Review The Batman: Film Superhero Suram tapi Kurang Orisinal

Konten Media Partner
8 Maret 2022 13:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Review The Batman: Film Superhero Suram tapi Kurang Orisinal
zoom-in-whitePerbesar
Harus seberapa suramkah film tentang Batman?
Dulu di tahun 1960-an, pahlawan berjubah ini beraksi memberantas kejahatan dengan celana hitam ketat.
Namun kemudian di 1980-an, sutradara Tim Burton menunjukkan bahwa Batman bisa menjadi gothic dan muram.
Beberapa tahun sesudahnya, sutradara Christopher Nolan membuktikan bahwa cerita tentang Batman juga bisa mengangkat tema politik dan kontemporer, dan sutradara Zack Snyder membuatnya menjadi apokaliptik.
The Batman, yang disutradarai dan ditulis bersama oleh Matt Reeves, adalah yang paling suram dari film-film Batman sebelumnya.
Lagi pula, ada tambahan "the" di judulnya - dan, seperti yang akan dikatakan oleh pembuat film The Wolverine dan Joker, jika Anda ingin membuktikan bahwa film superhero Anda serius, tambahkan atau kurangi "the" adalah caranya.
Ini adalah film di mana humor sangat dilarang. Ada begitu sedikit warna sehingga hanya menyisakan hitam dan putih.
Dan sebagai pengganti jingle "Batman" milik Neal Hefti, musik dalam film ini terdiri dari Something in The Way karya Nirvana, Ave Maria karya Schubert, dan riff nada-nada pemakaman, oleh komposer Michael Giacchino, yang mengingatkan pada film Jaws dan Darth Vader.
Juga jangan harap akan ada kelakuan sembrono dari Batman - maaf, The Batman.
Membuat pilihan akting yang berani, aktor Robert Pattinson tampak lebih tidak nyaman, lelah, dan cemas daripada aktingnya di film Twilight.
Matanya setengah tertutup dan suaranya terdengar bergumam, seolah-olah dia sedang dalam pemulihan dari keracunan makanan.
Ketika Batman mengintai dunia bawah Gotham dengan Letnan Jim Gordon (Jeffrey Wright), dia tampak seperti lebih suka berada di rumah.
Dan ketika di rumah sebagai Bruce Wayne, dia adalah penyendiri yang murung dan pucat, yang bahkan tidak punya kata-kata baik untuk kepala pelayannya yang pincang, Alfred (Andy Serkis).
Dalam narasi pembuka film ini, Bruce Wayne mengatakan bahwa "rasa takut adalah alat", tetapi tidak ada yang menakutkan tentang seorang pembasmi kejahatan yang selalu kelihatan seolah-olah dia lebih suka kemulan di bawah selimut dengan sebotol air hangat dan secangkir coklat.
Namun, barangkali begitulah Anda kalau hidup di Gotham City. Kecuali beberapa distrik yang gelap di sana-sini, dalam film-film Batman versi Nolan Gotham digambarkan sebagai kota metropolitan yang berkembang pesat.
Namun dalam The Batman, Gotham City adalah hutan beton yang suram dan putus asa, penuh dengan kejahatan dan korupsi mulai dari pejabat busuk hingga geng jalanan yang kejam.
Kota ini selalu hujan, langitnya selalu abu-abu, dan bahkan di dalam ruangan lampu tampak terlalu lemah untuk menghilangkan bayangan.
Ini bisa dibilang interpretasi sinematik terbaik dan paling atmosferik dari Kota Gotham sejauh ini - Anda dapat dengan mudah melihat mengapa kota itu butuh Batman - namun ini bukan yang paling orisinal.
Inspirasinya yang paling jelas adalah film Se7en karya David Fincher, film lain yang dibuat dalam realitas alternatif di mana bohlam 100 watt belum ditemukan.
Voiceover Batman dalam film ini mengingatkan saya pada buku harian Rorschach dari komik Watchmen, dan ada kesamaan yang tak terhindarkan dengan film-film Batman sebelumnya, tetapi The Batman begitu banyak mengambil inspirasi dari Se7en sehingga nyaris tidak memenuhi syarat sebagai film superhero.
Ini lebih merupakan cerita misteri yang suram dan sederhana tentang pembunuh berantai, tetapi salah satu detektifnya berpakaian seperti kelelawar karena suatu alasan.
The Riddler (Paul Dano) bukanlah tokoh flamboyan dengan topi bowler dan setelan hijau cerah (ingat Jim Carrey dalam Batman Forever?) melainkan seorang sadis berkacamata dan mengenakan jas hujan, seperti yang pernah kita lihat dalam franchise film Saw.
Karakter Penguin (Colin Farrell, yang menghilang di balik riasan prostetiknya) belum mengadopsi tipikal fesyennya, yakni kacamata monokel, topi tinggi, dan payung, sehingga di film ini dia lebih mirip calon Al Capone ketimbang seorang supervillain.
Sementara Catwoman (Zoë Kravitz), seorang pelayan bar tangguh dengan pekerjaan sampingan sebagai perampok, sama sekali bukan sosok penggoda yang diperankan oleh Michelle Pfeiffer dan Anne Hathaway.
Adapun plotnya, saya tidak yakin saya mengikuti semuanya, tapi itu ada hubungannya dengan dendam Riddler terhadap Gotham, dan ada hubungannya dengan razia narkoba yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya dan melibatkan bos mafia bernama Carmine Falcone (John Turturro).
Dengan kata lain, kita sudah melangkah jauh dari hari-hari ketika Mr. Freeze yang diperankan Arnold Schwarzenegger dalam film Batman and Robin, mengubah Gotham City menjadi patung es raksasa.
Rasanya aman bila kita berasumsi bahwa The Batman tidak akan menjual tiket sebanyak Spider-Man: No Way Home yang disukai banyak orang.
Sebagian besar aksi di film ini berjalan lamban, plotnya tidak terlalu mengejutkan, dan Riddler sama sekali tidak menakutkan atau cerdik seperti Joker yang diperankan aktor Heath Ledger.
Tapi, dengan caranya sendiri, The Batman tetap mengesankan.
Sesuram film Burton, Nolan, dan Snyder, Reeves dan timnya telah membuat variasi kesuraman versi mereka sendiri yang khas dan stylish, dan mereka berkomitmen untuk itu selama tiga jam penuh.
Selain itu, anehnya, pendekatan Reeves yang tegas dan keras agak melegakan.
Saat film-film blockbuster superhero lain menampilkan alien mahakuasa yang mengancam akan memusnahkan Bumi, Semesta, dan bahkan multi-semesta, The Batman menawarkan fantasi petualangan semi-noir yang lebih dekat skala dan warnanya dengan sebuah episode khusus serial polisi di televisi.
Ini adalah cerita Batman yang taruhannya kecil, tanpa bahaya signifikan yang ditimbulkan ke Gotham City, apalagi seluruh dunia.
Yang harus dilakukan jagoan kita hanya memecahkan beberapa teka-teki dan menghajar beberapa perampok dan penjaga klub malam.
Jadi, meskipun suasananya tidak menyenangkan, Anda tidak perlu khawatir dia akan gagal. Anda bisa duduk santai dan membiarkan dia menyelesaikannya.
Film ini juga tidak sepenuhnya muram, ada beberapa momen menyenangkan.
Catwoman yang diperankan Kravitz dan Penguin yang diperankan Farrell cukup hidup untuk mengimbangi Batman yang melankolis; sayang sekali mereka tidak kebagian banyak adegan.
Ada beberapa referensi tentang sejarah karakter Batman, dan beberapa baris dialog bernas tentang hak istimewa kelas dan perbedaan antara pahlawan dan vigilante.
Kisah ini juga berakhir dengan nada optimis dan menyentuh, bukan hal yang biasa untuk film Batman.
Siapa tahu, barangkali film berikutnya tidak akan terlalu suram. Pattinson bahkan mungkin tersenyum. Tapi saya tidak akan bertaruh untuk itu.
★★★ ☆☆
The Batman dirilis di bioskop pada 4 Maret secara internasional
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, The Batman review: 'A noirish pulp fantasy' bisa Anda simak di laman BBC Culture.