Polisi Moral Iran Penegak Aturan Busana Islami Dibubarkan, Kata Jaksa Agung

Konten Media Partner
5 Desember 2022 16:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Iran telah menghadapi aksi protes berbulan-bulan atas kematian seorang perempuan muda, Mahsa Amini, setelah ditahan oleh polisi moral karena diduga melanggar aturan ketat berhijab.
zoom-in-whitePerbesar
Iran telah menghadapi aksi protes berbulan-bulan atas kematian seorang perempuan muda, Mahsa Amini, setelah ditahan oleh polisi moral karena diduga melanggar aturan ketat berhijab.
Polisi moral Iran, yang bertugas menegakkan aturan berpakaian Islami di negara itu, dibubarkan, kata Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri dalam sebuah acara pada Minggu.
Akan tetapi, saluran televisi pemerintah Al-Alam menyebut media asing menggambarkan komentar Montazeri seolah "Republik Islam mundur dari masalah jilbab dan kesopanan dan dipengaruhi kerusuhan baru-baru ini".
 Al-Alam menyebut "Tidak ada pejabat Republik Islam Iran yang mengatakan bahwa polisi moral telah ditutup."
Baca juga:
Iran telah menghadapi aksi protes berbulan-bulan atas kematian seorang perempuan muda, Mahsa Amini, setelah ditahan oleh polisi moral karena diduga melanggar aturan ketat berhijab.
Montazeri sedang menghadiri sebuah konferensi agama ketika dia ditanya apakah polisi moral dibubarkan.
“Polisi moral tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah ditutup dari tempat mereka dibentuk,” kata Montazeri.
Polisi moral berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri Iran, bukan oleh lembaga peradilan.
Pada Sabtu (03/12), Montazeri juga mengatakan kepada parlemen Iran bahwa undang-undang yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab akan ditinjau.
Namun, kalaupun polisi moral ditutup, bukan berarti undang-undang yang telah berlaku selama puluhan tahun itu akan diubah.
Aksi protes yang dipimpin oleh para perempuan Iran sejak kematian Amini pada 16 September lalu, telah dilabeli sebagai aksi “kerusuhan” oleh pihak berwenang.
Amini meninggal dunia tiga hari setelah dia ditangkap oleh polisi moral di Teheran.
Kematiannya memicu aksi-aksi protes yang diwarnai oleh kekerasan, lalu diikuti oleh isu-isu lainnya seperti ketidakpuasan atas kemiskinan, pengangguran, ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan korupsi.

‘Revolusi lah yang kami miliki’

Jika pembubaran polisi moral itu dikonfirmasi pemerintah Iran, keputusan tersebut diduga dilakukan untuk meredam amarah publik.
Tetapi, tidak ada jaminan bahwa pembubaran polisi moral cukup untuk menghentikan aksi protes yang diwarnai aksi bakar hijab oleh para pengunjuk rasa.
“Hanya karena pemerintah memutuskan membubarkan polisi moral, bukan berarti protes berakhir,” kata seorang perempuan Iran kepada program Newshour BBC World Service.
“Bahkan pemerintah mengatakan hijab adalah pilihan pribadi pun tidak cukup. Orang-orang tahu bahwa Iran tidak memiliki masa depan di tangan pemerintah yang berkuasa saat ini.”
“Kami akan melihat lebih banyak orang dari berbagai faksi masyarakat Iran, baik moderat maupun tradisional, bersuara mendukung perempuan untuk mendapatkan lebih banyak hak mereka kembali,” kata perempuan itu.
Sedangkan perempuan lainnya mengatakan, “Kami, para pengunjuk rasa, tidak peduli lagi dengan jilbab. Kami telah bepergian tanpa itu selama 70 tahun terakhir.”
“Sebuah revolusi adalah apa yang kami miliki. Hijab hanyalah titik awalnya dan kami tidak menginginkan apapun selain kematian diktator dan perubahan rezim.”
Iran mendirikan berbagai bentuk “polisi moral” sejak Revolusi Islam 1979, tetapi polisi moral yang dikenal secara resmi sebagai Gasht-e Irsyad menjadi badan utama yang bertugas menegakkan kode etik Islam Iran.
Mereka mulai berpatroli pada 2006 untuk menegakkan aturan berpakaian, yang juga mewajibkan perempuan memakai pakaian panjang dan melarang celana pendek, jins robek, atau menggunakan pakaian lain yang dianggap tidak sopan.