Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Produk China Membanjiri Indonesia di Balik Penutupan Puluhan Pabrik Tekstil dan Badai PHK - 'Kondisi Industri Tekstil Sudah Darurat'
3 Juli 2024 14:45 WIB
Produk China Membanjiri Indonesia di Balik Penutupan Puluhan Pabrik Tekstil dan Badai PHK - 'Kondisi Industri Tekstil Sudah Darurat'
Industri tekstil di Indonesia sedang dalam situasi "gawat darurat" menyusul penutupan puluhan pabrik serta pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih dari 13.000 pekerja karena imbas pasar global lesu dan produk impor dari China membanjir, kata pengamat industri pertekstilan. Adakah solusi untuk persoalan ini?
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan penurunan daya beli global dan konflik geopolitik yang diperparah dengan membanjirnya produk China di dalam negeri.
Sayangnya, menurut pengamat industri pertekstilan, Rizal Tanzil Rahman, pemerintah Indonesia justru membuka keran impor tanpa mempertimbangan kondisi industri tekstil nasional yang sudah darurat.
Adapun Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan akan menetapkan tarif bea masuk sebesar 200% terhadap produk impor dari China, sebagai "jalan keluar untuk perlindungan atas barang-barang yang deras masuk" ke Indonesia.
"Dalam satu hari dua hari ini, mudah-mudahan selesai permendag-nya (peraturan menteri perdagangan)," ujar Zulkifli di Bandung, Jawa Barat, seperti dikutip Antara, Sabtu (29/06).
Namun, apakah penerapan bea masuk 200% terhadap produk China yang disebut sebagai "jalan keluar" ini akan jadi solusi yang efektif bagi industri tekstil?
'Gaji belum dibayar, apalagi pesangon'
Ratusan buruh di pabrik PT Dupantex mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal setelah perusahaan tekstil raksasa di Pekalongan, Jawa Tengah, tersebut dinyatakan tutup per 6 Juni 2024 lalu.
Salah satu yang kena dampak adalah Bunayah.
Ibu tiga anak ini, mengaku mengalami ujian yang sangat berat setelah kena PHK oleh perusahaan yang sudah 25 tahun ia jadikan sandaran untuk bertahan hidup bersama keluarganya.
Meski telah kena PHK, dia belum mendapatkan gajinya dari tiga bulan yang lalu sementara status PHK sudah diterima.
"Iya saya pegawai tetap, sudah tiga bulan belum dibayar. Sebelum PHK ini, memang sempat terjadi gaji tertunda sekitar 3-4 bulan dan ini sudah diPHK gaji belum dibayarkan," ucapnya.
Bahkan tunjangan hari raya (THR) yang seharusnya ia terima sebelum Idulfitri 9 April lalu, baru diberikan 50% dari nominal THR yang harusnya diberikan.
"Gaji aja belum sama sekali [telat 3 bulan], apalagi pesangon," ucapnya.
Sebelumnya upah yang diterima Bunayah setara upah minimum kabupaten/kota (UMK), yakni Rp 2,3 Juta.
Jika nominal ini dikali tiga bulan berarti, perusahaan berutang kepada perempuan paruh baya ini sebesar Rp6,6 juta. Itu belum mencakup utang THR dan pesangon.
Bunayah menyebut dia bersama para buruh lainnya terus memperjuangkan hak mereka dengan berjaga di lokasi pabrik PT Dupantex - mencegah perusahaan menjual aset.
"Saya sementara memperjuangkan ini dulu, nanti kalau semuanya sudah selesai saya baru akan mencari pekerjaan," katanya.
Kini dia berharap mendapat bantuan pemerintah setempat atau pemerintah pusat supaya persoalan ini segera terselesaikan.
Kuasa hukum PT Dupantex, Hanungka Jinawi, menyebut pihaknya akan melakukan langkah-langkah yang terbaik untuk para karyawan maupun perusahaan. Hanungka juga membenarkan kondisi perusahaan tidak baik sehingga terpaksa melakukan PHK pada karyawannya.
"Perusahaan memang dalam kondisi keuangan yang tidak baik, kondisinya terus menerus menurun. Sehingga kami akan terus upayakan untuk memenuhi hak para karyawan," ujar Hanungka sebagaimana dikutip detikcom.
'Saya memilih berhenti'
Sementara itu, Dewi yang merupakan mantan buruh PT SAI Apparel di Semarang, Jawa Tengah, juga memutuskan untuk berhenti ketimbang menerima tawaran perusahaan agar pindah ke pabrik baru mereka di Grobogan dengan status kontrak.
Ibu dua anak ini bilang jarak tempuh dari tempat tinggalnya ke pabrik baru itu terbilang jauh, sekitar 30 kilometer. Dia mengeklaim upah yang akan diterima lebih kecil.
Baginya hal itu tak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan.
"Beda wilayah kan, UMK di Grobogan lebih kecil, bisa beda Rp1 jutaan dari UMK di Semarang yang lebih tinggi."
Kini Dewi memilih berkutat dengan celemek, pisau daging, dan ayam potong yang dijual di pasar.
"Ya modal kecil-kecilan jadi belum kelihatan hasilnya karena baru merintis, susah payah dulu tapi kan semua harus diusahakan."
Apa penyebab PHK dan penutupan industri tekstil?
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan industri tekstil nasional sedang "tidak baik-baik saja" saat ini.
Merujuk ke belakang, kondisi tersebut dimulai ketika pandemi Covid-19 telah mendorong peningkatan inflasi di seluruh dunia yang kemudian membuat daya beli atau permintaan global menurun.
Bersamaan dengan itu, orang-orang memprioritaskan makanan ketimbang produk pakaian sebagai kebutuhan utama, kata Jemmy.
"Jadi berimbas ke daya beli pakaian di Amerika, Uni Eropa, bahkan Jepang," ujar Jemmy.
Penyebab lain, menurut Jemmy, adalah konflik geopolitik seperti terjadi di Ukraina dan Rusia turut memengaruhi mandeknya pasar tekstil dunia.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, tambah Jemmy, turut berperan membuat ongkos belanja bahan baku menjadi lebih mahal lantaran sebagian besar masih impor.
Namun, kata Jemmy, penyebab terbesarnya ketika Kementerian Perdagangan merombak Permendag nomor 36 tahun 2023 yang terkait dengan aturan pertimbangan teknis (pertek).
Akibat Permendag itu, Jemmy menilai aturan mengenai impor direlaksasi.
Sederhananya, tidak ada lagi tata cara penerbitan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat memperoleh Persetujuan Impor (PI) bagi pengimpor umum untuk komoditas pakaian jadi, alas kaki, besi, baja, obat tradisional, kosmetik, dan elektronik.
Padahal Pertek itu, klaimnya, merupakan bentuk proteksi atau perlindungan bagi industri dalam negeri agar tetap bertahan di pasar domestik.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan berdalih merevisi Permendag nomor 36 tahun 2023 menjadi Permendag nomor 8 tahun 2024 karena adanya penumpukan kontainer barang impor di sejumlah pelabuhan.
Jemmy menyebut penumpukan kontainer itu ada yang berisi pakaian jadi dari China. Pasalnya, industri tekstil China sudah kembali berjalan begitu pandemi Covid-19 melandai.
"China itu negara produsen tekstil terbesar, mereka menjadi kelebihan kapasitas. Nah kelebihan produksi itu berimbas ke mana? Ke negara yang lemah dalam penerapan trade barrier [hambatan perdagangan] yaitu Indonesia," sambungnya.
Membanjirnya produk impor China, membuat produk industri tekstil nasional "tak kebagian kue," di pasar dalam negeri, sebut Jemmy, lantaran harganya jauh lebih murah.
"Ujung-ujungnya berimbas pada utilitas industri tekstil menurun yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja," ujar Jemmy kepada BBC News Indonesia.
Berapa banyak pabrik yang tutup?
Jemmy menyebut ada puluhan pabrik tekstil yang gulung tikar dan setidaknya lebih dari 13.800 pekerja diberhentikan.
Situasi itu, klaimnya, mulai terjadi pada akhir tahun 2022 dan puncaknya di tahun ini.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristandi, bilang terdapat 10 perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Enam di antaranya karena penutupan pabrik, sedangkan empat sisanya karena efisiensi jumlah pegawai.
Data itu, sebutnya, mungkin lebih sedikit daripada kondisi di lapangan mengingat tak semua perusahaan mau terbuka atas PHK massal ini.
"Yang terdata dan kami sudah minta izin untuk boleh ekspos itu yang tutup sejak Januari sampai awal Juni 2024 ada enam perusahaan yang tutup. Nah yang PHK karena efisiensi, yang mau diekspos ada empat perusahaan. Total pekerja yang diPHK sekitar 13.800," ujar Ristandi seperti dilansir detikcom.
Pabrik tekstil yang tutup alias gulung tikar dan melakukan PHK massal:
Pabrik tekstil yang melakukan PHK massal karena efisiensi:
Situasi industri tekstil nasional ibaratnya 'sudah di ICU'
Pengamat industri pertekstilan, Rizal Tanzil Rahman, menyebut dirinya sudah lama mewanti-wanti pemerintah soal industri tekstil nasional yang membutuhkan "perlakuan khusus" di saat pandemi Covid-19 dan sesudahnya.
Pasca-Covid19, kata Rizal, industri tekstil di dalam negeri sebetulnya belum sepenuhnya pulih gara-gara pasar global yang menurun.
Situasi serupa tersebut, klaimnya, sudah disadari oleh beberapa negara seperti India dan Turki.
Kedua negara itu, sebutnya, memberlakukan kebijakan proteksi dalam negeri.
"Karena mereka tahu kondisi dalam negeri harus diselamatkan," ucap Rizal.
"Soalnya China duluan recovery, artinya industrinya akan melakukan upaya normalisasi produksi. Tapi dunia belum siap, sementara [China] punya stok."
Sayangnya, menurut Rizal, pemerintah Indonesia justru membuka keran impor tanpa mempertimbangan kondisi industri tekstil nasional yang sudah darurat -dengan merevisi Permendag nomor 36 tahun 2023.
Dan kini akibatnya, puluhan pabrik tutup dan belasan ribu buruh diPHK.
"Sekarang [situasi industri tekstil] sudah seperti di ICU, bukan perawatan biasa. Sekali lagi kena hantaman, selesai. Ibarat mau tenggelam, sudah sampai ke hidung."
"Sebab sudah jumlah [barang impor] China banyak, tak terkontrol, harganya lebih murah. Itu yang saya sebut kita enggak bisa head to head dengan China tanpa adanya perlindungan dari pemerintah."
"Dicek aja grosir tekstil Indonesia kayak Tanah Abang, isinya produk China, Taiwan, Vietnam. Industri kita mau jualan di mana?"
"Sementara secara umum, warga beli barang karena murah, bagus, variasinya banyak."
Apa langkah pemerintah?
Merespons kondisi tersebut, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas dengan sejumlah menteri seperti Mendag Zulkifli Hasan, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menkeu Sri Mulyani, pada Selasa (25/06).
Zulkifli Hasan mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan untuk memberlakukan kembali Permendag nomor 36 tahun 2023 atau menerapkan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
Zulkifli Hasan kemudian mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan menetapkan bea masuk terhadap barang-barang impor dari China. Tarif bea masuk barang impor asal Cina ini bisa mencapai 200%.
"Dalam satu hari dua hari ini, mudah-mudahan sudah selesai permendagnya. Jika sudah selesai maka dikenakan apa yang kita sebut sebagai bea masuk, kita pakai tarif sebagai jalan keluar untuk perlindungan atas barang-barang yang deras masuk ke sini," ujar Zulkifli, di Bandung, Jawa Barat, seperti dikutip Antara, Sabtu (29/06).
Zulkifli mengatakan perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang sedang terjadi saat ini menyebabkan kelebihan produksi di China, sehingga membuat negara-negara Barat menolak produk impor dari China.
Dikhawatirkan ini akan berimbas pada semakin membanjirnya produk China di Indonesia, termasuk pakaian, baja dan tekstil. Maka dari itu, pemerintah akan menetapkan tarif bea masuk barang impor asal China, besarannya sekitar 100% hingga 200% dari harga barang, kata Zulkifli.
"Amerika bisa mengenakan tarif terhadap keramik terhadap pakaian [dari China] sampai dengan 200 persen, kita juga bisa," ujarnya
Adapun dalam konferensi pers APB Kita pada Kamis (27/08), Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut pihaknya masih menunggu surat dari Kemendag dan Kemenperin soal pengenaan BMTP dan BMAD untuk industri tekstil, pakaian jadi, alas kaki, tas, elektronik, kosmetik, baja.
Dia memastikan kebijakan ini ditempuh untuk memberikan perlindungan yang adil bagi industri dalam negeri.
"Nanti kami dari Kemenkeu menunggu surat yang akan disampaikan oleh Mendag dan Menperin, dan mereka pun suratnya diatur dalam peraturan perundang-undangan entah peraturan pemerintah (PP) maupun undang-undang (UU)," jelas Sri Mulyani.
Apa harapan API?
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, berharap apa pun kebijakan pemerintah bisa segera dikeluarkan dalam minggu-minggu ini demi menyelamatkan industri tekstil.
"Saya harap kali ini pemerintah benar-benat mendengar aspirasi kami. Salah satu [solusi] adalah memberlakukan BMTP dan BMAD, tapi kita tahu perlu proses dan memakan waktu."
Sementara itu, pengamat industri pertekstilan, Rizal Tanzil Rahman, menilai solusi cepat yang harus segara dilakukan pemerintah adalah mengembalikan Permendag nomor 36 tahun 2023.
Sebab jika memberlakukan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD), klaimnya, membutuhkan waktu yang cukup lama antara enam bulan sampai setahun.
"BMAD dan BMTP tidak secepat besok keluar. Karena prosesnya harus melewati World Trade Organization, ada tanggapan lalu hearing dari negara lain."
"Harusnya simple saja kembalikan Pertek di Permendag 36, itu yang dibutuhkan teman-teman industri."
Langkah cepat itu, sebut Rizal, diperlukan karena bagaimana pun industri tekstil menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Hitungannya tenaga kerja langsung yang terserap industri tekstil mencapai 4 juta orang. Di sektor ini pula, katanya, semua lapisan masyarakat bahkan dengan level pendidikan paling rendah bisa diterima.
"Lulusan SMP bisa kerja di pabrik tekstil. Sekarang kalau tutup, berapa banyak yang terdampak? Kalau ada 4 juta yang diPHK, hitung juga keluarga yang bergantung pada mereka."
"Jadi yang kita butuhkan sekarang proteksi pasar dalam negeri agar ceruk itu diisi oleh produk nasional. Sehingga industri dalam negeri enggak kebingungan, ekspor susah, di dalam negeri ke-isi produk China."
Wartawan Kamal dan Noni Arni di Semarang, Jawa Tengah, turut berkontribusi pada laporan ini.