Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
‘Salahkah Saya Mencintai Suami Saya? Dia Juga Manusia’ – Pahit Getir Kehidupan Perempuan Indonesia yang Menikah dengan Pengungsi Rohingya
23 Juni 2024 3:10 WIB
‘Salahkah Saya Mencintai Suami Saya? Dia Juga Manusia’ – Pahit Getir Kehidupan Perempuan Indonesia yang Menikah dengan Pengungsi Rohingya
“Salahkah saya mencintai suami saya? Dia juga manusia. Saya tidak melihat suku, ras atau apa, tapi dari kemanusiaan. Apakah dia baik, punya sopan santun, dan mencintai saya serta keluarga saya,” ucap Ulfa Aulia Khairani.
Pada 2014 silam, perempuan berdarah campuran Batak dan Padang berusia 28 tahun ini menikah secara siri dengan seorang pengungsi Rohingya, Korim Syah, di Kota Medan. Namun, status suaminya sebagai pengungsi memaksa mereka hidup terpisah kendati telah berumah tangga.
Ulfa tak sendirian. Setidaknya ada 10 perempuan Indonesia yang menikah siri—perkawinan yang tidak tercatat secara resmi di KUA—dengan para pengungsi Rohingya yang tinggal di penampungan pengungsi Rohingya di Hotel Pelangi, Kota Medan.
Dari pernikahan itu lahir 29 anak berdarah Indonesia yang disebut pengamat menghadapi ‘kerentanan berlapis’ dari segi akses kesehatan dan pendidikan sehingga membutuhkan bantuan pemerintah.
Para perempuan yang menikah dengan pengungsi Rohingya berharap suatu saat dapat ikut dengan suami mereka dipindahkan ke negara ketiga bersama anak-anak.
Ulfa bermimpi suatu saat dirinya, suaminya dan dua anak mereka bisa tinggal di bawah atap rumah yang sama, bertumbuh bahagia, dan hidup sejahtera. Yang terpenting, status pernikahannya diakui.
Namun bertahun-tahun telah berlalu, apakah asa itu semakin tak tergapai? Wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau bertemu dengan dua pasangan pernikahan campur ini di Medan dan menyelami problematika yang mereka alami.
Perkenalan hingga menikah, ‘hidup berbeda rumah’
Kala saya mendampingi Korim berkunjung ke rumah orang tua Ulfa pada Maret silam, Ulfa sedang menggendong anak keduanya yang masih berusia lima bulan.
Anak pertama Ulfa yang menyadari kedatangan ayahnya, langsung berlari memeluk Korim dan meminta digendong. Berondongan pertanyaan dilontarkan anak laki-laki berusia lima tahun itu kepada ayahnya. Salah satunya, “Bapak ke mana saja kok tak pulang, tidak ajak aku jalan?”.
Walaupun telah menikah, keluarga ini tidak dapat tinggal di bawah atap rumah yang sama.
Bersama dua anaknya, Ulfa tinggal di rumah orang tuanya yang terletak tepat di pinggir Sungai Deli, Medan. Sementara Korim bernaung di Hotel Pelangi—tempat bagi pengungsi Rohingya yang telah belasan tahun berlindung di Indonesia—yang berjarak kira-kira 10 kilometer dari rumah orang tua Ulfa.
Di ruang tamu berdinding kayu dan beratap seng, Ulfa bercerita kepada saya kali pertama dia bertemu Korim adalah pada 2014 usai tamat sekolah menengah atas (SMA).
Saat itu, Ulfa bekerja sebagai pelayan toko di dekat rumahnya, sedangkan Korim telah menetap dua tahun di Hotel Pelangi dan mendapatkan status pengungsi dari United Nations High Commissioner For Refugees (UNHCR).
Perkenalan mereka diawali saat Korim membeli minuman es tebu di depan toko Ulfa bekerja. Mereka berbincang-bincang dan berbagi nomor telepon.
”Awal mulanya dia [Korim] bilang orang Aceh, saya percaya saja,” kata Ulfa sambil menatap suaminya yang diikuti tawa.
Setelah pertemuan itu, mereka intens berkomunikasi via telepon. Lambat laun Ulfa pun menaruh curiga tentang asal usul Korim.
“Saya dengar logatnya berbeda. Lalu saya tanya kamu orang apa, Bang? Dia pun jujur bilang, ‘Saya Rohingya, terserah adik mau terima atau tidak’,” kenang Ulfa.
Mendengar itu, Ulfa lalu menjawab, “Kenapa rupanya? Kan manusia juga.”
“Saya tidak mundur, saya tetap bertahan sama dia,” kata Ulfa yang mengaku saat itu belum terbayang berbagai cobaan yang akan dihadapi apabila berumah tangga bersama Korim.
Setelah mantap hati, Ulfa mengumpulkan seluruh keberanian untuk memperkenalkan Korim kepada orang tuanya.
Status pengungsi yang kapan saja dapat meninggalkan anaknya menjadi kekhawatiran terbesar orang tua, ujar Ulfa.
“Saya yakinkan orang tua, itu pilihan saya. Apapun yang terjadi, konsekuensinya saya terima, dan mereka setuju,” kata Ulfa.
Bagaimana perjalanan Korim sampai Indonesia?
Korim mengaku meninggalkan Myanmar pada tahun 2005 saat berusia 17 tahun. Ancaman kekerasan bersenjata dan getir kehidupan menjadi alasannya untuk melarikan diri.
Bangladesh adalah persinggahan pertamanya. Di sana, dia bekerja selama satu tahun sebagai tukang bangunan.
Tak lama kemudian, dia bersama puluhan pengungsi Rohingya lain mengarungi Samudra Hindia menggunakan kapal kayu menuju Malaysia.
Di negeri jiran, Korim bekerja serabutan sebagai tukang bangunan, las, hingga pelayan restoran demi menyambung hidup.
Bertahun-tahun hidup dengan status ilegal, Korim memutuskan untuk mencari suaka ke Australia pada 2011.
Bersama sekitar 38 pengungsi Rohinya lainnya, dia kembali menempuh perjalanan laut dari Johor Baru, Malaysia, dengan tujuan transit di Indonesia.
Saat transit di Tanjung Balai, Sumatra Utara, rombongan Korim ditangkap aparat keamanan Indonesia dan ditahan di rumah detensi imigrasi (rudenim).
Setahun kemudian, pada 2012, Korim mendapat status pengungsi dan ditampung di Hotel Pelangi, hingga kini.
Setelah tiga bulan saling mengenal dan mengantongi restu orang tua, Ulfa dan Korim memutuskan menikah secara siri.
Bulan madu keluarga baru ini hanya berlangsung sesaat lantaran kesulitan hidup bertubi-tubi menghampiri.
Tak lama setelah menikah, Ulfa dan Korim dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak bisa tinggal bersama.
Rumah komunitas Pelangi melarang setiap pengungsi Rohingya yang tinggal di sana untuk menginap di luar. Begitu juga sebaliknya, selain pengungsi dilarang tinggal di fasilitas penampungan itu.
Demi bertemu Ulfa di rumah orang tuanya, Korim menempuh perjalanan dengan transportasi umum angkot berbiaya sekitar Rp14.000 pulang pergi. Biasanya, dia mengunjungi rumah Ulfa sejak pagi hingga sore hari.
Saat ini, usia rumah tangga sudah hampir 10 tahun dan Ulfa mengaku remuk redam harus menjalani hubungan beda rumah dengan Korim.
“Sedih sekali Mas, sudah nikah tapi beda tempat. Saya di sini, dia di sana, seperti bukan berkeluarga suami istri,” ujar Ulfa kepada saya.
Kadang-kadang, kata Ulfa, suaminya terpaksa melanggar aturan dengan menginap satu hingga tiga hari di rumah orang tuanya, baik disebabkan kehabisan ongkos maupun kondisi mendesak lainnya.
Ulfa pun tidak bisa menginap di Hotel Pelangi, timpal Korim.
“Cuma dia sekali-kali ke sana [Hotel Pelangi], tidak bisa tidur, mengobrol bisa. Sedih kali lah, susah lah. Kalau tinggal satu rumah kan aman, senang, sama anak-anak bisa main-main,” kata Korim yang duduk di sebelah Ulfa sambil menggendong anaknya yang terlelap.
Sebagai ayah dan suami, Korim mengaku sedih ketika sering kali dirinya tak pernah ada saat keluarga kecilnya membutuhkan.
“Malam-malam ditelepon sama istri, anak yang kecil demam. Saya tidak bisa datang, sedih sekali,” kata Korim yang telah fasih berbahasa Indonesia.
Terlilit utang, stigmatisasi, dan status anak ‘tanpa ayah’
Dengan status sebagai pengungsi, Korim bersama belasan ribu pengungsi lainnya dilarang bekerja di Indonesia. Hal itu tercantum dalam surat pernyataan pengungsi pada lampiran Peraturan Dirjen Imigrasi tahun 2010.
Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, sehingga tak ada kewajiban untuk memberikan hak bekerja dan memiliki rumah pada pengungsi.
Ulfa juga mengaku tidak bisa bekerja karena merawat anaknya yang masih menyusui. Keluarga ini pun bergantung pada bantuan rutin sebesar Rp1,25 juta per bulan yang diberikan badan PBB kepada Korim karena statusnya sebagai pengungsi.
Jumlah itu diakui Ulfa tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Ulfa bercerita salah satu pengalaman terberatnya adalah ketika anaknya sakit namun mereka tidak memiliki uang untuk berobat.
”Anak saya belum ditanggung BPJS saat itu, saya harus cari pinjaman ke mana-mana,” kenangnya.
Kini, keluarga ini mengaku terlilit utang sekitar Rp4 juta dan mereka belum menemukan cara bagaimana melunasi pinjaman tersebut.
Tekanan hidup ini membuat Korim beberapa kali melanggar aturan. Dia mengaku pernah bekerja sebagai tukang bangunan di Medan demi mendapatkan uang.
Stigmatisasi dan diskriminasi dari beberapa warga sekitar pun kerap dialami keluarga ini.
Kepada saya, Ulfa mengaku pernah disebut bodoh karena menikah dengan pengungsi Rohingya.
“Pernah ada yang bilang suami saya orang luar, imigran gelap, tidak punya negara, jangan macam-macam di sini. Sedih sekali dengarnya.”
“Saya jawab, ‘Dia [Korim] itu pengungsi yang tidak punya negara, bukan ilegal. Kalau orang luar kenapa rupanya? Apa salahnya? Dia juga kan manusia’,” ujar Ulfa.
Status anak tanpa ayah di akte kelahiran, sebut Ulfa, memperparah penderitaan yang mereka hadapi.
“[Nama] suami tidak bisa dimasukkan dalam akta kelahiran anak sebagai ayah. Di situ saya sebagai kepala keluarga, sedih rasanya,” kata Ulfa.
Menurut Undang-Undang Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.
Sedangkan, anak yang dilahirkan dari pernikahan siri disamakan dengan status anak luar nikah. Implikasinya, yang tercantum dalam akta kelahiran hanya nama ibu.
“Kalau suami saya tidak ikut [akte] apa gunanya keluarga ini. Anak-anak saya butuh status seorang ayah,” ujar Ulfa.
‘Gara-gara nikah sama orang Indonesia’
Satu-satunya harapan yang dimiliki Ulfa agar keluarga kecilnya keluar dari rangkaian masalah yang dihadapi adalah dengan pemukiman kembali (resettlement) ke negara ketiga yang menerima pengungsi.
“Demi masa depan anak-anak, taraf hidup kami lebih baik, suami bisa bekerja dan kami menjadi keluarga yang utuh dan diakui sepenuhnya,” kata Ulfa.
Korim menambahkan dia telah menjalani proses permohonan suaka hingga wawancara untuk penempatan ke negara ketiga. Namun bertahun-tahun menunggu, harapan itu tidak pernah datang.
Penyebabnya, ujar Korim, karena dia menikah dengan perempuan Indonesia.
“Kami tanya ke UNHCR kenapa kami ditahan? Katanya gara-gara nikah sama orang Indonesia,” katanya.
Padahal, menurut Korim, ada beberapa pengungsi Rohingya yang menikah dengan perempuan Indonesia telah diberangkatkan ke negara ketiga.
“Ada kawan tahun 2018 berangkat, seperti saya juga, menikah [dengan perempuan] Indonesia. Sama-sama kami datang dari Malaysia. Mereka sekeluarga telah berangkat sedangkan saya masih di sini,” ujar Korim.
Korim bahkan telah mengatakan ke UNHCR agar dirinya saja yang dipindahkan, namun jawabannya tetap sama.
”Saya sampai bilang apa perlu saya ceraikan? Tetap tidak mau [UNHCR]. Berarti maksudnya apa? Ini tidak mau, itu tidak mau,” katanya dengan kesal.
‘Saya kadang mau menyerah dengan hidup ini’
Ulfa tidak sendirian. Saya menjumpai Rohana, perempuan Indonesia yang menikah dengan pengungsi Rohingya bernama Kabir Bin Jamil Ahmed.
Berbeda dengan Ulfa, Rohana bersama keluarganya berumah di Hotel Pelangi. Bersama empat anak, mereka tinggal dalam satu kamar yang seharusnya dihuni dua pengungsi Rohingya.
Pengungsi Rohingya yang sebelumnya satu kamar dengan Kabir kini tinggal di luar penampungan bersama istri—yang juga warga Indonesia—beserta empat anaknya.
Dalam kamar berukuran sekitar 25 meter persegi itu, Rohana, Kabir dan empat anaknya hidup berimpitan.
Mereka tidur di tiga kasur tanpa sprei yang dibatasi oleh gorden tipis berwarna putih.
Terdapat dua kipas angin yang terpasang di kamar itu untuk menyejukan panas dan mengusir nyamuk saat malam.
”Kita mau tinggal di luar pun hanya dapat satu orang gajinya [bantuan PBB], mau bayar bagaimana,” kata Kabir sambil memperlihatkan kamarnya.
Di sebelah kamar itu, sebuah ruang kecil digunakan oleh Rohana untuk memasak dan berjualan penganan.
Sore itu, Rohana tengah menyiapkan makanan bagi keluarga untuk berbuka puasa. Di tengah kesibukannya, Rohana menyadari dirinya melanggar aturan dengan tinggal di sana.
Namun, Rohana mengaku tidak punya pilihan.
“Saya menetap di sini [Hotel Pelangi] saat punya anak nomor tiga, sebelumnya saya sewa rumah,” katanya.
Pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya membuatnya tak sanggup lagi membayar biaya sewa rumah, sementara Rohana yang berasal dari Jawa tak memiliki kerabat di Medan.
Air mata mulai berlinang saat Rohana membicarakan rentetan kesulitan hidup yang dia alami ketika menjalani rumah tangga dengan Kabir, terutama tentang masa depan anak-anaknya.
“Anak-anak saya semakin besar, mesti ada status. Masa depan macam mana? Mudah-mudahan saya punya umur panjang, kalau saya punya umur pendek, anak-anak bagaimana?” katanya terisak.
“Saya kadang mau menyerah dengan hidup ini, tapi kalau lihat anak-anak saya harus kuat. Kadang apa yang bisa saya buat. Saya buat kue, saya jual,” katanya.
Mungkin Anda tertarik:
Rohana mengaku kedua anaknya yang lahir di Malaysia hingga kini tak memiliki status kewarganegaraan, baik sebagai WNI maupun pengungsi.
“[Mereka] cuma bisa masuk-masuk [sekolah] saja tapi identitas tidak ada. Cuma belajar saja, tidak dapat ijazah,” ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Rohana bergantung pada bantuan yang diterima suami sebesar Rp1,25 juta dari PBB dan hasil dari berjualan kue dan minuman ringan.
Rohana berharap agar anak-anak dan suaminya memilih status kewarganegaraan dan ditempatkan ke negara ketiga.
“Tapi dari UN tidak ada jawaban, kalau ditanya bilang sabar,” katanya.
‘Apa arti hidup seperti ini?’
Senada, Kabir juga tidak mampu menahan kekecewaannya. Air mata mengalir dan nada bicaranya meninggi saat dia bercerita tentang nasibnya dan masa depan keluarganya.
“Apakah salah kita menikahi orang Indonesia? Kalau kita nikah [dengan orang] Indonesia, kenapa UN jadi buat sama kita macam ini? Apa pun tidak mau jawab,” keluh Kabir.
“Istri Indonesia, kita tidak boleh buat apa-apa, UN bilang. Sampai kapan macam ini? Anak-anak kita bagaimana? Nanti besok kita mati, anak-anak bagaimana?” katanya.
Hampir 13 tahun Kabir menjadi pengungsi namun hingga kini tidak ada kejelasan akan masa depan dirinya dan keluarganya.
“Kadang pikir mau minum racun, mati sendiri bagus, tidak ada harapan, tidak ada masa depan. Apa arti hidup seperti ini? Tak ada hidup lebih bagus,” kata Kabir yang fasih berbahasa Indonesia.
Pertemuan Rohana dan Kabir
Rohana bertemu Kabir ketika dirinya mengadu nasib di Malaysia sebagai pekerja migran Indonesia. Pada 2006 dia tiba di negeri jiran dan bertemu Kabir dua tahun kemudian.
“Saya bekerja sebagai pelayan kedai, sementara suami mengantar es batu. Kami kenalan, lalu delapan bulan kemudian menikah,” kata Rohana.
Dia mengaku hidup bahagia selama di Malaysia, namun status anak dan suami yang tidak jelas membuat mereka memutuskan mencari suaka ke Australia sekitar tahun 2011.
Membawa dua anaknya yang masih balita, mereka menggunakan kapal tongkang menembus derasnya ombak Selat Malaka menuju Indonesia untuk transit.
”Di situ saya takut nanti mati kah, hidup kan, kita pun tidak tahu. Tapi syukur kita selamat,” katanya.
Setiba di Indonesia, Kabir diamankan oleh aparat keamanan dan dimasukkan ke rudenim di Jakarta. Ini kali pertama bagi Rohana terpisah dengan suaminya dan merawat dua anaknya sendirian.
”Saya diletakkan di Terminal Kalideres [dekat Rudenim Jakarta] sama anak dua. Malam itu saya punya anak badannya panas, saya tidak tahu jalan, tidak tahu siapa, berat kali. Suami saya tidak ada, saudara saya tidak ada,” kenang Rohana.
Pagi harinya, Rohana mencari kos yang dekat dengan tempat suaminya. Dia bertahan selama 10 bulan di sana, mendampingi suami dari kejauhan.
Setelah itu, suaminya dipindahkan ke Hotel Pelangi di Medan pada 2012. Rohana pun pindah ke Medan dan menyewa tempat tinggal untuk sementara waktu hingga akhirnya mereka berkumpul kembali di Hotel Pelangi sampai sekarang.
‘Kerentanan yang berlapis‘
Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, mengatakan status perkawinan yang tidak tercatat seperti nikah siri menciptakan ruang perlindungan yang minim bagi istri dan anak yang dilahirkan.
Kerawanan itu, ujarnya, semakin berlapis ketika perempuan Indonesia kawin dengan pengungsi Rohingya yang masuk dalam kelompok rentan.
“Bagaimana nasib istri dan anak jika suami mereka yang pengungsi ditempatkan ke negara ketiga? Istri dan anak kan statusnya bukan pengungsi, mereka tidak bisa ikut. Permasalahan ini yang harus dicari solusinya,“ kata Majda.
Selain itu, Majda juga melihat upaya pemerintah daerah yang sangat lambat dalam melindungi warganya yang menikah dengan pengungsi Rohingya, seperti keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan, bantuan sosial dan pendidikan.
“Tidak ada koordinasi dan perhatian dari pemda, seperti dibiarkan saja mereka hidup sendiri menghadapi beragam permasalahan,” katanya.
Namun, Kasatgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) Kota Medan, Andy Mario Siregar, membantah hal tersebut. Dia mengatakan Pemkot Medan telah berupaya memberikan beragam fasilitas yang sebenarnya di luar kewajiban.
“Yaitu dengan memberikan fasilitas pendidikan bagi anak pengungsi di sekolah negeri dan fasilitas kesehatan mulai dari puskesmas sampai rumah sakit pemerintah,“ klaim Andy.
Andy menambahkan, Pemkot Medan bersama Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga terus melakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar untuk mencegah perkawinan secara siri, termasuk antara pengungsi dengan warga Medan.
“Langkah ke depan Satgas akan mengundang KUA [kantor urusan agama] kecamatan terkait pencegahan pernikahan siri,“ katanya.
Istri dan anak adalah WNI – ‘Tidak bisa dibawa ke negara ketiga’
Kepala Rudenim Medan, Sarsaralos Sivakkar, menegaskan anak yang lahir dari pernikahan antara orang Indonesia dengan pengungsi Rohingya berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Implikasinya, anak-anak tersebut mendapatkan fasilitas yang sama dengan warga Indonesia lainnya, baik ke akses pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Di sisi lain, Sarsaralos mengatakan, status WNI itu menyebabkan istri dan anak tidak bisa dibawa ke negara ketiga.
“Yang berangkat ke negara ketiga adalah pengungsi Rohingya-nya. Makanya pendekatan terus menerus dilakukan ke kepala lingkungan terkait status pengungsi ini,“ katanya.
Pemukiman kembali (resettlement) ke negara ketiga adalah salah satu dari tiga solusi yang difasilitasi oleh badan PBB yang mengurusi pengungsi, UNHCR, kepada mereka yang mendapatkan status pengungsi, seperti pengungsi Rohingya.
Ada sekitar 20 negara di dunia yang menerima pencari suaka itu, di antaranya adalah Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru.
Sarsaralos pun telah menanyakan ke UNHCR apakah pernikahan itu dapat ‘menggagalkan’ permohonan pemukiman kembali bagi pengungsi dan keluarga mereka yang WNI.
”Mereka [UNHCR] itu prinsip HAM-nya [tidak bisa membatasi pernikahan]. Jadi [UNHCR] tidak kasih jawab apakah [pernikahan] itu pelanggaran sehingga dia tidak mungkin ke negara ketiga atau [pernikahan] itu akan mengurangi atau menggagalkan ke negara ketiga. Tidak ada jawaban dari situ juga,” katanya.
Sarsaralos mengatakan, Imigrasi juga tidak bisa membatasi atau melarang pernikahan tersebut.
“Kami tidak bisa berkata apa-apa terkait itu. Kami cuma bisa mengingatkan kepada WNI maupun pengungsi konsekuensi dari pernikahan yang tidak tercatat,“ ujarnya.
'Bukan yang mustahil' - keputusan di negara penerima
Juru Bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menjelaskan keputusan pemukiman kembali bukan di tangan UNHCR melainkan kewenangan penuh negara penerima.
Dalam pengajuan pemukiman kembali ke negara ketiga, UNHCR menyertakan informasi soal kondisi terkini pengungsi tersebut, termasuk jika mereka memiliki suami atau istri dan anak dengan status WNI.
“Dalam hal tersebut lagi-lagi keputusan ada di negara yang akan menerima. Apabila negara dituju mau menerima anak dan istrinya, tentu saja mereka bisa ikut berangkat dengan pengungsi,” kata Mitra.
“Jadi itu bukan sesuatu yang mustahil, namun keputusannya berada di tangan negara penerimanya, bukan UNHCR,” ujarnya kemudian.
Hingga akhir Desember 2023, mayoritas pengungsi di Indonesia berasal dari Afghanistan (48%), Myanmar (16%) dan Somalia (9%).
Adapun pengungsi Rohingya di Medan adalah beberapa dari sekitar 12.295 pengungsi Myanmar yang terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia.
Berdasarkan data Rudenim Medan, ada sekitar 60 pengungsi di wilayahnya yang ditempatkan ke negara ketiga pada 2019. Jumlah itu bertambah menjadi 69 pengungsi tahun berikutnya.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, membuat penempatan kembali para pengungsi ke dunia ketiga dihentikan, namun pada 2023 ada empat pengungsi di Medan yang ditempatkan ke Australia dan Kanada.
‘Tuhan sudah kasih jodoh saya orang Rohingya’
Akan tetapi, kuota yang sangat terbatas mengakibatkan jumlah pengungsi yang mendapatkan kesempatan pemukiman kembali sangat sedikit.
“Hanya kurang dari 1% pengungsi di seluruh dunia yang bisa mendapatkan resettlement. Jadi memang kemungkinannya sangat kecil,” kata Mitra.
Selain pemukiman kembali, dua solusi lainnya yang dilakukan PBB adalah pemulangan sukarela jika konflik di daerah asal pengungsi sudah berakhir dan integrasi lokal di negara pemberi suaka.
Namun, dua solusi ini belum bisa dilakukan terhadap pengungsi Rohingya karena konflik di Myanmar masih terjadi dan integrasi lokal belum bisa dilakukan di Indonesia.
Rasa frustasi para pengungsi Rohingya yang hidup bertahun-tahun tanpa kejelasan status di Indonesia dipahami betul oleh UNHCR, kata Mitra.
Oleh karena itu, UNHCR bersama pemerintah Indonesia terus berupaya mencari solusi agar para kehidupan para pengungsi terjamin di Indonesia, antara lain dengan memberikan bantuan kebutuhan sehari-hari, akses pendidikan, kesehatan, dan peluang magang.
Di tengah upaya UNHCR untuk memberikan solusi jangka panjang kepada pengungsi Rohingya di Indonesia, Ulfa hanya bisa berpasrah diri.
“Memang sudah takdir kita macam ini. Kita kan tidak bisa memilih kenapa jodoh orang Rohingya. Kan kita tidak bisa ‘aku mau jodohku orang kaya lah, orang ini lah’. Kan tidak bisa kita menebak-nebak.”
Di ujung pertemuan kami, Rohana juga tetap bersyukur atas kehidupan yang dia miliki.
“Tuhan sudah kasih jodoh saya orang Rohingya, saya syukuri saja,” tutupnya.