Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Prabowo Janji Hapus Outsourcing, Realistis atau Sekadar Ucapan Manis?
5 Mei 2025 10:00 WIB
Prabowo Janji Hapus Outsourcing, Realistis atau Sekadar Ucapan Manis?
Di hadapan ribuan buruh pada aksi May Day 2025 di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menghapus sistem alih daya atau outsourcing. Sejumlah ekonom dan serikat buruh menyebut wacana itu harus dibarengi dengan konsistensi kebijakan. Namun mengapa ada yang ragu praktik alih daya benar-benar bisa dilenyapkan?
Penghapusan outsourcing adalah satu dari beberapa janji Prabowo, menyusul masukan dari pimpinan sejumlah konfederasi buruh.
Prabowo membuat klaim akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan meminta mereka untuk melakukan kajian atas tuntutan penghapusan outsourcing.
"Saya akan meminta Dewan Kesejahteraan Nasional mempelajari bagaimana caranya kita kalau bisa, tidak segera, tapi secepat-cepatnya kita ingin menghapus outsourcing," kata Prabowo.
Namun, Prabowo juga menekankan pentingnya sikap realistis dari para buruh dan menyebut investasi yang minim akan berdampak pada kurangnya lapangan pekerjaan.
"Harus juga realistis. Kita juga harus menjaga kepentingan para investor-investor. Kalau mereka tidak investasi, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja," ujarnya.
Satu hari setelah Prabowo menyebut janji itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli bilang bahwa pernyataan Presiden Prabowo akan menjadi landasan dalam penyusunan peraturan menteri tentang outsourcing.
Yassierli berkata, lembaganya sedang mengkaji pembuatan undang-undang ketenagakerjaan baru. Dia menyebut kajian itu sejalan perintah Prabowo, sekaligus putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Nomor 2023 terkait UU 6/2023 tentang Cipta Kerja.
Beberapa pengamat ekonomi yang diwawancarai BBC News Indonesia menilai janji Prabowo mesti dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan komitmen legislatif.
"Jika sistem outsourcing tidak direvisi secara menyeluruh, maka cita-cita peningkatan kesejahteraan buruh hanya akan menjadi jargon kosong tanpa implementasi nyata," ujar Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta.
Pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor, Didin Damanhuri, menyebut pidato Prabowo pada May Day 2025 harus dilanjutkan dengan revisi UU Ketenagakerjaan.
"Karakter pidato Prabowo yang menyenangkan publik itu janganlah berhenti di pidato," tutur Didin.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Jumisih, mendukung wacana penghapusan outsourcing. Dia bersedia berdialog dengan pemerintah untuk bersama-sama mencari solusi.
Namun Ketua Umum Serikat Pekerja Kampus, Dhiya Al-Uyun, "tidak berharap banyak" dari janji Prabowo.
"Saya tidak yakin Prabowo akan melakukan janjinya untuk menarik outsourcing ini karena orang-orang di sekitarnya adalah orang-orang yang selama ini mendukung UU Cipta Kerja," ujarnya.
"Apakah kemudian Prabowo siap untuk pasang badan?" kata Dhiya.
Di tengah gelombang PHK dan perekonomian yang lesu, muncul pertanyaan mengenai seberapa realistis penghapusan outsourcing bisa dilaksanakan.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, angka PHK mencapai lebih dari 25.000 pada tahun 2022
Pada 2023, angka itu naik dua kali lipat menjadi 64.855 dan kemudian melonjak sampai tiga kali lipat yakni 77.965 pada 2024.
Apa saja sisi positif dan negatif dari penghapusan outsourcing?
Sebagian pengamat menilai penghapusan outsourcing akan membawa dampak positif yang besar bagi kesejahteraan pekerja.
Pengamat ekonomi pembangunan dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut penghapusan outsourcing akan memberikan buruh kepastian kerja, akses jaminan sosial, serta peluang pengembangan karier yang lebih jelas.
"Ini akan meningkatkan daya beli dan loyalitas kerja, yang pada akhirnya mendorong produktivitas nasional," ujar Syafruddin.
Sementara pihak industri, kata dia, akan mendapat manfaat dari tenaga kerja yang lebih stabil dan terlatih.
"Secara sosial, penghapusan ini menciptakan rasa keadilan dan mengurangi kesenjangan antara pekerja tetap dan pekerja kontrak," ujarnya.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, mengatakan saat ini kerangka hukum yang berlaku memperbolehkan outsourcing pada pekerjaan yang bukan inti.
Beberapa contoh pekerjaan penunjang, antara lain termasuk keamanan, kebersihan, transportasi, katering, dan layanan pendukung lainnya.
"Dalam praktiknya ketentuan ini sangat longgar. Banyak perusahaan memanfaatkan celah hukum ini untuk mengalihdayakan pekerjaan yang seharusnya bersifat strategis dan permanen," kata Achmad.
Sebagai akibatnya, ujar Achmad, buruh outsourcing tidak hanya mengalami ketidakpastian kerja, tetapi juga sering kali menjadi korban pemutusan hubungan kerja sepihak dengan pesangon yang tidak sesuai.
"Para pemilik modal terus menumpuk keuntungan dari model hubungan kerja yang timpang ini," ujarnya.
Baca juga:
Meskipun demikian, para pengamat juga memperingatkan penghapusan outsourcing juga membawa dampak negatif.
Syafruddin mengatakan perusahaan mungkin akan berhati-hati dalam perekrutan karena beban jangka panjang dianggap lebih besar.
"Ada risiko PHK massal jika transisi tidak dirancang dengan matang. Sektor tertentu yang sangat bergantung pada fleksibilitas tenaga kerja bisa mengalami tekanan biaya," kata Syafruddin.
Syafruddin menyarankan pemerintah harus hadir sebagai penyeimbang, misalnya memberi insentif, pendampingan hukum, dan reformasi sistem pengupahan.
"Dengan pengaturan yang tepat, dampak negatif bisa diminimalkan dan manfaat sosial dapat dimaksimalkan," ujarnya.
Meski mengapresiasi niat baik pemerintah untuk menghindari eksploitasi buruh, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, khawatir penghapusan outsourcing secara menyeluruh justru akan menjadi bumerang.
Penghapusan outsourcing seluruhnya ditakutkan malah "mematikan" perusahaan-perusahaan penunjang atau pihak ketiga yang merekrut pekerja non-inti, seperti jasa kebersihan dan keamanan.
"Selain itu, pekerja outsourcing yang pada umumnya dari masyarakat pendidikan rendah itu akan kehilangan pekerjaan di tengah gelombang PHK saat ini," tutur Tadjuddin.
"Menurut hemat saya, pada saat ini kita kita butuh menciptakan peluang kerja, bukan mengurangi peluang. Kalau outsourcing dihapuskan, itu berarti mempersempit lagi peluang kerja bagi masyarakat pendidikan rendah."
Tadjuddin menyarankan agar pemerintah melakukan kajian menyeluruh untuk menentukan jenis pekerjaan outsourcing yang dihapus dan yang tidak.
Seberapa realistis penghapusan outsourcing menurut serikat buruh?
Di lapangan, skema alih daya alias outsourcing tidak hanya dirasakan pekerja non-inti.
Ketua Umum Serikat Pekerja Kampus, Dhiya Al-Uyun, mengatakan pihaknya mendapat laporan dari orang-orang yang menjadi "korban" outsourcing.
"Ada satu dosen dari Jawa Timur yang selama tujuh tahun bekerja di universitas negeri tanpa perjanjian yang jelas," tutur Dhiya via telepon, Minggu (04/05).
Dhiya mengatakan, pendapatan dosen outsourcing tidak tentu tiap semester karena dia dibayar per mata kuliah yang jumlahnya berbeda-beda tiap fakultas.
"Tiap kali menerima surat dari kampus ada ketakutan apakah akan di-PHK tiba-tiba mengingat dia sudah berkeluarga. Dia datang ke SPK karena satu tahun upah tidak dibayar," ujar Dhiya.
"Padahal dia juga harus mengerjakan tugas akreditasi 'membantu dosen senior' padahal itu tidak membantu pendapatan."
Dhiya menekankan permasalahan outsourcing adalah eksploitasi yang dirasakan pekerja.
Menanggapi potensi peningkatan jumlah pengangguran apabila outsourcing dihapuskan, Dhiya mengingatkan pekerja outsourcing kenyataannya hanya dihargai pada masa tertentu dan dapat dipecat kapan saja.
"Justru dengan adanya outsourcing ini, akan lebih memperbanyak orang yang kemudian di-PHK," ujarnya.
Terpisah, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Jumisih, mengatakan para pekerja outsourcing sering kali tidak dapat menyelesaikan masalah seperti upah atau jam kerja.
Jumisih menyebut baik perusahaan utama atau pihak pertama maupun perusahaan outsourcing "saling lempar tanggung jawab" ketika ada perselisihan dari pihak pekerja alih daya.
Selain itu, Jumisih mengatakan pada kenyataannya makin banyak buruh outsourcing karena jenis pekerjaan alih daya justru merambah ke sektor inti produksi.
UU 13/2003 memberikan batasan pada sifat pekerjaan yang boleh dialihdayakan yang kemudian ditajamkan contoh-contohnya melalui Kepmenaker 220/2007.
Jumisih menyebut penghapusan batasan outsourcing pada UU Cipta Kerja 2023 "membuka keran" bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan outsourcing.
Bagi Jumisih, selain soal upah, sistem alih daya juga menyimpan banyak masalah mulai dari soal jam kerja, cuti, jaminan sosial, dan hari libur.
"Dalam kasus-kasus tertentu, upah dipotong oleh perusahaan outsourcing. Jadi upah yang diterima pekerja berkurang," ujar Jumisih.
Baca juga:
Menanggapi janji Prabowo untuk menghapus outsourcing, Dhiya mengaku "tidak mau berharap banyak".
"Penghapusan outsourcing berarti pencabutan UU Cipta Kerja. Sampai sekarang, saya tidak melihat ada kesungguhan ke sana," ujar Dhiya.
"Lingkaran Prabowo adalah orang-orang yang sangat mendukung UU Cipta Kerja itu.
"Kalau memang Prabowo serius untuk kemudian berpihak pada buruh hanya satu, berikan upah layak pada buruh atau pekerja. Tidak ada kata lain," tuturnya.
Sementara itu, Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia menyatakan mendukung penghapusan outsourcing. Jumisih, ketua serikat itu, bersedia berdialog dengan pemerintah untuk memitigasi konsekuensinya.
"Apapun yang disampaikan pejabat negara itu ada pertanggungawaban publik. Jadi, apa pun yang dia sampaikan, itu mesti direalisasikan, meskipun itu berat," ujarnya.
"Ini, kan, sebetulnya tuntutan kita sudah dari puluhan tahun lalu. Prabowo berani menyampaikan, maka itu ada pertanggungjawaban, jangan mengumbar janji kalau tidak bisa menepati. Direalisasikan? Tergantung political will Pak Prabowo," kata Jumisih.
Di sisi lain, Jumisih berharap setidaknya penghapusan outsourcing bisa dilakukan secara bertahap.
"Kalau sekarang kan sudah liberal sekali, ya, outsourcing itu," ujarnya.
Yang jelas, Jumisih mendesak peran negara untuk memastikan tidak ada ketimpangan relasi kuasa antara pencari kerja dan perusahaan, khususnya di industri padat karya.
"Kadang-kadang pelamar kerja terpaksa menandatangani perjanjian kerja karena butuh kerja meski upah di bawah rata-rata. Nah itu kenapa? Karena posisi yang tidak imbang dan ada relasi kuasa," ujarnya.
Asosiasi pengusaha: 'Timing kurang tepat'
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan momentum penghapusan outsourcing saat ini kurang tepat.
Apalagi, menurut Bob, Indonesia saat ini sedang mengalami gelombang PHK di mana-mana.
"Bukan enggak realistis, ya, tapi timing-nya juga enggak tepat. Karena kita lagi mengalami penurunan perekonomian. Mestinya pada waktu terjadi tekanan ekonomi, ini semua jendela-jendela peluang-peluang terhadap employment itu harus dibuka. Bukan malah ditutup," ujarnya.
Selain itu, Bob menilai bahwa outsourcing selama ini memiliki sisi positif dalam pemerataan ekonomi, terutama bagi perusahaan-perusahaan kecil.
Menurutnya, penyerahan sebagian pekerjaan dari perusahaan besar memungkinkan perusahaan kecil untuk lebih fokus dan berkembang.
Alih-alih penghapusan sistem alih daya, Bob menekankan bagaimana meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pekerja outsourcing serta membina perusahaan outsourcing.
Baca juga:
Di sisi lain, Bob menilai perlu ada perubahan cara pandang seperti "profit perusahaan diperoleh dari mengurangi kesejahteraan buruh" dan sebaliknya "kesejahteraan buruh mengurangi profit perusahan".
"Misalnya pensiun. Kan, kita bisa bikin pensiun di luar perusahaan. Ada BPJS ketenagakerjaan, ada pensiun yang diselenggarakan oleh lembaga dana pensiun lembaga keuangan," ujarnya.
Bob berpendapat perlunya kajian mendalam mengenai isu ini, terutama dari kalangan akademisi yang independen.
Menurutnya, analisis dari pihak yang tidak memiliki kepentingan, baik pekerja maupun pengusaha, akan membantu memahami akar permasalahan secara menyeluruh.
Di sisi lain, Bob juga mengingatkan janji Prabowo tentang outsourcing ini juga dibarengi dengan imbauan agar para buruh realistis karena iklim investasi yang buruk juga dapat mengurangi lapangan pekerjaan.
"Jadi, sebenarnya Presiden pun sudah sudah mengetahui bahwa harus dilihat dari dua sisi," ujarnya.
Anton Supit, anggota Dewan Pakar Apindo, mengakui adanya perbedaan filosofi antara pengusaha dan pekerja.
Dia juga menyoroti konotasi outsourcing saat ini sudah terlanjur negatif.
Untuk itu, dia menyebut pemerintah harus bertindak ibarat "wasit".
"Pemerintah tidak boleh memihak pengusaha, tidak boleh memihak buruh juga. Pemerintah memihak kepada kepentingan nasional kita apa? Kepentingan nasional kita saat ini adalah memberi lapangan kerja kepada seluas mungkin," ujar Anton.
"Pandangan saya pribadi, ke depannya barangkali tenaga kontrak harus mendapatkan upah lebih banyak, sedikit lebih baik daripada yang pekerja tetap. Lebih baik dikompromikan seperti itu," ujarnya.
Hal-hal apa yang harus dilakukan untuk menghapus outsourcing?
Guru besar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor, Didin S. Damanhuri, menyebut pidato Prabowo pada May Day 2025 harus dilanjutkan dengan revisi UU Ketenagakerjaan.
Didin menekankan pentingnya untuk kembali ke amanah Konstitusi dalam konteks isu pekerja alih daya ini.
Seperti diketahui, landasan konstitusional hak pekerja di Indonesia tertuang dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945.
Pasal 27 ayat (2) menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sementara itu, Pasal 28D ayat (2) secara spesifik mengatur hak atas imbalan dan perlakuan adil dalam hubungan kerja.
Langkah yang mendesak, menurut Didin, adalah revisi UU Cipta Kerja secara konkret.
Dia melihat dua jalur yang mungkin ditempuh untuk revisi ini. Pertama, inisiatif dari pemerintah, di mana Kementerian Ketenagakerjaan akan menyiapkan draf revisi dan kemudian diajukan oleh presiden.
Kedua, inisiatif dari DPR.
"Bisa dua kemungkinan kan, inisiatif pemerintah atau DPR untuk merevisi pasal itu. Itu aja," jelas Didin.
Dia menambahkan bahwa jika revisi tersebut telah disahkan oleh DPR, maka janji presiden dapat dikatakan telah dilaksanakan
"Yang penting pelaksanaan, bukan pidato," ujarnya.
Terpisah, Ketua FSBPI, Jumisih, mendesak agar UU Ketenagakerjaan yang baru nantinya secara lugas melarang perusahaan mempekerjakan orang dengan sistem alih daya.
Bagaimana kronologi aturan outsourcing sejauh ini?
Legalisasi outsourcing pertama kali muncul dari UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
UU ini melegalkan praktik outsourcing tetapi membatasinya pada pekerjaan penunjang. Salah satu alasan pelegalannya praktik outsourcing dinilai sudah berjalan sehingga diperlukan landasan hukum.
Serikat buruh mengkritisi UU 13/2003 karena dinilai merugikan status kerja dan kesejahteraan pekerja outsourcing.
uncak ketidakpuasan terjadi pada tahun 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang memperluas hak pekerja outsourcing untuk mendapatkan status kerja tetap jika pekerjaan mereka bersifat permanen.
Baca juga:
Polemik outsourcing memasuki babak baru dengan pengesahan UU11/2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).
UU ini menghapus batasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan outsourcing, yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Aturan ini memicu kekhawatiran luas di kalangan pekerja dan serikat buruh karena dianggap makin mengancam kepastian kerja sekaligus berpotensi memicu perluasan praktik outsourcing hingga pekerjaan inti perusahaan.
Pada Oktober 2024, MK mengeluarkan putusan MK Nomor 168 Nomor 2023 terkait UU Cipta Kerja.
Meskipun tidak membatalkan keseluruhan undang-undang, MK meminta pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru dalam dua tahun dan secara implisit mengembalikan pentingnya pembatasan outsourcing pada pekerjaan non-inti sesuai semangat UU 13/2003.
Apa kata pemerintah?
Pada Jumat (02/05), Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan pernyataan Presiden Prabowo akan menjadi landasan dalam penyusunan Peraturan Menteri tentang outsourcing.
"Saya sebagai Menteri Ketenagakerjaan tentunya menyambut baik dan akan siap menjalankan arahan atau kebijakan Presiden Prabowo sehubungan dengan outsourcing tersebut," ujarnya.
Yassierli menambahkan pihaknya juga sedang mengkaji pembuatan undang-undang ketenagakerjaan baru yang sejalan perintah Presiden dan putusan MK 168/2023 terkait UU Cipta Kerja.
Yassierli menyebut semua kebijakan ketenagakerjaan harus sejalan dengan norma konstitusi yang menjamin hak setiap orang untuk bekerja serta memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.