Pro-Kontra Aturan Lingkup Privat, dari Kedaulatan hingga Ancaman Pelanggaran HAM

Konten Media Partner
18 Juli 2022 18:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perusahaan teknologi besar dunia seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsaap, Youtube, Google, Yahoo, dan Bing belum ada dalam daftar PSE lingkup privat.
zoom-in-whitePerbesar
Perusahaan teknologi besar dunia seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsaap, Youtube, Google, Yahoo, dan Bing belum ada dalam daftar PSE lingkup privat.
Keputusan pemerintah memblokir perusahaan teknologi yang tidak mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat menuai pro-kontra di masyarakat, mulai dari warganet hingga pengamat keamanan siber.
Pemerintah akan memutuskan akses bagi aplikasi-aplikasi yang tidak mendaftar paling lambat 20 Juli 2022.
"Nah saya menyarankan sekali lagi, segeralah mendaftar, apalagi pendaftarannya dilakukan dengan OSS (Online Single Submission)," kata Johnny G Plate di Pusdikhub Kodiklat AD, Cimahi, Senin (18/07), dilansir dari Antara.
Johnny mengatakan, negara-negara lain di dunia pun telah menerapkan aturan yang serupa bagi perusahaan teknologi yang beroperasi di negara mereka. Sehingga, jika tidak mendaftar, katanya, aplikasi tersebut adalah ilegal di Indonesia.
"Ini kan harus legal semua, mari kita dukung sama-sama. Karena ini bagian dari tertib adminstrasi dan taat kepada undang-undang… Pasti ada sanksinya, semua (perusahaan) yang tidak mendaftar berarti tidak terdaftar," katanya.
Hingga, Senin (18/07), diakses dari situs Kominfo, terdapat 87 PSE Asing yang terdaftar.
Perusahaan teknologi besar dunia seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, Youtube, Google, Yahoo, dan Bing belum ada dalam daftar tersebut sejauh ini.
Perusahaan teknologi besar dunia seperti Instagram belum ada dalam daftar PSE.
Sementara aplikasi yang sudah terdaftar, di antaranya, adalah Telegram, TikTok, Mobile Legends, Ragnarok X, Glance, Shareit, Linktree, Change.org, Spotify.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menjelaskan pendaftaran PSE lingkup privat bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang andal, aman, terpecaya, dan bertanggung jawab.

Pro-kontra di sosial media

Ketentuan pendaftaran bagi PSE lingkup privat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Sistem elektronik yang wajib mendaftarkan diri adalah portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan melalui internet yang memberikan layanan perdagangan, transaksi keuangan, pengiriman materi atau muatan digital berbayar, layanan komunikasi, mesin pencari, dan pemrosesan data pribadi.
Keminfo mengatakan telah mengingatkan para PSE sejak dua tahun lalu untuk mendaftar melalui Online Single Submission (OSS).
Warganet menyampaikan tanggapan beragam atas keputusan PSE tersebut. Akun yang meragukan keputusan tersebut, di antaranya, adalah @muestafid yang mengatakan, "Apakah dengan PSE masyarakat bisa menjadi lebih cerdas? atau kominfo meragukan kecerdasan masyarakat hingga butuh dibuatkan PSE?"
Bahkan, seorang warganet mengaitkan keputusan tersebut dengan kemungkinan dampak yang akan muncul.
Senada, akun @wewegomb mengatakan,"google & meta dkk belum daftar PSE kominfo, soalnya di UU ada syarat harus ngasih data ke pihak berwajib indonesia kalo dibutuhkan. di negara asalnya aja mereka ga bisa semudah itu ngasih data ke polisi atau pemerintah. bentar lagi mesti pake VPN."
Sementara itu SAFENet, organisasi yang mempertahankan hak digital di Asia Tenggara, mengimbau warganet untuk menyampaikan penolakannya dengan menandatangani Surat Protes Netizen.
Selain penolakan, terdapat warganet yang menyampaikan dukungannya seperti untuk kepentingan keamanan masyarakat dan juga pendapatan negara.
Akun @anatnatnatnat menuliskan: "kalo gua baca, jadinya kominfo minta apk apk ini untuk meregistrasi apk mereka di databasenya kominfo (cmiiw PSE). nah kenapa? karena ini yang pertama untuk menjaga regulasi dan koordinasi aplikasi agar aman digunakan orang indo, yang kedua buat bayar pajak karena-"
Begitu juga dengan akun @Pencerah___ : "Setiap aplikasi yang belum terdaftar di PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) akan segera diblokir oleh Kominfo. Whatsapp, Google, Facebook, Instagram, hingga Netflix belum terdaftar di PSE kita. Masa cari untung saja, tapi gak mau dipajakin. Benar gak mas @budimandjatmiko?"

'Kedaulatan digital Indonesia'

Pengamat keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan, kewajiban PSE mendaftar ke Kominfo menyangkut kedaulatan digital Indonesia.
"Lihat di Uni Eropa, PSE sangat takut dan taat kepada mereka. Ini karena penegakan aturan mereka yang tegas, tidak pandang bulu, konsisten, profesional, didukung oleh semua negara Uni Eropa dan menjadi tolok ukur bagi dunia," kata Alfons saat dihubungi BBC News Indonesia, Senin (18/07).
"Masyarakat Indonesia harus mendukung penegakan aturan ini karena ini menyangkut kedaulatan digital dan kemandirian bangsa kita di ruang digital," tambahnya.
Perusahaan teknologi besar dunia seperti Facebook belum ada dalam daftar PSE.
Kebijakan ini, kata Alfons, akan membuat posisi pemerintah kuat dalam mengatur hingga mengawasi PSE.
Ia mencontohkan, Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawas keuangan tertinggi di Indonesia seperti harus meminta bantuan kepada Google ketika ingin membatasi aplikasi pinjaman online ilegal.
"Dengan adanya PSE ini artinya ada kontrol langsung dari pemerintah terhadap aplikasi yang bisa merugikan masyarakat Indonesia dan bisa melakukan tindakan yang lebih cepat tanpa harus tergantung dari pengelola layanan seperti Play Store atau Apps Store."
"Harusnya ini memang sudah dijalankan oleh pemerintah sejak lama, dan meskipun terlambat, setidaknya hal ini sudah dijalankan dan diharapkan diawasi dan diamati dengan seksama," ujarnya.
Namun, tidak lupa ia memberikan catatan, bahwa pelaksanaannya harus dilakukan dengan yang disebutnya elegan tanpa menimbulkan kekacauan.
"Komunikasikan dengan baik dan terukur. Berikan kesempatan yang adil dan cukup dengan timeline yang jelas dan profesional. Dan kalau memang harus melakukan tindakan tegas, kalau sudah diperingati dan tetap membandel, penegakan aturan tetap harus dilakukan," ujarnya.

'Pasal-pasal bermasalah'

Sementara itu, pengamat keamanan siber lain, pendiri Ethical Hacker Indonesia, Teguh Aprianto, dalam akun Twitternya mengatakan, terdapat pasal-pasal karet dalam peraturan tentang PSE lingkup privat.
"Soal pasal karet, karena terlalu luas & tidak ada definisi yg jelas, siapapun bebas mendefinisikan sesuai keinginan mereka dan ini berbahaya. Soal permintaan data di pasal 36, ingat kasus Apple vs FBI? Permintaan data itu ga bisa sembarangan, harus ada perintah dari pengadilan," tulisnya di Twitter.
"Coba pikir kenapa sampai sekarang Twitter, Google dan Meta (FB, IG, WA) masih belum mendaftarkan platform mereka ke PSE @kemkominfo? Jika platform ini ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri & privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," ujar Teguh.
Koalisi Advokasi Pemenkominfo 5/2020 yang terdiri dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), CIVICUS: World Alliance for Citizen Participation, Qbukatabu, menyebut pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Pertama, terkait penerapan tata kelola dan moderasi informasi dan/atau dokumen elektronik yang tercantum di Pasal 9 Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Pasal 9 ayat 3 berbunyi: "PSE Lingkup Privat wajib memastikan: a. Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang; dan b. Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.
Pasal 9 ayat 4 : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: a. melanggar ketentuan peraturan perundangundangan; b. meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan c. memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.
"Pendefinisian 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap pihak berwenang," tulis siaran pers koalisi.
Kedua, terkait permohonan untuk pemutusan akses dalam Pasal 14 ayat 1 yang berbunyi: "Permohonan Pemutusan Akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diajukan oleh: a. masyarakat; b. Kementerian atau Lembaga; c. Aparat Penegak Hukum; dan/atau d. lembaga peradilan."
Ayat 3 Pasal 14 menjelaskan lebih lanjut bahwa: "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mendesak dalam hal: a. terorisme; b. pornografi anak; atau c. konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum."
"Pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat "meresahkan masyarakat" dan "mengganggu ketertiban umum" dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai," tambah koalisi.
Terakhir, terkait permohonan akses data, informasi, dan/atau percakapan pribadi yang tercantum dalam Pasal 36, yang memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi.
"Hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua," tulisnya.
Untuk itu koalisi meminta pemerintah untuk menghentikan segera proses registrasi PSE lingkup privat lewat platform OSS, mencabut peraturan tersebut dan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil guna membahas dampak dari aturan tersebut.

Kominfo: 'Kita tidak lagi mentoleransi'

Perusahaan teknologi besar dunia seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsaap, Youtube, Google, Yahoo, dan Bing belum ada dalam daftar PSE lingkup privat.
Kominfo mengatakan telah mengingatkan para PSE sejak dua tahun lalu untuk mendaftar melalui OSS.
Untuk itu, kini Kominfo tidak lagi mentoleransi PSE yang tidak terdaftar pada PSE lingkup privat hingga 20 Juli 2022.
"Kita tidak lagi mentoleransi, kita sudah beri waktu dari tahun 2020, sekarang 2022. Pak Menteri sampaikan karena yang hadir (saat rapat) bukan langsung pimpinan dari negara asalnya, pesan yang disampaikan oleh Pak Menteri untuk disampaikan langsung kepada CEO dari perusahaan masing-masing," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan dalam siaran resmi Kominfo, Selasa (28/06).
Menurut Kominfo, data 30 Juni 2022, terdapat 4.634 PSE yang terdaftar, yaitu 4.559 PSE domestik dan 75 PSE global. Sementara itu, masih ada 2.569 PSE yang perlu mendaftar ulang untuk memutakhirkan data.