Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Sejarah Istilah Cat Lady: Dari Dewi Mesir, Perawan Tua, hingga Kini Dipakai Taylor Swift dan Pencinta Kucing
31 Agustus 2024 16:10 WIB
Sejarah Istilah Cat Lady: Dari Dewi Mesir, Perawan Tua, hingga Kini Dipakai Taylor Swift dan Pencinta Kucing
Hubungan antara perempuan dan kucing sudah ada sejak 10 ribu tahun lalu, ketika dewi setengah kucing setengah manusia, Bastet, dianggap sebagai dewi rumah tangga, kesuburan, dan kelahiran di Mesir Kuno. Semua itu berubah setelah Kekristenan muncul.
Tak ada hewan selain kucing yang dapat mendefinisikan seksualitas perempuan di mata lelaki Barat.
Ambil contoh, perempuan yang provokatif secara seksual kerap disebut “sex kittens”. Jika diterjemahkan harfiah ke dalam bahasa Indonesia, istilah itu berarti “kucing seks”.
Para sex kittens itu acap kali disebut memiliki paras cantik seperti “feline” yang juga berarti “kucing”.
Kebalikan dari stereotipe “kucing seksi” ini juga masih dikaitkan dengan kucing, yaitu “cat lady” atau “perempuan kucing”.
Istilah ini digunakan untuk merujuk pada “perawan tua” yang stereotipenya sering memelihara kucing.
Istilah itu kembali menjadi sorotan setelah komentar dari calon wakil presiden Donald Trump, JD Vance, pada 2021 lalu muncul lagi belakangan ini.
Dari mana sebenarnya asal stereotipe itu?
Stereotipe “cat lady” melekat pada “perawan tua”, atau perempuan yang tak punya pasangan laki-laki. Sebutan ini bisa pula dipakai untuk merujuk pada lesbian.
Biasanya, perempuan yang disebut “cat lady” kerap memakai kardigan, berkacamata, dan memelihara paling tidak satu kucing.
Alice Maddicott, penulis buku Cat Women: An Exploration of Feline Friendships and Lingering Superstitions, mengatakan kepada BBC bahwa hubungan sejarah antara kucing dan perempuan bisa dilihat sejak masa lampau, yang dipenuhi dengan perdebatan terkait hal-hal seksual.
Maddicott kemudian membahas buku Wife of Bath karya penulis Abad Ke-15, Geoffrey Chaucer. Dalam buku itu, katanya, tokoh utamanya disebut kucing “untuk memaki sosok perempuan itu dan menggambarkan bahwa dia suka gonta-ganti pasangan seksual.”
Dengan kata lain, “menjadi ‘cat lady’ bisa membuat Anda tidak menarik secara seksual, tapi bisa juga digunakan sebagai olokan yang merujuk pada berahi dan "suka gonta-ganti pasangan seksual.”
Hubungan antara perempuan dan kucing ternyata sudah ada lebih jauh dari itu. Di masa peradaban lampau, kucing kerap kali dikaitkan dengan dewi-dewi dalam mitologi kuno.
Pada masa Mesir kuno, ketika kucing mulai menjadi peliharaan sekitar 10 ribu tahun lalu, dewi setengah kucing setengah manusia, Bastet, dianggap sebagai dewi rumah tangga, kesuburan, dan kelahiran.
Dewi itu melindungi rumah dari kekuatan jahat dan penyakit. Bastet juga berperan di akhirat sebagai sosok yang membimbing dan membantu menuju kematian.
Di zaman Romawi-Yunani, Bastet digambarkan dalam wujud Artemis (Yunani) dan Diana (Roma). Kaitan kedua dewa itu dengan kucing juga masih ada, walau lebih sedikit.
Keduanya sudah berwujud manusia. Artemis terus dikaitkan dengan kucing. Sementara itu, Diana memang bisa berubah menjadi kucing, sebagaimana digambarkan dalam tulisan Metamorphoses karya penulis Romawi, Ovid.
Di Eropa, contoh penggambaran paling jelas dapat dilihat pada Freyja, yang merupakan dewi kesuburan, cinta, dan keberuntungan dalam mitologi Norwegia. Freyja selalu digambarkan menaiki kereta yang ditarik dua kucing jantan.
Dalam mitologi China kuno, dewi kesuburan sekaligus pelindung petani dari hama, Li Shou, juga digambarkan dalam bentuk kucing.
Jadi, sebenarnya mulai kapan hubungan antara perempuan dan kucing menjadi negatif dan kontroversial, terutama di Barat?
Asal-usul hubungan antara kucing dan perempuan
Jawabannya tampaknya ada pada Kekristenan.
“Secara efektif, perempuan dan kucing berkaitan dengan dewa-dewi di masa sebelum Kristen muncul,” ucap Maddicott.
Namun, ketika Kristen muncul, “gereja tak menyukainya dan bisa jadi memicu kecurigaan [di tengah masyarakat] yang akhirnya meledak dengan kemunculan serangkaian sidang sihir.”
Pada masa itu, sering digelar sidang sihir, di mana masyarakat, terutama perempuan, diadili atas tuduhan melakukan sihir. Orang yang terbukti bersalah akan dijerat hukuman mati.
Dalam buku The Cat and the Human Imagination, Katharine M Rogers menuliskan bahwa di Abad Pertengahan, Gereja Katolik Roma memandang perempuan lajang yang berkeliaran sama dengan kucing betina sedang berburu.
Untuk memberantas kepercayaan-kepercayaan Eropa yang bukan Kristen, semua dewa non-Kristen dilabeli jahat, dan kucing dinyatakan sebagai antek Setan.
Propaganda-propaganda keagamaan setelah itu sering menggambarkan perempuan, kucing, atau gabungan keduanya sebagai iblis.
Pada 1233, Paus Gregory menerbitkan Vox in Rama, dekrit yang membeberkan “masalah” dalam agama-agama non-Kristen.
Dalam dekrit itu, Paus Gregory menuding semua agama non-Kristen menerapkan ritual setan. Ritual itu kemudian dijelaskan dengan rinci.
Menurut buku Classical Cats: The Rise and Fall of the Sacred Cat karya Donald Engels, dekrit ini menerapkan “sanksi kuat agar [umat] memusnahkan kucing, terutama yang berwarna hitam, dan memusnahkan perempuan pemiliknya.”
Kala Agnes Waterhouse dieksekusi dalam sidang sihir perdana di Inggris pada 1566, ia mengaku bahwa rekan yang membantunya melakukan sihir adalah seekor kucing bernama Sathan. Kucing itu kemudian berubah menjadi katak.
Perempuan berusia 63 tahun itu lantas dihukum gantung. Hukuman ini menguatkan hubungan antara kucing, perempuan, dan sihir yang menjalar sampai Amerika Serikat, hingga persidangan semacam itu akhirnya berhenti.
“[Kucing] biasanya independen dan sering kali sangat cerdas. Di masa lalu, orang-orang mencoba mengendalikan perempuan agar tidak seperti itu,” kata Maddicott.
Keberadaan perempuan yang independen dianggap mengacaukan urutan hierarki kehidupan di Bumi dalam Kekristenan, di mana posisi lelaki seharusnya di atas.
Katharine M Rogers menjabarkan lebih jauh pikiran itu dengan menuliskan, “Kucing mewakili keluhan pria terhadap perempuan: bahwa mereka tidak patuh dan tidak memberikan cinta yang cukup.”
“Laki-laki yang tidak bisa mengendalikan perempuan sebagaimana keinginan mereka, biasanya langsung mengaitkan mereka [perempuan] dengan hewan yang tak bisa dikendalikan.”
Maka, tak heran ketika gerakan menuntut hak pilih perempuan merebak di AS pada awal Abad Ke-20, kucing dimunculkan dalam kartun-kartun propaganda untuk meredam aksi tersebut.
Hubungan antara kucing dan perempuan ini merupakan bagian dari interaksi yang lebih luas antara binatang dan manusia, kata Profesor Fiona Probyn-Rapsey, peneliti di Universitas Wollongong yang mendalami studi hewan dari perspektif feminis setelah masa kolonialisme.
“Gagasan yang kita punya mengenai hewan membentuk gagasan mengenai jenis kelamin,” kata Probyn-Rapsey kepada BBC.
“Kita secara rutin menggunakan istilah hewan saat berbicara soal jenis kelamin, untuk mencemooh kelakuan yang berkaitan dengan gender, juga rasialisme, yang selalu menggunakan istilah hewan untuk menghilangkan sisi kemanusiaan dari orang lain.”
Ia lantas mengambil contoh sejumlah sebutan dalam bahasa Inggris, seperti makian “bitch” yang secara harfiah berarti hewan anjing.
Ada pula istilah “hen-pecked” yang biasa digunakan untuk menggambarkan suami takut istri. Hen sendiri berarti ayam betina.
Di dunia Barat, dikenal pula istilah “stud” untuk menggambarkan pria muda yang dianggap jago dalam berhubungan seksual. Stud juga merupakan istilah untuk menyebut kuda peliharaan.
Ada juga istilah “cougar” untuk merujuk pada perempuan paruh baya yang mencari lelaki lebih muda untuk relasi seksual. Cougar sendiri secara harfiah berarti puma atau singa gunung.
Cat lady dalam budaya populer
Perempuan lajang yang sering disebut sebagai perawan tua biasanya dikritik karena dianggap hanya menghabiskan uang kerabatnya. Perawan tua yang memelihara kucing dianggap lebih terkutuk.
Memasuki era Victoria, hubungan antara perawan tua dan kucing sudah menjadi budaya. Pada 1880, koran Dundee Courier bahkan menyebut, “perawan tua bukanlah perawan tua tanpa kucing,” dan “perawan tua tidak mungkin ada tanpa kucing.”
Bertahan hingga Abad Ke-20, kaitan kucing dan perawan tua mencapai puncak popularitas pada 1976, ketika film dokumenter bertajuk Grey Gardens dirilis.
Film itu mengangkat kisah Edith Bouvier Beale “Little Edie” dan ibunya, Edith Ewing Bouvier Beale “Big Edie”. Mereka merupakan kerabat dari mantan Ibu Negara AS, Jacqueline Kennedy Onassis.
Grey Gardens sendiri adalah nama rumah tempat mereka tinggal di East Hampton, New York. Disesaki puluhan kucing, kaleng makanan, dan deretan sampah di lantai, rumah itu dilingkupi tanaman yang tumbuh liar.
Dokumenter itu kerap menjadi gambaran kehidupan perempuan tanpa laki-laki: Big Edie bercerai, sementara Little Edie tidak pernah menikah.
“[Stereotipe cat lady] mendorong pelabelan perempuan yang dipandang tak dapat diterima dalam ekspektasi sosial masyarakat patriarki,” kata Maddicott.
“Cat lady biasanya tua, lajang, dan tak punya anak, dan masyarakat memaksa perempuan melihat situasi ini sebagai kegagalan.”
Grey Gardens lantas menjadi patokan penggambaran cat lady di layar kaca selama beberapa dekade kemudian. Michelle Pfeiffer dan Halle Berry berperan sebagai Catwoman dalam film Batman Returns (1992) dan film Catwoman (2004).
Dalam beberapa adegan di film itu, terlihat penggambaran cat lady sebagai perawan tua yang memelihara kucing di rumahnya.
Beberapa film lain juga menampilkan tokoh cat lady, seperti Mrs Deagle di film Gremlins dan Eleanor Abernathy di The Simpsons.
The LEGO Movie (2014) juga masih menghadirkan sosok cat lady, yaitu tokoh bernama Mrs Scratchen-Post, yang memiliki sekitar 20 kucing.
Cat lady juga masuk dalam dunia literatur, seperti sosok Caroline Percehouse di buku The Sittaford Mystery karya Agatha Christie.
Beberapa buku yang kemudian diadaptasi menjadi film atau serial juga menampilan sosok cat lady. Sebut saja The Clockwork Orange, dan serial Jeeves and Wooster yang diadaptasi dari tulisan karya PG Wodehouse.
Belakangan, ketakutan terhadap citra kucing dan perempuan juga memasuki budaya populer, tapi lebih untuk komedi.
Di serial Gilmore Girls (2000-2007), tokoh Lorelai yang baru saja melajang memanggil putrinya, Rory, ketika dua kucing menghampiri rumahnya.
“Mereka tahu. Kucing-kucing itu tahu saya lajang. Rasanya saya harus mulai mengumpulkan koran dan majalah, memakai jubah mandi berwarna biru, dan mematahkan gigi depan,” katanya berkelakar, merujuk pada stereotipe cat lady.
Serupa, dalam salah satu episode Crazy Ex-Girlfriend (2015-2019), tokoh Rebecca yang baru saja kembali melajang, bercanda dengan teman-temannya ketika membicarakan drama musikal mengenai menjadi cat lady.
Dengan kata lain, stereotipe cat lady belakangan dianggap klise dan guyon belaka.
Stereotipe cat lady pun kini memudar. Perempuan punya lebih banyak kebebasan dan kekuatan untuk hidup di luar “norma” sejarah.
Banyak perempuan sekarang memilih untuk melajang dan tak punya anak. Mereka punya otoritas lebih besar di dunia kerja.
Kata “perawan tua” yang sempat dianggap ketinggalan zaman kini malah menjadi frasa yang membanggakan bagi kalangan feminis.
Istilah “cat lady” saat ini malah sering dipakai dengan bangga oleh para pemilik kucing, seperti penyanyi Taylor Swift.
“Ada banyak contoh yang lebih luar biasa dari pertemanan antara kucing dan perempuan ketika menjadi diri mereka sendiri, hubungan peliharaan dan pemiliknya yang normal dan baik, ketimbang sekadar stereotipe,” tutur Maddicott.
Salah satu sasaran JD Vance ketika menyebut “cat lady yang tak punya anak” adalah Wakil Presiden AS, Kamala Harris.
Wapres perempuan itu juga bukannya tak punya anak. Harris merupakan ibu dari dua anak angkat. Ia pun tidak punya kucing. Namun, referensi sejarah itu ternyata masih tetap ada.
Apakah perempuan, atau orang dengan jenis kelamin apa pun, memilih untuk menjadi “cat lady” (tak peduli mereka punya kucing atau tidak), pilihan untuk memakai label itu seharusnya ada di tangan mereka sendiri.
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, Ancient Egypt to Taylor Swift: The historic roots of the 'cat lady' bisa Anda baca di laman BBC Culture .