Konten Media Partner

Sejarah Barcode yang Dikira Tanda AntiKristus

10 November 2024 9:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Sejarah Barcode yang Dikira Tanda AntiKristus

Ilustrasi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi.
Barcode atau dalam bahasa Indonesia disebut kode batang, kini tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tak hanya memudahkan pembayaran saat berbelanja, ia pun berperan penting dalam menyelamatkan nyawa manusia, menjadi alat bantu astronaut di luar angkasa, dan bahkan sempat memicu ketakutan soal kiamat.
Apa yang dibutuhkan pegawai supermarket? Laser.
Itulah yang dipikirkan Paul McEnroe pada 1969. Dengan menggunakan pistol laser dan alat pemindai, tugas pegawai di kasir, menurutnya akan jadi jauh lebih mudah. Arahkan pistolnya, tembak lasernya, jual barangnya!
Saat itu, apa yang dibayangkan McEnroe terdengar aneh dan janggal. Laser disebutnya bakal memindai tanda hitam-putih kecil yang dirancang McEnroe dan rekan-rekannya di perusahaan teknologi IBM dan ditempelkan di berbagai produk.
Dengan begitu, ia percaya pelanggan supermarket tak perlu mengantre lama-lama.
Solusinya ini kemudian dikenal sebagai kode batang.
Pada titik sejarah ini, kode batang belum pernah digunakan secara komersial, meskipun idenya telah berkembang selama beberapa dekade setelah paten diajukan pada tanggal 20 Oktober 1949 oleh salah satu teknisi yang lantas menjadi bagian dari tim McEnroe.
Saat para teknisi IBM berusaha mewujudkan ide soal kode batang tersebut, pengacara perusahaan mengendus potensi masalah di masa depan.
Mereka khawatir orang-orang bakal sengaja melukai mata mereka dengan sinar laser dan kemudian menuntut IBM. Atau, bagaimana bila pegawai supermarket menjadi buta karena paparan laser?
McEnroe mencoba menepis kecemasan tersebut. Menurutnya, daya laser yang digunakan hanya setara setengah miliwatt, 12.000 kali lebih kecil dari energi bola lampu 60 watt.
Namun, argumennya itu tak digubris.
Maka, McEnroe mengatur tes laboratorium untuk membuktikan ucapannya. Sejumlah monyet rhesus diimpor dari Afrika untuk jadi objek uji coba.
“Seingat saya ada enam [monyet yang dilibatkan],” kata McEnroe, meski ia tak yakin sepenuhnya.
Ilustrasi monyet rhesus.
Hasil uji coba menunjukkan paparan kecil sinar laser tidak membahayakan mata monyet-monyet tersebut. Dari sana, para pengacara IBM mengalah.
Dan, akhirnya, pemindaian barcode jadi lumrah di supermarket-supermarket AS, sebelum kemudian ia juga merambah berbagai belahan dunia lainnya.
Yang tidak McEnroe sangka, laboratorium yang ia gunakan menghubunginya dan mengatakan bakal mengirimkan monyet-monyet rhesus itu kepadanya setelah uji coba selesai.
McEnroe bingung. Mau diapakan monyet-monyet itu?
"Itu gila," kenangnya sambil tertawa.
"Saya menemukan kebun binatang di North Carolina [untuk jadi rumah monyet-monyet tersebut]."
Selain para monyet, setiap anggota tim McEnroe di IBM tentunya juga berjasa memperkenalkan pada dunia Kode Produk Universal (UPC)—sebutan formal bagi kode batang versi mereka.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Ilustrasi memindai barcode.
Salah satunya adalah Joe Woodland, insinyur yang merancang konsep awal kode batang beberapa dekade sebelumnya dengan menggambar garis-garis di pasir di sebuah pantai di Florida.
Bersama seorang insinyur lain, Woodland mengajukan permohonan untuk mematenkan ide dasar kode batang pada Oktober 1949.
Lalu, George Laurer dan anggota tim IBM lainnya mengembangkan ide dasar tersebut dan merancang barcode persegi panjang rapi yang terdiri dari garis-garis vertikal hitam, yang merepresentasikan angka-angka unik sehingga dapat mengidentifikasi setiap barang di supermarket, dari kaleng sup hingga kotak sereal dan bungkus spageti.
Industri retail AS secara resmi mengadopsi barcode pada 1973. Dan, produk pertama yang memiliki kode batang lantas dipindai di supermarket Marsh di Ohio pada 1974.
Sejak itu, barcode menguasai dunia.
Jenis-jenis barcode lainnya segera bermunculan dan UPC pula yang meletakkan dasar bagi apa yang disebut “barcode 2D”, yang bisa menyimpan lebih banyak informasi.

Cara kerja barcode

Setiap kali sinar laser menyinari permukaan barcode atau kode batang, sebuah proses yang rumit terjadi dalam hitungan milidetik.
Kode batang UPC terdiri dari garis-garis vertikal hitam tebal dan/atau tipis, yang merepresentasikan 12 digit angka yang dapat dibaca oleh mesin. Mudahnya, ia semacam kode morse visual.
Garis-garis pada barcode berfungsi seperti kode morse visual. Ia merepresentasikan 12 digit angka yang dapat mengidentifikasi perusahaan atau pemilik merek serta nomor sebuah produk.
Batang atau garis di kedua ujung barcode berfungsi sebagai “pemandu” yang memberi tahu pemindai ke arah mana kode harus dibaca. Karena itu, kode batang dapat bekerja bahkan dalam posisi terbalik.
Di antara kedua batang “pemandu” itu, batang-batang lain merepresentasikan angka-angka dengan makna berbeda.
Enam hingga 10 digit pertama adalah nomor identifikasi perusahaan atau pemilik merek. Satu hingga lima digit berikutnya adalah nomor barang, sementara yang terakhir adalah “digit pengecekan” yang dikalkulasikan berdasarkan 11 angka sebelumnya dan berfungsi mendeteksi eror.
Setelah pemindai membaca angka-angka itu, komputer menggunakannya untuk mencari produk terkait dalam basis data beserta informasi lebih lanjut seperti harga produk tersebut.

Bermula dari CIA?

Bila ditelaah, sejarah kode batang sesungguhnya jauh lebih liar dari bayangan banyak orang.
Bahkan, sebagian berpendapat sejarahnya dimulai dari Badan Pusat Intelijen AS, yang lebih dikenal sebagai CIA.
“Saya dulu memindai banyak hal untuk CIA,” kata McEnroe.
Di awal masa kerjanya di IBM, McEnroe kerap harus memindai “peta-peta sangat besar”.
Seperti dijelaskan dalam bukunya berjudul The Barcode (1992), pekerjaan memindai tersebut ternyata menyiapkan McEnroe untuk mengerjakan teknologi kode batang yang lantas merevolusi industri retail.
McEnroe sadar, antrean kasir akan bergerak jauh lebih cepat jika pegawai dapat memindai produk ke komputer alih-alih membaca harga yang tertera pada setiap barang dan memproses penjualan secara manual.
Untuk itu, dibutuhkan sistem pemindaian kode yang dapat diandalkan. Kode yang ada mesti bisa dibaca dengan tepat, bahkan jika barangnya melintasi pemindai dengan kecepatan 2,5 meter per detik.
Ilustrasi penjaga kasir memindai barcode di sebuah produk makanan.
Tim IBM lalu mulai bekerja dengan mengacu pada rancangan yang dipatenkan oleh Woodland dan rekannya. Namun, ada perbedaan penting.
Di konsep awal, pemindaiannya dilakukan berdasarkan ketebalan garis-garis hitam di barcode. Salah satu desain barcode yang diusulkan mulanya berbentuk bulat seperti mata banteng, yang terdiri dari lingkaran-lingkaran konsentris.
Namun, desain ini terbukti sulit dicetak dan bahkan lebih sulit lagi untuk dipasang dengan rapi pada kemasan produk.
Tim IBM kemudian menemukan bahwa lebih mudah untuk mencetak garis-garis vertikal dan mendasarkan pemindaian pada ruang antar-garis alih-alih pada ketebalan garisnya.
Dengan begitu, tidak masalah bila printer yang digunakan kelebihan tinta sehingga garis-garis barcode yang dicetak lebih tebal dari seharusnya. Secara umum, proses pemindaian tetap akan berjalan semestinya.
Lima tahun setelah produk dengan barcode pertama dijual di supermarket AS pada 1974, barulah teknologi ini masuk ke supermarket Inggris. Barang dengan kode batang pertama yang dipindai di Inggris adalah sekotak teh celup.

Setumpuk kontroversi

McEnroe mengenang bagaimana peluncuran barcode UPC disertai sejumlah kontroversi.
Orang-orang protes karena barcode membuat label harga tidak lagi ditempel di setiap produk di toko. Ia hanya ada di rak-rak tempat produk itu dipajang.
Saat itu, sejumlah serikat pekerja juga merasa teknologi pemindaian bakal mengambil alih jenis pekerjaan tertentu di supermarket—yang kemudian benar terjadi.
Ilustrasi memindai barcode.
Ada pula kekhawatiran barcode akan mengaburkan harga produk.
Di masa lalu, kata McEnroe, pembeli terkadang mencari barang-barang lama di supermarket dengan label harga lama pula yang lebih rendah. Keberadaan barcode dirasa menghilangkan kesempatan berburu barang murah seperti itu.
Berbagai keresahan tersebut segera mereda, meski kemudian muncul kontroversi-kontroversi lain yang salah satunya bahkan memicu ketakutan soal akhir zaman.
Pada 2023, Jordan Frith, profesor ilmu komunikasi di Universitas Clemson di South Carolina, menerbitkan buku tentang sejarah barcode.
Dalam risetnya, ia menemukan artikel tahun 1975 dari sebuah publikasi berjudul Gospel Call yang menyatakan bahwa barcode adalah “tanda binatang buas” seperti yang disebutkan dalam nubuat akhir zaman di Kitab Wahyu—kitab terakhir dalam Perjanjian Baru Kristen.
“Binatang buas” yang dimaksud, yang terkadang diinterpretasikan sebagai Antikristus si anak iblis yang akan muncul jelang kiamat, disebut bakal memaksa orang-orang untuk menerima tanda di tangan kanan atau dahi mereka.
Dalam nubuat akhir zaman, hanya mereka yang memiliki tanda tersebut yang diizinkan untuk membeli atau menjual sesuatu.
Menurut artikel 1975 itu, barcode akan ditato dengan laser di dahi dan punggung tangan setiap orang untuk kemudian dipindai di kasir supermarket.
Ilustrasi barcode ditato di dahi.
Meski terdengar aneh, hal ini tampak begitu melekat di benak banyak orang.
Buku The New Money System (1982) karya penulis evangelis Mary Stewart Relfe kian memopulerkan gagasan bahwa barcode UPC terkait dengan “tanda binatang buas”.
Apalagi, Relfe mengeklaim ada angka 666 tersembunyi di kedua ujung dan bagian tengah garis-garis barcode. Dalam nubuat di Kitab Wahyu, 666 disebut sebagai “bilangan si binatang buas”.
Padahal, garis di kedua ujung barcode berfungsi sebagai “pemandu” yang memberi tahu pemindai mana awal dan akhir urutan kode yang harus dibaca.
Ilustrasi barcode atau kode batang.
Laurer, yang dianggap sebagai co-inventor kode batang UPC, pun menegaskan tidak ada sesuatu yang jahat atau menyeramkan di balik garis-garis barcode. Menurutnya, kemiripan yang muncul dengan pola yang digunakan untuk mengodekan angka enam hanyalah kebetulan.
Namun, teori aneh ini masih beredar di berbagai sudut internet. Beberapa bahkan mengambil langkah ekstrem untuk menghindari barcode, termasuk anggota kelompok Kristen Rusia ortodoks yang dikenal sebagai Old Believers atau Pemercaya Lama.
Agafia Lykov, salah satu anggota kelompok itu yang hidup di wilayah terpencil di Siberia, Rusia, mengatakan pada wartawan Vice yang menyambanginya pada 2013 bahwa barcode adalah “cap Antikristus”.
Ia bilang jika ada yang memberinya sesuatu, misalnya sepaket benih, dan ada barcode di situ, ia bakal mengeluarkan isinya lalu membakar bungkusannya.
Ilustrasi paket dengan tempelan label barcode.
Selain itu, pada 2014 sebuah perusahaan susu asal Rusia sempat mengunggah pernyataan di situs webnya yang menjelaskan mengapa ada tanda silang merah yang dicetak di atas barcode pada karton susunya.
Menurut perusahaan itu, seperti yang “sudah diketahui secara umum”, barcode adalah “tanda binatang buas”. Pernyataan itu kini telah dihapus dari situs web perusahaan.
McEnroe mengatakan ia sadar ada beberapa kepercayaan aneh terkait barcode.
“Itu bukan sesuatu yang bakal saya pikirkan," katanya.
Mengenai hal ini, Frith dari Universitas Clemson tampak heran.
"Agak aneh membayangkan sekelompok bos-bos toko kelontong seakan tengah memimpin jalan menuju kiamat,” ujarnya.
Namun, bisa dikatakan, memang ada sesuatu yang distopia tentang barcode. Bagi sebagian orang, ia bahkan dianggap simbol kapitalisme yang paling dingin atau tidak berperasaan.
Sebagian orang menganggap barcode sebagai simbol kapitalisme.
Dalam film The Terminator, lengan mereka yang ditahan robot-robot pembunuh di dunia masa depan yang apokaliptik ditandai dengan barcode untuk keperluan identifikasi.
“[Tanda] ini dibakar [di lengan] menggunakan laser,” kata protagonis Kyle Reese di film itu.
“Beberapa dari kami dibiarkan hidup untuk bekerja, mengangkut mayat.”
Penandaan menggunakan barcode, dalam konteks ini, mirip dengan pemberian tato angka pada lengan tahanan kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II.

Digunakan penjahat

Kini, sejumlah orang pun menggunakan barcode untuk kejahatan, terutama melalui kode QR.
Kode QR adalah jenis barcode 2D. Namun, alih-alih menggunakan garis-garis vertikal, ia terdiri atas kotak-kotak hitam dan putih yang disusun dalam pola yang bisa dibaca kamera ponsel pintar.
Dengan memindai kode QR, ponsel bisa diarahkan untuk masuk ke situs web berbahaya. Karena itu, kode QR terkadang digunakan peretas untuk melancarkan aksinya.
Ilustrasi memindai kode QR dengan ponsel pintar.
Pusat Keamanan Siber Nasional (NCSC) Inggris sempat memperingatkan publik untuk waspada terhadap kode QR.
Misal, di beberapa kota di Inggris, para pengemudi diminta tidak sembarangan memindai kode QR yang kerap ditempel penjahat di mesin pembayaran parkir mobil untuk menguras uang mereka.
Dalam sebuah kasus di Leicester, kode QR palsu yang digunakan penjahat bahkan disebut terhubung dengan Rusia.
Dan, pada September lalu, kelompok bersenjata Hizbullah yang bermarkas di Lebanon menuduh Israel menyebarkan selebaran yang berisi barcode berbahaya.
Menurut sejumlah laporan, barcode yang digunakan berjenis kode QR, yang dapat "menarik semua informasi" dari perangkat apa pun yang digunakan untuk memindainya. BBC belum dapat memverifikasi klaim ini.

Merombak industri, mengubah dunia

Meski barcode bisa menjadi alat melakukan kejahatan, dan sejumlah pihak percaya bahwa ia adalah penanda akhir zaman, teknologi ini kini mendukung ribuan proses industri dan komersial di seluruh dunia.
Diperkirakan, ada 10 miliar barcode yang dipindai setiap harinya di seluruh dunia, menurut GS1, organisasi yang memantau standar UPC dan kode QR.
Barcode dan kode QR ada di berbagai kemasan paket yang Anda terima. Dan, sebuah paket dapat dipindai berulang kali dalam perjalanannya dari gudang ke rumah Anda, kata Frith dari Universitas Clemson.
Ilustrasi seseorang menempelkan label barcode di paket.
Karena barcode memungkinkan penjual untuk melacak inventaris produk berskala besar, itu berarti para pemain di industri retail dapat mengoperasikan toko-toko besar dengan jumlah pegawai relatif sedikit, imbuh Frith.
“Tidak akan ada toko-toko super seperti itu atau yang semacamnya tanpa barcode,” ujar Frith.
“Ia mengubah bentuk fisik industri retail.”
Erin Temmen, manajer akun di perusahaan label Electronic Imaging Materials, menyampaikan hal senada.
Perusahaan Temmen memproduksi label barcode yang dapat berfungsi di hampir semua jenis lingkungan. Ini termasuk label tahan dingin yang tidak akan lepas dari peralatan berisi nitrogen cair dan label tahan zat kimia yang tetap kuat meski terkena cipratan zat berbahaya di laboratorium.
Perusahaannya juga memproduksi label barcode yang lebih reflektif, yang disebut Temmen dapat “meningkatkan jarak pemindaian”.
Dengan label tersebut, seseorang dapat memindai barcode bahkan dari jarak 14 meter. Ini memudahkan hidup pekerja toko yang, misalnya, mesti memindai barcode pada barang yang ditempatkan di rak tinggi.
Ilustrasi produksi label barcode.
Karena sifatnya yang serba guna, barcode dapat dimanfaatkan dalam beragam konteks.
Barcode, misalnya, telah digunakan untuk membantu melacak perilaku dan pergerakan lebah madu dan burung pekicau, menandai telur dan embrio di klinik kesuburan untuk menghindari terjadinya kesalahan, dan ditempatkan di batu nisan agar pengunjung dapat mengikuti acara layatan daring.
Militer AS menggunakan barcode untuk mencatat kehadiran dan proses latihan personel.
Sebuah universitas di Arab Saudi juga sempat menguji coba penggunaan kode batang untuk mencatat presensi mahasiswa di perkuliahan.
Ilustrasi aktivitas perkuliahan di kampus.
Barcode bahkan telah digunakan di luar angkasa. Astronaut di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) menggunakan pemindai barcode untuk mengidentifikasi berbagai peralatan dan komponen mesin—meski sebagian besar kini telah digantikan dengan tag Identifikasi Frekuensi Radio (RFID).
Kode batang juga digunakan untuk mencatat asupan makanan dan minuman para astronaut, serta mengidentifikasi sampel darah, air liur, dan urin mereka.
Di berbagai rumah sakit, bisa dikatakan barcode telah menyelamatkan nyawa banyak orang. Ia digunakan untuk melacak sampel darah, obat-obatan, dan perangkat medis, misalnya untuk operasi penggantian pinggul.
Di berbagai rumah sakit, barcode digunakan untuk melacak sampel darah, obat-obatan, dan perangkat medis.
NHS, badan kesehatan Inggris, memiliki program Scan4Safety yang mempromosikan penggunaan barcode untuk melacak hal-hal semacam itu.
Misal, ini berguna untuk membantu staf rumah sakit memastikan dokter memberikan obat yang tepat kepada pasien yang tepat.
Menurut laporan Scan4Safety, penggunaan teknologi ini telah membantu staf rumah sakit memangkas waktu hingga 140 ribu jam dalam menjalankan tugas-tugas administratif dan pemeriksaan inventaris. Waktu tersebut akhirnya bisa dialokasikan untuk perawatan pasien.
Sistem pemindaian barcode juga diklaim telah menghemat ongkos layanan kesehatan hingga jutaan poundsterling.
"Saya berbicara dengan dokter dan para pegawai rumah sakit yang bertanggung jawab dalam pengelolaan inventaris,” kata Valentina Lichtner, dosen kesehatan digital senior di Universitas Leeds, Inggris.
“Mereka semua melaporkan manfaat [barcode]."
Kini, ia tengah meneliti dampak sistem pelacakan menggunakan barcode dalam proses layanan kesehatan.
Barcode disebut telah membantu staf rumah sakit memangkas waktu hingga 140 ribu jam dalam menjalankan tugas-tugas administratif dan pemeriksaan inventaris.
Dan, saat barcode telah begitu menjamur, terbuka banyak kemungkinan untuk merancang gim dan pengalaman menarik menggunakannya.
Salah satu contoh paling inovatif adalah Skannerz, sebuah gim video genggam yang muncul di awal 2000-an yang memiliki pemindai barcode terintegrasi di perangkatnya.
Para pemain gim ini diminta memindai barcode yang ada di kemasan barang kebutuhan sehari-hari secara acak hingga mereka berhasil menemukan kode yang bisa membuat mereka menangkap sebuah monster alien di permainan tersebut—konsepnya mirip dengan gim Pokémon.
Gim lain, termasuk Barcode Battler dari Jepang, juga menggunakan barcode untuk menciptakan karakter yang bisa digunakan dalam permainan.
Semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa garis-garis yang digambar Woodland di pasir dan kerja keras McEnroe dan timnya di IBM.
Saat ini, muncul inisiatif yang disebut Sunrise 2027 untuk mendorong para pelaku industri retail untuk mengganti kode batang lama yang terdiri atas garis-garis vertikal dengan kode QR, yang dapat menyimpan lebih banyak informasi, termasuk tanggal kedaluwarsa produk makanan dan cara penggunaan produk pembersih tertentu.
Namun, menurut Frith, barcode tradisional kemungkinan akan tetap bertahan lama. Meski teknologi ini tampak sederhana, imbuhnya, ia telah membawa perubahan pada begitu banyak industri.
Dan, meski barcode kini ada di mana-mana, saat melihatnya, kebanyakan orang tidak pernah mempertanyakan atau bahkan sekadar memikirkan kehadirannya. Ia telah jadi kelaziman dalam keseharian manusia.
Frith bilang: “Bukti terbesar keberhasilannya adalah kita tidak pernah memikirkannya.”
Artikel ini dapat dibaca dalam versi bahasa Inggris berjudul The weird history of the barcode pada BBC Future.