Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
'Rohingya di Sidoarjo', ‘Rohingya Minta Tanah’, 'Menlu Retno Usir Rohingya' – Bagaimana Narasi Kebencian dan Hoaks Bekerja Menyudutkan Etnis Rohingya?
2 Januari 2024 7:00 WIB
'Rohingya di Sidoarjo', ‘Rohingya Minta Tanah’, 'Menlu Retno Usir Rohingya' – Bagaimana Narasi Kebencian dan Hoaks Bekerja Menyudutkan Etnis Rohingya?
Sejumlah kalangan dari kelompok masyarakat sipil hingga akademisi meyakini penolakan Rohingya yang berujung aksi intimidasi, tak lepas dari “narasi kebencian, disinformasi dan berita bohong” yang meluas di media sosial.
Sebuah penelitian yang menyoroti narasi penyebaran prasangka buruk terhadap etnis Rohingya di media sosial, juga mengungkap cara kerja penyebar disinformasi yang diduga terorganisir.
Berikut adalah hal-hal yang perlu Anda ketahui untuk mengetahui konteks hasutan kebencian terhadap etnis Rohingya.
Kenapa Rohingya ditolak?
Para komentator di media sosial menolak Rohingya karena menganggap mereka ancaman. Khawatir jadi beban negara, punya perilaku buruk, memicu kriminalitas, membuat negara sendiri di Indonesia, dan memicu kesenjangan sosial.
BBC mengambil nukilan komentar dari berita terbaru saat gerombolan mahasiswa mengintimidasi pengungsi Rohingya di Kota Banda Aceh pada Rabu (27/12) silam.
Per 1 Januari 2024, berita ini telah menuai lebih dari 2.000 komentar pro dan kontra.
Sejumlah alasan menolak Rohingya dirangkum sebagai berikut:
Selain itu, ada komentar menulis keberadaan etnis Rohingya di Aceh akan membuat kesenjangan sosial.
“Indonesia masih banyak yang hidup di garis kemiskinan, kok imigran gelap dikasihani,” tulis seorang warganet.
Pada umumnya, mereka yang kontra memulai dengan kalimat: “Saya tidak anti terhadap pengungsi, dan membantu warga negara lain. Namun...”
Dan, ini akan diikuti dengan alasan-alasan lanjutan – meskipun tidak sedikit yang secara langsung melakukan tuduhan negatif.
Dari persoalan ini, BBC berupaya untuk mengklasifikasikannya menjadi: khawatir jadi beban anggaran negara, kriminalitas, pendudukan wilayah, imigran gelap dan membuat kesenjangan sosial. Berikut adalah fakta-faktanya:
Apakah Pengungsi Rohingya membebani anggaran negara?
Tidak.
Pemerintah tidak punya anggaran untuk pengungsi Rohingya.
"Ini kan nggak ada [alokasi anggarannya] di APBN, nggak ada di pemda [APBD], dia masuk ke daerah-daerah pemda nggak punya anggaran,“ kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD., Kamis (14/12/2023).
Dalam hal ini, pemerintah hanya menyediakan lokasi penampungan sementara apa yang disebut Mahfud MD sebagai "demi kemanusiaan“.
Kebutuhan hidup sehari-hari pengungsi atau pencari suaka di Indonesia – bukan hanya Rohingya – ditanggung oleh Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
"Setiap biaya, kebutuhan pengungsi yang ada itu akan di-cover, atau ditanggung oleh UNCHR dan mitra-mitra kerja... Sama sekali tidak menggunakan pendanaan dari negara, atau APBN/APBD," kata Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Mitra Salima Suryono , Kamis (28/12/2023).
Dana UNHCR ini berasal, salah satunya dari donasi masyarakat, lembaga atau swasta.
Apakah pengungsi Rohingya melakukan tindak kriminalitas?
Faktanya, beberapa pengungsi Etnis Rohingya di Indonesia terlibat kasus perdagangan manusia atau penyelundupan manusia , kabur dari penampungan , dan dugaan pelecehan seksual.
Seluruh kasus ini telah ditangani polisi. Artinya mereka yang terlibat kasus-kasus ini telah diproses secara hukum.
Bagaimanapun, kasus-kasus kriminalitas ini dijadikan alasan sebagian orang menolak keberadaan pengungsi.
Mirisnya, kejahatan sejumlah orang dipukul rata jadi kesalahan dan hukuman seluruh etnis Rohingya, kata Koordiantor KontraS Aceh, Azharul Husna.
"Kalau lah satu orang melakuan kejahatan, nampaknya tidak adil kalau kita timpakan kesalahan itu terhadap semua orang,“ katanya.
Rohingya minta tanah di Aceh, memang bisa seperti kasus Israel-Palestina?
"Mustahil, karena mereka tidak berhak memiliki properti di sini,“ kata Azharul Husna. Ditambah lagi, pengungsi tak punya hak untuk bekerja, dan ruang gerak mereka dibatasi.
Buktinya, pengungsi dan pencari suaka yang ditampung di Indonesia lebih dari satu dekade tak satupun yang punya rumah atau pulau pribadi.
Berdasarkan laporan UNHCR jumlah pengungsi yang ada di Indonesia per 2022 sebanyak 12.616 orang yang kebanyakan berasal dari Afghanistan (55%), Somalia (10%), dan Myanmar (6%).
Pertanyaan ini juga akan menyinggung status hukum pengungsi di Indonesia, termasuk Rohingya.
Secara sederhana, pengungsi atau refugee diidentifikasi sebagai seseorang yang mengungsi dari negara asalnya dikarenakan ancaman nyata berupa diskriminasi, persekusi, dan kekerasan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotan di dalam kelompok tertentu, dan pendapat politiknya.
Para pengungsi umumnya mencari perlindungan dari negara-negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 .
Indonesia tidak meratifikasi konvensi tersebut. Artinya, Indonesia bisa saja menolak memberi perlindungan terhadap pengungsi.
Namun, dalam pelbagai kesempatan, pemerintah mengatakan bersedia menampung sementara pengungsi Rohingya atas dasar kemanusiaan.
Dengan status dan kondisi ini, hampir mustahil pengungsi Rohingya punya KTP Indonesia, sekalipun mereka menikah dengan WNI. Syaratnya ketat, termasuk harus punya pekerjaan dan penghasilan tetap.
Baca Juga:
“Sekalipun refugee mendapat status sebagai pencari suaka atau status pengungsi dari UNHCR, tetap saja tidak dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia.
Sebab, refugee tersebut hanya diizinkan tinggal sementara, sebelum dipindahkan ke negara ketiga, dan tidak diperkenankan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu,” kata Miranda Timothy Butarbutar dari LBH Mawar Saron seperti dikutip dari Hukumonline .
Apakah semua etnis Rohingya berkelakuan buruk?
Etnis Rohingya disebut dalam komentar media sosial sebagai jorok, karena buang air sembarang.
Koordinator KontraS, Azharul Husna tak menampik hal tersebut. Tapi sekali lagi, ini kasus yang tak bisa dipukul rata pada semuanya.
“Itu satu-dua saja kasusnya,” katanya.
Lagi pula, tambah Husna, etnis Rohingnya memiliki latar belakang sebagai kelompok yang teraniaya dan sepanjang hidup berada dalam pelarian.
Sejumlah penampungan pengungsi tak cukup memberikan pendidikan kebersihan lingkungan, fasilitas MCK dan kesehatan.
“Ini karena situasi, bagaimana orang dididik dengan situasi,” katanya.
Selain itu, ada juga polemik makanan yang dibuang pengungsi.
“Itu kan ada video bungkus makanan terbuang, satu bungkus. Tapi seolah-olah pengungsi hobinya buang makanan,” kata Husna.
Termasuk video yang menunjukkan seorang pengungsi membuang bantuan di laut, saat ada upaya sebagian warga mendorong kembali kapal mereka.
Menurut Husna ada kemungkinan itu pesan simbolik, karena keterbatasan bahasa.
Bantuan apapun akan percuma ketika mereka harus dikembalikan ke laut, karena cepat atau lambat nyawa mereka terancam.
“Ini bulan Desember, di mana badai, dan lain-lain kondisi laut kapan sih pernah cukup aman. Ini kan orang berjudi dengan nyawanya,” kata Husna.
Apakah keberadaan Rohingya membuat kecemburuan sosial?
Dalam satu tayangan media sosial, seorang pengungsi Rohingya terlihat memperoleh biaya hidup Rp1,2 juta/bulan. Tayangan video ini disandingkan dengan gaji guru honorer Rp300.000/bulan.
Ada pula warganet yang mengeluh: “Indonesia masih banyak yang hidup di garis kemiskinan, kok imigran gelap dikasihani”.
Hal ini balik lagi ke pokok utama: pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan biaya untuk pengungsi Rohingya, dan mereka tak boleh bekerja di Indonesia. Pengungsi tak punya penghasilan, dan ruang gerak mereka terbatas.
"Mengapa mereka harus dibantu? Karena tidak boleh bekerja. Tidak bisa cari makan,“ kata Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Mitra Salima Suryono.
Apa saja contoh hoaks dan disinformasi tentang Rohingya di media sosial?
BBC Indonesia merangkum hoaks yang telah diverifikasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) dan Kementerian Komunikasi dan Infromatika (Kominfo) .
Dalam dua bulan terakhir (November – Desember 2023) setidaknya terdapat 10 hoaks bermuatan sentimen negatif terhadap etnis Rohingya, yaitu:
Selanjutnya ditemukan juga hoaks yang menyebut ‘Nelayan di Surabaya hadang kapal pengungsi Rohingya’, ‘Kapal feri berisi pengungsi Rohingya sedang menuju Indonesia’, ‘Pengungsi Rohingya terdampar di Mandalika’ dan ‘Mr Beast membeli pulau sentinel utara untuk ditempati etnis Rohingya’.
Selain hoaks, terdapat juga disinformasi mengenai pengungsi Rohingya. Salah satu yang menjadi perhatian adalah pengrusakan fasilitas di lokasi pengungsian Sidoardjo, Jawa Timur pada 8 Desember yang dipicu pemadaman listrik.
Dalam video yang beredar media sosial terbangun narasi, bahwa pengungsi Rohingya melakukan pengrusakan, dan menuntut fasilitas yang layak.
Namun, sejumlah media telah memverifikasi hal tersebut. Hasilnya, aksi pengrusakan ini dilakukan pengungsi dari negara lain, bukan Rohingya – seperti dikutip dari Kompas .
Bagaimana cara kerja hoaks dan disinformasi?
“Ketidaktahuan masyarakat tentang sesuatu hal itu menjadi salah satu pintu masuk bagi disinformasi. Itu bisa bekerja dan mempengaruhi seseorang,” kata Ketua Presidium MAFINDO, Septiaji Eko Nugroho kepada BBC News Indonesia.
Hasutan kebencian karena hoaks dan disinformasi ini meluas karena membangkitkan emosi warga yang tidak tahu “kalau Rohingya ini salah satu kelompok yang paling dipersekusi di muka bumi”.
Contohnya, video yang menggambarkan pengungsi Rohingya minta tambah makan, atau membuang makan.
"Yang jadi diisinformasi itu kemudian digeneralisasi… Over-generalisasi yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang berusaha menggeser persepsi publik tentang sesuatu. Jadi, seolah-olah semuanya seperti itu,” kata Zek – sapaan Septiaji Eko Nugroho.
Narasi kebencian yang beredar ini disebut Eko Nugroho sebagai “demonisasi” atau upaya membentuk Rohingya sebagai sesuatu yang jahat, layak dihina dan disalahkan.
Apa kepentingan di balik polemik Rohingya?
Sebagian besar warganet terutama di platform X meyakini adanya isu Pilpres 2024 di balik polemik pengungsi Rohingya, setidaknya ini yang ditemukan oleh Drone Emprit melalui penelitiannya .
Dari analis percakapan X periode 1 – 29 Desember 2023, Drone Emprit menemukan emosi keyakinan warganet (4,4k), bahwa isu Rohingya berkaitan dengan isu Pilpres, dan (2,6k) emosi publik mengutuk adanya kemungkinan penggunaan isu Rohingya untuk pemilu.
"Besarnya emosi 'trust‘ berhubungan erat dengan keyakinan publik, bahwa narasi pro kontra Rohingya berkaitan dengan Pilpres dan segala disinformasi soal pengungsi Rohingya digerakkan oleh pihak tertentu,“ tulis pernyataan Drone Emprit.
Organisasi ini juga mengungkap percakapan terkait Rohingya di media sosial lebih didominasi nada positif (56%) dibandingkan negatif (33%).
Mereka yang berkicau positif menulis pesan agar masyarakat tidak xenofobia (perasaan benci takut, waswas terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal-KBBI).
Lalu, menduga ada isu pesanan, serta mengutuk aksi pengusiran Rohinya oleh mahasiswa Aceh.
Di sisi lain, akun-akun yang kontra terhadap pengungsi Rohingya banyak mengulas soal imigran ilegal, dan menyoroti penduduk Indonesia yang lebih membutuhkan bantuan.
Sejumlah kalangan meyakini isu penolakan Rohingya ini terorganisir, termasuk akademisi hubungan internasional dari Universitas Presiden, Nino Viartasiwi.
"Tujuannya sekuritisasi isu, meningkatkan proses politik, untuk meningkatkan isu yang asalnya bukan isu keamanan menjadi isu keamanan,“ kata peneliti dari RDI Urban Refugee Research Group ini.