Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Puluhan Demonstran Tolak Revisi UU Pilkada di DPR Disebut Jadi Korban Kekerasan Aparat, Polisi Bantah Ada Penangkapan
23 Agustus 2024 16:10 WIB
Puluhan Demonstran Tolak Revisi UU Pilkada di DPR Disebut Jadi Korban Kekerasan Aparat, Polisi Bantah Ada Penangkapan
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima setidaknya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan aparat polisi dalam menangani aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Pilkada di depan Gedung DPR pada Kamis (22/08). Namun Polda Metro Jaya mengeklaim tak ada penangkapan.
Puluhan aduan itu, menurut tim yang diinisiasi oleh beberapa lembaga bantuan hukum tersebut, dihimpun dengan melakukan advokasi langsung, pendampingan di Polda Metro Jaya, serta memantau kantor-kantor kepolisian khususnya di Jakarta Barat dan Polsek Tanjung Duren.
Pasalnya hingga sekarang kepolisian belum juga membuka data berapa banyak dan siapa saja yang ditangkap dan ditahan, termasuk informasi siapa saja yang berstatus sebagai saksi maupun tersangka.
"Kami juga mendesak polisi segera membebaskan teman-teman yang tidak bersalah yang ditangkap tanpa alasan," ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/08).
Pengaduan yang masuk di TAUD hingga Kamis (22/08) pukul 21.30 WIB, ada 26 laporan dengan tindakan yang didapatkan berupa kekerasan, doxing dan penangkapan. Selain itu, tim mendapatkan informasi adanya sekitar 180 orang massa aksi yang ditangkap saat sedang menuju lokasi aksi.
Akan tetapi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menyebut tidak ada pengunjuk rasa penolakan RUU Pilkada yang ditangkap pada Kamis (22/08).
'Kami diadang dan diteriaki'
Pengacara publik dari LBH Jakarta, Muhammad Fadhil dan Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengatakan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) setidaknya menemukan apa yang disebutnya sebagai tindakan brutal aparat polisi dalam pengamanan aksi demonstrasi penolakan RUU Pilkada, pada Kamis (22/08).
Tindakan itu di antaranya penembakan gas air mata secara tidak terukur ke berbagai arah, dugaan penggunaan tongkat sebagai oleh satuan Brimob, dugaan pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang, termasuk penggeledahan tak sesuai prosedur serta represi terhadap kebebasan pers.
"Penembakan gas air mata secara brutal di lapangan dan itu dilakukan secara tidak terukur karena menembak ke berbagai arah. Akibatnya tidak hanya membahayakan massa, tapi warga sipil yang tidak ikut aksi," ungkap Andrie.
"Ada pula penggeledahan handphone yang semestinya dilakukan atas izin pengadilan serta dugaan pelanggaran terkait proses hukum terhadap anak yang tidak memenuhi sistem peradilan anak," jelasnya.
Buntut dari tindakan kekerasan polisi tersebut, Polda Metro Jaya disebut setidaknya menahan puluhan orang yang diduga peserta demonstrasi berdasarkan pemantauan lapangan.
Fadhil mengatakan pihaknya menerima kabar soal akan adanya peserta aksi demo yang akan diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk diproses hukum lebih lanjut pada Kamis (20/08) pukul 20.00 WIB.
Malam itu juga, Tim TAUD langsung menyambangi Polda Metro Jaya untuk memberikan bantuan hukum.
"Itu kewajiban kami sebagai pendamping hukum," ujar Fadhil dalam konferensi pers di Jakarta.
"Itu juga merupakan hak bagi siapa pun bagi yang berhadapan dengan proses peradilan pidana," sambungnya.
Fadhil mengeklaim, ketika sedang menjalankan tugas, pihak Polda Metro Jaya melakukan tindakan-tindakan pelecehan terhadap marwah profesi, yakni menghalang-halangi kerja profesional advokat.
Tindakan-tindakan itu antara lain mengadang, meneriaki, dan memberikan argumentasi tidak logis.
"Argumentasi itu adalah kami tidak memiliki kedudukan hukum untuk mendampingi para massa aksi yang dibawa, intinya tidak ada teken surat kuasa."
Padahal menurutnya, kedudukan hukum seorang advokat tidak hanya ditentukan oleh surat tertulis, akan tetapi "kuasa secara lisan" juga memiliki kekuatan hukum yang kuat.
Dan yang lebih mengherankan, katanya, tindakan menghalang-halangi upaya bantuan hukum oleh polisi disandarkan pada dalih "belum adanya arahan dari atasan".
Perdebatan seperti ini, lanjutnya, terjadi sebanyak lima kali.
"Bagi kami enggak masuk akal."
Dengan akses yang masih terbatas tersebut, Fadhil mengatakan hingga saat ini pihaknya baru bisa mendampingi 40 orang demonstran yang masih berada di Polda Metro Jaya.
Tapi, seperti apa kedudukan hukum mereka apakah sebagai saksi atau tersangka masih tidak jelas, ungkapnya.
Ini karena proses pemeriksaan dituangkan dalam secarik kertas yang berjudul "berita acara interogasi"—yang tak dikenal dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
'Kami menemukan ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR'
Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengeklaim berdasarkan penelusuran mereka di lapangan dan mendengarkan pengakuan seorang korban kekerasan polisi yang masih ditahan di Polda Metro Jaya, terdapat apa yang disebutnya sebagai ruang penahanan sementara di dalam kompleks DPR.
Di ruang penahanan sementara itu, klaim Andrie, peserta demonstrasi yang ditangkap dipukuli habis-habisan sampai berdarah hingga akhirnya diboyong ke Polda Metro Jaya.
Andrie Yunus menceritakan pengakuan seorang korban yang tak disebutkan namanya, yang bersaksi bahwa ketika tembakan gas air mata berlangsung di sekitar halaman depan gedung DPR pada Kamis (22/08) malam, dia sebetulnya hendak lari demi menyelamatkan diri.
Namun sial, korban tertangkap polisi dan jatuh tersungkur.
Korban lantas dipukuli oleh sekitar 15 orang polisi di bagian kepala, kemudian ditendang, sampai dipaksa mengakui bahwa dia melakukan pelemparan batu dan melakukan perobohan terhadap gedung DPR.
"Yang mana pemaksaan pengakuan dengan penyiksaan... tuduhan-tuduhan itu tidak pernah dilakukan oleh korban," ucapnya.
"Selain itu ketika korban ditangkap di halaman depan DPR dan dibawa ke posko di area DPR, dia dioper lagi ke kantor-kantor polisi lain," sambungnya.
"Selama satu titik posko menurut korban mengalami tindakan kekerasan seperti dipukul dan ditendang."
Pengakuan korban itu, kata Andrie, oleh tim TAUD lantas ditelusuri ke lapangan.
Tim mengecek langsung ke salah satu ruangan di dalam kompleks DPR yang diklaim "dijadikan tempat penahanan sementara sebelum dilimpahkan ke Polda Metro Jaya".
Di ruang tersebut, ungkapnya, banyak terdapat ceceran darah yang baginya kian menguatkan apa yang disebut sebagai brutalitas kepolisian sejak penangkapan di area sekitar gedung DPR.
Selain kekerasan fisik, tim TAUD juga meyakini terjadi kekerasan psikis dan verbal.
Polisi: 'Tidak ada yang diamankan'
Sebelumnya Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengeklaim tidak ada pengunjuk rasa penolakan RUU Pilkada yang ditangkap pada Kamis (22/08).
"Tidak ada yang diamankan," ucapnya seperti dilansir Tempo.
Dia kemudian menanggapi pernyataan politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu soal adanya 26 demonstran yang ditangkap polisi.
Ade Ary menyebut informasi tersebut akan dipastikan terlebih dahulu.
"Kami pastikan lagi, kami belum dapat informasi tersebut. Sejauh ini situasi masih terkendali," katanya.
Ia juga mengklaim situasi aksi kemarin berlangsung aman terkendali yang mana semua potensi kerusuhan bisa diatasi.
"Dinamika proses pengamanan itu berjalan lancar, potensi-potensi gangguan ketertiban, gangguan keamanan itu dapat dilakukan komunikasi dengan baik oleh Polda Metro Jaya dengan stakeholder yang mendukung pelaksanaan pengamanan ini," jelas dia.
Lebih lanjut, pihaknya juga bakal mengevaluasi pengamanan aksi, terkait banyaknya fasilitas umum yang rusak.
"Ya nanti evaluasi terhadap pelaksanaan pengamanan akan terus dilakukan secara internal agar pelayanan pelaksanaan itu terlaksana lebih optimal lagi." .