Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Polisi Selidiki Sindikat Perdagangan Manusia Pengungsi Rohingya di Aceh
27 November 2023 7:45 WIB
·
waktu baca 8 menitPolres Aceh Timur mengusut dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 36 orang Rohingya yang mendarat di Ule Ateng, Aceh Timur. LSM Kontras meminta agar pengamanan terhadap pengungsi diperketat karena mereka rawan menjadi korban TPPO.
Kapolres Aceh Timur, AKBP Andy Rahmansyah, mengatakan pihaknya telah menangkap seorang sopir truk serta masih mencari dua orang berinisial L dan I yang ditetapkan sebagai tersangka sindikat TPPO.
“Untuk 36 orang itu disengaja, memang sudah direncanakan dan melibatkan uang. Sehingga itu kami tetapkan tersangka dengan pasal imigrasi dan pasal TPPO,“ ujar Andy kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan masing-masing dari 36 orang Rohingya itu membayar lebih dari US$1.000 (Rp15,5 juta) untuk pergi ke Aceh menggunakan kapal kecil sebelum kemudian dipindahkan ke provinsi lain untuk melakukan perjalanan ke negara tujuan akhir.
Dugaan adanya sindikat penyelundupan orang diperkuat dengan pernyataan seorang pengungsi Rohingya bernama Zakaria yang membayar agen Rp20 juta untuk mengantarkan istri dan anak-anaknya naik kapal dari kamp pengungsi di Bangladesh ke Aceh.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Azharul Husna, mengatakan pemerintah dan penegak keamanan perlu memperketat aturan penyediaan akomodasi bagi pengungsi.
Sebab, mereka sangat rentan menjadi korban praktik TPPO.
“Di sinilah akar masalahnya. Penting untuk pemerintah memperketat jaringan ini. Bagi pengungsi, hampir tidak ada jalan untuk keluar selain menggunakan jaringan ini,“ ujar Husna.
Sementara, Plt Asisten Deputi Bidang Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Luar Biasa Kemenkopolhkam, Benny M Saragih, enggan mengomentari dugaan TPPO tersebut.
Ia dan Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Kemenko Polhukam mendarat di Aceh Minggu (26/11) untuk melakukan peninjauan penanganan pengungsi Rohingya.
Sebelumnya, pengungsi Rohingya di Cox‘s Bazaar, Bangladesh diketahui membayar sekitar US$1.100 (setara Rp17,1 juta) kepada penyelundup untuk melakukan perjalanan menuju Indonesia atau Malaysia.
Polisi mendalami dugaan sindikat TPPO di Aceh Timur
Kapolres Aceh Timur AKBP Andy Rahmansyah, mengatakan berdasarkan keterangan sopir truk, 36 pengungsi Rohingya itu tiba di Aceh Timur menggunakan kapal kecil. Semula 36 pengungsi tersebut dipindahkan dari kapal besar berisi 275 pengungsi ke sebuah kapal kecil.
Terungkapnya kasus tersebut berawal dari informasi yang diberikan masyarakat setempat terkait dugaan penyelundupan imigran Rohingya di Desa Ule Ateng, Kecamatan Madat, Aceh Timur, Minggu (19/11) dini hari.
Para pengungsi yang sampai di daratan Aceh Timur menggunakan kapal kecil dijemput dengan dua truk mini yang mengantarkan mereka ke lokasi berikutnya.
“Sopir truk itu mengaku mendapat uang DP [Down Payment] Rp3 juta, dari seluruhnya Rp15 juta. Kemudian, sopir truk itu akan mengambil orang Rohingya di tempat yang sudah ditentukan oleh saudara L, yang sudah tahu di mana tempatnya,“ jelas Andy.
Saat ini, Andy mengatakan bahwa sopir truk sudah ditahan, sementara orang berinisial L yang berkomunikasi langsung dengan tersangka I di lokasi lain, masih dalam pencarian.
Para pelaku dijerat Pasal 120 ayat 1 dan (2) undang-undang keimigrasian nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, dan atau Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 6 jo Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Andy menduga bahwa Indonesia bukanlah negara tujuan akhir bagi 36 pengungsi Rohingya tersebut.
“[Mereka] dibawa ke provinsi lain, dan dari provinsi lain kita belum tahu mau dibawa ke mana. Karena kita belum melakukan penyelidikan karena masih terputus dengan saudara L tadi,“ ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah pengungsi yang ditetapkan sebagai saksi korban, Andy menemukan bahwa mereka membayar agen di kamp pengungsi Cox’s Bazaar di Bangladesh untuk mengantarkan mereka ke Aceh seharga 100.000 Taka Bangladesh atau sekitar US$1.000.
“Waktu di Bangladesh ada agen mereka [pengungsi Rohingya], ini yang masih berbahasa Indonesia dan Inggris terbata-bata. Di Bangladesh dihubungi agennya ke Indonesia,“ pungkasnya.
Seorang pria Rohingya yang kini sudah menetap di Malaysia, Zakaria, mengaku membayar Rp20 juta agar istri dan ketiga anaknya dapat naik kapal ke Aceh.
“Saya bayar Rp20 juta untuk mereka pergi naik kapal kayu,” kata Zakaria kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ia berangkat dari Myanmar menuju Thailand pada tahun 2015. Sementara, istri dan tiga orang anaknya disuruh untuk mengungsi ke kamp di Bangladesh.
"Saya dulu pergi tahun 2015, masuk Thailand dan sekarang di Malaysia," ujar Zakaria, yang berusia 40 tahun.
Pada November 2023, ia membayar agen untuk membantu menyediakan kapal untuk mengirim keluarganya ke Aceh. Kini, Zakaria hanya menunggu waktu untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang telah berpisah selama delapan tahun.
"Saya di sini kerja serabutan saja, tak ada uang, dan baru sembuh sakit, kalau ada uang saya mau ketemu mereka," kata Zakaria dalam bahasa Melayu.
Istri dan ketiga anak Zakaria merupakan bagian dari gelombang pertama pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh beberapa pekan lalu.
Namun, Zakaria tak tahu identitas orang yang ia kirimi uang. Yang jelas, orang itu ada di Bangladesh.
Koordinator Kontras Aceh, Azahrul Husna, mengatakan bahwa seringkali pengungsi tidak punya jalan lain selain beralih ke jaringan penyelundupan illegal agar dirinya atau keluarganya dapat sampai di negara yang aman.
Padahal, lanjut Husna, pengungsi yang melalui jalur tersebut rentan menjadi korban kekerasan dan tindak pidana lainnya.
”Orang-orang yang ter-zalimi ini, yang tidak punya identitas, tidak punya kartu apa pun untuk menyelamatkan diri memang, tampaknya tidak ada jalan lain selain menggunakan penyelundup orang,” ujar Husna kepada BBC News Indonesia.
Selain sopir truk yang ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam TPPO, Husna mengatakan potensi adanya aktor-aktor lain yang ikut bermain cukup besar.
Berdasarkan temuan Kontras, dalam sebuah kasus penyelidikan TPPO di Lhokseumawe beberapa waktu lalu, ditemukan adanya keterlibatan purnawirawan dari kepolisian yang bergabung dalam jaringan penyelundupan setelah selesai tugas.
“Jaringan ini bisa siapa saja. Termasuk jadi kaki tangan. Purnawirawan polisi juga ada yang jadi bagian. Jadi saya enggak bilang orang, karena ini bisa siapa saja. Tapi ini jaringan besar yang harusnya diselesaikan atau diungkap oleh pihak aparat keamanan,” ujar Husna.
Lebih lanjut, Husna mengatakan bahwa gelombang pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh memang bertambah seiring dengan meningkatnya frekuensi kekerasan oleh junta militer di Myanmar. Kini, jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sudah melebihi 1.200.
“Kepolisian atau aparat keamanan negara itu harus bekerja [mengatasi] untuk isu-isu penyelundupan. Jadi pengungkapan dan kemudian keamanan, itu harus ditingkatkan, termasuk di kamp pengungsi,” tegasnya.
Kapolres Aceh Timur, AKBP Andy meyakini bahwa masih ada banyak pihak-pihak lain yang terlibat dalam dugaan sindikat TPPO. Namun, hal tersebut masih dalam proses penyelidikan.
“Pasti ada beberapa orang terlibat. Insya Allah, siapapun yang terlibat akan saya tindak. Tidak peduli itu siapa. Siapapun yang terlibat akan saya usut sampai akar-akarnya, tanpa pandang bulu,” kata Andy.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pihak kepolisian akan bekerja sama dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah TPPO.
“Jadi informasi yang kita dapatkan juga dari masyarakat. Itu yang kita lakukan. Bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat. Karena TPPO ini tidak akan bisa diberantas oleh polisi sendiri, harus melibatkan masyarakat,” tuturnya.
Kemenkopolhukam melakukan peninjauan kamp pengungsi
Pada Minggu (26/11), Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Kemenko Polhukam melakukan kunjungan kerja penampungan sementara pengungsi Rohingya yang berada di Kabupaten Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Besar.
Plt Asisten Deputi Bidang Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Luar Biasa Kemenkopolhkam, Benny M Saragih, mengatakan tujuan Kemenpolhukam mengirimkan satgas adalah untuk melihat dan memonitoring penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Namun, ia enggan untuk mengomentari dugaan TPPO di Aceh yang melibatkan pengungsi Rohingya.
“Nanti kita lihat sejauh mana keterlibatan masuk dalam sindikat [TPPO]. Kita belum tahu. Justru kedatangan kita ke sini juga untuk sekaligus mengecek bagaimana penanganannya, memonitoring pengungsi di penampungan-penampungan yang baru datang,” kata Benny kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan bahwa saat ini, Polda masih melakukan penyelidikan terhadap dugaan TPPO sehingga proses masih berjalan. Oleh karena itu, pihak Kemenko Polhukam masih menunggu hasil pemeriksaan Polda Aceh terkait dugaan itu.
“Karena kesulitan juga komunikasi kita dengan bahasa dengan mereka. Kita lihat dulu, kalau itu saya belum berani komentar terkait masalah itu. Karena masih berupa dugaan,” katanya.
Indikasi TPPO pernah terjadi sebelumnya
Dirreskrimum Polda Aceh Kombes, Ade Harianto, mengatakan indikasi terkait kedatangan pengungsi etnis Rohinya sebetulnya sudah ada sejak 2015, ketika warga Rohingya mulai mengungsi ke Aceh.
Sejak 2015, kata Ade, Polda Aceh dan jajaran sudah menangani lebih dari 20 kasus dengan tersangka 24 orang.
“Modusnya hampir sama, yaitu [warga] Rohingya masuk ke Aceh kemudian mencari jalan untuk melarikan diri, khususnya ke Malaysia. Karena memang diduga sudah banyak saudara dan kerabatnya berada di Malaysia,” ujar Ade.
Pada Februari 2022, sebanyak 31 orang Rohingya berhasil melarikan diri dari Balai Latihan Kerja (BLK) Kandang, yang terletak di Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh.
Kejadian itu merupakan jumlah terbanyak kasus pelarian Rohingya di Aceh sepanjang 2022, setelah gelombang kedatangan lebih dari 100 orang melalui kapal yang nyaris tenggelam di penghujung tahun lalu.
Menurut data UNHCR pada Februari 2022, dari 105 pengungsi Rohingya yang terdaftar dan ditampung di BLK Lhokseumawe, hanya 41 orang yang tersisa. Sebanyak 64 orang lain telah berhasil kabur dengan cara sama: merusak pagar belakang di dekat kamar mandi yang terbuat dari seng.
Menurut informasi yang dikumpulkan BBC News Indonesia dari orang-orang yang tahu seluk beluk jalur kabur para pengungsi, mereka yang berhasil kabur ini kemudian mengendap-endap dan bersembunyi di rawa selama beberapa jam, menunggu sinyal dari penjemput yang kemudian akan membawa mereka ke Medan.
Sejumlah warga Rohingya mengaku kepergian mereka karena suruhan oleh anggota keluarga yang terlebih dahulu berada di Malaysia.
Sebagian dari mereka berusaha menuju ke Malaysia namun terdampar di Aceh karena kerusakan mesin kapal, dalam perjalanan dari kamp pengungsi di Bangladesh, Cox's Bazar.
Secara umum komunitas Rohingya di Malaysia juga lebih banyak dan mereka bisa bekerja walaupun secara ilegal.