yang disampaikan Ibu Sri Mulyani di mana ingin mandatory [spending] [anggaran wajib] 20% berbasis pada pendapatan dari APBN, bukan dari belanja APBN. Karena itu, sekali lagi dalam forum yang baik ini kami menyatakan pada posisi menolak,” ujar Syaiful seperti dilansir Tempo.
Syaiful menyebut komisi yang membidangi pendidikan itu sedang menggodok agar pengelolaan dana wajib untuk pendidikan itu dapat sepenuhnya dilakukan Kemendikbud Ristek.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengeklaim porsi anggaran wajib untuk pendidikan yang sekarang ini yakni 20% justru dirasa masih belum mampu meningkatkan kualitas serta pemerataan akses pendidikan di wilayah Indonesia.
Dia pun khawatir skema dana pendidikan ABPN, apabila mengacu terhadap pendapatan negara, maka dapat menurunkan anggaran pendidikan.
Baca juga:
Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, mengamini pernyataan Syaiful yang menurutnya “mewakili suara hati semua” anggota Komisi X DPR—walaupun dia mengakui penolakan ini belum bersifat resmi.
Dede yang juga mengetuai panitia kerja (panja) pembiayaan pendidikan Komisi X menyebut pihaknya tengah menyusun rekomendasi pengalokasian anggaran yang nantinya akan disampaikan kepada Banggar DPR pada Senin (09/09).
“Secara formal saya harus menyampaikan temuan [dan] rekomendasi panja kepada Komisi X. Setelah Komisi X menyetujui [rekomendasi ini], baru menolaknya [secara] resmi,” ujar Dede yang merupakan kader Partai Demokrat.
Dede menambahkan wacana Sri Mulyani “melanggar undang-undang” dan, apabila dijalankan, berpotensi mengurangi dana pendidikan di APBN sebesar Rp100-150 triliun.
“Undang-undang Konstitusi dan juga undang-undang sisdiknas memang tidak mengatakan [alokasi 20%] pendapatan negara, tetapi dari total APBN,” ujar Dede.
Alokasi wajib minimal 20% dari total belanja di APBN untuk anggaran pendidikan diatur dalam Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah”.
Sementara Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah aturan turunan dari Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 itu.
Dede mengonfirmasi rekomendasi Komisi X itu nantinya akan dibawa ke Banggar DPR yang kemudian akan menyampaikannya ke Menteri Keuangan.
BBC News Indonesia telah menghubungi Ketua Banggar DPR Said Abdullah untuk menanggapi artikel ini, tetapi hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan belum memberikan respons.
Sementara Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengatakan pihaknya belum mendapatkan informasi kapan wacana ini akan dibahas kembali bersama DPR.
“Kami belum [mendapat info]. Kemungkinan menyesuaikan agenda-agenda rapat DPR,” ujarnya.
Prastowo menggarisbawahi bahwa belum ada pembahasan mengenai ide ini sejak dilontarkan Menkeu pada Rabu (04/09).
Dia juga mengklarifikasi bahwa dari internal Kementerian Keuangan sendiri belum membahas gagasan ini sampai ke kalkulasi anggaran—termasuk mengkaji seberapa besar potensi .
“Pemerintah saat ini belum sampai pada hitungan teknis,” ujarnya pada Minggu (08/09).
Namun, kata dia, Kementerian Keuangan berpandangan bahwa ketersediaan anggaran harus menjamin penyelenggaraan sistem pendidikan yang lebih baik “sebagai komitmen bersama”.
“Ini dulu juga terjadi saat anggaran kesehatan diubah skemanya. Bukan untuk menurunkan alokasi. tetapi mempertajam anggaran agar lebih efektif menjawab kebutuhan konkret,” ujarnya.
Apa konsekuensi dari perubahan skema anggaran pendidikan ini?
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan urgensi dari Kementerian Keuangan untuk melempar wacana ini demi mengantisipasi dinamika-dinamika seperti melonjaknya minyak dunia atau depresiasi rupiah bisa dipahami.
Akan tetapi, Eko memperingatkan bahwa, secara teknis, anggaran pendidikan “pasti akan turun” mengingat dalam skema APBN pendapatan memang direncanakan lebih rendah dari belanjanya.
“Memang dari sisi Kementerian Keuangan [sebagai] pengelola dananya akan lebih pasti karena kan 20% dari pendapatan,” ujar Eko.
“Cuma sebetulnya kalau dari sisi manajemen pengelolaan anggaran yang namanya pendidikan itu, ya, belanja. Sama seperti belanja infrastruktur."
Eko dengan tegas menyarankan pemerintah untuk lebih menyoroti efektivitas dari pengelolaan anggaran dibandingkan membahas skema pengalokasian.
“Ditimbang-timbang dari sisi urgensi, sebetulnya lebih penting [adalah] mengevaluasi efektivitas penggunaan yang 20% ini. Harus benar-benar dievaluasi secara mendalam,” ujarnya. “
Menurut Eko, dalam konteks pendidikan, kapasitas birokrasi saat “tidak mampu mengelola anggaran yang sangat besar”.
“Akhirnya banyak kegiatan-kegiatan di belanja pendidikan itu yang ‘diada-adakan’ [...] diciptakan hanya untuk menyerap anggaran,” ujarnya.
Eko memberikan beberapa contoh seperti rapat-rapat yang membahas kurikulum pendidikan tetapi harus di hotel yang menurutnya sebenarnya pernah disinggung Presiden Joko Widodo.
Terlebih, Eko juga meragukan turunnya anggaran pendidikan akan dibarengi dengan efektivitas pengelolaan dananya.
“Jangan-jangan nanti tetap [...] lebih banyak digunakan untuk [hal-hal] yang tidak berdampak langsung kepada siswa.”
Eko mengingatkan bahwa catatan Bank Indonesia terhadap Indonesia pada 2010-an menyebut sekalipun meningkatnya anggaran pendidikan secara signifikan, tetapi pengelolaannya masih tertinggal dengan negara-negara tetangga.
Di sisi lain, Eko mengkhawatirkan wacana ini dilemparkan secara pragmatis untuk mendanai rencana-rencana pemerintahan selanjutnya yang seperti diketahui bersifat langsung seperti pendidikan dan kesehatan.
“Kemudian dicarikan jalan-jalan keluar semacam ini,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna, apabila skenario Rancangan APBN 2025 untuk belanja pendidikan saat ini dipatok pada Rp722 trillion, maka alokasi ini akan berubah menjadi Rp599 triliun apabila mengikuti proposal Kemenkeu.
“Skenario usulan Kemenkeu akan menurunkan nilai anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp123 triliun,” ujar Ariyo pada Minggu (08/09).
Senada dengan Eko Listiyanto, Ariyo menyebut permasalahan alokasi APBN untuk pendidikan ada di masalah efektivitas.Salah satu yang disorot Ariyo adalah alokasi pendidikan tersebar di banyak instansi.
Dia mencontohkan bahwa selain perguruan tinggi negeri yang dibawah naungan Kemendikbud Ristek, terdapat 125 pendidikan tinggi di bawah naungan Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang tersebar di kementerian lain.
“Seperti STAN [Politeknik Keuangan Negara] di Kemenkeu,” ujarnya.
“Mendikbud Ristek tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran pendidikan di luar Kemendikbud Ristek.”
Ariyo pun berpendapat bahwa motif mewacanakan mandatory spending (anggaran wajib) menjadi berdasarkan pendapatan adalah adalah kondisi fiskal yang sangat terpasung akibat hutang yang menggunung.
“Di sisi lain, dipicu juga kebutuhan pemerintah mendatang yang memiliki janji politik untuk makan bergizi gratis yang ada di fungsi pendidikan,” ujar Ariyo.
Pada pidato sidang Paripurna DPR pada 16 Agustus, Presiden Jokowi juga mengatakan program makan bergizi gratis (yang diusung penerusnya, Prabowo Subianto) dilakukan secara bertahap mulai tahun depan dan dananya akan diambil dari alokasi belanja pendidikan yang totalnya mencapai anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722,6 triliun.
Baca juga:
Ariyo menambahkan seharusnya Kementerian Keuangan memberikan solusi untuk mendorong perbaikan efektivitas dan kualitas belanja fungsi pendidikan.
“Bukannya mengajukan reformulasi perhitungan mandatory spending untuk pendidikan yang mengurangi jumlah alokasi untuk pendidikan,” ujarnya.
"Anggaran yang tidak efektif dan berkualitas salah satunya terlihat dari sebesar Rp111 triliun atau setara 16% anggaran pendidikan pada 2023 tidak terealisasi dari pagu APBN Tahun Anggaran 2023."
Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, mengatakan pemerintah sibuk dengan angka 20% dan melupakan apa saja dan berapa kebutuhan pendidikan.
“Daripada kita memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendidikan,” ujar Ubaid dalam pernyataannya.
“Ini penting agar anggaran pendidikan itu tepat sasaran. Jangan seperti saat ini, entah anggaran pendidikan itu siapa yang menikmati. Masyarakat hanya merasakan biaya sekolah semakin hari semakin mahal, apalagi biaya UKT [Uang Kuliah Tunggal) kuliah semakin tak terjangkau oleh semua kalangan. Ditambah lagi nasib guru honorer, sungguh sangat memprihatinkan.”
Terpisah, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Iman Zanatul Haeri, mengaku sangat menyesalkan adanya temuan APBN pendidikan sebesar Rp 111 triliun yang tidak terserap.
Menurut dia, ini membuktikan betapa lemahnya tata kelola anggaran dan audit dana pendidikan saat ini—bahkan dengan skema yang saat ini berlaku.
“Di tengah biaya sekolah mahal, gedung sekolah rusak, dan upah guru honorer yang tak manusiawi, Rp 111 triliun yang tidak terserap ini sesungguhnya mampu mensejahterakan guru honorer dan memperbaiki fasilitas sekolah,” pungkasnya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kemendikbud Ristek untuk artikel ini. Namun hingga berita ini diterbitkan belum mendapat respons.