Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Ratusan Ribu Warga Kabupaten Malang Terancam Dicoret dari Peserta PBI BPJS
11 Agustus 2023 7:10 WIB
·
waktu baca 6 menitKeputusan Pemkab Malang, Jawa Timur, yang akan menghentikan pemberian bantuan kesehatan kepada 679.721 peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah tak bisa dilepaskan dari dihapusnya ketentuan mandatory spending atau ketentuan minimal anggaran kesehatan di UU Kesehatan, menurut Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar.
Sebab imbas dari dihapusnya mandatory spending, politik anggaran kesehatan di daerah tidak lagi berpihak pada masyarakat miskin.
Seperti yang dialami seorang warga di Desa Kedok, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Suprapto, yang tak bisa menjalani pengobatan paru-paru setelah kartu BPJS Kesehatannya dinonaktifkan.
Dihadapkan pada persoalan ini, Kepala Dinas Kabupaten Malang mengatakan hal itu terpaksa ditempuh untuk menghindari defisit anggaran karena membengkaknya tagihan klaim BPJS Kesehatan.
Sementara itu, pejabat di Kementerian Kesehatan menegaskan keputusan Pemkab Malang ini tidak terkait dengan UU Kesehatan yang mulai berlaku 8 Agustus lalu, dan menyebut "informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan".
Suprapto, warga Desa Kedok, Kecamatan Turen tak bisa berobat ke Rumah Sakit Umum (RSU) PINDAD Turen sejak kartu BPJS Kesehatannya berstatus nonaktif sejak awal bulan ini.
Padahal setiap bulan dia harus kontrol secara rutin untuk mengobati penyakit paru-paru yang dideritanya sejak sepuluh tahun lalu.
Ditambah kondisi suhu udara di daerahnya yang sangat dingin.
"Kalau dingin, sesak nafas, kasihan," ujar Maria Ulfa, putra Suprapto kepada Eko Widianto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (10/08).
Pria berusia 58 tahun tersebut mengaku kecewa karena saat tiba di rumah sakit, dia disuruh pulang petugas RSU PINDAD dan disarankan mengurus administrasi terlebih dahulu ke kantor desa.
"Kecewa, karena tidak ada pemberitahuan lebih dulu," sambung Maria.
Suprapto adalah peserta BPJS Kesehatan kategori Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID) yang didanai Pemkab Malang.
Tapi kini statusnya nonaktif, begitu juga dengan 679.720 peserta PBID lainnya.
BPJS Kesehatan Cabang Malang menyebut telah mengeluarkan surat pemberitahuan penonaktifan kepesertaan PBID Kabupaten Malang pada 31 Juli lalu.
Surat itu ditandatangani Kepala BPJS Kesehatan Cabang Malang, Roni Kurnia Permana, yang isinya Pemkab Malang menonaktifkan sebanyak 679.721 jiwa PBID per 1 Agustus 2023.
"Bagi peserta yang membutuhkan pelayanan untuk berkoodinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang," tulis Roni Kurnia di surat pemberitahuan tersebut.
Alasan penonaktifan ini, sambungnya, karena pihaknya sedang melakukan pemutakhiran data peserta yang berhak mendapat bantuan.
Pasalnya ada sejumlah peserta PBID yang dibiayai APBD Pemkab Malang tidak memenuhi kriteria miskin.
Hal itu mengakibatkan anggaran yang dikeluarkan untuk membayar klaim PBID sangat besar. Dalam satu bulan tagihan yang harus dibayar bisa mencapai Rp25 miliar atau Rp300 miliar setahun.
Idealnya, kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Wiyanto Widjoyo, seperti dilansir Malang Pos , anggaran untuk menanggung PBID hanya Rp5 miliar atau cukup untuk 259.000 jiwa.
"Dengan berat hati, kebijakan ini harus kita lakukan. Terutama di bulan Agustus ini, jika tidak dilakukan kondisi keuangan daerah akan semakin berat," ucap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Wiyanto Widjoyo.
Dampak dihapusnya mandatory spending di UU Kesehatan?
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan pemutakhiran data peserta PBID yang dilakukan Pemkab Malang memang diatur dalam PP nomor 75 tahun 2015 yang mengamanatkan perubahan data PBI dilakukan tiga cara: penghapusan, penggantian, atau penambahan.
Tujuannya untuk menentukan apakah peserta yang selama ini terdaftar sebagai PBID masih memenuhi kriteria menerima bantuan atau tidak.
Kalau dalam proses pendataan ulang peserta tersebut ternyata sudah tidak masuk kategori miskin atau meninggal maka akan dikeluarkan dari daftar.
Hanya saja pemutakhiran data yang dilakukan Pemkab Malang, kata Timboel, sembrono lantaran langsung menonaktifkan hampir 700.000 PBID secara sepihak.
Dampaknya, peserta PBID --yang mayoritas warga miskin-- tak bisa mengakses layanan kesehatan.
"Kalau tanggal 1 Agustus datanya dinonaktifkan, lalu tanggal 5 Agustus sakit, siapa yang tanggung?" imbuh Timboel Siregar kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/08).
"Sakit kan nggak ada yang tahu kapan terjadi, jadi kalau tiba-tiba dicoret tanpa diberitahu, ya otomatis dia tidak dapat layanan kesehatan," sambungnya.
Menurut Timboel, pemutakhiran data semestinya dilakukan rutin tiap bulan dan dilakukan secara berkala.
Dengan begitu, warga yang dianggap tidak masuk kategori penerima bantuan bisa mengantisipasi semisal mendaftar secara mandiri.
"Karena kebanyakan pemda melakukan pemutakhiran data tidak langsung mendatangi pesertanya. Tapi hanya tanya ke RT atau RW atau tokoh masyarakat."
"Setelah dicoret dari PBID tidak diberitahu. Jadi proses cleansing datanya tidak objektif apakah peserta ini benar-benar tidak mampu."
Tapi lebih dari itu, Timboel menilai kebijakan Pemkab Malang yang bakal menghentikan pemberian bantuan kesehatan kepada 419.000 peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah karena alasan minim anggaran "tidak bisa dibenarkan".
Sebab bagaimanapun kalau merujuk pada UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, "kesehatan disebut sebagai urusan pemda yang bersifat wajib dan dasar".
Apalagi kalau bersandar pada ABPD Kabupaten Malang 2024 sebesar Rp4,7 triliun, anggaran untuk membayar tagihan PBID yang mencapai Rp300 miliar setahun, sebetulnya cuma 6,4%.
"Jadi kalau dibilang wajib dan dasar, berorientasi pada hak orang. Maka tidak boleh seenaknya memainkan anggaran untuk tidak menjamin orang miskin menerima layanan kesehatan," tegasnya.
Dia juga menilai keputusan ini tak bisa dilepaskan dari dihapusnya ketentuan mandatory spending atau ketentuan minimal anggaran kesehatan di UU Kesehatan.
Dihapusnya ketentuan minimal anggaran kesehatan di UU Kesehatan membuat pemda terkesan "tidak punya kewajiban" untuk mengalokasikan minimal 10% dari APBD untuk kesehatan - seperti yang diatur di UU Kesehatan yang lama.
"Intinya masyarakat menjadi korban politik anggaran pemda setelah mandatory spending dihapus. Pemda jadi berpikir layanan ke masyarakat ala kadarnya saja."
"Padahal anggaran harusnya menyesuaikan jumlah warga miskin yang harus dibantu, bukan sebaliknya."
Timboel pun khawatir kejadian seperti ini akan berulang di daerah lain terutama di daerah-daerah yang belum menerapkan program Universal Health Coverage (UHT) -dimana warga bisa berobat gratis dengan cukup menunjukkan KTP.
Apa tanggapan Kemenkes?
Juru bicara Kementerian Kesehatan, M Syahril, menampik tuduhan BPJS Watch bahwa akibat dari dihapusnya mandatory spending membuat pembiayaan BPJS Kesehatan menciut.
Menurut dia, pencabutan mandatory spending tidak ada kaitannya dengan skema pembiayaan PBJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN seperti yang selama ini sudah berjalan.
"Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja yang wajib untuk membiayai program-program kesehatan seperti pencapaian target stunting, menurunkan AKI, AKB, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana," jelasnya dalam keterangan tertulis.
"Sementara terkait upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS tidak terkait dengan mandatory spending dalam UU kesehatan tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan. Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan," sambungnya.
Dia juga menjelaskan, bagi warga yang mampu akan membayar iurannya sendiri.
Sedangkan bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1%) dan pemberi kerja (mengiur 4%).
Sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).