Konten Media Partner

'Saya Harus Membawa Surat Izin dari Suami agar Diterima Kerja' - Kisah Sulitnya Kaum Perempuan Iran Mendapatkan Pekerjaan

12 September 2024 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

'Saya Harus Membawa Surat Izin dari Suami agar Diterima Kerja' - Kisah Sulitnya Kaum Perempuan Iran Mendapatkan Pekerjaan

Pekerja perempuan menghadapi hambatan berat saat memasuki pasar tenaga kerja.
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja perempuan menghadapi hambatan berat saat memasuki pasar tenaga kerja.
"Pada saat wawancara kerja, saya diminta untuk menyerahkan pernyataan tertulis dari suami saya untuk membuktikan bahwa saya mendapat izin darinya untuk bekerja," ujar Neda yang meraih gelar master di bidang teknik minyak dan gas dari Iran.
Perempuan ini mengaku merasa dipermalukan.
"Saya katakan kepada mereka bahwa saya sudah dewasa dan saya membuat keputusan sendiri."
Pengalamannya juga sama sekali tidak diperhitungkan.
Secara hukum, perempuan yang sudah menikah di Iran memerlukan izin suami mereka untuk bekerja. Ini adalah salah satu dari banyak hambatan hukum yang dihadapi kaum perempuan ketika memasuki dunia kerja.
Laporan Bank Dunia tahun 2024 menempatkan Iran di antara negara-negara terburuk dalam hal pembatasan hukum terkait gender di dunia kerja (hanya Yaman, Tepi Barat, dan Gaza yang berada di peringkat lebih rendah).
Dan data statistik lainnya mencerminkan hal yang sama.
Menurut laporan Kesenjangan Gender Global terbaru tahun 2024 dari Forum Ekonomi Dunia, Iran memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terendah di antara 146 negara yang disurvei.
Meskipun perempuan mencakup lebih dari 50% lulusan perguruan tinggi di negara ini, mereka hanya 12% dari angkatan kerja, menurut data tahun 2023.
Undang-undang gender, ditambah dengan pelecehan seksual yang meluas dan pandangan yang sering kali seksis terhadap perempuan serta kemampuan mereka, menciptakan lingkungan kerja yang sangat tidak bersahabat bagi perempuan.
Beberapa perusahaan tidak ingin mempekerjakan perempuan muda dan berinvestasi dalam pelatihan mereka karena suami mereka mungkin tidak mengizinkan mereka mengejar karier.
Sebagian besar perempuan yang diwawancarai BBC untuk artikel ini mengatakan mereka merasa tidak dianggap cukup serius di tempat kerja.
"Sejumlah hambatan hukum dan budaya membuat perempuan tidak bisa kerja di Iran," ungkap Nadereh Chamlou, mantan penasihat senior di Bank Dunia.
Chamlou menambahkan faktor-faktor seperti kurangnya kerangka hukum dan kendala hukum yang ada, serta kesenjangan upah gender yang sangat lebar, berkontribusi terhadap terbatasnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Iran.

Sah secara hukum dan budaya

Pria tahu bahwa mereka secara hukum bisa melarang istri mereka bekerja dan beberapa memanfaatkan hak istimewa ini.
Pengusaha Iran, Saeed, mengatakan kepada BBC bahwa "seorang suami yang marah pernah menyerbu kantor kami sambil mengacungkan tongkat logam dan berteriak: 'Siapa yang memberimu izin untuk mempekerjakan istriku?"
Ia berkata bahwa sekarang dia harus meminta izin tertulis dari suami calon pegawai perempuan sebelum mempekerjakan seorang perempuan.
Razieh, seorang profesional muda yang bekerja di sebuah perusahaan swasta, mengingat kejadian serupa ketika seorang pria yang marah menyerbu kantornya dan mengatakan kepada CEO: "Saya tidak ingin istri saya bekerja di sini."
CEO, kata Razieh, harus memberi tahu perempuan itu, yang merupakan seorang akuntan, "untuk pulang dan mencoba menyelesaikan masalah dengan suaminya, kalau tidak, dia harus mengundurkan diri, yang pada akhirnya dia lakukan."
Perempuan yang bekerja di pabrik saffron tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama keluarga berdasarkan hukum Iran.
Menurut konsultan internasional Nadereh Chamlou, undang-undang gender ini juga menyebabkan banyak perusahaan menolak mempekerjakan perempuan muda.
Sebab pengusaha tidak ingin "berinvestasi dalam pelatihan bagi perempuan jika mereka kemudian menikah dan suami mereka memberhentikan mereka dari pekerjaan."
Dan bahkan jika mereka mendapatkan pekerjaan (bukan tanpa terlebih dahulu melawan keluarga dan pasangan mereka sendiri), perempuan memasuki pasar tenaga kerja di mana diskriminasi, sampai batas tertentu, didukung oleh hukum.
Salah satu aturan tersebut termuat di Pasal 1105 KUHP Republik Islam, yang menetapkan suami sebagai kepala keluarga dan "pencari nafkah utama".
Ini berarti laki-laki diberi prioritas dalam pekerjaan daripada perempuan, yang juga diharapkan bekerja dengan gaji yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pegawai pria.
Raz berusia 20-an tahun dan telah berganti pekerjaan beberapa kali.
Ia mengatakan di mana dia bekerja, pekerjaan perempuan adalah yang pertama dikorbankan.
"Di tempat terakhir saya bekerja, ketika terjadi restrukturisasi, hampir semua orang yang diberhentikan adalah perempuan," sambungnya.
Seorang perempuan lain, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, berkata kepada BBC bahwa dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya setelah lebih dari satu dekade dan tinggal di rumah "karena saya tahu, saya tidak akan pernah dipromosikan".
"Selama masih ada laki-laki yang tersedia, bahkan jika mereka kurang memenuhi syarat, saya tidak akan pernah dipertimbangkan untuk kenaikan gaji atau promosi. Itu hanya buang-buang waktu," ucapnya.
Fakta bahwa perempuan secara hukum tidak dianggap sebagai pencari nafkah memengaruhi hak mereka untuk menerima tunjangan dan bonus.
Dalam banyak kasus, jika mereka memenuhi syarat, "tunjangan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun bekerja mungkin tidak berlaku untuk keluarga mereka, seperti pensiun," tutur Chamlou.
"Oleh karena itu, mereka mengurangi jumlah uang yang diperoleh perempuan dari pekerjaan mereka dan dapat disumbangkan untuk keluarga mereka," tambah mantan penasihat senior di Bank Dunia tersebut.
Pekerjaan di sektor publik tidak selalu terbuka bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab yang lebih ketat.
Sepideh meraih gelar master dalam bidang seni dari Universitas Teheran, tempat dia dulu mengajar dan memimpin proyek seni independen, tetapi sudah tidak bekerja dalam beberapa tahun terakhir.
"Setelah lulus, saya pikir saya bisa mencari nafkah seperti banyak pria yang saya kenal, tapi struktur sosial, politik, dan ekonomi dirancang sedemikian rupa sehingga membuat karier yang layak menjadi impian yang tak mungkin dicapai oleh perempuan," jelas Sepideh kepada BBC.
Undang-undang tentang wajib berhijab menjadi pusat protes yang meluas di Iran dua tahun lalu dan tetap menjadi salah satu isu utama pertikaian serta perbedaan pendapat politik di negara tersebut.
Undang-undang ini juga membuat sejumlah pekerjaan, khususnya di pemerintahan dan sektor publik, tidak bisa diakses oleh perempuan yang tidak ingin menyesuaikan diri dengan beberapa bentuk jilbab yang lebih ketat.

Membuka pasar kerja bagi perempuan

"Di Iran, ada juga yang saya sebut 'hilangnya kelas menengah'," kata Nadereh Chamlou, yang menjelaskan bahwa hal itu merujuk pada "perempuan setengah baya, berpendidikan menengah, berpendidikan sekolah menengah atas, kelas menengah yang tidak bekerja."
"Izin resmi dari suami untuk bekerja, ditambah dengan usia pensiun yang lebih rendah bagi perempuan di Iran yaitu 55 tahun, menyingkirkan populasi yang lebih tua, yang di negara lain biasanya bekerja," ucapnya.
Bisnis yang mulai dijalankan oleh perempuan membantu perempuan lain untuk memasuki dunia kerja. Toko roti mewah di Teheran ini mempekerjakan 70 orang, sebagian besar perempuan.
Ekonomi Iran telah lumpuh akibat sanksi dan salah urus.
Sebuah laporan IMF mengindikasikan pertumbuhan ekonomi berkorelasi dengan peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan.
IMF memperkirakan jika tingkat ketenagakerjaan perempuan di Iran dibawa ke tingkat yang sama dengan ketenagakerjaan laki-laki, produksi domestik bruto (PDB) negara tersebut bisa meningkat sekitar 40%.
Menurut Nadereh Chamlou, saat ini tidak ada "keinginan politik yang aktif atau sadar" untuk memfasilitasi perubahan guna memasukkan perempuan ke dalam angkatan kerja.
Namun dia yakin perempuan di Iran mengambil tindakan sendiri dan menciptakan usaha kecil serta mandiri untuk membuka pasar kerja bagi mereka.
"Beberapa ide bisnis paling inovatif, mulai dari aplikasi memasak hingga platform ritel digital, telah dimulai oleh perempuan," jelasnya.
Ia melihat "sektor swasta yang sesungguhnya di Iran" sebagian besar terdiri dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh perempuan.