Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Rahasia Perempuan Adat Meksiko Beradaptasi dengan Kelangkaan Air dan Perubahan Iklim
18 Agustus 2024 13:45 WIB
Rahasia Perempuan Adat Meksiko Beradaptasi dengan Kelangkaan Air dan Perubahan Iklim
Saat kelangkaan air di tengah perubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat adat Zapotec di Meksiko, para perempuan belajar kembali teknik pengelolaan air dari leluhur. Apa rahasia keberhasilan mereka?
Kala Agustina Ortiz, kembali ke kampung halamannya di Oaxaca, Meksiko, pada 2010 silam setelah menghabiskan satu dekade hidup di Amerika Serikat (AS), perempuan berusia 45 tahun ini sadar betul kondisi hidup yang menantinya: kelangkaan air minum dan satu-satunya penopang hidup adalah pertanian.
Seperti banyak warga Oaxaca lainnya, Ortiz dan suaminya pergi ke AS demi mencari penghidupan yang lebih layak dan menghidupi keluarga di kampung halaman dengan mengirim uang kepada mereka.
“Anda tidak dapat hidup kecuali seseorang mengirimi uang dari luar negeri,” tutur Ortiz.
Pegunungan di Oaxaca sangat keras dan tak kenal ampun. Masyarakat adat Zapotec hidup di Xixovo, Santa Maria Velato – sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut dan dua jam perjalanan dari ibu kota negara bagian.
Lereng yang kering, berdebu, dan tanaman yang menguning menghiasi pemandangan.
Ladang tanaman agave yang tersebar di mana-mana adalah pengingat bahwa di situasi yang paling menantang, sekalipun, kehidupan menemukan jalan keluarnya.
Ketika Ortiz kembali ke kampung halaman pada 2010 lalu, dia syok ketika melihat pohon-pohon besar tempat dia bermain di masa kanak-kanak dan tanaman obat seperti chicalote – bunga poppy berduri asli Meksiko – tidak ditemukan di mana pun.
Tahun-tahun pertama di kampung halaman setelah lama tinggal di AS adalah mimpi buruk bagi Ortiz. Dia mesti mendaki sungai sebanyak dua atau tiga kali dalam sehari sambil membawa ember berisi air hanya dengan bantuan keledainya, bahkan saat kondisinya tengah hamil.
Ortiz merasa gelombang panas dan kekeringan mendominasi kondisi cuaca di sana tiap tahun. Dia juga mengaku periode hujan kian hari kian pendek dan lebih sulit ditebak.
Peta dari Komite Air Nasional Meksiko menunjukkan makin banyak wilayah di daerah tersebut mengalami kekeringan parah.
Oaxaca mengalami kekeringan terparah dalam sejarah modern pada 2015 silam, dengan hampir 80% wilayah negara bagian tersebut mengalami kelangkaan air.
Kurangnya curah hujan berdampak signifikan terhadap produksi pertanian, sehingga menyulitkan warga untuk bercocok tanam, mengakses makanan segar, dan membiakkan hewan mereka.
Ini adalah masalah yang sedang berlangsung tak hanya di wilayah ini, tapi juga di seluruh negeri.
Meksiko saat ini sedang berjuang melawan kekeringan terburuk dalam lebih dari satu dekade dan penduduknya mengalami kekurangan air yang “kritis”.
Menjadi mandiri
Pada 2019, bersama ibu-ibu dari komite orang tua, Ortiz menginisiasi kebun sayur di sekolah anak-anaknya, Sekolah Dasar Porfirio Diaz, untuk memastikan mereka mengonsumsi makanan bergizi.
Para perempuan menanam tanaman tradisional seperti ketumbar, kacang hijau, serta bawang merah, bawang putih dan lobak, yang hanya membutuhkan sedikit air.
Mereka kemudian menjual sisa hasil panen di pasar dan menggunakan uangnya untuk melakukan perbaikan sekolah.
Kendati sukses, para perempuan menyadari bahwa proyek ini rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka benar, ketika kekeringan melanda pada 2019, hasil panen mereka mulai gagal.
Pada tahun yang sama, mereka mulai bekerja dengan kelompok nirlaba Group to Promote Education and Sustainable Development (Grupedsac), yang didirikan 30 tahun lalu di Kota Meksiko.
Inisiasi ini bertujuan untuk mengajarkan para perempuan bagaimana mengelola air dan lahan mereka menggunakan teknik irigasi yang dilakukan nenek moyang mereka dan menanam tanaman obat endemis yang tahan kekeringan.
Ketika Grupedsac mulai bekerja sama dengan komunitas Ortiz, ada dua tantangan utama: meningkatnya kekeringan yang mempersulit penanaman tanaman dan bekerja secara eksklusif dengan perempuan dalam budaya yang secara tradisional didominasi laki-laki.
“Kami dengan cepat memahami bahwa perempuanlah yang menggunakan teknologi ini, namun bukan pengambil keputusan dalam rumah tangga mereka. Misi kami adalah untuk mengajari mereka nilai-nilai mereka dalam komunitas mereka,” ujar Joaquin Carillo, direktur pusat Grupedsac di Oaxaca.
Mempelajari ketahanan air
Grupedsac memulai proyek kerja sama itu dengan membangun tangki ferro-cement – tangki air murah yang terbuat dari semen dan hanya memerlukan sedikit perawatan – dengan kapasitas 20.000 liter air.
Seluruh komunitas membantu membangun tangki air – sebuah tradisi masyarakat adat yang dikenal sebagai tequios, yakni ketika setiap orang bergotong royong membantu komunitasnya.
“Kami bertemu mereka di tengah jalan dengan menyediakan semua material; namun kami meminta mereka untuk menyediakan tenaga kerja. Ini juga merupakan cara bagi mereka untuk belajar dan terlibat,” ujar Carrillo.
Tangki air itu menampung air hujan yang biasanya terbuang begitu saja. Air hujan yang ditampung itu kemudian digunakan kembali untuk mencuci, memasak, dan dalam hal ini mengairi tanaman di kebun sekolah.
Baca juga:
Carillo menjelaskan bahwa mereka memprioritaskan sayuran endemis di wilayah tersebut serta sayuran tinggi zat besi dan protein. Sebab, tingginya tingkat kemiskinan di wilayah tersebut membuat pola makan anak-anak kerap kali kurang gizi.
Tangki air tersebut memiliki filter internal yang memurnikan air untuk menghilangkan bakteri, patogen, dan partikel berbahaya lainnya.
Hal ini demi mencegah penyakit pencernaan dan kerusakan pada gigi yang disebabkan oleh fluorine berlebih yang biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi di pegunungan.
Menyediakan makanan bagi keluarga
Ketika Carrillo menyaksikan komitmen para ibu untuk bercocok tanam sendiri, dia memutuskan untuk mengundang mereka ke kelompok pelatihan Grupedsac.
Pada 2020, Ortiz dan lima perempuan adat dari Xixovo lainnya mulai menghadiri lokakarya.
Hingga saat ini, ada lebih dari 15.00 perempuan telah menjadi bagian dari program ini, dengan sekitar 280 perempuan dari 13 masyarakat adat saat ini terdaftar.
Para perempuan tersebut ditawari tangki air serupa dengan yang dibangun di sekolah untuk ditempatkan di rumah mereka. Namun, mereka harus berkomitmen untuk mengikuti program selama empat tahun di pusat pelatihan Grupsedac di Ejutla de Crespo yang terletak sekitar satu jam perjalanan dari Santa Maria Velato.
Lokakarya ini membekali dan melatih para perempuan bagaimana memanfaatkan air yang tersedia dengan sebaik-baiknya
Lokakarya juga mengajari mereka cara membuat toilet pengomposan tanpa air dan menggunakan biofilter untuk mengolah air.
Para perempuan baru saja menuntaskan pelatihan dan Ortiz kini memiliki tangki air berkapasitas 20.00 liter yang dibangun di lahannya.
Ortiz sangat bergantung pada tangki air dan mengatakan bahwa hal itu telah meningkatkan kualitas pertanian dan kesehatan keluarganya.
“Ini benar-benar mengubah hidup saya,” ujarnya, seraya menunjuk ke arah tangki air yang menjulang tinggi berwarna putih di lahannya.
Saat musim hujan, tangki ini membantunya menampung air hujan melalui pipa-pipa yang ditempatkan di secara strategis di atap seng rumahnya, sekaligus menyimpan air yang dipompanya dari sungai.
Tangki air ini juga menyimpan sisa air mencuci piring atau mandi. Air ini mengalir melalui sistem penyaringan alami kedua yang terbuat dari batu, kerikil dan pasir.
Baca juga:
Kini, Ortiz menanam sendiri sejumlah sayuran, termasuk pisang, jagung, dan alfalfa untuk pakan ternaknya, yang disiram dengan sisa air mencuci piring dan mandi yang telah melalui proses penyaringan.
“Saya bisa mandi di rumah sekarang; saya biasa pergi ke rumah tetangga, dan rasanya tak nyaman,” aku Ortiz.
“Saya juga bisa menyirami tanaman saya terus-menerus dan menghasilkan uang dari apa yang saya jual.”
Ortiz dan keluarganya – yang memiliki lahan seluas lebih dari 1 hektare – juga memasang saluran resapan yang membantu mengisi ulang sumur dalam yang mengering tiap tahun karena minimnya curah hujan.
Tzinnia Carranza, koordinator umum Espacio de Encuatro de las Culturas Originarias, atau Ruang Pertemuan untuk Budaya Tradisional – sebuah organisasi nirlaba lokal di Oaxaca yang bekerja dengan masyarakat adat dan baru-baru ini meraih penghargaan Local Adaptations Champions Awards di COP28, mengatakan bahwa kelangkaan air di wilayah tersebut juga disebabkan oleh penggunaan bahan pertanian yang berlebihan sehingga mencemari beberapa sum er air yang tersedia.
“Sebagian besar sungai terkontaminasi,” klaim Carranza.
Sistem sanitasi di Oaxaca tidak efektif dan pemeliharaannya mahal, ungkap Carranza. Aksi yang dilakukan warga setempat, seperti berfokus pada pengolahan limbah di sumbernya dengan teknologi seperti biodigester – sistem yang mengurai bahan organik seperti kotoran manusia dan makanan – dan biofilter, atau menghindari penggunaan air untuk toilet, menawarkan “solusi praktis dengan bahan yang terjangkau," menurut Carranza.
Terkait perubahan iklim, Oaxaca adalah negara bagian paling rentan di Meksiko dengan sektor pertanian menghadapi ancaman signifikan akibat kekeringan.
Rata-rata curah hujan tahunan di Oaxaca adalah 1.550 mm, menurut data pemerintah.
Carrillo mengatakan wilayah sekitar Santa Maria Velato hanya menerima curah hujan sekitar 350 mm per tahun.
Baca juga:
Pada 2023 – yang merupakan salah satu tahun terpanas yang pernah tercatat di Oaxaca – kekeringan menghancurkan 90% tanaman di wilayah tersebut.
Hanya 100 mm curah hujan yang tercatat pada tahun itu, 50 mm lebih sedikit dari curah hujan yang diterima Death Valley di AS dalam setahun.
Ortiz mencoba menanam tomat namun gagal panen karena kekurangan air. Satu-satunya tanaman yang tumbuh hanyalah tanaman obat dan bunga, yang akhirnya dia jual.
“Saya mungkin bisa mendapat penghasilan 1.000 peso (sekitar Rp963.000) selama tiga bulan bekerja,” katanya.
Pada awal 2024, upaya minimum untuk wilayah Oaxaca adalah 3.800 peso (sekitar Rp3,5 juta) per bulan.
Sebagai referensi, 10.000 liter air memiliki nilai 1.200 peso (setara sekitar Rp1 juta) di Oaxaca.
Lokakarya permakultur, yang telah mengajarkan masyarakat untuk bertani secara berkelanjutan dan mandiri, telah membawa perubahan besar, menurut Feliciana Arango, lulusan Grupsedac lainnya.
Sebagai ibu tunggal dan kepala keluarga, Arango harus menghidupi anak dan ibunya yang sudah lanjut usia. Selain bercocok tanam, dia juga beternak ayam di kandang yang dia bangun dengan material yang disediakan oleh program Grupsedac.
“Kami memakan daging yang kami pelihara, telur yang kami kumpulkan, dan sekarang saya mampu membeli keju seharga 25 peso (setara Rp24 ribu) jika saya menjual beberapa sayuran yang saya tanam,” ujarnya.
Swasembada adalah salah satu tujuan utama Grupasedac untuk kelompok perempuan ini, yang secara tradisional bergantung pada pria.
Perubahan sosial
Program ini juga bertujuan untuk mengatasi akar penyebab kesenjangan gender di masyarakat adat.
Ketika para perempuan adat mendaftar dalam program ini, mereka didorong untuk menyiapkan dana tabungan tahunan.
“Kami perlu memberdayakan para perempuan ini, kami juga perlu memahami bahwa kata pemberdayaan memiliki arti yang berbeda dalam masyarakat kami,” ungkap Carrillo.
Carrillo beranggapan akses terhadap air untuk bercocok tanam memainkan peran penting dalam membangun kesetaraan gender.
Membuka kesempatan partisipasi perempuan dalam aktivitas pertanian, bagi Carrillo, membuat mereka aktif secara finansial dan tangguh menghadapi perubahan iklim.
Baca juga:
Namun, menurutnya, realisasi manfaat ini bergantung pada upaya mengatasi norma dan kesenjangan struktural melalui pelatihan.
“Air sangat berharga,” kata Aurora Perez yang masih menjalani pelatihan bersama ibunya.
Dia mengaku dirinya dan ibunya selalu bersemangat menghadiri sesi pelatihan.
“Membiakkan hewan membuat saya mandiri dan membantu saya bertahan hidup.”
Sebuah studi di Oaxaca antara 2016 dan 2022 menemukan bahwa kesenjangan gender memperburuk kerentanan perempuan terhadap perubahan iklim.
Terbatasnya akses pendidikan, tingginya angka buta huruf, dan terbatasnya akses terhadap sumber daya menghambat adaptasi mereka terhadap cuaca ekstrem.
Ekspektasi sosial – yang membebani perempuan dengan tugas mengurus anak dan rumah tangga – semakin membatasi mobilitas dan kemampuan mereka untuk merespons bencana, demikian kesimpulan para peneliti.
Secara tradisional, ketika perempuan mendapat uang dengan menjual sayuran atau hewan di pasar, mereka memberikan pendapatan mereka kepada suami, jelas Carrillo.
“Dengan cara yang penuh rasa hormat dan pengertian, kami mengajari mereka bahwa mereka juga bisa mempunyai pendapat dalam penggunaan uang tersebut,” ungkapnya.
Pengetahuan yang didapat para perempuan yang telah mengikuti program Grupedsac memberi mereka pengaruh untuk mengubah tanggung jawab keluarga.
Perez mengungkapkan bahwa lokakarya ini mengajarkannya bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara – sebuah pelajaran yang kemudian dia ajarkan kepada anak-anaknya.
“Saya sekarang tahu anak-anak lelaki saya perlu belajar memasak, dan membantu pekerjaan rumah,” katanya.
Tak sedikit perempuan di komunitas adat tersebut mengalami kekerasan, baik fisik, seksual dan psikologis.
Grupsedac memfasilitas terapi kelompok yang membantu perempuan membicarakan masalah mereka, menyediakan ruang aman dan jaringan dukungan bagi perempuan, ungkap Carrillo.
Baca juga:
Di salah satu desa terdekat, ketika salah satu peserta pertama kali tiba untuk lokakarya, perempuan itu mengalami memar di badannya dan matanya bengkak – dia mengaku dipukuli oleh anggota keluarga laki-laki.
Grupedsac kemudian memberinya dana untuk membangun rumah untuk ditinggali bersama anak-anaknya.
Tinggal jauh dari keluarga besarnya memungkinkannya melarikan diri dari kekerasan sehari-hari dan mengubah hidupnya.
Organisasi nirlaba ini juga memberikan hewan peliharaan yang memungkinkannya memiliki penghasilan tetap.
“Jika saya tidak memiliki ayam dan sapi, cerita kami akan berbeda,” tuturnya.
Anak-anak dari perempuan tersebut kini telah mengenyam pendidikan yang baik, suatu kebanggaan tersendiri bagi sang ibu.
“Saya mengatakan pada putri saya bahwa dia tidak boleh dipaksa. Dia perlu belajar, belajar sebanyak yang dia bisa, dan bekerja,” katanya.
Menuju masa depan yang aman
Kendati program ini telah mengubah kehidupan perempuan dalam konteks sosial, tantangan masih tetap ada – terutama seputar ketahanan air.
Oaxaca terus menghadapi kekeringan yang kian parah. Pada 2039, curah hujan tahunan diperkirakan akan turun sebesar 6%, menurut Program Perubahan Iklim Negara Bagian Oaxaca.
Namun Carrillo tetap optimistis.
“Benih telah ditanam melalui para perempuan ini,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa para perempuan Zapotec akan lebih siap dibandingkan banyak perempuan lain dalam menghadapi masa depan.
“Saya merindukan pepohonan besar dari masa kecil saya dan bayangan pohon-pohon itu,” kata Ortiz.
“Saya tahu kami tidak punya cukup curah hujan untuk membuat mereka tumbuh lagi, namun setidaknya kita sekarang sadar akan tanaman yang kita perlukan untuk bertahan hidup.”
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, In drought-prone Oaxaca, indigenous women are reviving ancient techniques top reserve water , di laman BBC Future.