Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Proyek Bendungan Jokowi di NTT Belum Bisa ‘Makmurkan Rakyat’ – Warga Berebut Air dari Lubang, Petani ‘Ribut’ Jatah Tak Merata
18 Oktober 2024 9:41 WIB
Proyek Bendungan Jokowi di NTT Belum Bisa ‘Makmurkan Rakyat’ – Warga Berebut Air dari Lubang, Petani ‘Ribut’ Jatah Tak Merata
Warga di dua wilayah di Nusa Tenggara Timur harus jalan kaki berjam-jam demi mendapat air dan saling berebut jatah irigasi, kendati sudah ada bendungan beroperasi. Pemerintahan Joko Widodo menjanjikan pembangunan tujuh bendungan untuk meningkatkan kemakmuran, namun diklaim "jauh dari harapan".
Dari jauh, air yang ada di Bendungan Napun Gete terlihat melimpah ruah. Warnanya kebiruan, berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Yohanes, warga Dusun Natarita di Kabupaten Sikka, NTT, memandang ke arah bendungan sekilas. Kedua tangannya memegang erat jeriken warna putih yang muat menampung 20 liter air.
“Ketika mendengar ada pembangunan waduk [bendungan] oleh pemerintah, saya berpikir pasti kami tidak akan mengalami kesulitan lagi untuk air minum bersih,” kata Yohanes ketika ditemui pada September silam.
Nyatanya, tiga tahun setelah Bendungan Napun Gete diresmikan, Yohanes masih harus berjalan naik turun lembah demi mendapatkan air bersih.
Padahal jarak Bendungan Napun Gete hanya sekitar lima kilometer saja dari kampungnya.
Yohanes—bersama warga Natarita lain yakni Yulius, Simon, dan dua anak perempuan berusia 10 tahun dan 7 tahun—sedang bersiap mengambil air “di bawah”.
Masing-masing membawa jeriken dan memakai topi untuk menghalau sengatan matahari. Dari tempat Yohanes berdiri, mereka masih harus menyusuri jalur menurun cukup terjal.
Tempat mengambil air itu tak jauh, hanya butuh sekitar lima menit berjalan kaki. Dari jenis dan susunan bebatuannya, lokasi ini seperti sungai yang mengering.
Ini dibenarkan oleh Yohanes. Dia bilang saat musim hujan, tempat ini memang sungai.
Ketika rombongan Yohanes datang, sudah ada seorang perempuan sedang mengambil air dari lubang kecil di bawah dinding bebatuan, menggunakan gayung.
Melihat perempuan itu masih sibuk mengisi jerikennya, mereka yang baru tiba langsung mengambil posisi paling nyaman, menunggu giliran mengambil air.
Yohanes, Yulius, Simon, dan dua anak langsung membuat antrean tanpa harus membuat barisan.
“Sudah dua jam saya ambil air. Dapat 20 liter,” kata perempuan yang bernama Theresia Tesi, 49 tahun.
Theresia harus sedikit memiringkan badannya untuk menjangkau air yang tak seberapa banyak di dasar lubang, kemudian memasukkan ke dalam jeriken-jeriken yang dia bawa. Itu pun gayungnya tidak terisi penuh, hanya setengah saja.
Air di dalam lubang yang berukuran tak sampai setengah meter itu berasal dari rembesan tanah dan tidak selalu tersedia. Ada kalanya air habis dan warga harus menunggu sampai volume air bisa diciduk lagi.
Itulah sebabnya mengisi air di sini selalu membutuhkan waktu yang lama.
“Saya biasanya bawa jeriken 20 liter. Kalau mau isi sampai penuh, butuh waktu sekitar satu jam. Kalau datang sudah ada orang, saya harus menunggu dua sampai tiga jam, baru bisa penuh,” ujar Yohanes.
Untuk menghindari antrean, Bapak Guru—panggilan Yohanes—memilih mengambil air selepas jam mengajar. Sebab, di jam yang sama, biasanya warga sedang pergi ke kebun.
Baca juga:
Warga mengaku harus punya strategi dan perhitungan waktu untuk mengambil air di tempat yang mereka sebut “kubat” itu.
Jika “salah perhitungan”, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan berakhir tidak kebagian.
Yulius Bapa Nenang dan istri biasanya sudah mengambil air sejak pukul 02.00 dini hari. Mereka perlu bergegas karena istri Yulius butuh air untuk membuat kue jualannya.
“Kadang kita malam juga tidak tidur karena antrean,” ujar laki-laki yang menjabat kepala Dusun Natarita itu.
Kubat dari sungai yang mengering itu merupakan titik sumber air terdekat. Di sini warga bisa mendapatkan air bersih yang mereka gunakan untuk minum dan memasak.
Warga tak memakai air kubat untuk kebutuhan lainnya, karena sudah pasti tidak akan cukup, mengingat jumlah kepala keluarga di Desa Natarita yang mencapai lebih dari 180.
Untuk mandi dan mencuci, mereka mengambil dari mata air Wair Pu’an, sekitar 4-5 kilometer dari rumah mereka, hingga ke dekat jalan nasional Maumere-Larantuka.
‘Kami di sana susah, butuh air’
Mata air Wair Pu’an terletak tak sampai 200 meter dari jalan nasional, setelah melewati sungai kecil yang dangkal.
Tampak sekelompok orang dewasa yang sedang mencuci di sebuah kolam. Ada juga beberapa anak yang sedang mandi. Ini pemandangan biasa di "kubangan"—begitu warga menyebut kolam itu.
Kolam yang diameternya sekitar dua meter inilah yang menampung mata air Wair Pu’an. Airnya jernih, tapi kata warga, mengandung terlalu banyak kapur.
Maria Yupita mengaku sudah mulai mencuci sejak pukul 06.00 pagi. Saat BBC Indonesia menemuinya pada pukul 10.00, dia masih menunggu pakaian-pakaiannya mengering.
“Jemur kering dulu baru bawa [pulang]. Kan, pakaiannya banyak,” kata Maria, yang juga warga Dusun Natarita.
Hari itu, Senin (30/09), Maria membawa dua karung baju kotor yang sudah dikumpulkan selama dua atau tiga hari. Dalam satu minggu, biasanya dia dua kali bolak-balik ke mata air ini untuk mencuci.
Untuk sampai di mata air ini, Maria harus menumpang mobil bak yang juga mau mengambil air di tempat berbeda. Ongkosnya Rp30.000-40.000 pulang pergi dan butuh sekitar 20 menit berkendara.
Lokasi mata air ini hanya bisa diakses oleh warga yang memiliki kendaraan atau yang mempunyai uang untuk menumpang kendaraan.
Kalau dari dusun mereka, rute yang dilalui menurun dan berkelok. Sebagian jalan sudah dicor—tapi rusak—dan ada juga jalan yang masih tanah merah.
Maria bukan satu-satunya yang mengumpulkan pakaian kotornya hingga berkarung-karung baru kemudian pergi mencuci. Sebagian besar warga dari dusun-dusun sekitar juga melakukan yang sama.
“Anak ini tidak sekolah karena bajunya belum dicuci,” kata salah satu warga. Anak kecil yang dimaksud hanya tersenyum malu.
Maria merasa krisis air di desanya saat ini semakin parah. Cuaca yang “terlalu panas” membuat “sungai-sungai tidak ada airnya lagi”.
“Kami minta mesin isap air karena kami di sana susah, butuh air,” kata Maria menyampaikan keinginannya.
Embung dan pompa gagal bantu warga, harga air mahal
Sepanjang ingatan warga Natarita, kesulitan akses air bersih di dusun mereka sudah terjadi selama puluhan tahun.
Setelah gempa disertai tsunami menghantam Pulau Flores pada 1992, Yulius bilang debit air semakin sedikit, apalagi kalau kemarau panjang.
“Di tempat-tempat yang kami harapkan [ada air], air semakin tidak ada. Air itu semakin kering,” kata Yulius Bapa Nenang.
Pemerintah daerah sebenarnya pernah memberikan beberapa bantuan air bersih untuk Dusun Natarita.
Kata Yulius, pada tahun 2000-an ada proyek dua embung di dusun mereka. Namun, sampai saat ini embung-embung itu tidak bisa menampung air.
Menurut dia, cuaca yang terlalu panas membuat permukaan tanah retak sehingga air tidak bisa tertampung. Kini, embung itu ditumbuhi rumput liar.
Dusun Natarita juga pernah mendapat bantuan pompa dari Dana Pinjaman Daerah Kabupaten Sikka pada 2021, yang mengalirkan air dari mata air Liwun Tunat hingga ke permukiman warga.
Yulius bilang air itu bisa digunakan warga untuk mencuci dan mandi di rumah masing-masing, tidak perlu pergi jauh-jauh membawa jeriken.
“Itu hanya dua tahun saja dia bertahan. Tahun 2023 [pompanya] mati,” katanya.
Sejak saat itu, warga dusun kembali “setengah mati” mendapatkan air bersih.
Baca juga:
Belum lama ini, warga juga mendapat bantuan dua mobil tangki yang memasok air dari Polres Sikka, setelah ramai pemberitaan krisis air di media setempat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sikka juga mengirimkan satu mobil tangki.
Tapi air dari mobil-mobil tangki ini terbatas.
Bagi yang punya uang, mereka bisa membeli air sendiri. Tapi bagi yang tidak, tak ada pilihan lain selain berjalan jauh menenteng jeriken yang beratnya berkilo-kilo, naik-turun lembah.
Harga air di Dusun Natarita cukup mahal dibandingkan dengan penghasilan mereka per bulan.
Yohanes bercerita, dia pernah menghabiskan uang sebanyak Rp800.000 sebulan untuk kebutuhan air minum saja. Buat guru seperti dia, dengan penghasilan Rp3 juta lebih per bulannya, jumlah itu sangat besar.
Sebab itu, dia memilih mengambil air di kubat karena bisa menghemat sampai Rp300.000.
“Saya banyak menggunakan [gaji saya] untuk kebutuhan anak sekolah, sehingga untuk makan dan minum, termasuk air itu, kita hemat-hematlah. Kalau masih mampu untuk jalan kaki pergi ambil [air], saya datang ambil,” ujar Yohanes.
Biasanya, warga membeli air menggunakan jasa warga yang memiliki mobil bak. Ketika warga pemilik mobil ingin mengisi air, dia menawarkan warga lainnya yang mau ikut ambil air juga.
Simon Sona, 49 tahun, membayar Rp150.000 untuk tiga drum air yang totalnya mencapai 450 liter.
“Untuk mandi, untuk minum, untuk masak, paling lama satu minggu lebih. Tidak untuk mencuci, tidak pernah mencuci di rumah,” kata Simon.
Biaya itu belum ditambah biaya muat air ke mobil bak, yang biasanya dikenakan Rp5.000-10.000 per jeriken. Plus, biaya tadah air yang dikenakan Rp20.000 per sekali angkut. Jadi, jika ada lima warga yang menitip jerikennya, mereka bisa membagi biaya angkut ini.
“Di sini ada tiga mobil bak. Kalau sopir sakit atau mobil ada kendala, berarti sudah, kita baku kejar di kubangan,” kata Yulius, kemudian disambut tawa oleh Yohanes dan Simon.
Yulius, dengan penghasilan sebesar Rp1 juta per bulan sebagai kepala dusun, punya strategi sendiri: mengambil air di kubat, mencuci di kubangan, dan membeli air galon seharga Rp5.000 untuk minum.
“Harapan saya, pemerintah lebih memperhatikan soal [ketersediaan] air minum bersih di wilayah ini. Jangan kasih pasokan air menggunakan mobil tangki saja, tapi kasih yang pemakaiannya lama,” ujar Yulius.
Bendungan tak sesuai harapan
Pada 2022 silam, kepala Dusun Natarita mengatakan 15 warganya dimintai persetujuan pembebasan lahan untuk jalur pipa dari Bendungan Napun Gete.
Kata Yulius, pihak pemerintah kabupaten sempat menjanjikan pasokan “air minum bersih” kalau warga mau menyetujui pembebasan lahan kebunnya untuk jalur pipa.
Persetujuan telah diberikan. Warga, termasuk Yohanes dan Simon, mengaku sudah memberikan beberapa salinan dokumen sebagai syarat yang diminta.
“Saya juga merasa bangga, senang, saya harus berikan fotokopi KTP dengan pajak. Tapi sampai saat ini, ternyata pipa tidak sampai di sini. Belum juga,” kata Yohanes dengan nada kecewa.
Simon lebih terdengar kesal ketika ditanya soal dampak bendungan untuk mereka. Dia mempertanyakan kehadiran bendungan yang airnya sama sekali belum bisa dipergunakan warga itu.
Dia juga ragu apakah kampungnya akan mendapat pasokan air, mengingat Natarita berada lebih tinggi dari bendungan.
“Ini paling hanya orang di kota saja yang pergunakan bendungan. Untuk kami di sini, tidak ada,” ujar Simon.
Pemerintah Kabupaten Sikka mengakui manfaat bendungan yang dibangun dengan biaya Rp880 miliar itu memang belum bisa dirasakan seluruh warga.
Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Sikka, Margaretha Moldaves Da Maga Bapa, mengatakan pihaknya masih menunggu informasi dari pemerintah pusat soal kelanjutan nasib Bendungan Napun Gete. Sebab, pembangunan bendungan ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pemerintah Sikka mengeklaim pihaknya “sudah berupaya” melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dan perwakilan di DPR RI agar bendungan bisa segera dimanfaatkan.
Perkembangan terakhir, kata Margaretha, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II untuk menyelesaikan Design Engineering Design (DED) tahun ini.
Dia berharap pembangunan jaringan transmisi untuk air baku dan irigasi akan dimulai tahun depan.
Sementara soal “janji” yang ditawarkan kepada warga Dusun Natarita, Margaretha mengatakan sudah ada koordinasi dan advokasi ke masyarakat terkait pelepasan lahan untuk saluran pipa.
“Sehingga pada saat sudah mulai akan dibangun [jaringan pipa] transmisi air baku, kita tidak kesulitan lagi soal lahan ini,” kata Margaretha kepada wartawan di Maumere, Arnold Welianto, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sementara pipa belum ada, untuk membantu warga yang kesulitan mengakses air bersih, Pemerintah Kabupaten Sikka mengirim pasokan air bersih menggunakan mobil-mobil tangki ke sejumlah wilayahnya.
Sementara, pemerintah pusat, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat sumur bor di beberapa titik.
Baca juga:
Namun, Margaretha mengatakan, tidak semua daerah bisa dibangun sumur bor. Apalagi di kecamatan yang tidak memiliki mata air.
Pemerintah kabupaten pun berharap air yang sudah tertampung di Bendungan Napun Gete bisa segera dialirkan untuk warga.
“Kalau air di Bendungan Napun Gete kemudian sudah bisa ditarik ke Kota Maumere, yang otomatis melewati beberapa kecamatan, mungkin sedikit membantu menangani persoalan [krisis air] di beberapa kecamatan,” kata Margaretha.
Dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkan untuk BBC News Indonesia, BWS Nusa Tenggara II mengatakan Bendungan Napun Gete sudah dimanfaatkan untuk Daerah Irigasi Nebe, tetapi untuk pembangunan infrastruktur air baku masih dalam proses penganggaran.
BWS berharap pengerjaannya bisa dimulai pada 2025.
Soal jatah air minum untuk Dusun Natarita, BWS mengatakan perlu memastikan kembali apakah air bisa tersalurkan, mengingat posisi desa yang berada di atas bukit.
BWS Nusa Tenggara II ada pihak yang bertanggung jawab terhadap bendungan-bendungan yang dibangun pemerintah pusat di NTT.
‘Kita mau cari hidup, bukan cari ribut’
Tahun ini, padi di sawah Hofni Marabi Djala diserang hama. Tadinya dia berharap bisa menanam lagi di luar musim hujan atau musim tanam pertama, tetapi tidak ada air.
Menurut dia, pihak Bendungan Raknamo, yang berada di Kabupaten Kupang, mengatakan tidak bisa mengalirkan air karena jumlah air di bendungan pun terbatas.
Sebelum bendungan itu dibangun, Hofni dan para petani lainnya hanya menanam padi saat musim hujan.
Kehadiran bendungan mulanya diharapkan bisa membuat musim tanam lebih panjang, sampai musim tanam kedua dan ketiga, yang mencakup periode musim kemarau. Namun, ternyata tidak.
Musim tanam pertama terjadi pada November hingga Maret. Musim tanam kedua dilakukan pada April sampai Juli, sedangkan musim tanam ketiga berlangsung pada Agustus sampai Oktober.
“Ada atau tidak ada bendungan, sama saja. Sebelum ada bendungan, kami menunggu air tadahan [hujan] saja. Setelah airnya habis, tidak bisa tanam lagi,” kata Hofni.
Alih-alih memperpanjang musim tanam dan membuat warga lebih sejahtera dengan hasil taninya, kehadiran bendungan, menurut Hofni, malah menambah “keributan”.
Distribusi air yang tidak merata memicu konflik di kalangan petani yang sawahnya dekat bendungan dengan petani yang jauh.
Meski sudah mendapatkan jaringan irigasi dari bendungan, posisi lahan yang jauh kerap tak kebagian air. Debit air dari bendungan yang sudah dilepas untuk warga “tidak cukup sampai di sana”.
“Mereka [petani] dari sawah-sawah yang bagian jauh, datang bawa parang. Kita semua lari. Bahkan ada yang hampir jadi korban di sini gara-gara air ini,” katanya.
Padahal, kata dia, sebelum bendungan dibangun para petani tidak pernah meributkan pasokan air. Masing-masing menggarap lahannya dengan air seadanya.
“Jangan dengan adanya air waduk ini, kita dikasih ribut. Kita mau cari hidup, bukan cari ribut. Sementara pemerintah nonton saja,” tegas Hofni.
Hofni berkata otoritas bendungan—Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II—memiliki perhitungan teknis terkait jumlah pasokan air yang bisa didistribusikan untuk irigasi ke petani.
Hitung-hitungannya berdasarkan jumlah lahan yang dikelola masing-masing petani. Per hektare mendapatkan air sekian liter per detik, Hofni mengaku tidak begitu mengerti perhitungannya.
Kelompok tani juga harus bersurat dulu ke kantor BWS di Kota Kupang supaya bisa mendapatkan pasokan air untuk lahannya. Jika tidak, air tidak akan dialirkan, kata dia.
Sepanjang pemahaman Hofni, pihak balai tidak akan melepaskan air ketika tinggi air di bendungan berada di bawah level 102. Sebab kalau level air kurang dari itu bendungan bisa rusak.
Ketika masuk ke musim tanam kedua, Hofni bercerita pihak pengelola bendungan tidak mau mengalirkan air lagi karena “airnya sudah berkurang banyak”.
Akhirnya, banyak petani yang menyerah, meski ada juga yang mencoba bertahan dengan menggali sumur sendiri atau mengambil air dari sungai.
“Sementara kalau kita jauh dari kali dan sumur, ya kita jadi penonton saja,” katanya.
Di antara lahan-lahan kering yang tidak digarap, terlihat kebun yang cukup rimbun di belakang gubuk kecil.
Rupanya, pemilik kebun membuat sumur bor yang kedalamannya sekitar 6-7 meter. Untuk membuat sumur bor dibutuhkan biaya sekitar Rp4-5 juta.
“Sumur bor, ada beberapa titik, milik perorangan. Saya tidak bisa gali karena tidak terjangkau biayanya,” ujar Hofni.
Baca juga:
Dia sangat berharap bendungan bisa dimanfaatkan di musim panas seperti sekarang ini agar dia dan petani lainnya bisa bertahan hidup.
Katanya, percuma punya bendungan kalau hasil taninya tidak lebih baik dari daerah lain yang menggunakan sumur bor, seperti di kelurahan sebelah, Oesao, Naibonat, dan Tuatuka.
“Kita punya air banyak, tapi jadi penonton,” kata Hofni.
“Saya tidak tahu ke depan ini seperti apa lagi. Saya berharap dengan adanya bendungan ini, bisa membantu kami juga.”
Menanggapi keluhan ini, BWS Nusa Tenggara II mengatakan penjatahan air untuk para petani di sekitar Bendungan Raknamo juga terjadi di semua daerah irigasi teknis, karena begitulah “prosedur penyaluran irigasi”.
Namun, karena belum ada Komisi Irigasi yang bertanggung jawab melakukan koordinasi dan komunikasi dengan kelompok-kelompok tani, untuk saat ini kelompok tani di sekitar bendunganlah yang harus bersurat langsung ke pihak BWS.
“Surat tersebut dapat menjadi dasar untuk pemberian/alokasi air sesuai dengan kebutuhan luas tanam yang direncanakan, diperhitungkan dengan ketersediaan air sehingga air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien,” kata BWS Nusa Tenggara II.
‘Jauh dari harapan’
Kepala Desa Raknamo, Augusto Fernandes, membenarkan konflik yang terjadi di antara petani. Dia bilang, keributan mungkin terjadi karena petani belum mengatur distribusi airnya secara maksimal.
Untuk membantu mengatasi masalah itu, pemerintah desa mengaku telah membantu para petani dengan membangun saluran tersier agar distribusi air lebih luas. Biaya pembangunannya menggunakan dana desa.
“Rata-rata saluran yang dibangun [pemerintah pusat] itu ada di bawah, sementara lahan pertaniannya di atas. Nah, itu butuh saluran tersier yang nanti kita sambung ke saluran utama tadi untuk tarik masuk ke area persawahan,” kata Augusto.
Meski masih ada masalah di kalangan petani, Augusto mengatakan bendungan sudah bisa dimanfaatkan 45% warga desanya.
Dari lima dusun yang ada di Desa Raknamo, kata dia, dua dusun sudah mendapatkan pasokan air baku dari bendungan, yang disalurkan ke 11 bak penampungan.
Namun, dia mengakui kalau debit air yang dialirkan setiap harinya masih kurang karena bak penampungan yang tersedia tidak terlalu besar.
Bak penampungan yang ada di depan kantor kepala desa, misalnya, hanya cukup untuk lima sampai enam kepala keluarga. Sedangkan di kedua dusun itu total kepala keluarga mencapai 193 orang.
Akhirnya, yang tidak kebagian air harus membeli atau mengambil air di sungai terdekat. Augusto mengaku termasuk yang membeli air. Dalam satu bulan pemakaian airnya mencapai 7.000 liter, harganya Rp120.000.
“Kalau terkait dengan pemanfaatan memang jauh dari harapan, belum maksimal menurut kita.
“Harapannya, bendungan begini besar, anggaran pun begini besar, paling tidak dia bisa menjawab kebutuhan terdekat seperti Desa Raknamo,” ujarnya.
Terlepas dari masalah-masalah yang terjadi di Desa Raknamo, BWS Nusa Tenggara II mengatakan pengelolaan bendungan sudah direncanakan berdasarkan debit air yang ditampung dan dikeluarkan.
Data itu terus diperbarui setiap tahunnya, tercantum dalam Pola Operasi Waduk, dan sudah didasari berbagai perhitungan.
Apakah bendungan bisa jadi solusi krisis air di NTT?
Dalam setiap kunjungannya ke NTT, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan kunci kemakmuran di NTT adalah air.
Hal itu dia utarakan kembali letika meresmikan Bendungan Temef pada 2 Oktober lalu. Jokowi masih meyakini bendungan-bendungan yang dibangun pemerintah pusat akan mendatangkan kemakmuran bagi warga NTT.
“Kunci kemakmuran di NTT adalah air. Tanpa air, jangan membayangkan provinsi kita, NTT, ini akan makmur dan sejahtera," kata Jokowi dalam sambutannya.
"Oleh sebab itu, pemerintah dalam 10 tahun ini telah membangun bendungan di NTT. Ada empat [yang sudah jadi]: Satu, Rotiklot; dua, Raknamo; tiga, Napun Gete; dan sekarang, Bendungan Temef,” ujarnya kemudian.
Akan tetapi, menurut ahli pembangunan internasional di bidang sumber daya air, Dewa Ayu Putu Eva Wishanti, bendungan tidak bisa menjadi solusi segala jenis krisis air di NTT.
Secara perencanaan, menurut dia, pembangunan bendungan harus memperhatikan perbedaan faktor penyebab dan risiko kekeringan yang berbeda di tiap kabupaten di NTT.
Misalnya, dari faktor penyebab. Apakah kelangkaan disebabkan faktor alami—seperti angin monsoon yang mempengaruhi siklus air?
“Waktu itu saya pernah ke suatu daerah, ada di dekat Kupang. Di situ memang ada rencana pembangunan bendungan, tapi curah hujannya saya lihat di situ enggak terlalu tinggi.
“Terus sumber airnya dari mana? Itu dia permasalahan utamanya,” kata Eva.
Ada juga faktor kebijakan atau kebudayaan. Misalnya, peraturan di tingkat daerah dan nasional ternyata kurang responsif terhadap kondisi-kondisi alam maupun perubahan iklim.
Eva bilang bendungan merupakan solusi teknis berbiaya operasional mahal. Demi menjaga keberlangsungan operasionalnya, menurut dia, pemerintah perlu melakukan konservasi sampai mengundang partisipasi berbagai pihak untuk berinvestasi di sektor penyediaan air bersih.
Upaya konservasi bisa dilakukan dengan menanam tanaman keras di hulu. Warga tidak boleh menanam kentang, sayur, dan sejenisnya untuk menjaga cadangan air.
“Dari penelitian saya di Brantas [Jawa Timur] dan Citarum, Jawa Barat, orang di hulu kesal kenapa biaya konservasi jatuh ke tangan mereka padahal konsumsi air ada di tengah dan di hilir,” ujarnya.
Tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi di NTT, menurut Eva. Apalagi dengan kondisi topografi dan kehidupan sehari-hari warganya yang sudah sulit—di mana masih ada masalah yang dianggap lebih krusial untuk ditangani, seperti soal malaria yang menjadi penyakit endemik di provinsi itu.
Dia mengusulkan peraturan daerah buat mengamankan anggaran terkait alokasi air dari pemerintah pusat.
Namun, sebelum itu, pemerintah perlu membuat alokasi air nasional terlebih dahulu yang dibuat berdasarkan karakteristik daerah dan kebutuhannya,
“Peraturan daerah itu adalah salah satu jembatan untuk memastikan bahwa di daerah itu iklim investasinya bagus, sehingga orang-orang akan datang berinvestasi untuk fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan juga dari kerjasama dengan lembaga donor,” katanya.
Angan-angan 'kemakmuran'
Penjabat Gubernur NTT, Andriko Noto Susanto, mengatakan bendungan bisa menguatkan pengelolaan lahan kering untuk mendorong produksi tanaman pangan di wilayah yang datar dan memiliki aliran sungai.
Ini menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat apakah bendungan bermanfaat buat warga atau tidak.
Yang terjadi saat ini, kelengkapan infrastruktur bendungan-bendungan yang berdiri pun belum sempurna. Bahkan di Napun Gete belum dibangun sepenuhnya. Andriko mengatakan pihaknya akan berupaya memastikan “bendung-bendung ini selesai”.
“Jadi kita juga perlu pahami bahwa pengalokasian anggaran itu karena berbeda kewenangan, kadang-kadang sinergi dan kolaborasi di lapangannya perlu kita kuatkan," ujar Andriko kepada wartawan Eliazar Robert di Kupang, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Tetapi tugas saya, tugas kami, dari pemerintah provinsi adalah terus mengkomunikasikan ini kepada kementerian dan lembaga terkait,” katanya kemudian.
Sebenarnya NTT masih membutuhkan lebih banyak bendungan di daerah-daerah yang bisa menampung air dalam jumlah besar, kata Andriko.
Di daerah-daerah dengan jumlah pasokan air sedang yang berada di perbukitan, dia bilang embung lebih cocok.
Bahkan dia bilang embung “lebih penting” karena sebagian besar wilayah NTT bukan lahan basah yang datar, tetapi lahan kering yang berbukit dan bergunung.
“Ini selama ini ditinggalkan, padahal potensinya besar. Ada juga lahan kering di daerah datar. Tapi karena tidak ada sungai besarnya, memang tidak bisa dibangun bendung, tapi bisa dibangun embung,” kata dia.
Mantan pejabat di Badan Nasional Pangan itu juga memperkirakan, dengan kondisi tanah yang subur dan “hanya butuh air”, NTT bisa swasembada pangan.
Namun, sekali lagi, kuncinya adalah NTT perlu melakukan konservasi air hujan yang hanya turun dalam beberapa bulan saja, untuk dipergunakan di musim kemarau.
“Air bersihnya jadi, air irigasinya jadi, pariwisatanya jadi karena kalau sejuk, kan orang pada datang. Perikanan air tawar jadi,” ujarnya.
Proyek tujuh bendungan di NTT seakan-akan menjadi tumpuan harapan semua mimpi 'kemakmuran'.
Namun bagi warga Natarita, semua itu masih terasa seperti angan-angan dan lamunan untuk menyibukkan pikiran, sementara tangan mereka mengisi air jeriken dari kubat yang mulai surut.
--
Produksi visual oleh Ivan Batara. Wartawan Arnold Welianto di Maumere dan Eliazar Robert di Kupang berkontribusi dalam tulisan ini.