Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten Media Partner
'Saya Trauma Ditangani Dokter Laki-laki' – Kasus Dugaan Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Anestesi Picu Ketidakpercayaan terhadap Tenaga Medis
12 April 2025 8:45 WIB
'Saya Trauma Ditangani Dokter Laki-laki' – Kasus Dugaan Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Anestesi Picu Ketidakpercayaan terhadap Tenaga Medis

Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, Priguna Anugrah Pratama, disebut telah mencoreng dunia kedokteran dan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis maupun rumah sakit, kata pengamat kesehatan.
Sebab profesi yang semestinya erat dengan rasa kemanusiaan justru bertindak sebaliknya. Akibatnya, muncul syak wasangka pada sejumlah pasien rumah sakit bahwa mereka mungkin pernah mengalami pelecehan ketika dalam pengaruh obat bius atau saat tak sadarkan diri.
Kekhawatiran itu menghinggapi Rina—identitas disamarkan untuk melindungi privasi. Pasalnya ia mengaku pernah dilecehkan secara seksual oleh seorang dokter beberapa tahun silam.
"Kejadian ini memicu kecemasan saya lagi. Saya pernah dibius total dan jadi mikir apa saya pernah mengalaminya lagi?" ujarnya gelisah.
Dalam perkembangan terbaru, Polda Jawa Barat mengungkapkan tersangka Priguna diduga telah memerkosa tiga korban dalam waktu yang berdekatan dengan menggunakan obat bius.
Atas perbuatannya, dia dikenakan Pasal 64 KUHP dan terancam pidana penjara maksimal 17 tahun penjara.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan bakal mewajibkan peserta PPDS menjalani tes kesehatan mental untuk mengantisipasi masalah kejiwaan, sebab klaim polisi tersangka terindikasi punya kelainan perilaku seksual.
Peringatan: Artikel ini memuat deskripsi dugaan pelecehan seksual yang mungkin membuat Anda tidak nyaman.
Bagaimana kronologi di RSHS Bandung?
Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter PPDS anestesi Universitas Padjadjaran, Priguna Anugrah Pratama, terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Kabid Humas Polda Jawa Barat, Hendra Rochmawan, menuturkan dugaan pemerkosaan yang menimpa korban FA terjadi pada 18 Maret sekitar pukul 01:00 WIB.
Ketika itu korban disebut sedang menjaga ayahnya yang menjadi pasien di sana. Ia kemudian diminta oleh tersangka untuk pemeriksaan crossmatch atau kecocokan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada penerima.
Sebab kala itu, ayah korban yang sedang dirawat disebut membutuhkan donor darah.
Korban pun dibawa ke ruang IGD di gedung MCHC lantai 7.
"Tersangka meminta korban untuk tidak ditemani oleh adiknya," ujar Hendra.
Setelah berada di lantai 7, korban diminta untuk berganti pakaian dan mengenakan baju operasi. Selanjutnya, tersangka membius korban dengan midazolam—obat penenang yang biasa digunakan sebelum tindakan operasi—yang disuntikkan melalui cairan infus sehingga tak sadarkan diri.
Pada saat itulah, tersangka leluasa memerkosa korban.
Sekitar pukul 04:00 WIB, korban tersadar dan kembali ke IGD. Tapi saat hendak buang air kecil, korban merasakan sakit pada kelaminnya. Korban pun menceritakan tindakan yang dilakukan tersangka kepada ibunya.
Keluarga korban merasa ada kejanggalan dari rasa sakit korban dan akhirnya melaporkan apa yang menimpa anaknya ke kepolisian.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan, polisi menangkap pelaku pada 23 Maret 2025.
Baca juga:
Direktur Ditreskrimum Polda Jawa Barat, Surawan, mengatakan lokasi yang dijadikan pelaku untuk memerkosa korban adalah di salah satu gedung di RSHS. Namun, gedung itu belum dipakai sepenuhnya.
Dalam pemeriksaan terbaru, diketahui Priguna tidak hanya memerkosa sekali, tapi sudah dua kali melakukan perbuatan yang sama pada korban berbeda yakni pada 10 dan 16 Maret 2025.
Kedua korbannya merupakan pasien di RSHS.
Polisi juga mengatakan tersangka bakal diperiksa kejiwaannya lantaran ada indikasi kelainan seksual dan fantasi berhubungan badan dengan orang yang pingsan.
"Motifnya semacam punya fantasi sendiri. Senang kalau orang mungkin pingsan. Nanti kami lakukan visum psikiatrikum," ujar Surawan.
'Saya ter-trigger membaca berita pemerkosaan itu'
Kejadian yang terjadi di RSHS Bandung menghebohkan publik dan viral di media sosial.
Rina—identitas disamarkan untuk melindungi privasi—dirundung rasa cemas begitu membaca berita dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi.
Ingatan soal pelecehan seksual yang dialaminya beberapa tahun lalu kembali menyergapnya.
"Berita di Bandung itu sangat men-trigger saya. Soalnya saya sempat dibius total dan sendirian, enggak ditemani keluarga atau teman," imbuh perempuan ini kepada BBC News Indonesia, Jumat (11/04).
Rasa was-was yang dialami Rina bukan tanpa alasan. Dia mengaku dua kali mengalami pelecehan seksual dari dokter yang menanganinya.
Kejadian pertama pada 2019. Saat itu dia hendak konsultasi ke psikolog di sebuah puskesmas.
"Waktu itu saya merasa butuh pertolongan profesional. Saya datang sendiri karena masalah kesehatan mental masih dianggap tabu oleh keluarga," ungkapnya.
Saat kunjungan itu, psikolog yang ditemuinya perempuan dan dia merasa nyaman bercerita apa saja sampai ke hal yang disebutnya sensitif.
Namun, pada pertemuan kedua, dokter yang menemuinya berbeda. Dia seorang dokter pria.
Baca juga:
Awalnya Rina tak merasa curiga lantaran sudah menaruh kepercayaan pada profesi seorang dokter.
Namun, katanya, ada suatu momen dokter pria tersebut berusaha menjalin koneksi dengan menawarkan konsultasi pribadi lewat WhatsApp.
"Dari situ saya mulai curiga dan agak enggak nyaman. Cuma karena kondisi saya sangat butuh pertolongan dan tidak tahu apakah hal itu diperbolehkan, saya mengiyakan."
Alih-alih berkonsultasi, dokter laki-laki itu justru berusaha mendekati dan mengajak ke rumahnya.
Bahkan mengarahkan percakapan untuk berhubungan seksual sembari menceritakan masalah rumah tangganya yang telah kandas.
Di situ, ungkap Rina, dokter tersebut juga mengaku bahwa dia sebetulnya bukan psikolog.
"Jadi dia mengaku sendiri kalau dia sebenarnya bukan psikolog. Dia dokter umum yang sedang menggantikan psikolog yang tidak bisa datang hari itu."
"Sejak itu saya trauma untuk ke psikolog laki-laki."
Trauma Rina pada dokter tidak berhenti di situ.
Kejadian kedua berlangsung pada 2022. Ketika itu, dia terkena penyakit tuberkulosis (TB) paru dan harus segera dilarikan ke rumah sakit karena sudah kesulitan bernapas dan berbicara.
Dari hasil pemeriksaan, dia langsung dimasukkan ke ruang isolasi untuk menghindari penularan.
Seingatnya, ada dua dokter yang menanganinya: dokter spesialis paru dan spesialis penyakit dalam. Keduanya laki-laki.
Setiap malam, Rina bercerita dokter spesialis penyakit dalam selalu melakukan kunjungan ke ruang isolasinya bersama seorang perawat perempuan.
"Awal dia visit ke ruangan, sangat ramah. Terus tangannya langsung pegang lutut saya," ungkap Rina.
"Saat kunjungan kedua, setiap dia mau periksa dada saya pakai stetoskop, dia enggak bilang permisi dan langsung mengarahkan tangannya masuk ke dalam piyama saya."
"Dari situ saya berpikir ada yang aneh karena selama diperiksa sama dokter, enggak pernah ada yang pegang-pegang bagian tubuh saya."
Baca juga:
Pada kunjungan berikutnya, Rina yang agak trauma mulai ketakutan.
Dan seperti yang sudah-sudah, ungkapnya, dokter tersebut tanpa permisi langsung menyingkap baju piyamanya sampai payudaranya nyaris terlihat.
Seketika Rina terkejut dan menarik kembali pakaiannya.
"Jadi kami tarik-tarikan baju dan disaksikan langsung oleh perawat. Di situ saya mulai marah. Saya tarik baju saya untuk menunjukkan saya enggak suka."
"Saya langsung hubungi kepala perawat dan minta untuk tidak di-visit sama dokter tersebut atau diganti dokternya."
Usai kejadian itu, dokter tersebut pergi. Para perawat lantas mencoba menenangkannya seraya ia menjelaskan apa yang dirasakan.
Oleh kepala perawat, Rina diminta menuliskan kronologi peristiwa itu dalam formulir pengaduan BPJS Kesehatan dan rumah sakit setempat. Namun beberapa hari setelahnya, tidak ada kabar apapun.
Ia tak pernah dipanggil atau dimintai keterangan secara utuh langsung dari mulutnya atau sekadar mengonfirmasi aduannya.
Karenanya, dia nekat menghubungi kepala suster di rumah sakit itu untuk menanyakan kelanjutan kasusnya.
"Jawaban mereka, dokter itu diberi peringatan keras. Tapi enggak ada surat yang menyatakan hal itu kepada saya."
"Sementara kalau lapor polisi, saya enggak punya bukti."
Peristiwa pelecehan seksual berulang yang dialami Rina, menambah traumanya.
Oleh psikolog, dia didiagnosa mengidap PTSD atau post-traumatic stress disorder yakni gangguan mental yang dapat terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis.
Setiap kali kembali harus berobat ke rumah sakit tersebut, rasa cemasnya kambuh. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetaran.
"Karena rekam medis saya sudah lengkap di sana, jadi kalau pindah-pindah rumah sakit akan susah. Jadi mau enggak mau harus tetap berobat ke sana."
"Setiap kali saya dengar nama dokter itu, saya langsung ingat kejadiannya. Memorinya keluar lagi."
Sejak itu pula, Rina selalu menghindar diperiksa dokter laki-laki.
Tiap kali harus berurusan dengan pemeriksaan kesehatan, dia akan meminta perawat mencarikan dokter perempuan sebagai tindakan pencegahan, katanya.
Kalaupun terpaksa diperiksa dokter pria, Rina akan minta ditemani oleh perawat perempuan.
Ketidakpercayaan pada dokter dan rumah sakit
Sejumlah pengamat kesehatan masyarakat menyebut kasus yang terjadi di RSHS Bandung telah mencoreng dunia kedokteran dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis serta rumah sakit.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, mengatakan publik pasti akan menaruh curiga kepada dokter yang menangani mereka kala berobat. Apalagi kalau sampai ada tindakan pembiusan.
Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (Cisdi), Diah Saminarsih, juga sependapat. Ia bilang situasi itu memang tak bisa terhindarkan.
Meskipun dia sangat menyayangkan kalau rasa ketidakpercayaan itu meluas. Sebab dokter spesialis di Indonesia—terutama anestesi—jumlahnya tidak banyak.
"Dokter anestesi itu termasuk salah satu dokter spesialis yang dibutuhkan, amat dibutuhkan tapi jumlahnya sedikit dan tidak cukup untuk di seluruh Indonesia," ujar Diah Saminarsih.
"Jadi sebenarnya sayang sekali waktu dan investasi yang sudah diinvestasikan ke orang ini terbuang begitu saja."
Tapi lebih dari itu, Diah menilai kasus tersebut mengungkap persoalan soal lemahnya proses seleksi mahasiswa kedokteran.
Sepengetahuannya untuk menyeleksi mahasiswa baru program studi kedokteran, ada tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).
Tes psikologi ini digunakan dalam bidang kedokteran untuk mengidentifikasi gangguan mental dan kepribadian.
Baca juga:
Masalahnya, menurut Diah, banyak selentingan beredar bahwa tes MMPI kerap "bocor" alias beredar "kisi-kisinya sebelum dimulai".
Jika situasinya demikian, ia bilang lapisan pengawasan semestinya ada di dokter senior atau konsulennya.
"Kan fasenya panjang sampai seseorang bisa masuk PPDS. Sekolah dulu, lalu setelah itu mesti stase dan internship. Internship itu kan ketemu banyak dokter senior dan saat stase bertemu pasien, masa tidak ada kelakuan [janggal] ini? Masa tidak terpantau?"
"Karena kecenderungan perilaku yang menyimpang, apalagi saat dia bertemu pasien atau keluarga pasien, pasti terlihat. Itu yang harus diusut lebih jauh."
"Artinya kita harus lebih jeli dan tidak permisif terhadap perilaku-perilaku begini."
Bagaimana perlindungan terhadap pasien?
Diah Saminarsih bilang kasus pelecehan bahkan kekerasan seksual yang dilakukan tenaga medis kepada pasien atau keluarga pasien menunjukkan akar masalahnya ada pada ketimpangan relasi kuasa antara dokter dengan pasien maupun keluarga pasien.
Dan bisa saja, kata dia, kasus-kasus pelecehan seksual oleh tenaga medis seperti fenomena gunung es yang jumlahnya banyak tapi tak terungkap.
Salah satu kasus pelecehan seksual yang terungkap dilakukan dokter terjadi di Palembang, Sumatra Selatan pada 2024.
Saat itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang menjatuhkan vonis lima bulan penjara terhadap dokter Rumah Sakit Bunda Medika Jakabaring, Mahyudin.
Pelaku disebut melakukan pelecehan seksual kepada istri pasien dengan menyuntikkan cairan obat midazolam ke tangan kanan korban. Ketika korban tidak berdaya, pelaku melakukan perbuatan tersebut.
Kendati demikian, ada pula putusan kasus pelecehan seksual oleh dokter yang janggal.
Pada 2021, PN Idi, Kabupaten Aceh Timur menjatuhkan putusan lepas kepada dokter pelaku tindak pidana pelecehan seksual terhadap pasien kakak beradik saat melakukan pemeriksaan di RSUD Sultan Abdul Aziz Syah Peureulak Aceh.
Putusan lepas itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ada tahapan yang tidak dilakukan selama proses penyidikan, yakni tidak adanya sidang kode etik kedokteran.
Oleh karena itu perbuatan tersebut dianggap ada, tapi masih diragukan apakah merupakan tindak pidana atau bukan, mengingat tidak ada putusan dari sidang kode etik kedokteran.
Baca juga:
"Karena pasien biasanya selalu mengikuti apa yang dokter bilang, kita ada di dalam posisi yang lebih powerless dibandingkan para tenaga kesehatan ini, sehingga kita cenderung iya saja disuruh apa," jelasnya.
"Misalnya pasien disuruh ke ruangan sendiri, tanpa tahu hak-haknya menurut. Padahal itu enggak boleh, harusnya pasien didampingi perawat lain."
"Tapi kalau enggak nurut ada ketakutan enggak dilayani atau dijudesin."
"Jadi ada kemungkinan lebih besar pelecehan-pelecehan ditimbulkan karena relasi kuasa yang timpang antara tenaga kesehatan yakni dokter atau dokter spesialis dan pasien atau keluarga pasien. Itu sangat mungkin."
Itu mengapa Diah menilai pengelola rumah sakit harus mengubah cara kerjanya. Pihak rumah sakit, sebutnya, mesti memberi tahu hak-hak pasien dan keluarganya. Tidak melulu menekankan kewajiban.
Salah satu hak yang perlu diketahui yakni dalam pemeriksaan kesehatan pasien sebaiknya didampingi perawat.
"Tidak boleh berdua," tegasnya. "Jangan seolah-olah tenaga kesehatan bekerja tanpa pengawasan."
Untuk diketahui, kanal pengaduan pelayanan rumah sakit bisa diakses ke: unit pengaduan rumah sakit, menggunakan kotak saran yang tersedia di unit pelayanan, melaporkan melalui Halo Kemenkes, mengadu ke situs lapor.go.id, atau ke pusat kontak Kemenkes di 1500567.
Apa tindakan pencegahan Kemenkes?
Terkait kasus di RSHS Sadikin Bandung, Universitas Padjajaran (Unpad) telah resmi mengeluarkan dokter PPDS Priguna Anugrah Pratama. Selain diberhentikan, Unpad juga telah menjatuhkan sanksi akademik berupa pemutusan studi.
Unpad memastikan Priguna tidak lagi memiliki status sebagai peserta didik dan tidak diperbolehkan menjalani kegiatan apapun di lingkungan kampus maupun rumah sakit pendidikan.
Selain itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengambil tindakan dan sanksi berupa larangan peserta PPDS tersebut untuk melanjutkan residen di RSHS seumur hidup.
Di sisi lain, Kemenkes juga bakal mewajibkan peserta PPDS menjalani tes kesehatan mental untuk mengantisipasi masalah kejiwaan setiap tahun.
"Jadi setiap tahun harus tes mental, sehingga kita bisa lihat kalau ada yang cemas atau depresi bisa ketahuan lebih dini sehingga bisa diperbaiki," ujar Menkes Budi Gunadi seperti dilansir kantor berita Antara.
Tindakan lain yakni Kemenkes membekukan sementara kegiatan residensi PPDS anestesiologi dan terapi intensif di RSHS Sadikin Bandung selama satu bulan.
Penghentian ini diperlukan guna melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengawasan serta tata kelola kegiatan residensi.
Evaluasi akan dilakukan bersama Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran sebagai pihak akademik yang menaungi program pendidikan dokter spesialis.